Share

Pertemuan yang tidak disangka

Olin kembali menapaki lantai rooftop salah satu gedung di Jakarta, ia memilih untuk duduk di ujung tepi gedung dengan membiarkan kakinya menggantung, meskipun dia perempuan ketinggian bukanlah menjadi sesuatu yang menakutkan untuknya. 

Malam ini dia tidak berniat untuk menghitung bintang, tangannya masih setia memegang buku-buku yang ia beli tadi sore, dengan semangat Olin membuka buku-buku itu dari plastik pembungkus, sambil membaca judul pada cover buku ingatannya melayang dimana dia memperebutkan salah satu buku dengan Bintang dan Langit.

Tanpa sadar sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman.

"Hmmm," Olin sejenak menarik nafasnya. 

Dia memilih salah satu dari puluhan buku itu untuk dibacanya, dengan niat yang besar dia mencoba mempelajari buku itu halaman demi halaman.

Beberapa menit membaca raut wajah Olin berubah serius, keningnya berkerut dan matanya menyipit menandakan dia bersungguh-sungguh. 

"Ternyata kamu disini."

Olin terkesiap dan menoleh ke sumber suara, Damar sudah berada dibelakangnya kemudian duduk di samping Olin tanpa menunggu Olin mempersilahkan. 

"Kamu, tahu darimana aku disini ?" Tanya Olin heran, keningnya berkerut dalam. 

"Gedung hotel ini milik rekan Ayahmu, hampir semua karyawan disini mengenalmu, bagaimana aku tidak mudah mencarimu." Jelas Damar. 

Mendengar penjelasan Damar raut kebingungan di wajah Olin sedikit berkurang, dia kembali fokus pada buku matematika yang dipelajarinya.  

Melihat ketidakpedulian Olin, Damar hanya menghembuskan nafasnya pelan, menatap ke penjuru kota dari atas gedung ini, namun setelah beberapa menit merasa diacuhkan, Damar akhirnya sedikit melirik kearah Olin lagi, sudut bibir Damar sedikit tersenyum saat melihat keseriusan Olin dalam belajar. 

"Kamu, seharian ini membeli buku-buku itu sampai tidak menjawab semua pesanku?" Tanya Damar yang masih tersenyum tipis. 

Olin sedikit tersadar jika sejak tadi dia mengacuhkan Damar, ekor matanya melirik Damar kemudian melirik kembali buku yang dibacanya, akhirnya Olin memilih untuk menutup buku tersebut, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Damar.

"Hari ini gue bertemu sama Bintang."

Olin menepuk kedua tangannya pelan, senyum terukir dibibirnya dengan hangat, dan menyipitkan matanya mencoba mengintimidasi Damar dengan tatapan tajamnya itu. 

"Hmm, Bintang?" Damar tertawa hambar, kepalanya menggeleng pelan. 

"Bukannya itu kerjaan kamu setiap hari? menghitung Bintang." Lanjutnya. 

Damar sudah mengenal Olin sejak kecil, dia sangat mengetahui apa saja yang sering Olin lakukan untuk membuatnya senang sendiri.

Menghitung Bintang, memperhatikan bulan yang pernah ia sangka mengikutinya kemanapun ia pergi, bahkan setia menunggu pelangi setelah hujan. 

"Bukan bintang yang itu maksud gue" Olin menggelengkan kepalanya, sambil tertawa singkat. 

Damar mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Olin.

"Maksud kamu?"

"Bukan bintang yang di atas langit, tetapi Bintang yang memiliki langit." Jelas Olin lagi. 

Dia tidak peduli apakah Damar mengerti penjelasannya atau tidak, tapi yang jelas Olin ingin Damar mengetahui jika tebakan Damar salah, justru Olin merasakan hari ini sangat istimewa.

Olin tidak pernah menyangka jika hari ini akan ia lalui dengan banyak kejadian yang membuatnya mengerutkan kening, menahan malu, bahkan adegan dimana Olin melihat ekspresi Bintang yang dipukul oleh Kak Alana bisa membuatnya terpingkal-pingkal jika mengingatnya.

