Share

Bab 5

“Semuanya akan baik-baik saja, jadi bertahanlah. Ibu dan Ayah akan melindungimu.”

Kedua sudut mata Nara kian berair. Aliran anak sungai itu kian merembes keluar dan Nara kehilangan pertahanannya begitu genggaman tangannya perlahan dilepas oleh Daehyun. Pria itu tersenyum seraya mengusap puncak putrinya. Tepat di belakang, Kiara menatap dua orang yang dicintainya dengan seulas senyuman.

“Jangan pergi.” Suara Nara bergetar dengan isakan yang semakin keras.

-

“Ayah!” Kedua mata Nara terbuka. Hal yang pertama ia lihat adalah wajah seorang anak laki-laki yang berjarak cukup dekat dengannya. Nara secara refleks memeluk pemuda itu dan menangis di bahu lebarnya, menumpahkan segala kerinduannya.

“Aku khawatir saat kakek berkata kalau kau terluka.” Pemuda itu berujar seraya mengusapi punggung Nara. Gadis itu masih bertahan dengan posisinya.

Akhirnya dengan perlahan pemuda itu menjauhkan tubuh Nara dan menangkup wajah gadis itu. “Lihatlah, wajahmu terluka. Aku sedang mengobati lukamu jadi jangan banyak bergerak selagi obatnya belum kering. Aigoo … lihatlah apa yang dilakukan makhluk itu padamu.” Ia menatap nanar sebuah luka kering di leher Nara.

“Kapan kau pulang?” Tanya Nara dengan masing-masing sudut masa masih lembap.

“Pagi ini. Kau tahu, Gunung Seongju tidaklah buruk. Tapi aku lebih menyukai setiap aku berada di sini.” Sang pemuda tersenyum. Ia kembali mengoleskan sesuatu ke salah satu pipi Nara yang terluka. “Aku merindukanmu.”

Hwang Yooshin –nama pemuda itu, ia merupakan salah satu murid Daehyun. Di usianya yang baru menginjak dua belas tahun, ia sudah mahir memainkan pedang dan panah. Selama satu bulan terakhir, ia dan sang ayah pergi ke Gunung Seonju bersama dengan seorang ahli pedang yang diklaim guru Yooshin yang baru. Di sana mereka berlatih, sebelum akhirnya mereka mendengar berita kalau makhluk bernama Moa di Yangdong kembali berbuat ulah dan melukai penduduk, tidak terkecuali Nara. Yooshin dan ayahnya pun memutuskan untuk kembali ke desa tiga hari lebih awal.

“Ke mana kakek?”

“Ah, kakekmu sedang pergi mencari obat-obatan. Ayahku juga bersamanya, jadi kau tidak perlu khawatir.” Yooshin membantu Nara mendudukkan tubuhnya.

“Ta-tapi kakekku sedang sakit. Dia juga terluka, aku yakin. Kau yakin dia akan baik-baik saja?”

Kedua sudut bibir Yooshin naik. “Kakekmu dari dulu memang paling keras kepala jika menyangkut soal cucu kesayangannya. Dia tetap menolak saat ayahku hendak pergi sendiri dan menyuruh kakekmu istirahat. Alhasil kakekmu malah menyuruhku untuk tinggal di sini sementara dia yang pergi. Jangan khawatir, kakekmu itu sangat kuat.” Pemuda itu mengambil secangkir teh yang sudah dicampur akar ginseng dan memberikannya pada Nara. “Minumlah, kau akan merasa baikan.”

Nara meminumnya perlahan. Kedua alisnya saling bertaut begitu cairan yang dibencinya itu masuk ke dalam kerongkongannya.

“Kau akan baik-baik saja di sini. Oh, iya, kakekmu juga menyuruhmu agar tetap di rumah selagi dia pergi.”

“Cerewet sekali.” Nara bergumam pelan dengan bibir mencebik.

