"Man, yang bener kalau nyari pembantu itu!" seru Ambu, tiba-tiba keluar dari dapur.Rahman yang sedang main catur bersama Abah pun sontak menoleh. Abah juga tak luput menatap istrinya."Emangnya kenapa, Bu?" Kali ini malah Abah yang bertanya.Ambu berdecak sembari duduk di antara dua lelakinya. "Masa pembantu pakaiannya kayak wanita murahan!" cecar Ambu membuat Abah terkekeh.Dari arah dapur, Sari mendengar dengan jelas cecaran ibu mertuanya. Ingin Sari mencacah Ambu seperti sayuran yang sedang dia olah. Semua mertua sama saja, bikin sakit hati. Itu yang ada dalam pikiran Sari."Loh, Bah. Jangan senyam-senyum sembarangan! Wanita kayak gitu bisa merusak rumah tangga tahu!" hardik Ambu membuat Rahman tersentak.Kata-kata ibunya amat tepat sasaran. Rahman memilih diam dan hanya mendengarkan."Kamu nemu dia dari mana, sih?" tanya Ambu, sarkas.Sari meremas-remas beras yang akan dia cuci. Benar-benar bikin kesal sampai ubun-ubun. Kalau Rahman menurut pada Sari, sudah dibuat susah ibu mert
Sari langsung menutup mulutnya. Sedangkan semua orang beralih menatap wanita itu. Ambu yang kesal dengan tingkah Sari pun lantas berdiri dengan menyimpan sendok secara kasar."Heh! Benar-benar gak punya sopan santu kamu! Orang mau makan kamu malah mau muntah!" hardik Ambu, wajahnya sudah memerah.Ayu hanya diam menyaksikan semua drama gratisan ini. Sedangkan Rahman sudah mulai takut, ya takut jika Sari terus terang jika tengah mengandung anaknya.Di sisi lain, kecurigaan Azam semakin kentara. Dia merasa ada yang janggal dengan kehadiran Sari di sana. Ditambah Haris yang tak ada bersama wanita itu."Ma-maaf, Bu. Sa-saya sedang hamil. Hoek!" Merasa tak tahan lagi, Sari bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya.Suara Sari yang muntah amat jelas ke ruang makan. Membuat masing-masing orang di sana terdiam dan mengurungkan niat untuk menyantap makanan yang tadinya tampak menggiurkan, justru berubah menjadi penyebab mual dan jijik."Bu, Abah tidak bisa makan kalau begini," uja
"Kosong?!" Sari menatap kecewa. Ada sedikit rasa kesal menyelinap.Akan tetapi, wanita itu tak begitu saja putus asa. Dia mencari di laci yang lainnya. Seketika mata itu berbinar melihat kotak merah besar beludru, tempat penyimpanan untuk perhiasan. Dengan cepat Sari membukanya. Matanya semakin membulat dengan isi kotak itu. Berbagai macam perhiasan saling bertumpuk di sana. Wanita itu seperti mendapatkan lotre, tanpa menunggu lama memasukkan isinya ke tas yang dia bawa.Seringai licik terpampang jelas di wajah Sari. Dia akan menjarah harta Ayu tanpa sisa. Setelah memastikan kotak perhiasan itu kosong, Sari beralih ke laci yang selanjutnya.Ada empat laci di meja rias Ayu. Sayangnya, yang berisi hanya laci kedua. Sedangkan sisanya, nihil. Hanya ada bros dan aksesoris untuk rambut juga kerudung, Sari tak butuh itu.Aksinya tidak berhenti sampai di situ. Dia beralih ke lemari Ayu juga Rahman. Siapa tahu surat-surat berharga milik madunya ada di lemari. Biasanya dia juga menyimpan benda
Rahman mengernyit saat tangannya mengusap samping pembaringan. Dengan cepat laki-laki itu membuka mata, tak ada sosok Ayu di sana. Lalu, matanya yang masih melihat sekitar dengan samar-samar pun menoleh pada samping kiri, di mana jam bertengger. Baru pukul tiga dini hari.Seperti kebiasaan Ayu setiap hari, dia akan bangun di jam-jam tersebut untuk menunaikkan kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, sebelumnya salat dua rakaat tak pernah absen Ayu lakukan.Selama menikah dengan Rahman dan tinggal di rumah itu, Ayu memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu. Kalau pun mendesak, dia akan menyewa pembantu yang hanya digaji beberapa hari. Itu demi kepuasaannya sebagai seorang istri, mengurus rumah dan suami dengan totalitas.Namun, semua pengorbanan Ayu sia-sia karena tingkah Rahman yang menyakitinya.Rahman turun dari pembaringan. Sebenarnya, dia tahu Ayu pasti tengah berkutat di dapur. Ada sedikit rasa senang menyelusup, itu berarti Ayu masih peduli dengannya, hingga tetap bangun di
