Share

5. Lingerie

“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.

Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.

Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”

“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”

“Apa? Milikku?”

“Itu benar, Nona Wilson.”

Angelina menatap wajah pelayan itu sekali lagi, “Mengapa Tuan Ford menyiapkan butik untukku?”

“Butik?” sahut pelayan itu merasa geli, dia mengulum senyumnya.

“Apa ada sebutan yang cocok selain itu? Dia membeli seisi toko untuk dipindahkan ke sini,” balas Angelina yang setengah histeris.

“Tuan Ford memang menyediakannya khusus untuk Anda, Nona Wilson. Anda boleh memilih dan mengenakan merek apa saja yang ada di sana.”

Angelina masih bergeming. Sepasang mata cantiknya memandang tanpa berkedip. Pelayan pixie itu lagi-lagi tersenyum, dia mengingatkan Angelina agar segera berdandan sebab waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Dua jam lagi Adam akan datang dan pria itu benci seseorang yang belum siap menyambutnya.

“Izinkan saya memberi Anda saran, Nona Wilson.”

“Baiklah.”

Pelayan itu bergerak mendekat sambil merendahkan suaranya, “Majikan kami suka lingerie yang berwarna cokelat dan hitam dengan model vintage, Nona Wilson. Pilihlah salah satu yang menurut Anda terbaik.”

Angelina sontak beringsut mundur dari bisikan itu, “A-apa? Lingerie?”

“Benar. Lingerie.”

“A-aku tidak memakai pakaian seperti itu, kau tahu,” jawab Angelina sambil tergagap-gagap, usulan yang langsung ditolak mentah-mentah olehnya.

“Baiklah, itu terserah Anda. Maafkan atas kelancangan saya,” pelayan itu pun setengah membungkuk, tetapi senyum jahil di sudut bibirnya masih belum lenyap dari sana.

“Bangunlah. Kau tidak perlu terus-terusan membungkuk padaku.”

“Silakan Anda berganti pakaian, Nona Wilson. Saya akan keluar sekarang,” pamit pelayan pixie yang undur diri.

Angelina mengangguk menanggapi, kemudian melangkah mengitari separuh ruangan yang hanya dipenuhi aksesori milik wanita itu dengan gerakan lamban. Sorot matanya memindai menelusuri setiap merek; Christian Louboutin, Dior, McQueen, Versace, hingga YSL. Dia merasa kedua lututnya gemetar setelah mengetahui seluruh cap produk itu mempunyai harga maha tinggi.

“Apa menjadi CEO membuat Adam juga harus menghamburkan uangnya?” gumam Angelina pada dirinya sendiri.

Dari ratusan helai lingerie, Angelina justru memutuskan untuk menggunakan piama sutra yang sopan; pakaian longgar dua potong yang bertali tipis dan celana panjang semata kaki. Kini selepas memantapkan perasaannya, dia duduk di depan meja rias yang juga punya ukuran besar—cermin oval—dengan sederet produk kulit dan kecantikan yang disusun sesuai fungsinya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala karena heran.

“Pria itu juga membeli sejumlah produk dalam label bahasa Prancis yang bahkan tidak kutahu artinya,” komentar Angelina yang bingung.

Waktu pun berlalu mengantar kehadiran Adam yang muncul di depan pintu kamar Angelina sekarang. Dia memasuki ruangan itu dengan ekspresi wajah datar, seolah-olah wanita yang ingin dia temui sedang tiada di sana bersamanya. Sementara Angelina yang gugup spontan berdiri di dekat jendela dan meremas-remas jemarinya sendiri. Pria itu sempat melirik sebentar, lantas meneruskan langkahnya menuju ke kamar mandi.

Suara pancuran air dari tiang shower terdengar menggema seiring dengan lajunya degup jantung Angelina memberikan reaksi yang secara otomatis menimbulkan keringat di keningnya. Dia menjadi dua kali lipat lebih gugup. Pikirannya berkelana ke beberapa artikel di berbagai situs website yang dia baca sebelumnya. Rasa nyeri, darah, dan...

“Kemarilah, Angelina.”

