Perlahan Nara menarik salah satu anak panah miliknya. Kedua mata anak itu tidak lepas barang sedetik pun dari Moa. Kedua matanya mengkilap.
Sementara Moa belum bergerak dari posisinya. Ia masih memperhatikan Nara. Dari kejauhan, anak itu tampak mirip seperti Kiara. Tatapan mata mereka tampak sama.
Perlahan, bayangan ketika tubuh Kiara yang berlumuran darah kembali terlintas begitu saja. Wanita itu meregang nyawa tidak jauh dari tubuh suaminya yang terbelit akar pohon. Sementara itu, seorang anak kecil menangis meraung-raung di belakangnya. Sebuah pedang yang berlumuran darah menancap di permukaan tanah di dekatnya, beserta beberapa mayat yang tergeletak.
Moa sadar, perlahan anak itu berubah seiring berjalannya waktu. Ia bisa melihat keberanian yang begitu besar perlahan muncul. Anak itu, Nara. Tidak lain adalah ancaman terbesar untuknya. Gadis itu kini sudah menarik tali busur dengan kedua mata yang tepat mengarah padanya. Pedang Moa bereaksi, bersamaan dengan ujung anak panah milik Nara yang terbuat dari batu giok. Benda itu tampak bersinar. Orang-orang di belakangnya belum menyadari hal itu, karena mereka tidak akan pernah beranjak atau bahkan mengangkat wajah selama sepatu sang pendeta belum terlihat berbalik arah.
Anak panah itu melesat cepat melewati segel perbatasan, lalu masuk ke dalam hutan. Moa dengan cepat mengangkat pedangnya hingga anak panah itu terpental keluar, kembali kepada si pengirim dan menancap di atas permukaan tanah. Menyadari ada yang tidak beres, Seungmo mengangkat kepalanya saat ia melihat anak panah itu. Ia melihat cucunya sudah memegang busur dengan tatapan lurus ke depan.
"Moa!" Seungmo langsung menarik pedangnya keluar dan berdiri di depan Nara. Beberapa orang lain tampak terkejut melihat keberadaan Moa dan mereka langsung berdiri, mengeluarkan pedang mereka dan berdiri di samping Seungmo.
"Bawa Nara pergi!" titah Seungmo pada pengikutnya. Salah satu di antara mereka langsung memasukkan pedangnya kembali dan membawa Nara pergi dari sana.
Kedua mata Moa mengkilap. "Anak itu milikku!" tubuhnya dengan cepat melompat ke udara. "Kau tidak akan pernah bisa lari, Nara."
Dengan sekali tebasan, pohon-pohon ek di sana bergetar hebat layaknya diterpa angin dahsyat. Salju-salju yang terdapat di sana berjatuhan.
"Nara!"
Tubuh Moa berhasil melewati segel dalam hitungan detik. Namun Seungmo dengan sigap menahannya. Pria tua itu mengacungkan pedang milik Daehyun tepat ke leher Moa.
"Tempatmu bukan di sini," ujar Seungmo. Kini Moa terkepung dengan semua pengikut Seungmo yang mengelilinginya. Masing-masing ujung pedang itu mengarah ke arahnya.
"Kalian pikir kalian bisa membunuhku?" Moa menyeringai. Dia melempar pedangnya ke udara, lalu disusul tubuhnya dan dari atas dia melempar kembali pedangnya hingga menancap kembali di tanah dan menimbulkan getaran cukup dahsyat.
Satu per satu pengikut Seungmo mencoba melawannya namun Moa dengan cepat mengalahkannya. Seungmo melayangkan pedang itu namun Moa berhasil menangkis menggunakan pedangnya hingga menimbulkan bunyi nyaring di tengah malam yang semula sunyi. Bahkan beberapa ekor burung tampak terbang menjauh dari sana.
"Kakek!" Nara menghentikan kedua kakinya dan berbalik begitu indra pendengarannya mendengar suara pedang dari kejauhan.
"Tidak, Nona! Anda harus menjauh atau Moa akan menangkap Anda!" Salah satu pengikut Seungmo langsung menahan tangan Nara begitu anak itu hendak pergi.
"T-tapi aku tidak bisa membiarkan kakek dalam bahaya."
"Tuan Seungmo pasti akan baik-baik saja! Sekarang Anda harus pergi!"
Nara yang semula hendak menarik anak panahnya itu pun segera mengurungkannya dan memilih pergi.
Seungmo mulai kewalahan menghadapi Moa. Pria itu berkali-kali hampir terbunuh dan tubuhnya terhempas ke permukaan pohon-pohon ek di sana. Tepat setelah itu, Moa mulai menghisap seluruh jiwa dari para pengikut Seungmo yang telah mati. Kuku jemarinya kian memanjang begitu ia mencabik tubuh mereka semua. Di bawah sinar rembulan itu, ia menyeringai.
Napas Seungmo memburu. Ia tidak boleh mati di sana. Nara masih membutuhkannya. Seungmo beranjak dari posisinya dan dia melayangkan pedangnya ke salah satu tangan Moa. Darah seketika langsung memuncrat mengenai wajah dan pakaiannya.