"Hah?! Yang bener, Koh? Ja-jadi ini ...."Koh menghela napas panjang. "Iya, ini semua perak, Mbak."Sari berdiri, wajahnya memerah. Entah marah atau malu. Mungkin juga keduanya."Mana mungkin, Koh!"Sari mengacak sebelah rambutnya. Dia benar-benar dibuat syok. Mana mungkin Ayu menggunakan barang perak? Sedangkan di tempatnya tinggal, semua orang tahu jika Ayu orang kaya."Masa saya bohong, Mbak. Kalau gak percaya, coba tanya ke toko lain. Pasti hasilnya sama. Barang Mbak punya ini perak, bukan emas. Kalau mau dijual bisa, tapi di toko perak. Paling banter semua dapat dua jutaan," papar Koh membuat dada Ayu naik turun.Dua juta? Ayu bisa dapatkan itu dari Rahman tanpa harus mencuri. Sari benar-benar merasa dibodohi oleh Ayu. Susah payah dia mencuri, tapi hasilnya mentah.Dengan menahan malu dan kesal, Sari mengambil kembali barang itu dan melenggang pergi dengan cepat. Wanita itu harus memberi pelajaran pada madunya.Di rumah Ayu, anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan. Tersed
Terlihat Ambu tampak celingukan. Dia menyambangi setiap ruangan. Ayu yang melihatnya pun keheranan, dia menghampiri sang mertua.“Ambu, cari apa?” tanya Ayu sambil ikut celingukan.Ambu mendesah. Dia duduk di kursi ruang makan. Sesekali memijat lututnya yang mulai sakit.Cari pembantu kamu, Yu. Sedari pagi tidak kelihatan. Katanya ke pasar, masa sampai jam segini gak juga kelihatan, tutur Ambu membuat Ayu tersenyum hambar.“Tadi sudah datang, Ambu. Tapi, entah sekarang ke mana,” ujar Ayu tak enak pada sang mertua.Harusnya dia menekankan keras pada Sari. Sejak pagi dia yang mengerjakan segala urusan rumah tangga. Sebenarnya tidak masalah untuk Ayu, setidaknya selama keluarga Rahman di sini, Ayu harus memastikan semua aman. Namun, sepertinya Ambu mulai curiga dan terusik dengan tingkah Sari."Hah, kan sudah Ambu bilang, dia itu perempuan gak benar. Masa pembantu gak ada kerjaan. Malah, sedari pagi kamu yang ngerjain kerjaan rumah. Mending pecat saja!" rutuk Ambu gemas.Ayu hanya menari
"Saya mau bertemu Pak Rahman," ucap Sari pada resepsionis yang menatapnya aneh.Resepsionis itu menelisik penampilan Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin heran atau curiga, karena baru kali ini ada yang mencari Rahman selain istrinya, Ayu."Mbak siapa? Ada urusan apa dengan Pak Rahman?" tanya resepsionis itu, curiga.Seperti biasa, Sari yang mudah terpancing emosi pun menatap sang resepsionis, tajam. Tangannya dilipat di depan dada dengan dagu dinaikkan."Apa seperti ini caramu memperlakukan tamu? Resepsionis macam apa kamu, hah?!" Sari menaikkan nada bicara hingga beberapa orang di sana menoleh.Si resepsionis tersentak melihat perlakuan Sari. Dia pun melirik ke sekitar, mungkin malu karena jadi bahan tontonan."Kamu cukup bilang sama Pak Rahman, ada yang mau bertemu. Katakan namanya Sari. Saya sudah buat janji dengannya," ujar Sari, membuat resepsionis itu menelan ludah.Tidak mau menambah malu atau masalah, akhirnya dia menelepon Rahman. Memberitahukan sesuai keinginan
"Hotel?" gumam Azam dengan wajah tak percaya.Laki-laki itu tidak perlu berpikir keras untuk mengartikan apa yang akan terjadi jika dua orang berbeda jenis masuk ke sana. Terlebih lagi dengan mesra seperti itu.Dadanya terasa dihantam batu besar. Kaget, marah dan kecewa bercampur jadi satu. Ternyata benar, ada yang tidak beres dengan kehadiran mantannya di rumah Ayu. Azam hanya tidak menyangka jika sang kakaklah yang menjadi korban Sari.Azam rasa, dia tidak perlu mengikuti mereka sampai ke dalam hotel. Cukup tahu saja dan dia akan memberitahukan semuanya pada Ayu. Dengan cepat, dia memutar kemudi untuk pulang.Bagaimanapun perbuatan kakaknya tidak benar. Dia tidak mungkin menyimpan bangkai ini terlalu lama, atau akan banyak orang yang tersakiti, termasuk orang tuanya.Selama perjalanan, Azam terus bertanya-tanya. Kenapa sampai bisa Sari dan Rahman melakukan hubungan terlarang? Apa kekurangan Ayu sebagai istri? Apalagi dia saja iri pada Rahman karena mendapatkan istri terbaik Ayu.Aza