Share

Semakin menarik

"Kayaknya dia punya dendam kesumat sama gue. Dikira kaki gue ini baja berlapis karat kali, ya." Kalea masih saja mendumel sambil memijit kaki mulusnya. Tapi, setidaknya gadis itu bersyukur orangtuanya tidak mendapat surat panggilan. Bisa habis dia, jika mereka tau.

"Kaki kamu kenapa? Sakit?" Vita menghampiri putrinya yang duduk seorang diri.

"Enggak. Tadi ada pelajaran olahraga, jadi pada pegel, deh," cengirnya.

"Gara-gara HP, tuh."

"Kok HP, sih?"

"Kamu main HP terus jadi jarang olahraga. Liat tuh, masa tangan ga ada ototnya." Wanita paruh baya itu meraih lengan sang anak dan menggoyangkannya.

"Ga gitu juga, Mah, konsepnya," kata Kalea menatap kesal, sedangkan Vita terkekeh pelan.

"Mari masuk, Nak. Hati-hati jalannya."

Vita dan anaknya itu refleks melihat ke arah sumber suara. Wilan datang. Tapi, membawa siapa? Dengan penasaran mereka berjalan ke pintu utama. Sedikit terkejut melihat keadaan dua orang pria di sana berantakan.

"Loh, Papa udah pulang? Terus dia ngapain ke sini?"

"Aduh, ini loh suruh masuk dulu orangnya. Mah, abilin air minum buat nak Elkan, ya."

"Iya, Pah."

Kalea yang ditinggalkan di depan pintu hanya mampu menatap kepergian kedua orang tuanya. Dia baru saja diabaikan? Saat ia berniat masuk, tak sengaja matanya melihat bercak darah menetes di lantai. 'Siapa yang berdarah?'

"Ayo, diminum dulu." Wilan menyodorkan segelas air pada Elkan yang sudah dibawa istrinya.

"Terimakasih. Maaf jadi merepotkan."

"Ga merepotkan sama sekali. Daripada di rumah sendiri, biar Kalea yang bantu obatin, ya."

Kalea yang baru duduk di samping Wilan, menatap Papanya bertanya, "Emang kenapa, sih?"

"Jadi ceritanya.. "

-flashback ON-

Elkan menatap malas tiga orang lelaki yang terus  memukul jendela mobil. Mobil yang ditumpanginya terkepung. Motor para begal itu berada di depan dan belakang mobilnya. Ia sedikit menyesal melewati jalan sepi ini. Pikirnya, arah ini lebih cepat untuk segera ke rumah tanpa repot-repot terkena macet.

"Keluar! Kalo lo ga keluar, kita pecahin mobilnya!"

Tanpa ragu pria itu turun dari dalam mobil. Sebelumnya ia sempat masukan sebuah pistol ke dalam saku jas. Jangan ditanya Elkan mendapatkan benda itu dari mana. Ini adalah rahasia yang tidak diketahui orang-orang.

"Serahin kunci mobilnya!" ancam salah satu dari mereka dengan mengacungkan sebuah pisau.

"Uuu, santai." Elkan mengangkat kedua tangannya. "Ini mobil saya. Kenapa harus saya kasih ke kamu?"

"Banyak bacot ni orang. Habisin aja!" Mendapat kode dari pemimpin, mereka mulai menyerang Elkan bersamaan.

Mereka terlibat baku hantam dengan Elkan yang melawan seorang diri. Ketika pria itu berniat mengeluarkan pistol, ia menyadari bahwa ada sebuah mobil yang berhenti di belakang mobilnya. Saat itu juga, keluar seorang pria paruh baya yang berlari ke arahnya. Tunggu! Apa? Pak Wilan?

Niat Elkan sebelumnya diurungkan begitu saja. Tidak mungkin dia menggunakan pistol dihadapan Wilan. Mungkin pria paruh baya itu akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Ya walaupun itu ... Ekhem! Oke, lupakan yang itu.

Melihat orang didepannya sedikit tak fokus. Salah satu dari begal itu mencoba menusuk Elkan, namun karena terkejut Elkan justru menahan dengan tangannya. Dan tepat ketika pisau ditarik, sebuah luka sayatan merobek telapak tangan pemuda itu.

"Akh!!"

"Hey! Jangan kabur kalian!" Wilan yang berusaha mengejar mereka yang membawa kabur mobil milik Elkan, tapi sang pemilik sendiri justru menahannya.

Ponselnya menangkap foto mobil miliknya sendiri. Dia tak ingat plat nomor nya, karena terlalu banyak mobil membuatnya tak bisa mengingat satu persatu. Foto tersebut dikirimkan ke Jonan dengan keterangan waktu dan tempat.