Moa perlahan berbalik, menatap Seungmo yang tampak berusaha menjauh darinya. Pedang di tangan pria tua itu langsung jatuh begitu saja ke permukaan tanah. Moa menatap benda yang berlumuran darah itu, lalu beralih menatap lengannya.
"Berani sekali kau," ujar Moa diikuti geraman pelan. Kedua kakinya perlahan maju, berbanding dengan Seungmo yang bergerak mundur. Pedang miliknya yang berada di tanah dalam hitungan detik sudah berada di genggaman tangannya. Moa menatap Seungmo nyalang.
"Akan kukirim kau ke alam baka sekarang juga!" Pedang itu sudah dia angkat tinggi-tinggi ke udara, bersiap menebas kepala Seungmo kapan saja.
"Bersiaplah dengan kematianmu, Tua Bangka!"
Seungmo memejamkan kedua matanya rapat. Namun Moa justru berhenti di detik berikutnya. Pedangnya bereaksi, kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menyeringai.
Seorang gadis belia berdiri tidak jauh di belakangnya dengan kedua tangan yang sudah siap dengan busur dan anak panah.
"Nara! Jangan kemari!" Seungmo berteriak dengan susah payah.
"Aku tidak akan bisa seperti ibu jika aku terus melarikan diri," ujar Nara. Ia berusaha membidik benar sasarannya di tengah ketakutan. Ujung anak panahnya yang bersinar mengikuti gerakan Moa.
"Ini terlalu berbahaya, Nona!" Pria yang sedari tadi bersama Nara langsung maju ke depan gadis itu dan menarik pedangnya keluar. "Anda masih harus melindungi desa. Hanya Anda yang kami punya, Nona."
Moa tertawa tanpa alasan. Kedua kakinya bergerak maju, dan dia bisa melihat sebuah norigae berwarna merah yang menggantung di hanbok Nara itu semakin bersinar. Salah satu sudut bibirnya naik.
"Bahkan setelah mati pun, ibumu masih bisa menghalangiku," ujarnya. "Kau terlalu sibuk memperkuat segel di pohon ek ini, sampai kau tidak menyadari kalau pedangku ini sudah berlumuran darah milik ibumu. Sebagian jiwanya terhisap ke dalam. Dan itu artinya aku bisa melewati segelnya."
"Ibu ... " Napas Nara tertahan pelan. Ya, benar. Ibunya akan terus melindunginya walaupun kini raganya sudah tiada. Kedua orang tuanya akan selalu bersamanya.
Seungmo terkejut mendengar ucapan Moa. Jiwa Kiara terhisap oleh pedang itu? Pedang Moa hanya menghisap jiwa-jiwa gelap manusia, Kiara adalah seorang pendeta. Jiwanya seharusnya tidak bisa terhisap ke sana.
"Jangan lengah, Nak." Moa menyeringai. Di detik berikutnya tubuh pengikut Seungmo sudah terpental jauh dengan luka di dada.
Kedua mata Nara membulat. Anak panah di tangannya bergetar. Kedua kakinya perlahan mundur ke belakang.
"Lari, Nara!" Seungmo berusaha bangkit namun tidak bisa karena ia terluka.
"Mana keberanianmu yang tadi, Nak?" Moa terus bergerak maju. "Manusia memang bermulut besar. Bahkan anak kecil sepertimu juga sama."
"Jika kau maju selangkah lagi, maka kau akan mati!!" Nara kembali menarik tali busur dengan kuat. Napasnya memburu. Kedua kakinya semakin bergerak mundur.
"Menyerahlah, Nak. Apa kau tidak merindukan ibu dan ayahmu?"
"Ibu, ayah ... "
"Nara ... "
Kedua mata Nara berkaca-kaca. Samar-samar dia bisa melihat ibu dan ayahnya di sana. Kakinya perlahan maju.
"Tidak, Nara! Itu hanya tipu daya Moa!" teriak Seungmo dari belakang. Dia berusaha meraih-raih pedang milik Daehyun yang berada tidak jauh darinya. Nara dalam bahaya. Bagaimana pun, Nara tetaplah seorang anak biasa yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.
"Sadarlah, Nara!""Kemarilah, Nara ... "
Kedua kaki Nara semakin bergerak maju. Busur panah miliknya perlahan diturunkan. Pedang milik Moa secara perlahan terangkat, mengarah pada Nara.
"Bagus, kau hanyalah anak-anak yang lemah," batin Moa.
JLEB!
Kedua mata Moa membulat. Dia memegang anaj panah yang sudah menancap di dadanya.
"K-kau ... "
"Kau terlalu sibuk dengan pedangmu, hingga lupa kalau hanya norigae milikku yang tidak bisa kau sentuh. Namun tidak dengan anak panahku. Mereka, terbuat dari taring bangsamu." Kedua mata Nara menatap lurus ke arah Moa.
