@Kanjeng Mami[Nana]Pesan dari sang ibunda membangunkan Nana di pagi buta. Dengan mata masih setengah terpejam diraihnya smartphone-nya yang tertindih bantal.@Nana[Iya Mami][Nana baru bangun ini]@Kanjeng Mami[Astaga][Sudah siang ini lho]@Nana[Semalam Nana periksa laporan akhir bulan mi][Sampai malam]@Kanjeng Mami[Lembur apa ngegame][Terus ini nggak ke toko?]Nana menggaruk-garuk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Dia merasakan firasat buruk saat sang ibunda mengirimkan pesan panjang seperti ini.@Nana[Lembur Mami][Nanti agak siangan ke tokonya][Mami tumben pagi-pagi chat Nana]@Kanjeng Mami[Inilah lho Pakdhe-mu][Dia mau ngenalin kamu sama anak temannya]Nana mendesah membaca pesan sang ibunda. Dia sangat menghindari percakapan mengenai hal seperti ini. Keluarganya tidak henti mencarikan pasangan untuknya.@Nana[Maleslah Mi]@Kanjeng Mami[Hus nggak boleh gitu][Coba dulu kenalan][Ketemu sebentar][Biar Pakdhe-mu nggak kecewa]@Nana[Nggak gitu Mi][Nana masih i
"Mbak Siti, selama saya pulang tolong rawat kucing-kucing saya. Jangan lupa dikasih makan." Nana berpesan pada asisten rumahtangganya.Sementara dia kembali mematut diri di depan cermin. Mbak Siti yang tengah merapikan tempat tidurnya hanya menganggukkan kepalanya."Saya nggak lama kok mbak. Nanti kalau Diva mau, boleh kok menginap di sini sekalian praktek masak dan bikin kue." Nana mengancingkan resleting travel bagnya dengan hati-hati."Iya Bu. Ada lagi yang mau dibawa nggak Bu?" Mbak Siti bergegas membantu Nana menyeret travel bagnya keluar dari kamar."Nggak ada lagi Mbak. Saya nggak bawa banyak barang kok." Nana tersenyum dan sekali lagi memastikan tidak ada yang tertinggal.Dia memutuskan untuk pulang ke kota asalnya dengan menumpang pesawat terbang jurusan Jakarta. Itu satu-satunya kota yang lebih dekat dibandingkan Surabaya atau Yogyakarta. Sedangkan penerbangan ke Solo dan Semarang saat ini sudah full booking.Biasanya dia selalu mengendarai kendaraan pribadi untuk pulang ke
Erick menatap wanita cantik berpostur tinggi semampai di hadapannya. Cecilia, adik iparnya berdiri sambil bersedekap tangan."Itu tadi siapa?" Cecilia bertanya sedikit meninggikan nada suaranya."Temen." Sahut Erick kalem."Kamu sendiri ngapain di sini?" Erick berbalik bertanya pada sang adik ipar yang masih menatapnya dengan seksama.Erick merasa jengah dengan tatapan Cecilia. Meskipun hubungan mereka sebatas ipar, tapi kekerabatan mereka cukup dekat dan telah saling mengenal sejak kecil."Jawab dulu pertanyaanku? Apa hubungan Abang dengan pemilik Nana's Bakery&Cake? Abang selingkuh sama dia karena sering pesan bekal untuk Alvin di tokonya? Astaga!" Cecilia berbicara tanpa jeda.Erick tidak membalas ucapan adik iparnya itu, justru menarik lengannya dan membawanya menjauh."Abang!" Cecilia setengah berteriak berusaha memberontak."Bawel ah!" Erick tiba-tiba memencet hidung mancung Cecilia."Kalian sedang apa?" Tiba-tiba seseorang menegur mereka berdua."Yang, Abang nih!" Cecilia melep
Nana masih enggan untuk bangun dari rebahan di atas kasur empuk di kamar semasa gadisnya. Bukan hanya karena masih lelah setelah perjalanan cukup panjang. Namun dia tidak ingin segera bertemu dengan keluarganya yang lain selain Mami dan Budhenya."Na! Nana Nini Ninu!" Ketukan di pintu kamarnya dan suara khas kakak sepupunya yang sering memanggilnya dengan seenak hatinya membangunkannya."Apaan sih?" Gerutunya sambil melemparkan bantalnya ke lantai."Nana! Bangun dong. Ada tamu nih." Suara kakak sepupunya kembali terdengar.Nana memilih untuk segera bangun daripada tidur tapi tidak bisa nyenyak. Mereka akan terus mengganggunya hingga dia keluar dari kamar.Masih setengah mengantuk dibukanya pintu kaca geser kamarnya. Tampak, Kania, sepupunya yang baru saja melahirkan anak ketiganya di depan pintu sembari mengendong bayi mungilnya."Ada apa Mbak? Eh, cantik banget ponakan Tante?" Nana menjawil pipi gembul bayi yang belum genap enam bulan itu"Itu lho ada Phakde? Cepet temuin, nanti mara
"Nana!" Suara lembut menyapanya disertai sebuah sentuhan di puncak kepalanya.Nana menggeliat malas dan berbalik. Tidak Lagi tiduran menengkurapkan tubuhnya. Kini dia telentang sambil memeluk bantal gulingnya."Na, Mami tahu kamu marah. Tapi coba pikirkan lagi tawaran Phakde." Maminya membujuknya dengan lembut."Mi harus berapa kali Nana bilang. Nana belum ingin menikah lagi." Nana berguling dan memeluk gulingnya erat-erat.Dia enggan menatap langsung wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Maminya hampir selalu berekspresi sedih atau muram. Nana sudah menghapal ini semenjak masih kecil."Na, mami tahu kamu masih belum sepenuhnya melupakan Gilang. Tapi hidup berjalan terus to nduk." Dengan lembut wanita yang rambutnya sudah memutih seluruhnya itu membelai kepala Nana.Nana hanya terdiam mendengar ucapan sang ibunda. Tidak dipungkiri ucapan itu ada benarnya. Hidup memang terus berjalan apapun yang terjadi. Tapi bukan berarti dia harus menerima pinangan lelaki yang tidak dikenalnya.
