Share

Bab 5

Author: Daes Eag
last update Last Updated: 2022-03-18 09:46:17

“Semuanya akan baik-baik saja, jadi bertahanlah. Ibu dan Ayah akan melindungimu.”

Kedua sudut mata Nara kian berair. Aliran anak sungai itu kian merembes keluar dan Nara kehilangan pertahanannya begitu genggaman tangannya perlahan dilepas oleh Daehyun. Pria itu tersenyum seraya mengusap puncak putrinya. Tepat di belakang, Kiara menatap dua orang yang dicintainya dengan seulas senyuman.

“Jangan pergi.” Suara Nara bergetar dengan isakan yang semakin keras.

-

“Ayah!” Kedua mata Nara terbuka. Hal yang pertama ia lihat adalah wajah seorang anak laki-laki yang berjarak cukup dekat dengannya. Nara secara refleks memeluk pemuda itu dan menangis di bahu lebarnya, menumpahkan segala kerinduannya.

“Aku khawatir saat kakek berkata kalau kau terluka.” Pemuda itu berujar seraya mengusapi punggung Nara. Gadis itu masih bertahan dengan posisinya.

Akhirnya dengan perlahan pemuda itu menjauhkan tubuh Nara dan menangkup wajah gadis itu. “Lihatlah, wajahmu terluka. Aku sedang mengobati lukamu jadi jangan banyak bergerak selagi obatnya belum kering. Aigoo … lihatlah apa yang dilakukan makhluk itu padamu.” Ia menatap nanar sebuah luka kering di leher Nara.

“Kapan kau pulang?” Tanya Nara dengan masing-masing sudut masa masih lembap.

“Pagi ini. Kau tahu, Gunung Seongju tidaklah buruk. Tapi aku lebih menyukai setiap aku berada di sini.” Sang pemuda tersenyum. Ia kembali mengoleskan sesuatu ke salah satu pipi Nara yang terluka. “Aku merindukanmu.”

Hwang Yooshin –nama pemuda itu, ia merupakan salah satu murid Daehyun. Di usianya yang baru menginjak dua belas tahun, ia sudah mahir memainkan pedang dan panah. Selama satu bulan terakhir, ia dan sang ayah pergi ke Gunung Seonju bersama dengan seorang ahli pedang yang diklaim guru Yooshin yang baru. Di sana mereka berlatih, sebelum akhirnya mereka mendengar berita kalau makhluk bernama Moa di Yangdong kembali berbuat ulah dan melukai penduduk, tidak terkecuali Nara. Yooshin dan ayahnya pun memutuskan untuk kembali ke desa tiga hari lebih awal.

“Ke mana kakek?”

“Ah, kakekmu sedang pergi mencari obat-obatan. Ayahku juga bersamanya, jadi kau tidak perlu khawatir.” Yooshin membantu Nara mendudukkan tubuhnya.

“Ta-tapi kakekku sedang sakit. Dia juga terluka, aku yakin. Kau yakin dia akan baik-baik saja?”

Kedua sudut bibir Yooshin naik. “Kakekmu dari dulu memang paling keras kepala jika menyangkut soal cucu kesayangannya. Dia tetap menolak saat ayahku hendak pergi sendiri dan menyuruh kakekmu istirahat. Alhasil kakekmu malah menyuruhku untuk tinggal di sini sementara dia yang pergi. Jangan khawatir, kakekmu itu sangat kuat.” Pemuda itu mengambil secangkir teh yang sudah dicampur akar ginseng dan memberikannya pada Nara. “Minumlah, kau akan merasa baikan.”

Nara meminumnya perlahan. Kedua alisnya saling bertaut begitu cairan yang dibencinya itu masuk ke dalam kerongkongannya.

“Kau akan baik-baik saja di sini. Oh, iya, kakekmu juga menyuruhmu agar tetap di rumah selagi dia pergi.”

“Cerewet sekali.” Nara bergumam pelan dengan bibir mencebik.

Mendengar itu, Yooshin tertawa pelan. “Tidurlah lagi. Kau pasti kehilangan banyak tenaga semalam. Aku tidak habis pikir kenapa makhluk sekeji itu juga mengincar anak-anak sepertimu.”

“Karena aku anak dari seorang pendeta yang membantai semua bangsanya. Dan berhentilah menyebutku anak-anak!” Bibir Nara mencebik, terlihat menggemaskan. “Padahal kau juga masih anak-anak.”