"Ha... ha... ha," Olin tidak bisa menahan tawanya jika mengingat itu.

"Kamu kenapa?" Tanya Damar bingung. 

"Gak, gue nggak apa-apa" Olin mengibaskan tangannya. 

"Ayo, kita pulang !" Olin berusaha bangkit, dan beranjak meninggalkan Damar yang masih terlihat bingung.

Sebelum Damar beranjak dan mengikuti Olin dia mencoba menatap langit malam ini, masih banyak bintang yang terlihat terang dan bersinar, Damar masih mencoba menebak apa arti dari ucapan Olin tadi. 

Apa karena banyak bintang malam ini Olin menjadi terlihat hangat dan sering tersenyum?

Dengan dugaan itu Damar melangkah mengikuti Olin yang sudah jauh dari hadapannya. 

"Damar, ayo cepat !"

Damar tersenyum simpul menanggapi teriakan Olin.

***

Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya, jika biasanya Olin akan memulai sarapan dengan pakaian tidur tanpa mandi terlebih dahulu, tetapi hari ini Olin mengawali sarapannya dengan badan yang sudah segar dan wangi.

Dengan balutan kaos berwarna putih tulang dan rambut pendek yang ia cepol setengah, Olin terlihat lebih manis. 

Disela-sela aktifitasnya menyuap nasi goreng hangat, Olin masih menyempatkan diri untuk membaca buku matematika, sesekali wajahnya menoleh ke kanan dan kembali menyuap nasi goreng saat nasi itu sudah habis dimulutnya.

 "Wah, berbeda sekali kamu pagi ini."

Damar yang baru datang membawa berkas-berkas yang tidak Olin ketahui duduk berhadapan dengannya, sudut bibirnya tersenyum simpul memandang Olin yang sangat menikmati makanannya, sayang Olin hanya menggidikan bahunya acuh.

Olin sudah terlalu bosan dengan suasana yang selalu saja seperti ini setiap pagi.

"Pagi tadi, Ayahmu menghubungiku." Ucap Damar memberikan informasi.

Sesekali ia menyecap kopi di cangkirnya.

"Uhuk..Uhukk,"

Olin terbatuk karena kaget, tangannya dengan cepat meraih segelas airputih di sampingnya.

"Kenapa gak kasih tahu gue ?" Ucapnya setelah dia meneguk segelas airputih itu.

"Ini aku kasih tahu kamu," Jawab Damar menggoda.

"Bukan gitu maksud gue" sahut Olin merasa kesal.

"Kamu belajar semalaman ini, aku gak mau mengganggu istirahat kamu." 

Damar mencoba memberikan penjelasannya, walaupun dia tahu semua penjelasan itu akan tetap salah di mata Olin. 

"Damar, gue akan tetap bangun kapanpun Ayah memberikan kabar."

Olin membuang pandangannya mencoba menetralkan emosi, baru saja dia merasa baik pagi ini tetapi lagi-lagi Damar merusak perasaannya. 

"Aku sudah mengabari Ayahmu jika kamu sekarang rajin belajar, Ayahmu juga mengabarkan jika dia akan sangat sibuk dalam waktu dekat ini, kemungkinan dia tidak akan menghubungi kita, tetapi beliau berpesan untuk tidak perlu khawatir."

Damar mencoba menjelaskan kembali, berharap Olin dapat mengerti.

Dengan wajah datar Damar memotong daging yang disediakan maid khusus untuknya.

Olin mengelap sisa minyak di mulutnya dengan tissue, dia segera beranjak dari meja makan tidak lupa membawa buku-buku yang sedang dipelajarinya. 

"Hari ini kamu harus ikut aku." Damar menginterupsi, dan langkah Olin berhenti tiba-tiba. 

Olin menarik napas panjang sebelum dia membalikan tubuhnya. 

"Aku mau belajar seharian hari ini." Kata Olin menolak.

"Justru karena kamu sedang giat belajar lagi untuk persiapan sekolah, Aku sudah menyiapkan tempat private terbaik."

Damar mengelap sisa minyak dibibirnya setelah dia mengucapkan itu. 

Olin jengah, dia menatap datar Damar di hadapannya. 

"Ayahmu yang menyuruhku, Olin." Tutup Damar mengakhiri sarapannya pagi ini. 

***

Olin dan Damar masih mengelilingi koridor gedung private yang dijanjikan Damar tadi pagi.

Gedung ini terlihat mewah dan luas, jika dilihat dari gedungnya saja bisa dipastikan pastilah orang-orang berduit yang akan belajar di sini.

Saat ini mereka masih berdebat masalah les private yang harus Olin jalani sebelum nanti masuk sekolah barunya.

Sebenarnya bukan berdebat, karena sejak tadi Olin hanya mendengarkan semua penjelasan Damar mengenai kualitas dari tempat private ini, baik fasilitas maupun kualitas guru yang akan mengajar, seingat Olin dia hanya mengucapkan satu kalimat untuk menolak ini semua. 

"Bagaimana, bagus bukan?" Tanya Damar setelah ia selesai dengan semua penjelasannya yang terasa membosankan di telinga Olin. 

"Olin," Tegur Damar karena merasa diacuhkan.

Olin melirik sekilas dan menghela nafas, sejak tadi dia hanya memainkan kuku jarinya karena bosan.

"Kan, udah gue bilang daritadi kalau gue cukup dengan belajar di rumah saja." Jelas Olin lagi. 

Kali ini giliran Damar yang menghela napas lelah, dia berulang kali mencoba agar Olin paham tentang maksud dan tujuan baiknya. 

"Permisi Pak Damar." Seorang paruh baya menyapa Damar dengan sopan. 

Baik Olin ataupun Damar menoleh, ternyata dia adalah seorang pengelola dari instansi private di sini.

"Oh, Pak Rangga." Damar membalas sopan Pak Rangga. Sedangkan Olin hanya menundukan kepalanya sekaligus tersenyum ramah. 

"Apa ini Carolin, calon siswa yang akan belajar di sini?"

Pak Rangga mencoba menebak apakah benar bahwa gadis dihadapannya ini adalah gadis yang dimaksud Damar. 

"Ah, benar Pak, kenalkan ini adik saya Carolin." Damar mempersilahkan Olin berkenalan dengan Pak Rangga secara langsung. 

Beberapa menit, mau tidak mau Olin harus terperangkap dalam perbincangan yang sejak tadi membuatnya bosan, selain dia tidak mengerti arah perbincangan itu, Olin juga merasa tidak tertarik sama sekali untuk mengerti, sampai akhirnya perhatiannya teralihkan pada seorang pemuda berkemeja hitam dengan seorang perempuan paruh baya berkacamata dengan perawakan besar. 

"Kalau bukan karena kamu bisa diandalkan di instansi ini, dan Ibu mengenalmu sejak kecil, Ibu tidak akan membantumu lagi."

Suara dari kejauhan itu masih bisa didengar jelas oleh mereka bertiga dari koridor yang memang sepi ini.

Damar yang sedang asik berbincang sedikit melirik dan memperhatikan pertengkaran yang terjadi disana. 

"Ah, maaf Pak Damar, biasa anak magang di sini, masalah kecil saja." Pak Rangga seperti bisa menebak apa yang dipikirkan oleh Damar dan Olin. 

"Ah, iya Pak, maaf juga saya jadi hilang fokus." Sahut Damar ramah.

"Hmm, Pak Rangga, maaf saya tinggal sebentar ke toilet." Olin meminta ijin pada dua pria yang sedang asyik berbincang itu. 

Setelah mendapatkan ijin, Olin segera meninggalkan mereka menjauhi lorong.

Sebenarnya Olin hanya beralasan, pergi ke toilet hanyalah alibinya agar menghindar dari mereka, Olin lebih tertarik pada pria yang dilihatnya tadi.

Bintang.

Pria yang sedang ditegur tadi adalah Bintang, Olin tidak menyangka akan bertemu pria itu di sini, daripada mendengar perbincangan membosankan lebih baik dia mengikuti pria itu. 

***

Langkah Olin sedikit berjinjit pada sebuah ruangan di ujung koridor yang jarang terjamah orang-orang, sepertinya ini wilayah para karyawan atau guru-guru yang mengajar.

Langkah pelannya terhenti saat dia benar-benar berada tepat di depan pintu ruangan. 

"Ruang khusus pengajar" Olin mendongak, mencoba membaca papan nama pada pintu ruangan.

Oke, benar dugaannya.

Dia sengaja merapatkan tubuhnya pada dinding pintu ruangan, Olin sengaja melakukan itu agar tidak ada orang yang curiga jika dia berusaha menguping.

"Saya mohon kasih saya kesempatan, Bu." Olin bisa mendengar suara Bintang dari balik pintu ini. 

"Saya sudah memberikan kamu banyak kesempatan, Bintang."

Olin meneguk salivanya susah payah, sepertinya ini pembicaraan serius.

"Tapi, saya benar-benar butuh pekerjaan ini."

"Tapi darimana Ibu bisa memberikanmu gaji, kalau kamu belum bisa mencapai target untuk menarik siswa private di sini, jika saja Ibu tidak mengenalmu sebagai siswa yang berprestasi di sekolah, Ibu mungkin saja sudah memberhentikan pekerjaanmu di sini."

"Saya akan berusaha mendapatkan siswa-siswa itu untuk mencapai target bulan ini, kasih saya waktu satu minggu, Bu." Ucap Bintang yakin. 

Wanita paruh baya bertubuh gempal itu membenarkan letak kacamatanya, sebenarnya dia sudah bosan mendengar Bintang selalu mengatakan hal itu berulang kali, tetapi akhirnya dia memberikan kesempatan lagi untuk Bintang.

"Berikan janjimu itu dalam minggu ini." Wanita itu menggeleng pelan dan melangkah pergi keluar ruangan.

Bintang bisa tersenyum senang sekarang.

Dia tidak peduli apakah dalam satu minggu ini dia akan bisa mendapatkan jumlah siswa sesuai target, dia benar-benar tidak ingin memikirkan hal itu saat ini, sekarang dia hanya ingin bernapas lega terlebih dulu karena tidak jadi kehilangan pekerjaan di waktu libur sekolahnya. 

"Oh, ya bereskan buku-buku di atas meja saya, harus rapi seperti mejamu itu !"

Wanita itu menoleh lagi, dan menunjuk meja kerja yang dimaksud dengan Gerakan kepalanya. 

"Baik, Bu" Bintang menganggukan kepalanya patuh dan tersenyum singkat.

 

Kreeeek…

Pintu terbuka lebar, Olin hampir saja terkena serangan jantung karena wanita itu membuka pintu dengan kasar.

"Kamu, cari siapa ya?" Tanya wanita itu menurunkan setengah kacamatanya. 

Olin yang belum mempersiapkan alasan hanya melebarkan bola matanya, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, sesekali dia mengusap tengkuknya yang tidak gatal. 

"Hmm.. itu Bu, saya mencari… mencari Pak Rangga." Ucap Olin terbata-bata.

Untung saja dia bisa menemukan alasan di waktu yang tepat, walaupun terkesan bodoh, tetapi itu sangat membantu.

"Pak Rangga bukan di sini ruangannya, ini ruang pengajar, bisa lihat." Ucap wanita itu tegas sambil menunjukan nama ruangan pada papan di dinding pintu. 

"Ruangan Pak Rangga masih di ujung koridor sana." Lanjutnya.

Melihat Olin mengangguk-anggukan kepalanya, wanita itu merasa jika Olin sudah paham, tanpa pamit dia pergi dari depan ruangan pengajar itu.

Olin masih terus memperhatikan wanita itu hingga menghilang di tikungan koridor, setelah itu Olin mengintip ruang pengajar dari kaca jendela.

Dari sini dia bisa melihat situasi di dalam, Olin bisa melihat Bintang yang sedang sibuk memindahkan tumpukan buku di salah satu meja kerja ke rak buku di pojok ruangan, bola mata Olin menelusuri seisi ruangan itu, baguslah tidak ada orang lain di sana.

