“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.
Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.
Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”
“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”
“Apa? Milikku?”
“Itu benar, Nona Wilson.”
Angelina menatap wajah pelayan itu sekali lagi, “Mengapa Tuan Ford menyiapkan butik untukku?”
“Butik?” sahut pelayan itu merasa geli, dia mengulum senyumnya.
“Apa ada sebutan yang cocok selain itu? Dia membeli seisi toko untuk dipindahkan ke sini,” balas Angelina yang setengah histeris.
“Tuan Ford memang menyediakannya khusus untuk Anda, Nona Wilson. Anda boleh memilih dan mengenakan merek apa saja yang ada di sana.”
Angelina masih bergeming. Sepasang mata cantiknya memandang tanpa berkedip. Pelayan pixie itu lagi-lagi tersenyum, dia mengingatkan Angelina agar segera berdandan sebab waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Dua jam lagi Adam akan datang dan pria itu benci seseorang yang belum siap menyambutnya.
“Izinkan saya memberi Anda saran, Nona Wilson.”
“Baiklah.”
Pelayan itu bergerak mendekat sambil merendahkan suaranya, “Majikan kami suka lingerie yang berwarna cokelat dan hitam dengan model vintage, Nona Wilson. Pilihlah salah satu yang menurut Anda terbaik.”
Angelina sontak beringsut mundur dari bisikan itu, “A-apa? Lingerie?”
“Benar. Lingerie.”
“A-aku tidak memakai pakaian seperti itu, kau tahu,” jawab Angelina sambil tergagap-gagap, usulan yang langsung ditolak mentah-mentah olehnya.
“Baiklah, itu terserah Anda. Maafkan atas kelancangan saya,” pelayan itu pun setengah membungkuk, tetapi senyum jahil di sudut bibirnya masih belum lenyap dari sana.
“Bangunlah. Kau tidak perlu terus-terusan membungkuk padaku.”
“Silakan Anda berganti pakaian, Nona Wilson. Saya akan keluar sekarang,” pamit pelayan pixie yang undur diri.
Angelina mengangguk menanggapi, kemudian melangkah mengitari separuh ruangan yang hanya dipenuhi aksesori milik wanita itu dengan gerakan lamban. Sorot matanya memindai menelusuri setiap merek; Christian Louboutin, Dior, McQueen, Versace, hingga YSL. Dia merasa kedua lututnya gemetar setelah mengetahui seluruh cap produk itu mempunyai harga maha tinggi.
“Apa menjadi CEO membuat Adam juga harus menghamburkan uangnya?” gumam Angelina pada dirinya sendiri.
Dari ratusan helai lingerie, Angelina justru memutuskan untuk menggunakan piama sutra yang sopan; pakaian longgar dua potong yang bertali tipis dan celana panjang semata kaki. Kini selepas memantapkan perasaannya, dia duduk di depan meja rias yang juga punya ukuran besar—cermin oval—dengan sederet produk kulit dan kecantikan yang disusun sesuai fungsinya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala karena heran.
“Pria itu juga membeli sejumlah produk dalam label bahasa Prancis yang bahkan tidak kutahu artinya,” komentar Angelina yang bingung.
Waktu pun berlalu mengantar kehadiran Adam yang muncul di depan pintu kamar Angelina sekarang. Dia memasuki ruangan itu dengan ekspresi wajah datar, seolah-olah wanita yang ingin dia temui sedang tiada di sana bersamanya. Sementara Angelina yang gugup spontan berdiri di dekat jendela dan meremas-remas jemarinya sendiri. Pria itu sempat melirik sebentar, lantas meneruskan langkahnya menuju ke kamar mandi.
Suara pancuran air dari tiang shower terdengar menggema seiring dengan lajunya degup jantung Angelina memberikan reaksi yang secara otomatis menimbulkan keringat di keningnya. Dia menjadi dua kali lipat lebih gugup. Pikirannya berkelana ke beberapa artikel di berbagai situs website yang dia baca sebelumnya. Rasa nyeri, darah, dan...
“Kemarilah, Angelina.”