Mendengar itu, Yooshin tertawa pelan. “Tidurlah lagi. Kau pasti kehilangan banyak tenaga semalam. Aku tidak habis pikir kenapa makhluk sekeji itu juga mengincar anak-anak sepertimu.”

“Karena aku anak dari seorang pendeta yang membantai semua bangsanya. Dan berhentilah menyebutku anak-anak!” Bibir Nara mencebik, terlihat menggemaskan. “Padahal kau juga masih anak-anak.”

“Hei, aku ini empat tahun lebih tua darimu. Sebentar lagi umurku akan genap dua belas tahun, sementara kau masih delapan, kan?”

Nara membuang wajahnya ke sisi lain. “Aku bosan.” Ia tiba-tiba mengalihkan topik obrolan mereka.

Yooshin membuang napas. Ia lalu melingkarkan tangannya di bahu Nara dan membantu gadis itu supaya berdiri.

“Kenapa terkejut begitu? Kau bilang kalau kau bosan, kan?” Ia berujar.

Keduanya berjalan keluar dan salju masih terlihat di atas rerumputan, juga atap-atap rumah. Yoshin mendudukkan Nara di sebuah bangku.

“Padahal cuacanya masih dingin,” cetus Yooshin. Ia duduk di sebelah Nara.

Diam-diam, gadis itu memperhatikan pemuda di sebelahnya. “Kau selalu saja membawa pedang.”

Kedua mata Yooshin mengerjap dua kali dan melirik pedangnya. “Ah, aku sudah terbiasa. Guru Son juga selalu membawa pedang, kan?”

“Hm. Ayah selalu membawa pedangnya ke manapun dia pergi. Dan sekarang pedang itu harus berganti pemilik, dan aku juga mau tidak mau harus bisa menguasainya.”

“Kau –“ Yooshin berdeham, “Kau benar-benar mau menggunakan pedang itu? Kau hanya perlu belajar memanah. Wanita –“

“Memangnya kenapa jika wanita menggunakan pedang? Selain pandai memanah, ibuku juga cukup pandai dalam menggunakan pedang. Kenapa aku tidak boleh?” Nara menginterupsi.

“Bukan begitu maksudku. Maaf –“ Yooshin menunduk. “ –Nona.”

Nara tiba-tiba menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Salah satu tangannya terangkat dan mengusap kepala Yooshin. “Kau pasti berjuang keras. Ayahku beruntung bisa memiliki murid sepertimu,” pujinya. Sejujurnya ia tidak begitu suka saat sikap Yooshin berubah menjadi formal padanya. Menurutnya, bagaimana pun ia dan Yooshin sudah tumbuh berdampingan sedari dulu dan juga mereka sering menghabiskan waktu bersama karena Daehyun selalu menitipkan Nara pada pemuda itu setiap kali keduanya pergi.

***

Tepat di tengah hutan yang sunyi, seseorang tertidur di bawah pohon besar dengan darah mongering di tubuhnya. Kedua mata elang itu menatap ke atas begitu sisa-sisa salju di dahan berjatuhan padanya karena terpaan angin.

“Aku akan membunuhmu dengan tanganku sesegera mungkin, sebelum kau tumbuh semakin dewasa.” Moa terbatuk setelahnya. Napasnya sedikit memburu dengan paru-parunya yang terasa sesak. Luka bekas panah Nara masih membekas di tubuhnya. Ia menyentuh dadanya yang sebelah kiri, tepat di atas luka itu.

“Kenapa kau melakukan ini? Kau … bisa saja langsung membunuhku.” Moa berujar lirih. Dengan bantuan pedangnya, ia berdiri dan berjalan perlahan menuju suatu tempat.

“Kau pasti akan menyesali perbuatanmu suatu saat nanti –“

Dahan-dahan pohon kembali bergerak begitu angin datang.

“ –Nara.”

