Angelina merupakan salah satu saksi bahwa sifat serakah dapat menyengsarakan siapa saja. Kini dia berjalan dalam lingkaran takdir yang diciptakan oleh Adam—bundaran tiada berujung yang memerangkapnya—hingga hari-hari ke depan. Wanita itu hanya tertidur selama tiga jam dengan antrean mimpi buruk yang selalu menghampirinya. Dia terbangun setelah meneriakkan nama Hannah—ibunya, lantas menangis di bawah lindungan selimut berbahan katun yang menutupi sekujur tubuhnya.
Bulan Juli menjadi bulan terburuk sekaligus titik terendah dari hidup Angelina; bulan kelahirannya sendiri. Kadang-kadang dia bahkan berharap jika usianya akan memendek dari yang seharusnya dan menemui Hannah dengan cepat. Namun, kadang-kadang wanita itu juga berharap dia sanggup melalui segenap problematik yang melintang di hadapannya.
Angelina duduk di pinggir ranjang sekarang, memandang jauh ke diorama pepohonan beech yang tumbuh bersama koloni lain di luar jendela dan mengatur napas untuk menekan sisi emosionalnya yang kembali naik. Persetan dengan Rupert, pikirnya. Selepas perasaannya berubah menjadi stabil, dia mengedarkan pandang ke sekeliling. Wanita itu sedang mengamati setiap detail kecil yang ada di sekitarnya. Sesuatu yang belum sempat dia lakukan sejak pertama kali tiba di kediaman keluarga Ford sebab perhatiannya terbagi ke hal-hal lain.
Ruang seluas belasan meter itu memang besar dan mewah, tetapi nyaman—terlalu nyaman malah, nuansa klasik memenuhi seluruh dekorasinya. Desain yang estetik itu berhasil membuat orang yang menempatinya merasa tengah berada di kawasan hotel fasilitas bintang wahid. Gaya interiornya pun memberikan suasana ikonik dengan sentuhan elemen ukir di mana-mana; kepala ranjang, lemari, gagang pintu sampai chandelier ala abad pertengahan yang dijalin menggunakan rantai dua susun.
Angelina terus mengayunkan langkahnya, kemudian berhenti di depan sebuah patung karya Alberto Giacometti yang terbuat dari bahan perunggu. Dia menurunkan kepalanya sedikit dan menjernihkan pandangan lekat-lekat. Wanita itu bukan penikmat seni, tetapi dia tahu semua benda yang terpajang di sana adalah barang-barang berharga fantastis. Sesuatu yang tak akan pernah mampu dia beli. Tak peduli seberapa keras usahanya untuk mengumpulkan lembaran dolar ke dalam rekening pribadinya.
Suara ketukan pada pintu mendadak terdengar—bunyi yang menyela aktivitas Angelina, dia seketika menoleh dan menyahut, “Masuklah.”
Pintu langsung terbuka melebar. Sepuluh orang pelayan yang sedang mendorong kereta berisi lusinan nampan masakan masuk dengan barisan rapi, berjejer di dekat Angelina. Salah satu dari mereka memberikan salam, lantas menjelaskan menu sajian yang mereka bawa di lima kereta pertama—tema Asia; bebek peking, burrito, kari, sushi hingga samosa.
“A-apa aku harus menghabiskan seluruh hidangan itu?” komentar Angelina yang terkejut atas jumlah makanan yang datang.
“Anda boleh memilih yang mana pun, Nona Wilson.”
Si pelayan itu lagi-lagi menerangkan berbagai isi dari sisa kereta berikutnya—bertema Eropa; banitza, currywurst, gnocchi, steik, dan sup krim jagung. Angelina tercengang menyaksikan para pelayan itu bergerak sigap membuka satu-persatu penutup nampan, seolah-olah tengah memeragakan mini parade.
“Apa aku boleh memberi saran?”
Pelayan berlesung pipi itu mengernyitkan keningnya, “Tentu saja, Nona Wilson.”
Angelina menghela napas panjang sebelum membalas, “Kalian tidak perlu mengantarkan masakan sebanyak itu. Cukup dua atau tiga menu hidangan saja. Berlebihan juga bukan sesuatu yang baik.”
“Baiklah, Nona Wilson. Maafkan kami,” angguknya sambil setengah membungkuk.
“Bangunlah, kumohon. Kalian tidak usah bersikap seformal itu padaku. Aku bukan siapa-siapa.”