Perintah itu membuat Angelina seketika terlonjak dari posisinya. Perutnya terpilin, dia mengatur sistem pernapasannya yang mendadak kacau, kemudian berusaha mematuhi permintaan Adam—pria yang tengah menunggunya untuk bergabung—atau mungkin memandikan dan menggosok punggungnya itu. Dia segera menyusul masuk, menemukan Adam yang tanpa balutan apa pun di tubuh atletiknya. Pria itu basah kuyup dan droplet yang dihasilkan oleh shower memercik ke sekat-sekat kaca transparan yang mengelilinginya.
“Mengapa kau lama sekali?” protes Adam yang gusar.
Angelina menundukkan pandangannya, “A-aku ha—”
“Kemarilah, lebih dekat lagi padaku.”
Bulu kuduk Angelina meremang, dia masih menjaga pandangannya ke bawah menekuri tegel sekaligus ujung kakinya sambil berjalan mendekat menuju Adam. Sikap malu-malu wanita itu langsung melecut hasratnya untuk menarik Angelina terguyur di antara kungkungannya dan akhirnya dia memang melakukannya, membuat Angelina terimpit ke dinding tanpa sanggup menghindari rengkuhan pria itu di punggungnya.
“A-apa yang kau lakukan, Tuan Ford?” jerit Angelina yang terkejut atas aksinya.
Adam kembali menekan punggung Angelina dengan dadanya, “Apa yang kulakukan? Aku ingin menciummu.”
“Me-mencium?”
Kepala Adam turun meraih leher belakang Angelina yang dingin. Bibirnya mengecup dan menjelajahi area itu dengan lembut. Tindakan yang serta-merta menciptakan gemuruh hebat di dada Angelina. Adam menghentikan sentuhannya, lantas menikmati respons yang wanita itu berikan padanya. Sekujur tubuhnya menggigil dan giginya bergemeletuk saling bersentuhan.
“Kau gemetar. Apa kau takut?” goda Adam yang menyunggingkan seringainya.
“Kata takut tidak pernah ada di dalam kamusku,” sesumbar Angelina yang memejamkan matanya rapat-rapat.
“Aku adalah pria yang suka tantangan, tetapi untuk kasusmu aku berani bertaruh bahwa kau akan menyesali ucapanmu nanti.”
Diam-diam Angelina mengutuk mulutnya yang kurang ajar, “Maafkan aku, Tuan Ford.”
“Permintaan maafmu ditolak, kecuali...”
Adam membuat jeda di kalimatnya dan Angelina menyambarnya, “Kecuali apa?”
“Kecuali kau membuktikannya padaku. Buktikan bahwa kau memang bukan penakut.”
“Ca-caranya?”
“Tuntun jemariku ke bagian tubuhmu yang paling mendambakan sentuhan dariku.”
Angelina dilanda tremor sesaat selepas Adam menyelesaikan jawabannya, “Apa aku harus melakukannya, Tuan Ford?”
“Ya, Angelina. Lakukanlah sekarang,” lirih Adam yang deru napasnya yang makin lama makin berat.
Angelina menggigit bibir, dia menggeleng-geleng. Itu sama saja seperti mengundang Adam untuk mempermainkannya. Namun, sekali lagi, wanita itu tak punya opsi. Dia hanya pion bagi Adam. Alat untuk mencapai sesuatu yang ingin pria itu raih ke depannya; melahirkan anak dan tiada hubungan lain setelah semuanya berakhir.
“Apa kau malu? Kau bertingkah seperti remaja belasan yang masih perawan,” sindir Adam yang kesal dengannya.
Angelina tersentak, “Berhentilah mencelaku, Tuan Ford.”
Adam sontak membalikkan tubuh Angelina—meraup dagu wanita itu dan melumat bibirnya—dengan rakus, seolah-olah dia merupakan seorang musafir yang baru saja menemukan ceruk oase di padang pasir sebagai sarana penghapus dahaganya. Tautan fisik itu menyatu—merebut dan menghabisi napas mereka yang tinggal satu-dua—hingga Angelina mendorong tubuh Adam ke belakang demi pasokan oksigen yang menipis di kantong paru-parunya.
“Demi Tuhan, kau manis sekali.”
***
Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga ja