"Mbak mau masak apa to?" Nana sedikit bingung dengan begitu banyaknya bahan di atas meja."Rencananya mau masak ayam goreng, sambal sama lalapan, terus trancam sama tahu tempe goreng dan peda, Na." Kania sibuk memilah-milah bahan yang hendak dipakai dan yang harus disimpan di lemari pendingin."Mbak, aku bingung lho. Phakde sama Eyang Putri kenapa ngotot jodohin aku? Lagipula yang hutang kan Phakde, kenapa nggak jodohin si siapa itu, Denok Deblong yang juga belum nikah lho." Nana kembali mengeluh."Ya Allah, Nana masak saudara sendiri dibilang Denok Deblong sih." Kania tertawa terpingkal-pingkal.Nana pun turut tertawa. Dia selalu menjuluki orang-orang di sekitarnya dengan julukan yang lucu dan aneh. Seperti Erick yang dijulukinya kucing garong."Eh si kucing garong lagi ngapain ya?" Gumam Nana dalam hati.Nana hendak mengambil smartphone-nya yang tertinggal di kamar, saat tiba-tiba saja Eyang Putrinya menyerbu masuk diiringi si denok deblong."Mana ibu kamu Na?" Tanpa basa-basi Eyang
Nana masih terduduk di tempat tidur dengan kaki yang terbalut perban. Sedari pagi dia belum beranjak dari kamarnya. Hatinya enggan untuk keluar dari kamar dan mendengar suara-suara sumbang mengenai dirinya.Kejadian kemarin pasti sudah menyebar hingga ke ujung kampung. Nana tahu persis seperti apa Eyang putrinya itu. Dia akan berkeliling kampung dan menceritakan drama memilukan hati yang tengah menimpanya.Nana sudah terbiasa dengan semua drama yang diciptakan wanita tua itu hingga dia tidak lagi peduli meski itu membuatnya disalah pahami oleh banyak orang."Na, makan dulu nduk." Kanjeng Mami datang dengan membawa nampan berisi makan siang untuknya.Nana mendongakkan kepalanya menatap wanita yang telah melahirkannya itu. Sedih rasanya bila mengingat semua perlakuan sang nenek pada ibundanya."Iya Mami. Mami masak apa?" Nana bangun dari tempat tidur dan dengan tertatih-tatih berjalan mendekati meja di sudut kamarnya."Hati-hati nduk!" Kanjeng Mami buru-buru meletakkan nampan di atas me
Nana duduk di kursi sembari menyesap kopi dan menikmati pemandangan taman di pagi hari. Sementara Kania sibuk membantu Kanjeng Mami berkemas.Budhe Rasmi juga sibuk memasukkan oleh-oleh untuk di bawa ke Bali. Meski Nana sudah melarangnya untuk membelikan banyak oleh-oleh, wanita sepuh itu mengabaikannya."Nduk, kamu mau bawa kain batik ndak?" Kanjeng Mami bertanya padanya.Nana menoleh dan tersenyum menyaksikan kesibukan ketiga wanita yang disayanginya itu. Mereka tidak mengijinkannya untuk membantu berkemas."Ada kain batik baru Mi?" Nana mengerutkan kening melirik lemari pakaiannya yang terlihat dari tempatnya duduk karena pintu kamarnya dibiarkan terbuka lebar.Biasanya Kanjeng Mami selalu menyiapkan kain batik baru setiap dia pulang. Namun seingatnya dari kemarin dia tidak melihat keberadaan kain-kain batik di lemarinya."Yo Ndak ada. Tapi kalau mau nanti Mami telepon Bulek Fika untuk membawakan beberapa kain batik." Sahut Kanjeng Mami dengan santai."Boleh deh Mi. Bilangin Bulik F