“Anda merupakan tamu dari majikan kami. Tuan Ford akan menghukum kami jika perilaku kami kurang sopan.”
Angelina memijit ruang di antara alisnya dan kembali berujar, “Apa Adam—mak-maksudku Tuan Ford selalu berlaku kejam pada kalian?”
“Tidak, Nona Wilson. Tuan Ford adalah orang yang baik.”
Angelina nyaris tersedak air liurnya sendiri, “Baik?”
Pelayan itu tersenyum, “Ya. Kadang-kadang Tuan Ford memang berbicara dengan lugas dan agak tajam, tetapi dia pria yang baik.”
“Aku tidak percaya,” gumam Angelina pada dirinya sendiri.
“Apa Anda mengatakan sesuatu, Nona Wilson?”
“Eh? Ti-tidak, tidak ada. Kalian boleh pergi.”
Deretan pelayan itu keluar dari sana, meninggalkan Angelina yang memandangi sejumlah makanan dengan asap yang masih mengepul di hadapannya. Jika dia berada di situasi normal, maka wanita itu tak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipi semuanya. Selera makannya menjadi kacau, menahan rasa lapar terdengar wajar baginya sekarang.
Sisa hari itu kemudian bergulir menuju senja. Angelina duduk di balkon menonton matahari terbenam. Dia merindukan udara. Hawa segar dan panasnya sengatan bintang yang menjadi pusat tata surya itu pada kulitnya. Dia bosan terkurung di dalam kamar sepanjang waktu sekaligus khawatir dengan perihal ‘pukul sembilan’ yang akan datang sebentar lagi.
Suara ketukan lagi-lagi terdengar dan dua orang pelayan yang berbeda dari sebelumnya hadir menyapa Angelina. Mereka membawa dua helai handuk berserat bambu—berbahan campuran katun atau linen lembut—tersampir di lengan kiri masing-masing serta sekeranjang peralatan khusus untuk berendam. Salah satunya lantas meminta wanita itu ikut ke kamar mandi.
“Ada apa?” tanya Angelina sesaat setelah mereka masuk ke area bathub.
“Anda harus mempersiapkan diri, Nona Wilson.”
“Bukankah hari masih petang?”
Pelayan bergigi besar itu mengangguk, “Anda benar, tetapi Tuan Ford memerintahkan kami agar melayani Anda berendam sekarang. Kami akan menyiapkan lilin aroma terapinya dahulu.”
“Apa bau lilin yang Anda sukai, Nona Wilson?” tegur pelayan lainnya—rambut cokelatnya dipotong pendek model pixie yang mencuat ke segala arah.
“Um, entah. Maksudku, aku belum pernah menggunakan lilin seperti itu. Pilihkan saja satu yang wanginya menyerupai bunga-bungaan.”
Si pelayan refleks menyambar dua jenis hidrokarbon padat itu dan menaruhnya di ujung bathub, “Aroma bunga lavender akan membuat Anda rileks.”
“Benarkah? Terima kasih.”
“Apa Anda ingin susu almon atau susu kambing, Nona Wilson?”
“Busa saja cukup.”
“Maafkan kami, tetapi Tuan Ford yang menginginkannya. Dia ingin Anda mandi susu.”
Angelina melengos kesal, “Apa dia juga berhak mengatur acara mandiku?”
Pelayan pixie itu menjawab, “Tentu saja, Nona Wilson.”
“Tuan Ford yang menyuruh kami,” sambung pelayan bergigi besar.
“Pria itu tahu caranya membuatku marah,” gerutu Angelina yang seketika memalingkan wajahnya ke arah bathub—bak itu terlihat kental—dengan sentuhan romantik.
“Ada beberapa pilihan kelopak bunga juga, Nona Wilson.”
Angelina berdecak jengkel, “Tolong, campurkan apa saja di sana. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin ritualnya lekas berakhir.”
Dua pelayan itu mengangguk serentak, kemudian menuang susu almon dan kelopak bunga mawar putih di dalam sana—membiarkan Angelina mengambil waktu berendam yang nyaman—sebelum menyelesaikan tahap selanjutnya, yaitu memilih pakaian. Adam ingin memastikan wanita itu benar-benar siap untuk dirinya—menaklukkan dan mengontrol Angelina di bawah pacuan tubuhnya serta ‘menghancurkannya’—sampai dia sendiri yang memohon di bawah kaki pria itu.
***
“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”
Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu