Share

Saling Menutupi

     Malam ini Bintang sama sekali tidak bisa tertidur, otaknya masih terus memikirkan jalan keluar dari masalah yang sedang dia alami bersama keluarganya, tarikan napas panjang sudah beberapa kali terdengar. Walaupun dipaksakan untuk terpejam, apa yang terjadi hari ini masih saja menggelayut di pikirannya.

    "Huh," Bintang menarik napasnya dalam.

     Rasanya percuma saja, pikir Bintang dalam hati, setelah cukup lama membolak-balikkan badannya pada kasur akhirnya dia bangkit dan bersandar pada badan ranjang.

     Di liriknya jam diatas meja belajar, sudah jam sepuluh malam, padahal besok dia memiliki jadwal pagi untuk mengajar siswa ditempat private, tetapi mata dan pikirannya tidak bisa di ajak kompromi, dengan gesit dia mengambil handphonenya diatas meja belajar, dia akan menghungin Rian, salah satu teman dekatnya.

     "Halo," Bintang sedikit bernapas lega saat mendengar jawaban dari teman yang dihubunginya.

    "Yan, loe sudah tidur ?" Bintang menggigit bibir bawahnya ragu.

    "Belum, ada apa memangnya ?"

    "Gue gak bisa tidur, temani gue keluar yok," Ajak Bintang.

    "Gue tunggu di gang depan rumah, ya"

     Mendengar jawaban Rian, Bintang tersenyum senang, akhirnya dia tidak menghabiskan malam ini dengan melamun sendirian di kamar, tanpa banyak menunggu Bintang mematikan sambungannya dan bergegas keluar rumah, menemui Rian ditempat yang sudah dijanjikan.

                                                                 ***

    "Nih,"

    Rian menyodorkan sebotol air mineral yang tadi sempat dibelinya sebelum bertemu dengan Bintang. Setelah mengitari jalan tanpa tujuan yang jelas, akhirnya mereka memilih untuk duduk-duduk di bangku umum pinggir jalan raya.

    "Thanks," tanpa menunggu Bintang meneguk air mineral itu hingga sisa setengah, kemudian menegakkan tubuhnya untuk menatap jalan raya dihadapannya.

    Dari tempat ini sangat terlihat jelas lampu-lampu dari kendaraan yang berlalu lalang, walaupun suasana kota semakin larut tetapi keadaan jalan di tengah kota tidak akan pernah sepi, justru semakin ramai.

    "Tumben loe ajak gue keluar malam-malam, ada apa ?"

    Rian mencoba bertanya setelah Bintang terlihat lebih baik, bukan tanpa sebab, Rian hanya bingung karena sejak lima belas menit menemani Bintang, pria itu hanya diam dan tidak mengajaknya berbicara, jika seperti ini Rian tahu jika teman baiknya itu pasti sedang ada masalah.

    "Kakek gue harus dipindah ke ruang ICU,"

    Bintang menarik napasnya dalam, rasanya sangat sesak jika mengingat apa yang sedang terjadi pada keluarganya, dia ingin berbagi cerita walaupun sedikit, perasaan yang mengganjal yang sejak tadi dia rasakan membuatnya sulit tertidur walaupun tubuhnya meminta untuk beristirahat.

    "Loe butuh uang ?" Rian mencoba menebak.

    Mendengar pertanyaan itu hati Bintang sedikit berdenyut, dia menatap tajam Rian dengan tatapan tidak suka, Rian yang ditatap seperti itu sedikit salah tingkah, dia paham sudah bertanya hal yang salah.

    "Huh," Bintang membuang napasnya, mencoba melupakan pertanyaan Rian tadi.

    Sebenarnya pertanyaan Rian benar, dia sedang membutuhkan uang, lalu untuk apa dia harus kesal dengan pertanyaan itu. Menurutnya  Rian hanya tidak mengerti apa yang otak dan hatinya alami saat ini.Otak dan hatinya benar-benar bertolak belakang.

    "Bukan itu yang terberat, Yan."

    Rian sedikit menoleh memperhatikan Bintang, dia masih diam tidak menjawab, Rian akan menunggu Bintang untuk melanjutkan ceritanya, dia tidak ingin salah bertanya lagi.