Perintah itu membuat Angelina seketika terlonjak dari posisinya. Perutnya terpilin, dia mengatur sistem pernapasannya yang mendadak kacau, kemudian berusaha mematuhi permintaan Adam—pria yang tengah menunggunya untuk bergabung—atau mungkin memandikan dan menggosok punggungnya itu. Dia segera menyusul masuk, menemukan Adam yang tanpa balutan apa pun di tubuh atletiknya. Pria itu basah kuyup dan droplet yang dihasilkan oleh shower memercik ke sekat-sekat kaca transparan yang mengelilinginya.

“Mengapa kau lama sekali?” protes Adam yang gusar.

Angelina menundukkan pandangannya, “A-aku ha—”

“Kemarilah, lebih dekat lagi padaku.”

Bulu kuduk Angelina meremang, dia masih menjaga pandangannya ke bawah menekuri tegel sekaligus ujung kakinya sambil berjalan mendekat menuju Adam. Sikap malu-malu wanita itu langsung melecut hasratnya untuk menarik Angelina terguyur di antara kungkungannya dan akhirnya dia memang melakukannya, membuat Angelina terimpit ke dinding tanpa sanggup menghindari rengkuhan pria itu di punggungnya.

“A-apa yang kau lakukan, Tuan Ford?” jerit Angelina yang terkejut atas aksinya.

Adam kembali menekan punggung Angelina dengan dadanya, “Apa yang kulakukan? Aku ingin menciummu.”

“Me-mencium?”

Kepala Adam turun meraih leher belakang Angelina yang dingin. Bibirnya mengecup dan menjelajahi area itu dengan lembut. Tindakan yang serta-merta menciptakan gemuruh hebat di dada Angelina. Adam menghentikan sentuhannya, lantas menikmati respons yang wanita itu berikan padanya. Sekujur tubuhnya menggigil dan giginya bergemeletuk saling bersentuhan.

“Kau gemetar. Apa kau takut?” goda Adam yang menyunggingkan seringainya.

“Kata takut tidak pernah ada di dalam kamusku,” sesumbar Angelina yang memejamkan matanya rapat-rapat.

“Aku adalah pria yang suka tantangan, tetapi untuk kasusmu aku berani bertaruh bahwa kau akan menyesali ucapanmu nanti.”

Diam-diam Angelina mengutuk mulutnya yang kurang ajar, “Maafkan aku, Tuan Ford.”

“Permintaan maafmu ditolak, kecuali...”

Adam membuat jeda di kalimatnya dan Angelina menyambarnya, “Kecuali apa?”

“Kecuali kau membuktikannya padaku. Buktikan bahwa kau memang bukan penakut.”

“Ca-caranya?”

“Tuntun jemariku ke bagian tubuhmu yang paling mendambakan sentuhan dariku.”

Angelina dilanda tremor sesaat selepas Adam menyelesaikan jawabannya, “Apa aku harus melakukannya, Tuan Ford?”

“Ya, Angelina. Lakukanlah sekarang,” lirih Adam yang deru napasnya yang makin lama makin berat.

Angelina menggigit bibir, dia menggeleng-geleng. Itu sama saja seperti mengundang Adam untuk mempermainkannya. Namun, sekali lagi, wanita itu tak punya opsi. Dia hanya pion bagi Adam. Alat untuk mencapai sesuatu yang ingin pria itu raih ke depannya; melahirkan anak dan tiada hubungan lain setelah semuanya berakhir.

“Apa kau malu? Kau bertingkah seperti remaja belasan yang masih perawan,” sindir Adam yang kesal dengannya.

Angelina tersentak, “Berhentilah mencelaku, Tuan Ford.”

Adam sontak membalikkan tubuh Angelina—meraup dagu wanita itu dan melumat bibirnya—dengan rakus, seolah-olah dia merupakan seorang musafir yang baru saja menemukan ceruk oase di padang pasir sebagai sarana penghapus dahaganya. Tautan fisik itu menyatu—merebut dan menghabisi napas mereka yang tinggal satu-dua—hingga Angelina mendorong tubuh Adam ke belakang demi pasokan oksigen yang menipis di kantong paru-parunya.

“Demi Tuhan, kau manis sekali.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status