“Hei, aku ini empat tahun lebih tua darimu. Sebentar lagi umurku akan genap dua belas tahun, sementara kau masih delapan, kan?”

Nara membuang wajahnya ke sisi lain. “Aku bosan.” Ia tiba-tiba mengalihkan topik obrolan mereka.

Yooshin membuang napas. Ia lalu melingkarkan tangannya di bahu Nara dan membantu gadis itu supaya berdiri.

“Kenapa terkejut begitu? Kau bilang kalau kau bosan, kan?” Ia berujar.

Keduanya berjalan keluar dan salju masih terlihat di atas rerumputan, juga atap-atap rumah. Yoshin mendudukkan Nara di sebuah bangku.

“Padahal cuacanya masih dingin,” cetus Yooshin. Ia duduk di sebelah Nara.

Diam-diam, gadis itu memperhatikan pemuda di sebelahnya. “Kau selalu saja membawa pedang.”

Kedua mata Yooshin mengerjap dua kali dan melirik pedangnya. “Ah, aku sudah terbiasa. Guru Son juga selalu membawa pedang, kan?”

“Hm. Ayah selalu membawa pedangnya ke manapun dia pergi. Dan sekarang pedang itu harus berganti pemilik, dan aku juga mau tidak mau harus bisa menguasainya.”

“Kau –“ Yooshin berdeham, “Kau benar-benar mau menggunakan pedang itu? Kau hanya perlu belajar memanah. Wanita –“

“Memangnya kenapa jika wanita menggunakan pedang? Selain pandai memanah, ibuku juga cukup pandai dalam menggunakan pedang. Kenapa aku tidak boleh?” Nara menginterupsi.

“Bukan begitu maksudku. Maaf –“ Yooshin menunduk. “ –Nona.”

Nara tiba-tiba menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Salah satu tangannya terangkat dan mengusap kepala Yooshin. “Kau pasti berjuang keras. Ayahku beruntung bisa memiliki murid sepertimu,” pujinya. Sejujurnya ia tidak begitu suka saat sikap Yooshin berubah menjadi formal padanya. Menurutnya, bagaimana pun ia dan Yooshin sudah tumbuh berdampingan sedari dulu dan juga mereka sering menghabiskan waktu bersama karena Daehyun selalu menitipkan Nara pada pemuda itu setiap kali keduanya pergi.

***

Tepat di tengah hutan yang sunyi, seseorang tertidur di bawah pohon besar dengan darah mongering di tubuhnya. Kedua mata elang itu menatap ke atas begitu sisa-sisa salju di dahan berjatuhan padanya karena terpaan angin.

“Aku akan membunuhmu dengan tanganku sesegera mungkin, sebelum kau tumbuh semakin dewasa.” Moa terbatuk setelahnya. Napasnya sedikit memburu dengan paru-parunya yang terasa sesak. Luka bekas panah Nara masih membekas di tubuhnya. Ia menyentuh dadanya yang sebelah kiri, tepat di atas luka itu.

“Kenapa kau melakukan ini? Kau … bisa saja langsung membunuhku.” Moa berujar lirih. Dengan bantuan pedangnya, ia berdiri dan berjalan perlahan menuju suatu tempat.

“Kau pasti akan menyesali perbuatanmu suatu saat nanti –“

Dahan-dahan pohon kembali bergerak begitu angin datang.

“ –Nara.”

Deretan pohon ek tua di sana masih berdiri dengan kokohnya. Semakin hari, segel itu kian melemah tak peduli sesering apa penduduk memanfaatkan seorang gadis belia untuk ritual konyol setiap purnama. Terkadang Moa berpikir, kalau penduduk desa nyatanya lebih keji dari dirinya. Namun begitu ia ingat kalau penyebab Nara yatim piatu adalah dirinya, ia sadar kalau ia masih begitu buruk. Sangat buruk.

Nara masih terlalu muda untuk memimpin sebuah ritual sakral. Mungkin setelah gadis itu menginjak dewasa nanti, segel di pohon ek itu akan kembali seperti dulu. Sama persis seperti saat Kiara yang melakukannya.

“Seharusnya semalam aku langsung membunuhnya.”

***

“Ada apa?” Yooshin ikut menatap ke arah yang tiba-tiba ditatap oleh Nara tanpa alasan.

“Tidak ada.” Nara tersenyum tipis. Ia memegang luka di wajahnya yang sudah mengering. Luka bekas sayatan kuku Moa itu masih terasa cukup perih. Ia lalu menatap Yooshin yang tengah merapikan peralatan memanahnya.