Dengan sedikit tergesa-gesa Olin segera menekan handle pintu, dan memasuki ruangan itu tanpa permisi. 

"Bintaaang," Sapa Olin, setelah dia masuk.

Bintang yang sedang membawa tumpukan buku sedikit terperanjat kaget dengan kehadiran yang tiba-tiba itu, dia menolehkan kepalanya dan lebih kaget lagi karena yang menyapanya adalah…

"Loe ?" Bintang mengerutkan keningnya.

Dia ingat dengan gadis ini, tetapi Bintang lupa siapa namanya. 

"Ck, loe lupa sama gue?" Olin segera mendekat sambil memperhatikan seisi ruangan di sini.

"Gue, Olin" lanjutnya.

"Ah, iya Olin, loe kenapa bisa ada di sini ?" Tanya Bintang yang masih memperhatikan Olin yang mondar-mandir. 

"Gu" Ucap Olin memastikan. 

Bintang menganggukan kepalanya, secara tidak sadar tubuhnya mengikuti arah Olin berkeliling ruangan. 

"Gue calon siswa yang akan ikut private di sini" Jelas Olin.

"Oh," Sahut Bintang singkat. 

Rasa penasaran Bintang menghilang dengan cepat setelah mendengar penjelasan Olin, dengan wajah malas dia membalikan tubuhnya dan melanjutkan kegiatannya kembali, dia tidak bisa menjamu Olin dengan baik karena pekerjaannya masih banyak di sini. 

Olin memanyunkan bibirnya melihat Bintang yang sibuk sendirian dan tidak mempedulikan kehadirannya, dengan wajah penasaran Olin mendekati Bintang, mencoba bertanya sesuatu yang sejak tadi membuatnya penasaran. 

"Loe, kerja di sini ?" Tanya Olin setelah dia berada didekat Bintang, tepat di belakang punggung Bintang. 

"Ya, gue jadi pengajar di sini, tapi hanya guru bantu, Bu Muti yang mengajak" Jawab Bintang dengan menganggukan kepalanya dan tersenyum.  

"Wah, hebat sekali" Olin membulatkan kedua matanya, tidak menyangka jika pria yang baru dikenalnya itu adalah seorang pengajar yang sudah pasti dia pintar, tentu saja pintar jika tidak mana bisa mengajar. 

"Loe ada perlu apa masuk ruang pengajar, siapa guru private loe ?" Tanya Bintang yang sudah selesai Menyusun buku-buku di dalam rak. 

Dia menepuk kedua telapak tangannya pelan, dan tersenyum tipis melihat hasil pekerjaannya sudah rapih, dengan santai dia kembali ke meja kerjanya, rasanya badannya membutuhkan kursi empuk saat ini. 

"Gue masuk karena ada loe di sini" Jawab Olin sambil mengikuti langkah Bintang, dan ikut duduk dihadapan Bintang sekarang. 

"Karena gue ?" Kening Bintang berkerut.

"Ya, gue tadi lihat loe dimarahi sama Ibu tadi."

"Ha..ha… dia Ibu Muti, guru gue di sekolah, dia yang bantu gue dapat mengajar di sini." Bintang mencoba menjelaskan pada Olin.

"Dia selalu seperti itu kalau  ada pengajar freelance yang belum mencapai target."

Olin yang sejak tadi menganggukan kepalanya mencoba mengerti penjelasan Bintang, sedikit tidak paham dengan penjelasan Bintang tentang target.

"Target ? maksudnya bagaimana?'

"Yah, gue harus mendapatkan siswa-siswa untuk ikut private di sini, dan untuk gue ajar, kalau jumlah siswa yang gue dapat gak sesuai dengan apa yang ada dikontrak, maka kontrak gue akan dihentikan." Jelas Bintang kembali.

Dia menyandarkan kepalanya pada kursi kerja, dan membuang nafas pelan.

Dari raut wajah Bintang saat ini Olin bisa menebak jika Bintang sedang tidak baik. 