Deretan pohon ek tua di sana masih berdiri dengan kokohnya. Semakin hari, segel itu kian melemah tak peduli sesering apa penduduk memanfaatkan seorang gadis belia untuk ritual konyol setiap purnama. Terkadang Moa berpikir, kalau penduduk desa nyatanya lebih keji dari dirinya. Namun begitu ia ingat kalau penyebab Nara yatim piatu adalah dirinya, ia sadar kalau ia masih begitu buruk. Sangat buruk.

Nara masih terlalu muda untuk memimpin sebuah ritual sakral. Mungkin setelah gadis itu menginjak dewasa nanti, segel di pohon ek itu akan kembali seperti dulu. Sama persis seperti saat Kiara yang melakukannya.

“Seharusnya semalam aku langsung membunuhnya.”

***

“Ada apa?” Yooshin ikut menatap ke arah yang tiba-tiba ditatap oleh Nara tanpa alasan.

“Tidak ada.” Nara tersenyum tipis. Ia memegang luka di wajahnya yang sudah mengering. Luka bekas sayatan kuku Moa itu masih terasa cukup perih. Ia lalu menatap Yooshin yang tengah merapikan peralatan memanahnya.

“Yooshin,” panggil Nara.

“Hm?” Pemuda itu menghentikan aktivitasnya sejenak dan mendongak.

“Apa kau tidak takut?”

“Soal apa?”

“Selama ini Moa mengincar keluargaku –ah, salah. Dia mengincarku. Kau selalu ada di dekatku, apa kau tidak takut?”

Yooshin mengerutkan dahi. “Maksudmu kau takut kalau Moa akan membunuhku? Atau kau takut dia membunuhmu?”

“Dua-duanya.”

Yooshin tersenyum. “Tidak ada alasan aku harus takut padanya. Pertama, dia tidak akan bisa membunuhku. Kedua, selama aku ada di sini, aku juga tidak akan membiarkan dia membunuhmu, atau bahkan menyentuh sehelai rambutmu,” tegasnya.

Decitan pintu membuat kedua anak muda itu terperanjat pelan. Yooshin secara refleks mengambil peralatan panah milik Nara dan beralih ke hadapan gadis itu.

Seorang wanita paruh baya tampak terkejut saat ujung anak panah mengarah tepat padanya. Yooshin pun perlahan menurunkan kembali tangannya yang semula sudah menarik tali busur. Ia membungkukkan badannya pada wanita itu.

“Maaf, Nona. Saya hanya ingin memberikan ini. Tadi Tuan Seungmo berpesan sebelum pergi. Beliau menyuruh untuk membuatkan bubur ketika Anda sudah bangun.”

Yooshin menatap Nara sejenak, lalu ia melangkah dan menerima nampan berisi semangkuk bubur dengan teh.

“Terima kasih,” ujar Nara.

Wanita tadi segera berpamitan dan pergi dari sana. Nara tertawa pelan sepeninggalnya.

“Aku rasa kau serius dengan ucapanmu yang tadi.” Nara menatap Yooshin yang mendadak gugup. Kedua telinga lelaki itu mendadak memerah, menandakan kalau ia tengah salah tingkah. Bagaimana tidak, ia hampir saja menancapkan sebuah anak panah ke kepala seseorang.

“Kau memang murid ayahku. Sifat kalian bahkan semakin mirip,” lanjut Nara. Ia menarik tangan Yooshin agar kembali duduk di sebelahnya dan mengambil alih nampan itu. “Ayo  makan ini bersama-sama,” ajaknya,

“Apa? Ah, tidak usah. Kau harus banyak makan untuk memulihkan tenagamu.”

“Sudahlah, kau juga pasti belum makan sejak tadi. Kau menempuh perjalanan cukup jauh, artinya kau juga harus makan.” Nara menyendokkan bubur itu menggunakan sebuah sendok dan langsung mendekatkannya pada bibir Yooshin setelah meniupnya beberapa kali. “Ayo, aaa~”

Dengan ragu, Yooshin pun menerima suapan dari Nara. Gadis itu tersenyum puas, lalu ikut memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.

 

—tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status