"Biar saya lapor polisi."

"Ga perlu, pak," tolak Elkan.

"Tapi itu mobilnya-" Wilan tak melanjutkan ucapannya. Dia tersenyum paham mengingat seberapa kaya pemuda di hadapannya ini. Mungkin mobil tadi adalah sebagian dari recehannya.

"Tangan kamu kena pisau? Kita obatin di rumah saya saja, ayo," tawar Wilan.

"Terimakasih. Nanti saya obati di rumah sendiri aja, Pak."

"Sudah, Gapapa. Nanti saya minta Kalea untuk obatin kamu."

Kalea? Itu membuat Elkan berpikir ulang. "Yasudah kalau Pak Wilan bersikeras."

-flashback off-

Gadis tersebut meringis menatap luka di tangan Elkan dengan ngilu. Ia jadi membayangkan sendiri bagaimana sebuah pisau menggores telapak tangannya seperti itu.

"Kal! Ayo bantu obatin lukanya, nanti keburu infeksi," titah sang Ibu yang langsung diangguki anaknya. Gadis itu pergi ke kamar untuk mengambil kotak P3K.

"Nak, Elkan. Saya sama istri saya masuk dulu sebentar, ya. Nanti Kalea datang."

Elkan tersenyum dan mengangguk. Ia menatap luka di tangannya dengan wajah dingin. "Kalian pikir siapa yang kalian lawan?"

"Mana sini tangannya?" Kalea yang baru datang, duduk di samping pria itu.

"Benaran kamu bisa?"

"Tenang aja. Kalau gagal, paling lukanya tambah parah terus diamputasi."

"Hey!" Elkan menjauhkan tangannya dengan menatapnya tajam.

Kalea tertawa dibuatnya. "Bawel! Ayo, sini! Bercanda doang kali."

Elkan mendengus kesal. Ia memberikan tangannya dan membiarkan gadis di depannya mengobati luka tersebut. Pria itu tak henti-hentinya menatap Kalea dari samping. Jarak mereka yang sedekat ini juga membuat Elkan kembali mencium wangi khas milik gadis di hadapannya. Tanpa sadar, hal itu menjadi candunya sekarang.

Tak butuh waktu lama, tangan itu sudah diperban. Kalea yang selesai mengobati luka, membenarkan posisi duduknya. Betapa terkejutnya gadis itu ketika wajah mereka hanya berjarak beberapa centi. Terjadilah kontak mata diantara mereka.

"Shh ... Kamu mau menggoda saya?" tanya Elkan dengan suara husky-nya.

Kalea menunduk, lalu memperhatikan penampilannya. Apa yang salah? Ia memakai celana training panjang dengan t-shirt oversize. Kalau ada yang harus disalahkan, itu bukan penampilannya, tapi otak mesum pria itu.

Seolah mengetahui apa yang Kalea pikirkan, Elkan melepaskan gulungan rambutnya. Ya, sedari tadi ia salah fokus dengan leher putih mulus itu. Lagipula, pria mana yang tidak tergoda? Daripada terlihat sexy, saat ini Kalea terlihat menggemaskan dengan poni tipis yang sedikit menutupi jidatnya. Jangan lupa dengan mata bulat yang selalu menatapnya tak bersahabat.

"Ga cocok, kamu malah tambah jelek," ucapnya santai.

Jelek katanya? Sialan sekali pria ini! Sedetik kemudian ia mengulas senyum manis. Kalea menggeser duduknya mendekati Elkan, dengan tangan merangkul pria yang lebih tinggi darinya itu. Sedangkan Elkan kini seketika berubah tegang saat wajah mereka terasa dekat.

Ini bukan pertama kalinya Elkan sedekat ini dengan perempuan. Tapi, kenapa saat orang itu Kalea, jantungnya berdetak dua kali lipat. Dengan jarak sedekat ini, bagaimana jika tiba-tiba orang tua gadis ini datang? Masa bodoh dengan itu. Wajahnya memanas sekarang.

"Bilang aja kalau gue cantik, ga usah malu. Gue juga ga suka sama cowo yang perutnya buncit. Jadi, jangan terlalu percaya diri," bisiknya. Ia menepuk pelan pipi Elkan lalu pergi meninggalkannya dengan membawa kotak obat tadi.

Buncit? Satu kata itu membuat sudut bibir Elkan berkedut. Ia mengintip sedikit ke balik bajunya. Tidak tau saja kalau Elkan memiliki sixpack. Pria itu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Perlahan tangan Elkan memegang dadanya sendiri. Seulas senyum terukir di wajahnya ketika mengingat kejadian tadi, sampai sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.

"Nak, Elkan. Ayo ikut kita makan di sini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status