Share

Tidak Berpihak

Olin memoles bibir tipisnya dengan lipstick berwarna merah, entah kenapa dia sangat menyukai warna lipstick itu di usianya yang masih belia, belum genap tujuh belas tahun.

Rambut pendek sebahunya dia biarkan bergelombang dengan warna rose gold yang menawan, kalau dilihat-lihat penampilannya sangat jauh dari gadis remaja di usia SMA.

Olin menghentikan gerakan tangannya yang sedang merapihkan rambut, ditatapnya pantulan dirinya lewat cermin rias, dan sejenak berpikir, apakah karena hampir satu tahun tidak melanjutkan Pendidikan SMA dia menjadi terlihat lebih tua dari usianya saat ini.

“Nggak,”

Olin segera menampik pikirannya itu, kepalanya menggeleng-gelang dan terakhir dia menghembuskan napasnya, pipinya terlihat menggembung, lucu.

“Gue gak tua, ini penampilan yang menawan.” Lanjut Olin meyakinkan diri.

Kali ini Olin mengangguk yakin, dia melanjutkan merapihkan rambutnya kembali.

Kreeek

Pintu kamarnya dibuka oleh seseorang, Olin tidak mengalihkan perhatiannya pada cermin rias, dia tahu siapa yang berani memasuki kamarnya tanpa ijin jika pintu kamarnya tidak ia kunci.

“Kamu sudah siap ?”

Damar yang sudah berdiri disamping Olin bertanya dengan senyuman yang terlihat segar pagi ini. Olin hanya melirik sekilas Damar dari cermin riasnya, tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

Olin sudah bersiap-siap sejak pukul lima pagi, entah semangat dari mana, tetapi rasanya dia sangat senang saat Damar mengajaknya ke tempat private yang akan Olin gunakan untuk belajar sebelum dia memasuki sekolah barunya nanti. Mungkin dia tahu jika di tempat itu dia bisa bertemu dengan Bintang.

“Selesai, Ayo tuan Damar ! kita nggak bisa menunggu lama.” Ucap Olin setelah dia selesai memakai jaket kulit merah pada tubuhnya yang ramping.

“Semangat sekali kamu hari ini.”

Damar tersenyum hangat melihat semangat Olin, apalagi gadis itu menggandeng tangannya seperti seorang pengantin. Ah, Damar sangat merindukan sikap Olin yang seperti ini kepadanya.

                                                            ***

“Semalam, kamu pergi kemana ?”

Damar mencoba memulai obrolan dengan Olin, sejak tadi gadis itu hanya memandang keluar jendela, Damar bisa melihat wajah Olin yang berseri pagi ini, senyum itu belum juga pudar dari bibir gadis manis itu.

“Aku ?” Oline mengerutkan alisnya untuk berpikir.

“Tidak kemana-mana hanya menatap langit Jakarta malam hari.” Lanjut Olin menoleh pada Damar yang sedang menyetir. 

“Jangan ulangi kejadian semalam !”

“Kenapa ?” Tanya Olin heran.

Damar menoleh sekilas menatap Olin yang sedang mengerutkan alisnya.

Pria itu menarik napas dalam, dia tidak ingin merusak suasana hati Olin yang sedang baik pagi ini, walaupun Damar yakin Olin pasti mengerti maksud Damar mengucapkan kalimat perintah itu.

Damar mengalah lagi, dia menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum tipis, dirinya kembali fokus pada jalan Jakarta di pagi hari yang sudah pasti ramai dan macet.

Olin kembali menatap keluar jendela mobil, perasaannya sedikit lega karena Damar tidak membahas hal yang menyebalkan menurutnya.

Tetapi rasanya dia perlu menjelaskan kepada Damar kemana dirinya semalam, mengingat pria itulah yang bertanggung jawab terhadap dirinya selama tinggal di kota ini.

“Semalam gue cuma ke proyek pembangunan paman Sam,” Olin mencoba menjelaskan.

“Lihat langit malam, cari udara segar, terus lihat bintang,” Lanjut Olin tersenyum.

Bukan, bukan tersenyum untuk Damar, tetapi tersenyum mengingat kejadian semalam yang dilaluinya bersama Bintang, pria itu menjelma menjadi sosok teman baru baginya.

Damar hanya memperhatikan Olin sekilas lalu mengangguk, dia tidak ingin membahas hal itu, dia tidak ingin terpancing untuk membuat Olin kesal padanya.