“Yooshin,” panggil Nara.

“Hm?” Pemuda itu menghentikan aktivitasnya sejenak dan mendongak.

“Apa kau tidak takut?”

“Soal apa?”

“Selama ini Moa mengincar keluargaku –ah, salah. Dia mengincarku. Kau selalu ada di dekatku, apa kau tidak takut?”

Yooshin mengerutkan dahi. “Maksudmu kau takut kalau Moa akan membunuhku? Atau kau takut dia membunuhmu?”

“Dua-duanya.”

Yooshin tersenyum. “Tidak ada alasan aku harus takut padanya. Pertama, dia tidak akan bisa membunuhku. Kedua, selama aku ada di sini, aku juga tidak akan membiarkan dia membunuhmu, atau bahkan menyentuh sehelai rambutmu,” tegasnya.

Decitan pintu membuat kedua anak muda itu terperanjat pelan. Yooshin secara refleks mengambil peralatan panah milik Nara dan beralih ke hadapan gadis itu.

Seorang wanita paruh baya tampak terkejut saat ujung anak panah mengarah tepat padanya. Yooshin pun perlahan menurunkan kembali tangannya yang semula sudah menarik tali busur. Ia membungkukkan badannya pada wanita itu.

“Maaf, Nona. Saya hanya ingin memberikan ini. Tadi Tuan Seungmo berpesan sebelum pergi. Beliau menyuruh untuk membuatkan bubur ketika Anda sudah bangun.”

Yooshin menatap Nara sejenak, lalu ia melangkah dan menerima nampan berisi semangkuk bubur dengan teh.

“Terima kasih,” ujar Nara.

Wanita tadi segera berpamitan dan pergi dari sana. Nara tertawa pelan sepeninggalnya.

“Aku rasa kau serius dengan ucapanmu yang tadi.” Nara menatap Yooshin yang mendadak gugup. Kedua telinga lelaki itu mendadak memerah, menandakan kalau ia tengah salah tingkah. Bagaimana tidak, ia hampir saja menancapkan sebuah anak panah ke kepala seseorang.

“Kau memang murid ayahku. Sifat kalian bahkan semakin mirip,” lanjut Nara. Ia menarik tangan Yooshin agar kembali duduk di sebelahnya dan mengambil alih nampan itu. “Ayo  makan ini bersama-sama,” ajaknya,

“Apa? Ah, tidak usah. Kau harus banyak makan untuk memulihkan tenagamu.”

“Sudahlah, kau juga pasti belum makan sejak tadi. Kau menempuh perjalanan cukup jauh, artinya kau juga harus makan.” Nara menyendokkan bubur itu menggunakan sebuah sendok dan langsung mendekatkannya pada bibir Yooshin setelah meniupnya beberapa kali. “Ayo, aaa~”

Dengan ragu, Yooshin pun menerima suapan dari Nara. Gadis itu tersenyum puas, lalu ikut memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.

 

—tbc

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Beauty & The Monster   Extra Bab

    Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan

  • The Beauty & The Monster   Bab 101

    Sebuah upacara pernikahan baru saja selesai diadakan begitu hari menjelang siang. Orang-orang yang datang terlihat begitu bergembira, menatap sepasang pengantin baru yang beberapa saat lalu mengucapkan janji sehidup semati.Takdir memang tak ada yang tahu, begitu pun dengan setiap rencana milik Tuhan. Namun sebaik apapun rencana yang manusia pilih, rencana dari Tuhan adalah rencana yang terbaik dari yang paling baik.Langit pun tampak begitu cerah, seolah mendukung pasangan muda ini untuk menikmati waktu bahagia mereka.Pasangan yang dulu dikenal sebagai sahabat dekat sedari usia mereka masih belia, kini bertranformasi menjadi pasangan yang sesungguhnya. Nara melingkarkan tangannya di salah satu lengan milik Yooshin, menatap pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua berjalan menyapa para tamu undangan.Kedua sudut bibir milik Nara naik ke atas melihat betapa bahagianya orang-orang di sana. Dan tanpa ia sadari pula, sedari tadi Yooshin menatapnya dari samping, menat