"Loe butuh banget pekerjaan ini ? loe kan masih sekolah" Tanya Olin sedikit sungkan. 

Mendengar pertanyaan Olin, Bintang sedikit membuang nafas, dia kembali menegakan tubuhnya yang sejak tadi menyandar, Bintang memperhatikan Olin yang sejak tadi seperti penasaran dengan jawabannya. 

"Yah, keluarga gue lagi butuh uang, jadi gue terpaksa bekerja, setiap pulang sekolah gue mengajar private di sini."

"Butuh uang untuk apa?"

Olin sama sekali tidak bisa mengendalikan rasa penasarannya, hingga tidak bisa menyaring mana yang perlu ditanyakan dan mana yang tidak.

Bintang mengedarkan pandangannya kesegala arah, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan terakhir Olin, tetapi dia mencoba menahannya.

"Bukannya semua orang butuh uang ?" Bintang menjawab tanpa menatap Olin.

Olin yang menyadari jika Bintang sedikit tersinggung dengan pertanyaan terakhirnya sedikit menghembuskan nafas dan menundukan kepalanya menyesal, dia mencari-cari cara agar terbebas dari rasa penyesalannya sudah bertanya hal itu pada Bintang.

Dapat, Olin mendapat cara.

Dengan semangat dia kembali mendongakkan kepalanya menatap Bintang yang masih memperhatikannya. 

"Gimana kalau gue bantu loe." Ucap Olin dengan mata berbinar.

"Gimana caranya ?" Bintang mengerutkan keningnya.

"Gue bisa, tenang saja dalam satu minggu target loe akan tercapai" sambung Olin yakin.

Bintang tidak menjawab, dia masih tidak mengerti kenapa perempuan dihadapannya ini semangat dan yakin bisa membantunya.

Perilakunya menunjukan seolah-olah mereka sudah dekat, tetapi Bintang tidak peduli, dia hanya menganggukan kepalanya, membuang wajahnya lelah. 

Olin baru beberapa hari mengenalnya, dia juga merasa baru dua kali bertemu gadis itu, kenapa  Olin sangat yakin seolah-olah dia sudah mengerti apa masalah yang dihadapi Bintang selama ini. 

"Tapi ada syaratnya." Olin menginterupsi dengan menyipitkan matanya.

"Hah," Bintang kali ini menunjukan ekspresi kaget. 

Dia kira Olin dengan tulus akan membantunya, ternyata dia memiliki maksud terselubung, jika Olin mengajukan persyaratan yang terlalu berat lebih baik tidak perlu, pikir Bintang dalam hati. 

"Gak sulit kok, syaratnya cuma satu" Olin menunjukan satu jarinya, menjelaskan jika hanya satu syarat yang dia butuhkan.

"loe yang mengajar gue selama gue belajar di sini." Jelas Olin lagi tersenyum bangga dan menjentikan jempolnya dihadapan Bintang. 

Mendengar penjelasan yang diajukan Olin, Bintang sedikit menahan tawa, kepalanya menggeleng pelan.

‘Jadi pengajarnya’.

Apakah itu yang dimaksud Olin dengan sebuah persyaratan?

"Kenapa loe geleng-geleng, loe gak setuju ?" Tebak Olin menjawab ekspresi dari Bintang. 

Olin merengut kesal. 

"Bukan, gue setuju kok" Jawab Bintang sambil menghembuskan napasnya. 

Wajah Olin yang terlihat kesal berubah menjadi wajah yang berbinar, dia senang Bintang menyetujui persyaratannya, jika saja Olin tahu sejak awal kalau Bintang adalah salah satu pengajar di tempat ini dan akan mengajarnya, maka dengan senang hati Olin akan menerima ajakan Damar untuk private di sini. 

"Loe, mau kemana ?" Olin terkesiap melihat Bintang beranjak dari tempatnya. 

"Pulang, ini sudah waktunya gue pulang."

Bintang membungkukkan setengah tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada wajah Olin. 

Olin terdiam beberapa detik, dari jarak sedekat ini aroma parfume dari tubuh Bintang bisa Olin hirup, aroma mint bercampur strawberry, Olin belum pernah mencium harum yang seperti ini dari tubuh pria, terasa sangat manis. 