                                                                   ***

Olin masih sibuk memperhatikan kanan dan kirinya, sesekali dia mencuri-curi pandang dan tersenyum manis pada Bintang yang berada tepat di belakangnya, pria itu sedang sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang Olin tidak ketahui.

Saat ini Olin sedang berada di ruang pengajar bersama Damar dan Bu Mitha, mereka sedang membahas mengenai Olin yang akan belajar private di sini, Damar perlu mengetahui pengajar-pengajar terbaik untuk Olin, dia ingin memberikan semua yang terbaik untuk gadis itu.

“Jadi, kapan Olin bisa mulai belajar di sini ?”

Damar sejak tadi sibuk berdiskusi dengan Bu Mitha salah satu pengajar senior yang dipercaya oleh pengelola tempat private.

“Oh, secepatnya, kapan saja Olin siap,”

Bu Mitha tersenyum ramah, sesekali memperhatikan Bintang dan Olin yang diam-diam saling memperhatikan.

Olin tidak peduli, yang dia pedulikan adalah dia akan menjadi salah satu murid di kelas private ini, dan dia akan diajar oleh teman barunya, tentu saja Bintang. Olin tersenyum senang memikirkan apa yang sedang di imajinasikannya.

“Bagaimana Oline ?” Bu Mitha sekarang mengajak Olin berbicara.

“Ya, ada apa ya, Bu ?” Olin terkesiap saat pengajar bertubuh gempal itu fokus kepadanya.

“Kapan kamu mau mulai belajar di sini ?” Bu Mitha tersenyum ramah.

“Ibu sudah siapkan kelas terbaik dan pengajar terbaik sesuai permintaan, Pak Damar.” Bu Mitha melanjutkan ucapannya.

“Saya bisa sekarang juga, Bu.” Ucap Olin antusias.

Bu Mitha dan Damar saling berpandangan, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, ternyata sejak tadi Olin sama sekali tidak memahami apa yang Bu Mitha dan Damar bicarakan.

“Lin, gak bisa hari ini juga, kamu baru daftar hari ini, sekarang hanya bisa menentukan siapa pengajar kamu,” Damar mencoba mengulangi penjelasan yang Bu Mitha sampaikan kepadanya tadi.

“Loh, begitu,” Olin menggembungkan pipinya.

“Terus pengajarku, siapa ?” Tanya Olin.

Bu Mitha membenarkan letak kaca matanya, dia tersenyum manis dengan rasa percaya diri yang besar.

“Hmm, Saya. Saya yang akan mengajar kamu di sini.” Ucap Bu Mitha tersenyum menampilkan deretan giginya.

“Hah, nggak.” Olin terkesiap.

Tanpa sadar dia berteriak dan menggelengkan kepalanya tidak setuju, membuat Bu Mitha, Damar, dan juga Bintang yang sejak tadi diam-diam memperhatikan mereka ikut terkesiap.

“Aku, nggak mau di ajar sama Ibu,” Ucap Olin tanpa ragu, hilang sudah semua khayalan dia belajar dengan Bintang.

“Loh ?” Ucap Bu Mitha kaget.

“Lin, kamu kenapa sih ?”

Damar melotot pada Olin yang sejak tadi menggeleng-geleng kepala.

“Katanya mau belajar di tempat ini ?”

“Ya, aku mau belajar di sini, tapi gak mau di ajar sama Bu Mitha, juga.”

“Terus kamu mau dengan siapa ? aku udah minta pengajar terbaik di sini.”

Olin diam memperhatikan sekitar, bibirnya cemberut tanda dia sedang kesal, dia tidak peduli jika Bu Mitha kesal atau tersinggung karena ulahnya, dia berniat belajar di sini karena satu alasan, jika tidak ada alasan itu dia juga tidak akan  menerima permintaan Damar untuk belajar di tempat ini.

“Siapa, kamu mau di ajar oleh siapa ?” tanya Damar lagi.

“Dia, aku mau di ajar sama dia.”

Baik Damar dan Bu Mitha mengikuti arah tangan Olin yang menunjuk seorang pemuda, Bintang. Ya, Bintang.

“A..aku ?” Bintang menunjuk dirinya sendiri, ikut kaget dengan keputusan Olin.

“Ya, kamu.” Olin mengangguk dan tersenyum antusias.

“O..Olin, tidak bisa,” Bu Mitha segera berdiri dari kursinya.

