Share

Satu sama

"Saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini. Biar bu Voka saja yang mengurus mereka. Mari pak, Elkan."

Elkan mengangkat salah satu alisnya. "Saya mau tau apa masalah mereka. Jangan sampai ada kekerasan di kampus ini. Apa tidak boleh saya tau?"

"Te-tentu boleh," jawab sang dosen.

"Jadi, ada yang bisa jelaskan masalah awalnya?"

Kalea menunduk menatap ujung sepatunya. Meski Elkan orang yang berpengaruh di sini bukan berarti dia harus ikut campur urusannya. Berbeda dengan Kalea, Yumi justru menatap Elkan dengan mata berbinar. Dia tak menyangka jika orang yang sering dibicarakan orang-orang itu memiliki ketampanan yang luar biasa. Kalau begini, dia lebih memilih pria dihadapannya daripada sang kekasih yang diduga berhubungan dekat dengan Oliv.

'Masih mending gue ngejar Elkan yang jelas-jelas mapan dan punya visual. Terserah deh Riko mau naksir si cupu atau engga, gue gak peduli,' batinnya.

"Kalea nampar saya, terus dia juga dorong saya sampai terbentur meja. Jujur aja Kal, lo gak suka sama gue, kan?" kata Yumi yang sesekali meringis memegang lengannya.

Gadis itu tersenyum sinis mendengarnya. "Iya, gue emang gak suka sama lo. Tapi untuk masalah tadi, lo sendiri yang mulai."

"Gue gak ngelakuin apa-apa sama lo."

"Terus siapa yang siram gue pake air pel kalau bukan lo?"

"Kalea!" sentak Bu Voka. Mau tak mau dia kembali diam. Andai saja di hadapannya bukan para petinggi kampus, dia tak segan untuk mencakar wajah Yumi.

Elkan yang sejak tadi diam tanpa sadar menarik sudut bibirnya keatas. Gadis yang ia lihat seperti singa betina di rumah, kini terlihat seperti seekor anak kucing yang tak berdaya. Sekelebat ide muncul di otak nya.

"Menurut saya, untuk siswi ini mungkin cukup memberikan surat panggilan orangtua. Sementara siswi satu ini, saya mau, saya sendiri yang memberikan hukuman."

"Apa? Kenapa cuma gue? Maksudnya, kenapa cuma saya yang dihukum?" protes Kalea.

"Kamu bilang jangan ada panggilan orangtua. Sekarang ikut saya."

Belum sempat Jonan membuka mulut, Elkan lebih dulu mengangkat tangannya seakan meminta untuk diam. Jonan sendiri bingung melihat temannya yang menarik seorang gadis remaja entah kemana. Kejadian langka, pria itu biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain. Ah, Deon harus tau tentang ini juga.

Elkan terus membawa Kalea hingga ke ruang pribadinya di lantai atas. Sampai di sana, Kalea menatap jengkel pada Elkan yang bersandar di pintu sambil menatapnya. Hey, untuk apa dia dibawa ke tempat ini?

"Terus hukumannya apa?" tanya Kalea memperhatikan sekelilingnya. Ruangan yang didominasi warna abu-abu, luasnya mungkin setara dengan kelasnya.

Bukannya menjawab, Elkan justru melepas kancing kemeja putihnya satu persatu. Kalea yang melihat pria itu mendekatinya segera mundur perlahan. "Mau ngapain lo?!"

"Sebelumnya, pakai ini dulu. Kamu gak sadar dari tadi seragam kamu terawang karena basah?" Kemeja itu diberikan kepada Kalea, sedangkan tubuhnya hanya memakai kaos polos berlengan pendek.

"Dasar cabul!" Ia segera mengenakan kemeja yang kebesaran di tubuhnya itu. "Cepet kasih tau hukumannya!"

"Karena kamu tetangga kesayangan saya, jadi saya kasih keringanan. Hukuman kamu cuma lari keliling lapangan dua puluh kali putaran."

"Cuma? Lo pikir kaki gue ini punya otot besi?"

Elkan tertawa pelan. "Tadinya saya mau minta kamu bersihin semua kamar mandi di sini," lanjutnya yang seketika mengundang tatapan maut.

"Okey, lari keliling lapangan," jawab Kalea cepat.