  • The Beauty & The Monster   Bab 100

    Moa menyentuh permukaan wajahnya yang lain menggunakan tangan, dan menemukan adanya darah di sana, sebelum akhirnya kembali menatap Nara. Kini gadis itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, tanpa mau memikirkan hal lain lagi. Nara beberapa kali melayangkan serangan padanya tanpa adanya ragu sedikit pun. "Nara ... " Yooshin berniat berdiri untuk membantu Nara. Dengan menggunakan pedangnya untuk tumpuan, pria itu berdiri dari posisinya dan mendekati Nara secara perlahan. Yooshin berlari sekuat yang ia bisa dengan pedang yang sudah bersiap di tangannya. Namun sebelum ia benar-benar mendekati Moa, mahluk itu sudah terlebih dulu berbalik dan menangkis serangannya dan memukul bahu Yooshin beberapa kali hingga tubuh pria itu terdorong beberapa kali ke belakang. "Yooshin!!" Di saat lengah itulah, Moa memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan serangan terakhirnya pada Yooshin. "Matilah kau!!!" Tangan Moa sudah siap mengoyak perut Yooshin, membuat Nara membelalakkan kedua matanya. "Ti

  • The Beauty & The Monster   Bab 99

    "A-aku percaya Paman adalah orang yang baik." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari gadis kecil malang yang berusaha menyelamatkan Nara. Haewon tak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu terduduk di atas permukaan tanah dengan air mata yang berderai."Tidakkk!!" Nara langsung bergerak dari posisinya dan meraih tubuh kecil yang kini tak berdaya itu. Air matanya berderai, tak percaya kalau seorang gadis kecil akan berbuat sampai sejauh itu demi menyelamatkan hidupnya. Gadis itu tak bersalah. Ia tak ada kaitannya dengan ini dan tak seharusnya berkorban sampai sejauh itu. Yooshin yang melihat itu tampak tak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan Moa sekalipun tak bisa menghindar. Gadis kecil yang baru saja meregang nyawa di hadapannya itu tak lain adalah gadis kecil yang beberapa waktu terakhir pernah ia selamatkan. Satu-satunya orang lain yang menganggapnya sebagai orang baik dan memperlakukannya layaknya seperti orang yang tak pernah membunuh.Dan siapa sangka

  • The Beauty & The Monster   Bab 98

    "Nara, kau—" Kedua mata Yooshin membulat saat melihat Nara yang benar-benar berhasil mencabut pedang itu sepenuhnya. "Yooshin, aku berhasil." Nara menatap Yooshin. Gadis itu berhasil. Yooshin dengan segera membantu Nara agar gadis itu tak kehilangan keseimbangannya. Pria itu lalu menatap luka yang ada di punggung Nara. "Nara, tapi lukamu tak menghilang sedikit pun." Napas Nara tersengal, "tak apa, Yooshin. Aku sudah tak lagi merasakan sakitnya. Ha-hanya saja—" Tubuhnya tiba-tiba limbung namun Yooshin dengan sigap menahannya. "Nara, kau tak apa?" tanya Yooshin cemas. "Aku tak apa, rasa sakitnya sudah berkurang, hanya saja aku merasa kalau tenagaku terkuras banyak hingga aku merasa kalau kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri," lirih Nara. "Ayo, kembali ke desa. Kita harus menolong semua orang. Mereka pasti memerlukan bantuan." Yooshin mengangguk. Ia segera memapah Nara dan mulai bergerak keluar dari hutan. *** Moa menggeram dengan darah yang menetes dari ujung

  • The Beauty & The Monster   Bab 97

    "AKU TAK AKAN MENGAMPUNMU!" Seungmo merasakan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya begitu salah satu tangan Moa berhasil merobek permukaan kulitnya. "Entah apa saja yang sudah kau katakan pada Nara yang jelas kau sudah menghancurkan semuanya!!" Moa berteriak tepat di depan wajah Kim Seungmo. Ia seakin mendorong masuk kuku-kuku di tangannya ke dalam, membuat Sungmo terbatu dengan darah yang keluar dari mulutnya. "Tuan Kim!" Tuan Hwang berdiri sekuat tenaga dengan bertumpu pada pedangnya dan pria itu berjalan mendekat ke arah Moa dan Seungmo. Moa langsung melompat menghindar tapat ketika Tuan Hwang mengayunkan pedang ke arahnya. "Semua kekacauan yang terjadi di desa ini, aku takkn pernah bisa memaafkanmu!" murka Tuan Hwang. "Kenapa, Kim Seungmo?" Kedua tangan Moa mengepal dengan kuat. "Kenapa kau melakukan hal ini lagi? Kenapa kau selalu saja menggagalkan semua rencanaku?!" "Ka-karena aku tak ingin menyerahkan cucuku padamu, Moa." Seungmo kembali terbatuk setelahnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status