“Dia itu pengajar freelance, bukan pengajar terbaik di tempat ini,” Jelas Bu Mitha sedikit kesal.

“Iya, memang kenapa ?” Olin membalikkan tubuhnya menghadap Bu Mitha.

“Dia itu murid Ibu,”

“Olin, sebaiknya kamu di ajar oleh pengajar terbaik, aku sudah membayar di kelas mahal agar kamu mendapat fasilitas yang baik di sini,” Damar ikut menjelaskan.

“Tapi gue menerima belajar di sini karena dia,” Olin menunjuk Bintang lagi.

Melihat hal itu Bu Mitha melotot pada Bintang yang sejak tadi hanya diam memperhatikan perdebatan mereka, mendapat pandangan seperti itu dari Bu Mitha, Bintang segera menundukkan wajahnya, hatinya ikut waspada melihat kejadian ini.

Waspada takut dipecat secara sepihak.

“Saya, permisi dulu Bu Mitha,” Pamit Bintang meninggalkan ruang pengajar.

Olin hanya melirik Bintang dengan tatapan kesal, kedua tangannya ia silangkan di depan dada, raut wajah Olin berubah tidak suka, dia tidak suka jika keinginannya tidak terpenuhi.

“Oke, kalau gitu, kita pulang, saya tidak jadi untuk private di tempat ini,”

Olin melirik sekilas Damar dan Bu Mitha, kemudian meraih tas merahnya di samping kursi yang ia duduki.

“Lin, kamu ada apa sih ?” Tanya Damar heran.

Olin tidak menggubris ucapan Damar, dia tidak peduli.

“Permisi,” Ucapnya, kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan ini.

“Olin,” Damar mencoba memanggil, tetapi tidak dipedulikan oleh Olin.

“Maaf Bu Mitha, saya akan mencoba berbicara pada Olin,”

Damar membungkukkan setengah tubuhnya, meminta maaf pada Bu Mitha atas kejadian yang sama sekali Damar tidak sangka akan terjadi.

Setelah mendapatkan senyuman dan anggukan kepala dari Bu Mitha, Damar pamit untuk menyusul Olin, dia akan meminta penjelasan dari gadis itu.

                                                                ***

“Lin, Olin…”

Suara Damar terkesan berteriak di koridor jalan yang sedikit ramai dengan orang-orang berlalu-lalang.

Damar mencoba mengejar langkah Olin yang semakin cepat, Damar sama sekali tidak paham apa yang diinginkan gadis itu.

“Lin, tunggu aku !”

Damar berhasil mengejar langkah Olin, ditariknya tangan Olin agar bisa menghadap kepadanya.

“Apa ? lebih baik kita pulang, gue capek,” Ucap Olin kasar menepis tangan Damar.

“Kamu itu kenapa sih, untuk apa bersikap seperti tadi ?”

“Loe itu yang kenapa ? kenapa gak dukung keinginan gue ?”

Mereka saling bertatapan, ada rasa tidak terima di dalam diri Olin atas sikap Damar, seharusnya Damar mendukung keinginannya, Olin yakin Damar bisa mengatasi hal sederhana macam itu, tetapi Damar tidak melakukannya, dan itu membuat Olin kesal.

“Keinginan apa ?” Tanya Damar, mencoba menahan emosinya.

“Ya keinginan gue belajar sama Bintang,”

Olin merasa semakin kesal, menurutnya Damar terlalu bertele-tele, dan sikapnya itu menyebalkan.

“Kamu mengenalnya,”

Tanya Damar lagi, ada nada curiga yang terdengar dari suaranya.

Mendapat pertanyaan itu Olin mendadak terkesiap, dia mengedarkan pandangannya ke segala arah.

“Jadi nama dia Bintang ?”

“Kamu kenal dia dimana ?”

Damar menetralisir perasaan yang bergejolak di dadanya, ada perasaan tidak suka mengetahui Olin mengenal pria itu, namun Damar mencoba menyembunyikannya.

“Olin, jawab pertanyaan aku !”

“Dia teman baru gue, memangnya salah gue kenal dengan teman lain ?”