Melihat Kalea yang berlari kecil ke ruang ruangan membuat Elkan tersenyum puas. Tentu saja itu akal-akalannya. Dia masih kesal dengan kejadian semalam, dimana telur itu membuat tubuhnya bau amis.

"Satu sama."

Di lain tempat, Jonan tak tau harus berbuat apa sekarang. Dia hanya meminta maaf pada para petinggi atas tindakan sepihak barusan. Dengan segera Jonan menyusul atasannya yang pergi membawa seorang gadis remaja.

Seperti apa yang dipikirkannya, Elkan sepertinya berada di ruang pribadi. Namun Jonan dibuat terkejut ketika gadis yang dibawa Elkan tadi keluar dengan kemeja yang dikenaknya. Tak lain dan tak bukan adalah kemeja milik Elkan. Astaga, apa yang baru saja terjadi di dalam sana?

"Lo gila?!"

"Kenapa?"

"Abis ngapain lo sama cewe tadi? Lo kenal sama dia? Atau jangan-jangan dia target lo juga?" tanyanya berturut-turut.

"Ga mungkin, lah!" dengus Elkan kesal. "Cewe yang semalem gue ceritain itu dia. Satu lagi, gue gak suka sama dia. Anak kayak dia itu bukan tipe gue."

Jonan melongo ketika Elkan keluar dari ruangan begitu saja. Jadi, tetangga yang dimaksud Elkan waktu itu adalah seorang mahasiswi? Dengan cepat ia mengikuti langkah atasannya yang berjalan menulusuri koridor.

"Terus lo mau kemana sekarang?"

"Liat sirkus," jawabnya asal. Langkah kaki itu berhenti di pembatas lantai atas yang mengarah ke lapangan sekolah. Jonan mencoba mengikuti arah mata Elkan, menatap perempuan tadi yang tengah berlari mengelilingi lapangan.

"Itu kerjaan lo, kan?" tebak Jonan yang diangguki pria itu dengan santainya.

"Parah lo, El. Baru kali ini gue liat lo gak nafsu sama cewe. Biasanya ada cewe cantik dikit aja lo sosor, sekarang malah dikerjain."

"Siapa bilang gue ga nafsu?"

Hah?!

Jonan melotot tajam. Belum sempat ia menjawab, ponsel di sakunya berdering. Panggilan dari kantor. Mau tak mau pria itu sedikit menjauh dari sana dan mengangkat teleponnya. Sementara Elkan hanya melirik sekilas dan kembali melihat pemandangan di bawah sana.

Jika dilihat-lihat, sebenarnya Kalea itu gadis yang manis. Tapi Elkan tak mau mengakui yang satu itu, karena menurutnya dia hanyalah gadis bar-bar yang lebih mirip singa betina. Oke, sepertinya Elkan punya hobi baru setelah bermain wanita. Menjahili gadisnya. Ups! Maksudnya menjahili tetangganya.

"Kita harus ke kantor sekarang," kata Jonan yang selesai dengan panggilannya.

"Ngapain? Lo bilang hari ini jadwal gue kosong?"

"Ini bukan masalah kerjaan. Airin, cewe lo itu ngamuk di kantor dan minta ketemu sama lo," terang Jonan. Dia sudah tau alasannya karena kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Alasan klasik, tidak terima karena Elkan mengakhiri hubungan secara sepihak.

"Ck, gue udah bosen sama dia." Pria itu terdiam sesaat. "Telpon pak Agus dulu, suruh bawa kemeja gue yang baru."

****

"Gak mau! Kamu kira kamu siapa ngatur-ngatur saya?!"

"Maaf Bu Airin, tapi saya mendapat perintah dari Pak Jonan untuk meminta Ibu keluar dari area kantor."

"Berarti Jo ada di dalam, kan? Elkan pasti ada di dalam juga. Minggir! Saya mau ketemu Elkan!" Airin berusaha masuk ke dalam, namun seorang resepsionis mencegahnya dengan menarik lengan. Tanpa sengaja Airin tersungkur dengan siku yang terbentur ke lantai.

Mengetahui itu, sang resepsionis ketakutan. "Saya minta maaf, Bu. Saya tidak sengaja," lirihnya.