"Gue ikut, ya" Olin ikut beranjak berdiri dan mengikuti Bintang. 

"Mau ngapain ?"

"Kemarin kan gue belum ketemu nyokap loe" Jelas Olin. 

Bintang berbalik menghadapkan tubuhnya pada Olin, Bintang memperhatikan Olin dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

Olin yang diperhatikan hanya mendongak menatap Bintang yang lebih tinggi darinya dengan tersenyum lebar. 

Bintang mengangguk-anggukan kepalanya mengamati Olin, hari ini Olin terlihat lebih sederhana dengan balutan hoodie berwarna putih, rambut pendeknya dia kucir setengah, dan tidak ada polesan make up yang tebal di wajahnya, bibir tipisnya hanya dipoles dengan lipgloss dengan warna nude.

Manis, pikir Bintang dalam hati.

"Oke, kali ini Ibu gue bisa melihat loe." JawabBintang setelah diam beberapa detik.

"Yess, kalau begitu ayook !" Olin dengan semangat menggandeng tangan Bintang. 

***

Olin masih terus menggandeng tangan Bintang hingga mereka berada di koridor, perasaan Olin sangat senang sampai dia lupa jika sejak tadi dia menggandeng tangan seorang pria.

Bintang yang digandeng pun masih terperangah, dia tidak menyangka Olin akan berani menggandeng tangannya hingga dilihat oleh beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, diantaranya ada siswa yang Bintang kenal.

"Eh…eh tunggu !" Olin menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat Bintang sedikit kaget. 

"Kenapa ?" Tanya Bintang bingung. 

"Gue gak bisa, sorry gue lupa" Olin sudah berhadapan dengan Bintang. 

"Lupa apa ?" Tanya Bintang lagi.

"Gue diantar, hehe" Jawab Olin tersenyum lebar, dia sedikit menundukan wajahnya merasa malu dengan Bintang.

"Yasudah, sekalian saja yang mengantar ikut."

"Ckk, Bukan gitu maksud gue."

"Terus kenapa ?"

"Gue jelasin juga loe gak bakal paham, yasudah intinya hari ini gue gak jadi ikut loe." Olin sedikit menjelaskan. 

Bintang masih terdiam, dia mengerutkan keningnya tidak mengerti apa yang dimaksud Olin.

"Sudah, intinya loe pulang aja sekarang ! Gue janji bakal main ke rumah loe, kapan-kapan." Olin mendorong-dorong tubuh Bintang agar beranjak pergi. 

Bintang benar-benar tidak mengerti apa yang dimau gadis ini, tadi dia yang ingin ikut, sekarang dia memaksa Bintang untuk pergi seolah-olah sejak tadi Bintang yang memaksanya untuk ikut. 

"O..oke…oke gue pergi" Ucap Bintang kesal, dia mengangkat kedua tangannya setengah ke udara. 

Tanpa banyak protes Bintang segera pergi meninggalkan Olin, dia bergidik memikirkan perilaku gadis itu, sedangkan Olin memperhatikan Bintang yang berjalan menjauh, wajahnya cemberut kesal karena dia gagal untuk ikut pria itu, kenapa dia bisa lupa dengan Damar.

"Huft," Olin menghembuskan napasnya, bola matanya melirik ke segala arah. 

Dengan perasaan kecewa dan sedikit kesal, dia melangkahkan kaki berniat mencari Damar dan akan memintanya untuk segera pulang. 

***

"Kamu kemana saja, Olin ?" Damar langsung bertanya saat Olin jalan mendekat ke arahnya.

Hampir satu jam dia menunggu Olin di depan mobil yang diparkir, Damar sudah menghubungi Olin sejak tadi tetapi tidak diangkat, pesannya pun tidak dibalas. 

"Sory, kita pulang sekarang !" Ucap Olin langsung masuk ke dalam mobil. 

Dia tidak berniat untuk meladeni Damar yang terlihat kesal, wajar saja dia kesal Olin pamitnya ke toilet dan hampir satu jam dia tidak mengabarkan Damar.