    "Sore tadi, ada pria asing mencari Ibu dan Kakak gue,"

    Bintang tahu ada yang tidak beres dengan keluarganya akhir-akhir ini, walaupun kakak semata wayangnya tidak pernah menunjukan sikap yang mencurigakan, tetapi dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh keluarganya, Bintang sangat yakin dengan hatinya saat ini, tetapi pikirannya yang logis tidak menyetujui semua itu.

    "Pria asing ?" Rian mengerutkan keningnya, belum paham apa yang dimaksud Bintang.

    "Terus kenapa ? dia bertindak jahat ?" Rian melanjutkan pertanyaannya.

    "Apa pria asing itu suruhan orang, karena keluarga gue lagi kebelit hutang ?" Bintang balik bertanya pada Rian.

    Mendengar pertanyaan Bintang, Rian ikut berpikir keras, dia menoleh kembali ke depan jalan yang masih terlihat ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang.

    Sebagai teman dekat Bintang, Rian sangat mengetahui apa yang Bintang dan keluarganya alami, salah satunya Kakek Bintang yang menderita penyakit serius, sudah banyak biaya yang dikeluarkan oleh keluarga Bintang agar kakeknya sembuh, mulai dari pengobatan alternatif hingga pengobatan medis.

    Karena keadaan itu pula keluarga Bintang harus berurusan dengan banyak para debt collector, tidak sering mereka mendatangi rumah Bintang untuk menagih, tetapi dengan uang yang Bintang kumpulkan semua itu teratasi dengan baik. Itu menurut Rian.

    Bintang berhasil mengumpulkan uang dengan bekerja sebagai pengajar, semua itu semata-mata  untuk membantu keadaan ekonomi keluarganya, dia memang terlahir sebagai anak bungsu laki-laki. Rian tahu sebagai anak bungsu laki-laki Bintang sangat dimanja oleh Ibu dan Kakak perempuannya, tetapi Bintang juga terlahir sebagai yatim di usianya yang masih kecil, karena itu pula Bintang menjadi sosok yang sangat bertanggung jawab di usianya beranjak remaja.

    Ya saat ini Bintang yang menjadi tulang punggung untuk keluarganya.

    "Loe jangan terlalu over thinking, gitu."

    Rian menggelengkan kepalanya, memikirkan keadaan Bintang dia ikut menarik napas dalam, lalu kembali menoleh kepada Bintang yang masih melamun, dia mencoba membuat perasaan sahabatnya itu lebih baik.

    "Gimana kalau ada orang jahat macam-macam ? gimana kalau Langit jadi korban ?" Ucap Bintang melanjutkan apa yang ada di pikirannya saat ini.

    Bintang menggelengkan kepalanya, napasnya sedikit berderu karena panik, dia tidak habis pikir bagaimana bisa keluarga kecil Ibunya bisa mengalami hal ini.

    "Lebih baik loe istirahat, besok loe masih harus kerja, kan."

    Rian menepuk Pundak Bintang pelan, dia juga bingung harus bagaimana untuk membantu semua persoalan yang di alami Bintang, jika Rian terlahir dari keluarga kaya raya sudah pastilah Rian akan memberikan uangnya untuk membantu Bintang, tetapi kehidupan Rian pun tidak jauh berbeda dengan Bintang, terlahir di keluarga yang bisa dibilang miskin, hanya saja Rian cukup beruntung keluarganya tidak berurusan dengan banyak debt collector.

    Dia sendiri hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk saat ini, Rian tidak bisa melakukan apapun untuk membantu Bintang. Kecuali menjadi teman baik yang setia mendengarkan semua keluhan Bintang.

                                                               ***

    Bintang dan Rian berjalan di trotoar jalan menuju pertigaan jalan untuk sampai ke rumah, Rumah mereka memang berada di dalam gang sempit, harus menempuh jalan yang berkelok-kelok, untuk orang-orang yang tidak biasa jalan kaki sudah pasti tidak akan kuat untuk berkunjung, dan lagi jalan ini kalau sudah malam terlihat gelap karena kurangnya pencahayaan dari lampu jalan.

    Bintang sedikit mengernyit dan keningnya terlihat berkerut, di depan gang rumahnya terparkir sebuah mobil mewah yang sepertinya tidak asing, Bintang pernah melihat mobil mewah ini tapi milik siapa, pikirnya dalam hati.

    "Wah, mobil siapa nih ?" Kata Rian terlihat kagum.

    Mereka sempat bertukar pandang, sebelum melanjutkan langkahnya untuk mendekati mobil yang terparkir itu.