“Tidak salah, tapi aku berhak mengetahui dengan siapa kamu berteman, siapa dan dari keluarga mana orang yang berteman dengan kamu,”

“Damar please, loe terlalu over protective sama gue,”

“Aku seperti ini karena aku peduli sama kamu, bagaimana kalau pria itu…”

“Pria itu apa ? kenapa kalau gue kenal sama dia”

Olin menatap nanar pria di hadapannya, ada perasaan marah atas sikap Damar yang berlebihan, ada perasaan tidak terima dari rasa curiga Damar.

Hanya masalah sederhana seperti ini, mereka harus bertengkar di depan umum, dengan menahan rasa kesal Olin meninggalkan Damar yang mematung sendirian.

***

Di sisi lain Bintang masih memikirkan apa yang terjadi di ruang pengajar tadi, dia merasa semua ini bukan salahnya, Bintang juga tidak mengetahui niat awal Olin belajar di tempat ini hanya karena dirinya, dan apa hubungan dirinya dengan ini semua, kenapa dia jadi merasa sungkan dengan kejadian tadi.

“Aneh,”

Bintang menggeleng pelan. Dia merasa baru mengenal Olin, tetapi kenapa sepertinya takdir selalu mempertemukannya dengan gadis itu,

Sebelum otaknya mendidih untuk memikirkan hal yang dia sendiri tidak mengerti, lebih baik Bintang menyegarkan dirinya dengan segelas es jeruk, diminumnya es jeruk yang sejak tadi hanya dia aduk-aduk hingga sisa setengah gelas.

“Woy, haus loe ?”

Seseorang menepuk pundak Bintang, membuat Bintang sedikit terkesiap karena kaget.

“Loe, Bang.” Bintang melirik pria itu sekilas, dan membiarkan dia duduk berhadapan dengannya.

Risky, salah satu pengajar di tempat ini, usianya masih terbilang muda, dan sudah menjadi salah satu pengajar favorit yang di idolakan banyak siswa yang mengambil private di sini.

“Kenapa loe ?”  Risky mengerutkan alisnya melihat perilaku Bintang dihadapannya.

Sejak tadi Bintang hanya menampilkan raut wajah datar, tatapannya tidak fokus pada Risky yang menemaninya.

“Woy, elah malah bengong, kesambet loe,” Risky memukul dahi Bintang pelan.

“Ck,” Bintang berdecak kesal, menepis tangan Risky. Melirik Riskya sekilas dengan ekor matanya.

“Huft,”

Bintang menarik napasnya dalam, menegakkan tubuhnya sebelum bercerita pada seniornya itu.

“Gue lagi mempersiapkan diri untuk kena omel Bu Mitha,”

“Hah, kenapa lagi loe ?”

Risky tidak kaget dengan ucapan Bintang, ini sudah ke sekian kalinya Bintang dapat teguran dari pengajar senior itu, mengingat Bu Mitha adalah salah satu guru Bintang di sekolah, dan berkat Bu Mitha Bintang dapat menjadi pengajar freelance di tempat ini.

“Ini masalahnya beda, bang”

Bintang menatap Risky yang sedang memangku wajahnya dengan satu tangan, seakan menunggu Bintang akan bercerita lebih kepadanya.

“Dalam hal ini gue gak salah,”

“Kalau loe gak salah, kenapa loe yakin bakal dapat teguran dari beliau,”

“Itu salah cewek itu,”

Bintang tidak melanjutkan ucapannya dan membuat Risky menautkan alisnya heran.

Bintang teringat lagi pada kejadian semalam yang ia lalui dengan gadis itu, sampai saat ini Bintang di buat bingung dengan kejadian yang tidak di sengaja yang membuat dia bertemu dengan Olin.

“Cewek siapa ?” Tanya Risky penasaran karena sejak tadi Bintang tidak melanjutkan ceritanya dan Kembali melamun.

“Loe, lagi jatuh cinta ? baru kali ini loe bahas cewek,” lanjut Risky masih penasaran.

“Udahlah, lupain ! intinya belakangan ini gue ketemu sama cewek aneh,”

Bintang tidak berniat memberitahu Risky lebih dari itu, dia Kembali melanjutkan menikmati sisa es jeruk dihadapannya.

“Kalau kata mitos ya, kalau kita sering ketemu sama lawan jenis tanpa sengaja dan berulang kali, dia itu jodoh kita,” Risky masih tertarik dengan pembahasan ini.

Mendengar pernyataan Risky, Bintang yang sedang menikmati minumannya sedikit kaget dan menahan napas membuatnya tersedak, Risky yang masih asik memperhatikan Bintang ikut kaget dan membantu Bintang yang salah tingkah.