Melihat wajah Olin yang lesu, Damar menyimpan kembali amarahnya, dia tidak bisa emosi pada Olin dalam waktu yang lama, melihat Olin yang sudah masuk ke dalam mobil, Damar akhirnya ikut masuk. 

"Bagaimana menurut kamu tempat private itu, Lin ?" Damar bertanya disela kesibukannya menyetir. 

Olin yang melamun sambil menyandarkan tubuhnya pada jok, sedikit menoleh ke arah Damar. 

"Hah, bagus kok, tempatnya bagus sekali, gue suka." Jawab Olin terkesiap.

Damar tertegun mendengar jawaban Olin, dia sedikit kaget dan tidak menyangka jika Olin akan menjawab seperti itu.

"Gue mau private disana." Sambung Olin lagi, kemudian dia membuang wajahnya memandang keluar jendela. 

Damar lebih kaget dari sebelumnya mendengar itu, bukankah sejak awal Olin yang sama sekali tidak setuju, kenapa tiba-tiba dia mau dan setuju.

"Kenapa ?" Tanya Damar heran.

"Apanya yang kenapa ?" Olin menoleh kembali pada Damar.

"Kenapa tiba-tiba setuju ?" Jelas Damar.

Olin sedikit tersenyum, tiba-tiba saja dia mengingat pertemuannya dengan Bintang tadi, semua ini karena pria itu, Olin merasa akan semangat belajar jika pria itu yang akan menjadi guru privatenya.

"Tidak ada alasan, satu jam lebih gue berkeliling sendirian, ternyata loe benar, di sana guru-gurunya berkualitas" Jawab Olin tersenyum. 

Damar yang mendengar penjelasan Olin hanya manggut-manggut, dia mencoba menyingkirkan rasa tidak percaya dari penjelasan Olin, kemudian dia kembali fokus pada jalan yang terlihat ramai.

***

Di tempat yang berbeda Bintang berjalan kaki di dalam gang yang sempit, tangannya membawa satu kantong palstik kresek yang berisi gorengan tahu.

Sebelum pulang, Kakaknya memesan untuk dibelikan, dengan senyuman tipis dia memasuki rumahnya setelah sampai. 

"Assalamualaikum," Ucap Bintang memberi salam.

"Wa alaikum salam. Kak Bintang," Langit yang sedang menonton acara televisi di ruang tamu menyambutnya hangat.

Bintang tersenyum dan menghampiri Langit untuk duduk di kursi. 

"Mana mama ?" Tanya Bintang saat dia merasa rumahnya sepi. 

"Mama tadi keluar Kak, tadi ada om-om yang cari Mama sama Nenek" Jelas Langit.

Bintang mengerutkan keningnya, dia tidak paham apa yang dimaksud oleh keponakannya itu. 

"Om-om ? siapa ?" Tanya Bintang penasaran. 

"Langit nggak kenal Kak."

Bintang sedikit termangu memikirkan siapa yang dimaksud Langit, dan untuk apa mencari Ibu dan Kakaknya.

‘Itu apa, Kak ?" Tanya Langit memperhatikan kantong yang dibawa Bintang.

"Ini gorengan tahu, kamu mau ?" Bintang tersadar dari lamunannya, dia menawarkan isi dalam kantong itu kepada Langit. 

"Mau, Kak"

Dengan semangat Langit membuka isi kantong plastik itu dan memakan tahu itu dengan lahap, Bintang hanya tersenyum tipis melihatnya.

"Jangan dihabiskan ya, sisakan untuk mama kamu" Kata Bintang mengingatkan. 

Langit hanya menganggukan kepalanya, tangannya masih semangat menyantap gorengan tahu itu dengan lahap.

Sedangkan Bintang kembali melamun memikirkan siapa yang mencari Ibu dan Kakaknya, tidak biasanya kakaknya meninggalkan Langit sendirian di rumah, jika ada keperluan dia pasti akan mengajak Langit, atau akan menitipkan Langit padanya di tempat private. 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status