    "Kalau dilihat-lihat, mobil ini pasti milik perempuan yang eksotis, berani, dan sensual," Lanjut Rian. Dia mengelus dagunya pelan sambil memperhatikan mobil berwarna kuning menyala itu.

    Bintang hanya diam tidak menanggapi ucapan Rian yang mengomentari mobil dan menebak siapa pemilik mobil ini, sejak tadi Bintang masih mengingat-ingat seperti pernah melihat mobil ini sebelumnya terparkir di sini.

    "Sudahlah, tidak penting, Cuma saja siapa perempuan yang berkunjung ke daerah kita di jam-jam hampir tengah malam seperti ini."

    Rian sejak tadi masih berkomentar, dia mencibirkan bibirnya dan sedikit bergidik mengingat sekarang sudah menunjukan tepat pukul dua belas malam, hanya kurang lima menit. Pasti perempuan pemilik kendaraan ini bukanlah perempuan baik-baik, pikirnya dalam hati.

    "Ayo, cepat pulang !"

    Dengan sedikit kesal Rian menarik tangan Bintang yang masih diam dan memperhatikan mobil mewah itu, membawanya masuk ke dalam gang sempit yang remang-remang karena lampu jalan yang rusak.

"Menurut loe siapa orang yang berkunjung kesini ?"Tanya Rian masih penasaran.

    Mereka masih berjalan di dalam gang untuk sampai ke rumah masing-masing, Bintang hanya menggidikan bahunya pertanda dia tidak tahu, dan tidak mau tahu.

    Langkah mereka tiba-tiba saja terhenti saat melihat seorang perempuan tidak jauh dari rumah Bintang, mengendap-endap seperti maling, mengintip rumah Bintang dari kaca jendela yang sebenarnya sudah ketutup gorden. Bintang dan Rian saling berpandangan, setelah menerima anggukan kepala dari Bintang, Rian segera menyergap perempuan yang sejak tadi mengintip

    "Heh, apa-apaan nih," Kaget perempuan yang saat ini berada dipelukan Rian.

    "Loe yang apa-apaan, mau maling rumah yang sudah terlihat miskin seperti ini, gak punya perasaan," Oceh Rian Panjang lebar.

    "Maling ?" Perempuan itu melotot tidak terima, dengan kesal dia menghentakan tangan Rian yang sejak tadi memeluk tubuhnya erat.

    "Yah, maling, perempuan itu harusnya jadi istri yang baik, kalau mau maling suruh laki loe aja," Rian masih berucap tidak jelas, belum sadar dengan situasi yang terjadi saat ini.

    "Lihat, tampang gue seperti ini apa cocok jadi maling ?"

    Perempuan itu membalikkan tubuhnya, menghadap pada dua pemuda yang terdiam melihatnya saat ini.

    Perempuan itu berbalutan jaket kulit hitam yang terlihat mahal, rambut pendeknya dia biarkan berantakan tanpa tersisir rapih, membuatnya terlihat seksi. Rian sedikit menyesal sudah memeluk gadis itu dengan kasar, Rian sangat yakin perempuan ini tidak akan memiliki niat untuk mencuri, sama sekali tidak.

    "Loe ?" Bintang terkesiap kaget,

    Perempuan ini yang sejak tadi ada dipikirannya saat melihat mobil mewah yang terparkir di jalan itu.

    "Ya, Bintang…" Ucap perempuan itu sedikit kesal.

    "Gue, Olin, ingat"

    Olin terlihat kesal karena sempat dituduh sebagai maling, tapi sebenarnya bukan salah mereka sih, Olin yang salah datang ke sini di saat orang-orang sudah tertidur, dan untuk apa dia penasaran dengan Bintang sampai-sampai mengintip rumahnya dari kaca jendela, padahal niat dia awalnya adalah melarikan diri dari Damar untuk bersembunyi.

    "Mau apa loe kesini ?" Tanya Bintang bingung.

    Olin masih diam tidak menjawab, dia melirik sinis pada Rian yang masih diam memperhatikan keduanya karena tidak paham.

    "Kalian saling kenal ?" Tanya Rian heran.

    Rian tidak menyangka jika Bintang akan mengenal perempuan dihadapannya ini, darimana Bintang bisa mengenal perempuan eksotis seperti ini, ini hal yang sangat langka, pikirnya menggelengkan kepala.

    "Dia teman gue," Jawab Bintang menghilangkan rasa penasaran Rian.

    Dia Kembali menoleh pada Olin yang sejak tadi menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Wajah perempuan itu masih terlihat kesal.

    "Loe ada keperluan apa datang kesini ?" Tanya Bintang lagi. Olin menghadapkan wajahnya pada pemuda itu, dan melirik Rian dengan kesal.

    "Gue gak mau jawab, kalau cowok ini masih di sini." Tegas Olin, menunjuk Rian tidak suka.

    "Wow…wow biasa saja dong, gue punya kepentingan juga disini." Ucap Rian tidak terima.

    Olin memalingkan wajahnya kesal, dia tidak mau menjawab apapun selama Rian belum pergi, bikin kesal saja pria itu, pikir Olin sekarang.

    Melihat situasi yang sangat tidak nyaman, akhirnya Bintang melirik Rian, memintanya untuk mengerti dan mau mengalah.

    "Oke..Oke…gue  pulang sekarang." Ucap Rian sambil mengangkat setengah tangannya ke udara.

    Rian kembali melirik Olin yang masih kesal dan tidak mau menatapnya, setelah beberapa detik menatap Olin dan Bintang bergantian, akhirnya Rian tersenyum culas, dan menggelengkan kepalanya. Dia paham maksud gadis itu.

    "Selamat malam, Nona." Ucap Rian sambil membungkukkan setengah badannya, meledek Olin dengan memberi penghormatan.

                                                                    ***

    Saat ini Bintang berada di dalam sebuah mobil mewah yang pernah dia tumpangi, hanya saja saat ini sedikit berbeda, karena Bintang saat ini berada disamping Olin yang sedang menyetir, duduk dibangku penumpang sambil sesekali melirik perempuan itu.

    "Loe, mau ajak gue kemana ?" Tanya Bintang memberanikan diri.

    Sejak tadi Bintang merasakan hal yang sangat tidak nyaman, ini kedua kalinya dia merasakan Olin menyetir tetapi suasananya kali ini sangat berbeda, ada aura menyeramkan yang menyergap di dalam sini, wajah Olin tampak serius dan terkesan dingin, Bintang tahu ada sesuatu yang perempuan itu pikirkan.

    "Kalau loe diam saja, apa bisa loe turunin gue di sini," Kata Bintang lagi.

    Mendengar ucapan Bintang itu, Olin hanya melirik dengan ekor matanya, ada rasa tidak terima dari ucapan itu, Olin menginjak pedal gas lebih dalam, menambah kecepatan mobilnya.

    Merasakan laju mobil yang semakin bertambah, Bintang sedikit menegang, dia tidak mengerti apa yang di inginkan perempuan di sebelahnya ini, dia belum mengenal Olin dengan baik, bertemu pun baru beberapa kali, kenapa perempuan ini sangat tidak jelas, menurutnya.

    "Gue masih ingin hidup, gue belum bisa mati untuk sekarang," Ucap Bintang lagi menundukkan wajahnya. Tubuhnya sedikit bergetar karena takut.

    Melihat Bintang yang seperti itu, Olin sedikit mengurangi kecepatan mobilnya, bibirnya sedikit tersenyum culas, walau hanya beberapa detik dia sunggingkan.

    "Sorry," Ucap Olin.

    "Kita sudah sampai," Lanjut Olin,

    Bintang yang sejak tadi menunduk, akhirnya mendongakan wajahnya, menatap keadaan sekitar dari kaca jendela mobil. Dia sedikit meneguk salivanya susah payah.

    Mereka berada di sebuah gedung yang sedang dibangun, gedung itu belum jadi, sedang menjadi proyek pembanguna, untuk apa Olin membawanya ke tempat ini ? dia melirik sekilas Olin yang sedang tersenyum lebar. Melihat penampilan perempuan ini, sepertinya Bintang percaya gadis seperti Olin tidak akan merasa takut pada tempat-tempat seperti ini, tetapi apa yang ingin dia lakukan ditempat seperti ini. Bintang melamun memikirkan ini semua.

    "Kenapa jadi bengong, ayok turun !" Ucap Olin sambil melepaskan seatbelt dari tubuhnya.

    Bintang masih diam bergeming, dia laki-laki tetapi dia tidak memiliki keberanian seperti itu, bukan tidak berani, tetapi untuk apa pikirnya. Melihat Bintang yang seperti itu, Olin membuang napasnya jengah.

    "Gak usah takut, dan jangan mikir macam-macam," Ucap Olin, Bintang menoleh ke arahnya. Olin seperti bisa menebak apa yang pria itu pikirkan.

    "Ini proyek dari rekan bisnis Ayah gue, di dalam banyak para pekerja, mereka semua kenal gue, gue sama Damar sering ke sini." Olin mencoba menjelaskan.

    Bintang sedikit mengernyit, bukan tidak paham maksud penjelasan Olin, tetapi dia bingung, siapa Damar, dan untuk apa Olin datang ke sini dengan laki-laki, dan sekarang dia mengajaknya kesini, Bintang juga laki-laki, apakah baik jika perempuan seperti itu.

    Bintang sedikit terperanjat saat Olin sudah membuka pintu mobilnya, membuyarkan lamunannya tentang siapa dan seperti apa gadis Bernama Olin ini.

    "Ayok," Olin menariknya tidak sabar. Kenapa pria itu terlalu banyak melamun sih.

                                                               ***

    Langkah sepatu yang bergesekan dengan semen bisa terdengar saat mereka memasuki salah satu dari ruangan di gedung kosong ini, ternyata jika sudah di dalam ruangan ini cukup terang, ada lampu ruangan yang dibiarkan menyala, walaupun tidak terlalu terang.

    "Non, Olin."

    Olin menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Bintang, hanya saja Bintang terlihat kaget dengan sapaan dari seseorang di belakang mereka, Bintang pikir ditempat ini tidak ada orang lain selain mereka berdua.

    Berbeda dengan Olin, perempuan itu dengan tenang membalikkan badannya, punggungnya masih tegak berdiri, dan tersenyum tipis untuk seseorang yang memanggilnya tadi.

    Seorang pekerja dengan pakaian santai membawa secangkir kopi ditangannya. Di tempat ini memang banyak pekerja yang menginap, untuk menjaga proyek di malam hari.

    "Sudah lama nggak main, kok gak bareng Mas Damar ?" Lanjut pekerja itu bertanya.

    "Nggak Pak, Damar nya sibuk, sekarang Olin dapat teman main baru," Jawab Olin tersenyum manis, matanya melirik Bintang yang sejak tadi seperti kebingungan.

    "Wah, teman barunya mas ganteng ini," Tanya pekerja itu tersenyum senang.

    "Hmm..Iya Pak, Kenalin ini Bintang," Olin yang sedang melirik Bintang, tersenyum jahil dan menarik lengan Bintang kasar agar dia mendekat dengannya.

    "Wah, salam kenal mas," Jawab pekerja itu. Bintang hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya pelan untuk memberi hormat.

    "Kalau gitu, saya permisi dulu, yang lainnya sedang ngopi-ngopi di belakang."

    Setelah Olin menjawabnya dengan anggukan kepala, pekerja itu pamit untuk melanjutkan kegiatannya lagi. Tidak ada hal yang buruk, mereka semua sudah mengenal Olin sebagai anak dari pemilik proyek pembangunan ini, Olin juga sering berkunjung dengan Damar kesini.

    "Ayok, cepat." Olin menarik lagi tangan Bintang yang masih berdiam diri.

    Kali ini Olin akan mengajak Bintang naik ke gedung yang cukup tinggi untuk menunjukan pada Bintang sebuah tempat yang menurutnya unik.

    Bintang hanya menurut saja mengikuti langkah Olin, lagipula dia bisa apa, tahu jalan pulang juga tidak, tangannya masih digandeng oleh gadis itu, membawanya menaiki anak tangga yang lumayan banyak, berapa lantai dia naiki hingga Olin berhenti di salah satu lantai dari gedung ini.

    "Nah, kita sudah sampai," Olin bertepuk tangan saat mereka sudah sampai pada tempat yang Olin maksud. Dia segera berlari menuju tepi gedung, menarik napas dalam dan tersenyum senang.

    Bintang memperhatikan sekitar tempat ini, tidak ada yang istimewa, hanya gedung kosong yang menurut beberapa orang menyeramkan, tetapi ada sesuatu yang berbeda, tempat ini menjadi berbeda saat dia melihat seorang gadis yang duduk di tepi pinggir gedung, membiarkan kedua kakinya tergantung, tidak ada ketakutan dari raut wajah gadis itu, justru dia bisa melihat ketenangan disana.