"Kurangajar! Kamu berani sama saya? Saya gak mau tau, mulai hari ini kamu dipecat. Saya akan aduin kamu sama Elkan karena perlakuan tadi. Kamu tau? Saya calon tunangannya. Calon menantu keluarga Cyrano."

"Bu, saya mohon jangan pecat saya," cicit wanita resepsionis itu dengan memegang tangan Airin.

"Pergi! Jangan Pegang-pegang tangan saya!"

Karyawan lain menatap iba. Mereka sendiri bingun harus berbuat apa. Menahannya, mereka takut akan ancaman wanita itu. Siapa yang tak tau Airin, model terkenal sekaligus anak dari keluarga konglomerat. Namun membiarkannya masuk juga bukan solusi, mereka lebih takut bos-nya yang marah.

Karyawan itu melangkah gontai keluar. Dia menangis karena meratapi nasibnya jika berhenti bekerja di sini. Tepat di area parkir, ia melihat atasannya baru saja datang dengan sang sekertaris. Resepsionis itu berlari ke arah Elkan dan berlutut di hadapannya sambil menangis.

"Pak Elkan, saya mohon jangan pecat saya. Saya masih butuh pekerjaan ini, pak."

Elkan dan Jonan sama-sama terkejut. Mereka saling pandang tak mengerti dengan ucapan wanita ini. Dipecat? Kapan Elkan memecatnya? Dengan segera pria itu menuntunnya berdiri.

"Apa maksud kamu?"

"Di dalam ada Bu Airin, pak. Tadi saya ga sengaja dorong beliau sampai jatuh. Tapi saya bersumpah saya ga sengaja. Bu Airin bilang dia bakal aduin ke pak Elkan dan minta saya dipecat. Saya mohon, tolong jangan pecat saya."

Seketika wajah Elkan memerah menahan amarah. "Dia tidak ada hak di perusahaan ini, jadi kamu tetap karyawan saya. Kembali masuk ke dalam."

Elkan kembali melangkahkan kakinya ke dalam gedung bersama Jonan. Di bagian pintu masuk sudah terlihat ada keributan. Perempuan yang berstatus 'mantan' kekasihnya itu tengah memarahi dua orang petugas keamanan.

"Apa maksud kamu pecat karyawan saya?"

"Elkan?" Airin berbalik menatap pria yang dicarinya sejak tadi. "Dia dorong aku, padahal aku cuma mau ketemu kamu. Aku gak mau kita putus, kita mau tunangan."

"Meskipun begitu, kamu tetap gak punya hak untuk memecat dia tanpa seizin saya. Masalah pertunangan, kita bisa batalin itu."

"Gak bisa, Elkan!" sentak Airin tak terima.

Elkan menggertakan giginya. Dia menatap semua karyawan yang masih berdiri di sana. "Semuanya kembali bekerja," ucapnya yang kembali menatap Airin. "Dengar, pertunangan itu cuma rencana orang tua kita, yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan jika tidak cocok. Bukankah saya sudah bilang dari awal, kalau kamu jangan terlalu berharap pada saya."

"Gak! Kamu ga bisa seenaknya sama aku. Aku bakal aduin ini ke Papa. Kamu mungkin bisa putusin pacar kamu yang lainnya, tapi kamu ga bisa putusin aku."

"Pulang, Airin. Saya tidak peduli kamu mau mengadu atau apapun itu. "

Dengan perasaan kesalnya, gadis itu pergi begitu saja. dia tau kalau pria di hadapannya memang orang berengsek yang suka bermain wanita, tapi dia sudah terjebak dalam pesona si brengsek itu. Sampai kapanpun dia tidak akan melepaskan Elkan.

"Lo yakin ini ga akan jadi masalah besar?" tanya Jonan setelah memastikan Airin benar-benar pergi.

"Santai aja. kalo orangtuanya ngancem dengan bawa-bawa kerja sama kita, gue ga takut. Mereka ga ada apa-apanya, Jo."

Apa yang dikatakan Elkan ada benarnya, jika mau bahkan dia bisa membuat perusahaan milik orangtua Airin hancur saat ini juga.

"Gue mau pulang. Lo suruh orang buat beresin semua ini, ya," lanjutnya.

"Oke. Jangan lupa nanti malem kita ke tempat Deon."

"Hm."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status