“Uhhukk,” Bintang terbatuk-batuk.

“Eh, sorry-sorry, loe tenang saja itu kan masih mitos,” Risky menepuk-nepuk Pundak Bintang pelan.

Bintang sedikit bergidik membayangkan jika mitos yang dikatakan Risky benar terjadi, dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya di tindas oleh gadis pemilik gincu merah itu, melihat sikap Olin selama bertemu dengannya saja Bintang bisa menebak jika gadis itu sangat brutal.

Triing

Handphone di atas meja berdering dan berkelip-kelip menandakan ada panggilan masuk, Bintang segera meraih ponsel itu, dan mengarahkannya pada telinga.

“Segera temui saya di ruangan !”

Suara lantang dan tegas terdengar sangat nyaring memasuki gendang telinganya, bukan hanya Bintang, Risky pun bisa ikut mendengar suara dari seberang telephone itu, Risky ikut menelan ludah pahitnya, dan memandang Bintang dengan sorotan mata yang mengisyaratkan ‘takut’.

“Huft,”

Bintang yang sejak tadi menatap Risky akhirnya menghembuskan napas, terlihat pundakknya melemas, dimatikannya panggilan itu dan menaruh benda pipih itu di saku celananya. Apa yang dia takutkan sejak tadi tiba juga, Bu Mitha pasti ikut merasa kesal karenanya.

***

“Kamu teman nona Caroline ?”

Bu Mitha menatap curiga Bintang di hadapannya, Bintang yang tidak mengerti arah pembicaraan Bu Mitha hanya menggelengkan kepalanya, tanda tidak mengenal siapa yang di maksud dengan sebutan nona itu, apalagi nama itu tidak familiar di telinganya. Namanya terlalu inggris, seperti orang bule, dan Bintang tidak menyukai itu.

“Maksud ibu nona Olin ?” ralat Bu Mitha.

“Oh, dia” Bintang menganggukan kepalanya.

Bu Mitha semakin memicingkan matanya, menatap curiga Bintang saat mendapat respone seperti itu, melihat perubahan mimik wajah dari seniornya itu Bintang segera menggeleng cepat, dia tidak ingin hal ini semakin mempersulit hidupnya.

“Bukan seperti itu, Ibu jangan salah paham,”

Bintang sedikit terbata-bata karena terlalu panik.

“Saya hanya pernah bertemu dia tanpa sengaja, jadi saya tidak terlalu mengenal nona Olin itu,”

Bintang mencoba melanjutkan penjelasannya lagi.

Bu Mitha sedikit bernapas lega, dibenarkannya letak kaca mata yang terlihat mengendur, dan meraih sebuah map biru yang berada disampingnya.

“Nona Caroline bukan siswa sembarangan di sini, dia dari keluarga yang memiliki pengaruh besar. Jadi jangan terlalu terlihat dekat dengannya,”

Bu Mitha menjelaskan hal itu tanpa melihat Bintang, dirinya malah fokus pada file-file di map biru yang ia ambil tadi.

“Maksud Ibu ?” tanya Bintang menautkan alisnya.

Sejak tadi Bintang tidak paham apa maksud Bu Mitha memintanya untuk menemui beliau.

Bintang kira ia akan mendapatkan celoteh panjang lebar atau nasihat-nasihat bijaksana yang biasa ia dapatkan dari beliau jika dirinya melakukan kesalahan, tetapi sejak tadi Bu Mitha hanya menanyakan kabar keluarga Bintang, bagaimana dirinya di sekolah, hingga terakhir menanyakan tentang nona yang bernama Caroline itu.

“Bintang, biarkan nona Caroline ibu yang mengampunya untuk belajar di sini.”

Kali ini Bu Mitha menatap wajah Bintang dengan serius, Bintang sama sekali tidak bisa menebak maksud dari Bu Mitha mengatakan hal itu kepadanya, wajahnya hanya datar.

Dan benarkah Bu Mitha memanggilnya hanya untuk mengatakan hal itu ?

Tanpa banyak bertanya Bintang hanya mengangguk menyetujuinya, lagi pula sejak awal Bintang sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengajar gadis yang mengakui bodoh matematika itu.

“Baiklah, sekarang kamu boleh pulang,”

Bu Mitha melepas kacamatanya, menyandarkan tubuhnya pada kursi kebangsaannya yang terlihat gagah.