    "Bintang, ayok cepat sini," Olin menoleh pada Bintang yang masih diam memperhatikannya.

    Bintang yang sedikit terkesiap akhirnya melangkah mendekati Olin yang sudah duduk dengan nyaman, bibirnya tersenyum memperhatikan Olin yang terlihat berbeda saat ini.

    "Sini, duduk." Olin menepuk pelan tempat disebelahnya yang kosong, memberikan Bintang sedikit ruang untuknya duduk.

    Bintang mengikuti kemauan Olin, duduk disampingnya dan membiarkan kakinya tergantung di atas gedung yang cukup tinggi. Dari tempat ini sangat terlihat jelas langit yang luas, juga gedung-gedung kota yang masih menyala terang, seperti tidak akan pernah padam.

    "Gimana, di sini nyaman, bukan ?" Tanya Olin, wajahnya tersenyum hangat menatap gedung-gedung dihadapannya.

    Bintang hanya terdiam, menoleh ke arah Olin yang sedang memejamkan mata, menikmati hembusan angin yang menerpa wajah dan rambutnya. Bintang Kembali tersenyum melihat perilaku gadis itu, dia sempat-sempatnya berpikir apakah alasan Olin memiliki rambut pendek karena senang di terpa oleh angin seperti itu.

    "Itu alasan loe punya rambut pendek ?" Tanya Bintang sambil berdecak.

    "Hah," Olin membuka matanya, dan meoleh pada Bintang yang sejak tadi menatapnya. Keningnya berkerut tidak paham maksud pertanyaan Bintang.

"Iya, itu alasan loe punya rambut pendek, agar gak ribet kalo lagi menikmati angin seperti ini ?" Jelas Bintang, mengulang pertanyaannya.

    Olin yang baru paham maksud pertanyaan Bintang buru-buru menggelengkan kepalanya, itu bukan alasan yang tepat dan sebenarnya tidak alasan yang jelas kenapa dia lebih menyukai rambut pendek seperti ini.

    "Bukan, gak ada alasan special, gue hanya lebih menyukai rambut pendek," Jelas Olin. Bintang hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

    "Oh, gue kira karena loe suka tempat seperti ini, padahal loe lebih cantik kalau punya rambut Panjang,"

    Bintang kembali menatap gedung-gedung dihadapannya. Kembali menikmati pemandangan yang jarang ia temui.

    "Ck, nyebelin," decak Olin kesal. Bintang Kembali menatap Olin.

    "Gue kira loe gak seperti Damar, tapi ternyata loe sama saja seperti dia," Olin membuang wajahnya.

    "Damar ?" Bintang mengerutkan keningnya.

    "Sejak tadi nama itu disebut terus, memangnya siapa Damar ?" Tanya Bintang penasaran.

    "Dia teman kecil gue, ini juga alasan gue datang ke rumah loe, awalnya cuma sembunyi dari kejaran Damar, eh malah gak sengaja ketemu loe," Olin tersenyum mengingat kejadian di gang rumah Bintang tadi.

    "Bersembunyi ? di kejar ? memangnya Damar itu menyeramkan ?"

    Mendengar pertanyaan itu Olin tertawa pelan, kepalanya sedikit menggeleng tidak setuju dengan perkataan Bintang, menurut Olin Damar sama sekali tidak menyeramkan.

    "Dia tidak menyeramkan, dia hanya,"

    Olin menggantungkan ucapannya. Mencoba berpikir apakah pantas dia mengucapkan kata-kata buruk pada Damar.

    "Hanya apa ?" Kening Bintang berkerut.

    "Membosankan," Olin menghembuskan napasnya pelan setelah mengucapkan hal itu.

    "Dia berubah menjadi pria yang sangat membosankan untuk gue sekarang."

    Bintang menyadari ada sesuatu yang berubah dari raut wajah Olin, tidak berbinar saat tadi dia melihat Olin menikmati hembusan angin, wajahnya menjadi dingin, apakah nama itu yang sejak tadi dipikirkan oleh Olin sehingga perempuan itu menyetir mobil tidak karuan di perjalanan tadi.

    "Makanya gue ajak loe kesini, temani gue menghilangkan rasa bosan,"

    "Bagaimana caranya ?" Tanya Bintang menatap langit yang terlihat sangat luas.

    Bintang sangat heran pada gadis disampingnya ini, bagaimana dia bisa percaya jika dirinya bisa menghilangkan rasa bosan yang di rasakan gadis itu, bahkan Bintang sama sekali belum mengenalnya, bagaimana bisa dia tidak merasa takut pada pria yang belum lama Olin kenal.

    "Gue biasanya datang ke atas gedung, untuk melihat bintang," Olin ikut menatap langit yang luas diatas kepalanya.

    "Gue cuma butuh teman yang tidak pernah berubah," lanjut Olin. Bintang bisa mendengar suara Olin yang menyiratkan kekecewaan.

    "Teman loe, yang bernama Damar itu berubah ?" Bintang mencoba menebak.

    "Semua orang yang gue kenal, mereka semua berubah, mereka tidak sama seperti yang gue kenal dulu" Olin menundukkan wajahnya.

    "Ada yang berubah membosankan, ada yang berubah menyebalkan, dan ada yang berubah," Olin menggantungkan ucapannya lagi. 

    "Ada yang berubah seperti apalagi ? Spiderman ?" Bintang mencoba menaggapinya dengan candaan yang ia harap akan terdengar lucu.

    "Ada yang berubah menjadi asing," Lanjut Olin, binar di matanya terlihat meredup. Bintang hanya menghembuskan napasnya melihat raut wajah Olin saat ini.

    "Semua orang pasti akan berubah, keadaan bisa membuat siapapun berubah,"

    Bintang mencoba membuat kesimpulan dari ucapan Olin, menurutnya perempuan itu tidak perlu menangisi ataupun menyesali apapun perubahan yang terjadi di hidupnya, hanya akan membuang energi saja.

    "Tapi, kenapa saat gue yang berubah dan berbeda. Mereka yang mengenal gue tidak terima, dan mengatur gue untuk menjadi apa yang mereka mau,"

    Bintang terdiam mendengar penuturan Olin, ekor matanya melirik perempuan itu yang masih menundukkan kepala, Bintang akhirnya paham apa maksud gadis itu membawanya ke tempat ini, Olin hanya membutuhkan teman malam ini, dan Olin percaya pada Bintang, karena Olin mengenalnya sebagai pengajar di tempat private yang akan Olin masuki. Mungkin saat ini Olin sudah menganggapnya sebagai teman, teman yang diharapkan tidak akan berubah.

    Bintang menghembuskan napasnya pelan, dan tersenyum tipis pada gadis itu.

    "Gue gak bisa bantu apapun malam ini, tapi kalau loe butuh teman untuk menemani loe lihat bintang, gue siap," Bintang mendongakkan wajahnya, menatap langit yang malam ini di hiasi dengan sedikit bintang.

    "Kalau lagi lihat langit seperti ini, loe suka hitung bintang gak ?" lanjutnya bertanya hal yang tidak jelas.

    Olin menolehkan wajahnya pada Bintang yang saat ini tersenyum menatap dirinya, dengan senyum tipis Olin menggelengkan wajahnya.

    "Loe lihat, bintangnya ada satu, dua, tiga, empat, ah cuma ada empat," Bintang mengitung dengan telunjuknya yang mengudara diatas kepalanya.

    "Ada lima, bintangnya ada lima," Olin menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan hitungan Bintang.

    "Loe gak bisa berhitung ya, coba hitung lagi, ada empat," Kata Bintang masih dengan pendiriannya. Dia terlihat kesal.

    Olin tidak peduli dengan wajah kesal itu, dengan senyum dia mengikuti Bintang menghitung bintang di atas langit yang sedikit kemerahan di malam ini.

    "Ada satu, dua, tiga, empat," Olin mulai menghitung bintang-bintang di atas langit sana.

    Telunjuknya ia biarkan mengudara di atas kepalanya, kemudian tersenyum jahil melirik Bintang yang masih terlihat kesal.

    "Lima…" Lanjut Olin, telunjuknya dia arahkan pada Bintang yang duduk disampingnya.

    Melihat Olin yang menunjuk dirinya dengan tersenyum, ada hati yang terasa berdenyut, Bintang bisa merasakan hal itu, rasanya membuat dia menjadi salah tingkah, dengan wajah yang sedikit memerah, Bintang tersenyum tipis pada Olin.

    Malam ini mereka baru bertemu untuk ketiga kalinya, tetapi kenapa malam ini rasanya mereka menjadi sangat akrab dan seperti saling mengenal lama. Rasanya sangat aneh, tapi Bintang akui perasaan ini sangat menyenangkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status