Bintang hanya menganggukan kepalanya lagi, memberi salam sebelum berlalu keluar ruangan itu.

Setelah menutup pintu Bintang terdiam sebentar, dia belum mendapat jawaban atas kebingungannya selama berada di dalam sana.

Caroline berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh besar ? jika di lihat dari penampilannya tentu saja Bintang percaya jika keluarga Oline pastilah dari keluarga kaya raya, tapi memiliki pengaruh besar ?

Apakah dari keluarga presiden ? tidak mungkin, Bintang tidak pernah melihat Olin di televisi atau media manapun, walaupun miskin Bintang sangat tahu keluarga presiden. Pikirnya.

                                                                 ***

Oline menutup pintu mobil kasar dan dengan langkah besar dia memasuki rumahnya yang terlihat mewah, dirinya menahan kesal sejak dalam perjalanan pulang tadi.

Untuk apa Damar harus mengajaknya bertengkar hanya karena masalah yang menurutnya sederhana, dia hanya ingin belajar

Braaak.

Oline menutup pintu kamar dengan kasar.

“Oline,”

Damar mengikutinya dan masuk ke dalam kamar Oline yang memang tidak ia kunci, Oline masih membuang wajahnya dan duduk di ujung ranjang, dia tidak berniat untuk mendengar semua penjelasan Damar padanya.

“Lin, dengar dulu semua penjelasanku,” Damar melangkah mendekati Oline.

 “Aku hanya ingin menjaga janjiku terhadap Ayahmu, aku yang bertanggung jawab disini,”

Damar melanjutkan penjelasannya sambil duduk bersimpuh di depan Oline, tangannya dengan lembut menggenggam tangan Oline erat.

“Gak usah bawa-bawa Ayah gue !” Oline menepis tangan Damar pelan.

“Aku cuma gak mau kamu sakit hati lagi,” Damar menatap mata Oline nanar.

“Maksud kamu ?”

“Aku gak mau kejadian yang kamu alami dulu terulang lagi, aku gak mau kamu sakit karena pengkhianatan seorang teman,”

Oline mengertukan alisnya, dia mulai memahami apa yang di maksud oleh Damar.

Oline teringat apa yang terjadi padanya satu tahun yang lalu, dimana dia mengalami tindakan yang membuatnya trauma dari teman-temannya di sekolah.

Tetapi Oline yang sekarang berbeda dengan dia yang dulu, dia tidak akan merasakan rasa sakit seperti dirinya di masa lalu.

“Jangan pernah sok tahu dengan kehidupan gue,”

Oline beranjak dari ranjangnya, membuka tirai yang lupa ia buka tadi pagi.

“Aku yang menemanimu sejak kecil, aku yang paling tahu diri kamu dan hidup kamu,”

Damar mengikuti langkah Oline, mencoba bersabar dengan sikap Oline yang kembali dingin.

“Lebih baik loe pergi, gue lagi ingin sendiri,” Ucap Oline tanpa menatap Damar.

Mendengar suara Oline yang sedikit berat, Damar memutuskan untuk mengikuti keinginan Oline, dia pergi keluar meninggalkan Oline sendiri dengan segala lamunannya,

Damar mencoba mengerti lagi, mungkin menurut Oline ini adalah masalah sederhana, tetapi rasa khawatir yang Damar rasakan membuat semua yang terlihat sederhana menjadi sangat rumit di otaknya.

Dan sepeninggalan Damar dari kamarnya, Oline sedikit membuang napas yang terasa sesak sejak tadi, ada sedikit keraguan yang muncul untuk kembali melangkah.

Apa yang dikatakan Damar benar, tetapi hatinya mengatakan hal yang berbeda, sejak bertemu Bintang ia merasa memiliki teman baru, ada perasaan yang berbeda yang sudah lama ia rindukan,

Oline tidak tahu darimana munculnya perasaan itu, Oline juga belum menemukan jawabannya, untuk itu Oline selalu mencoba untuk mendekat, Oline selalu mencoba untuk menggunakan kesempatan setiap kali bertemu laki-laki itu, karena sebenarnya Oline pun sedang mencari jawaban atas perasaan di hatinya, tetapi kenapa Damar justru menghadangnya dengan keraguan yang membuat Oline takut.

Oline meremas dadanya yang terasa nyeri.

Apa karena sudah terlalu lama kehilangan teman dia menjadi sesakit ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status