"Berani sekali kau!!" Moa mencabut panah itu begitu api berwarna biru mulai membakar tubuhnya. Tubuh Moa bergerak cepat dalam hitungan detik dan tubuhnya terpental begitu tangannya mengibaskan pedang pada Nara.
"Benda sialan itu! Aku akan menghancurkannya!!"
"Nara!" Seungmo dengan kesusahan bangkit. Cucunya dalam bahaya, anak itu bisa mati kapan saja.
Pedang Moa melayang hampir mengenai kepala Nara. Namun gadis itu dengan cepat menghindar dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Pedang milik Moa menancap ke salah satu pohon, Moa dengan cepat bergerak dan di detik berikutnya kukunya berhasil mengenai wajah Nara sebelum akhirnya ia terpental cukup jauh karena norigae milik gadis itu.
Moa mengerang begitu merasakan tangannya terbakar. Rupanya kekuatannya masih belum cukup untuk mengalahkan kekuatan yang ada di norigae itu. Moa menatap bulan yang masih bersinar. Dia menggeram pelan begitu sudah lewat tengah malam. Itu artinya hari sudah berganti. Purnama sudah lewat dan perlahan rambutnya kembali menghitam. Moa menghilang.
Tubuh Nara ambruk dengan darah yang mengalir di wajahnya. Hanbok putih milik gadis itu kini kotor dengan beberapa bercak kemerahan. Tangannya meremas rumput kuat, merasakan panas yang cukup hebat mengaliri tubuhnya.
Napasnya terasa semakin sesak dan pandangannya semakin buram.
—tbc
“Semuanya akan baik-baik saja, jadi bertahanlah. Ibu dan Ayah akan melindungimu.” Kedua sudut mata Nara kian berair. Aliran anak sungai itu kian merembes keluar dan Nara kehilangan pertahanannya begitu genggaman tangannya perlahan dilepas oleh Daehyun. Pria itu tersenyum seraya mengusap puncak putrinya. Tepat di belakang, Kiara menatap dua orang yang dicintainya dengan seulas senyuman. “Jangan pergi.” Suara Nara bergetar dengan isakan yang semakin keras. -“Ayah!” Kedua mata Nara terbuka. Hal yang pertama ia lihat adalah wajah seorang anak laki-laki yang berjarak cukup dekat dengannya. Nara secara refleks memeluk pemuda itu dan menangis di bahu lebarnya, menumpahkan segala kerinduannya.“Aku khawatir saat kakek berkata kalau kau terluka.” Pemuda itu berujar seraya mengusapi punggung Nara. G
“Musim dingin sebentar lagi akan berakhir, kan?” Yooshin menolehkan kepalanya pada Nara. “Kau hanya ingin melihat maehwa mekar. Iya, kan?” balas Yooshin dengan kikihan pelan. Nara menggelengkan kepala, “Bunga maehwa bahkan masih bisa mekar saat musim dingin datang. Dia, bunga yang kuat. Ayo kita lihat bunga canola,” ujarnya.“Canola?”“Hm. Aku ingin melihat bunga canola saja.” Setelah memasukkan sebuah kayu ke perapian, Nara menatap Yooshin, “Kau, jangan pergi. Tinggalah di sini.”Kalimat itu sempat membuat Yooshin terdiam, seolah kehilangan jawaban. “Jika berlatih di luar sana hanya untuk membuatmu menjadi lebih kuat, kenapa tidak berlatih saja di sini? Kakekku juga ahli pedang, bahkan ayahmu juga. Berada di sisiku mungkin akan membawamu pada bahaya, tapi aku tidak akan bisa berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu padamu di luar sana. Sekarang aku mungkin hanyalah anak-anak, tapi aku berjanji akan melindungimu jika sudah dewasa nanti, sama seperti kau yang selalu melindungiku selama i
Bunga canola bermekaran seperti yang diharapkan. Hamparan berwarna kuning layaknya emas itu sama sekali tak menyilaukan bagi siapa saja yang melihatnya. “Cantik sekali.” Yooshin tersenyum menatap bunga-bunga canola di depannya. “Kau benar. Mereka telihat begitu cantik di hari pertama musim semi,” lanjutnya. Ia lalu menoleh pada gadis yang berada di sampingnya. “Kau … baik-baik saja? Apa kau merasa tak enak badan?” tanya lelaki itu begitu menyadari raut wajah Nara yang berbeda seperti biasanya. “Ah, ya. Aku baik-baik saja.” Nara tersenyum, lalu menatap ke depan sana. “Kurasa, aku mulai menyukai canola di musim semi.” Yooshin tertawa pelan. “Begitukah?”Lelaki itu mengangguk. “Karena ayah dan Kakek Seungmo sudah kembali, malam ini aku harus pulang ke rumah.” “Hm. Tak apa. Terima kasih karena sudah menemaniku selama kakek pergi.” “Aku sedikit bisa bernapas lega sekarang,” ujar Yooshin. “Tidak pernah lagi kudengar ada korban lagi. Apakah Moa s
“Ma-mayat!!” Langkah Yooshin dan Nara langsung berhenti. “Apa yang kau bicarakan?” “Mayat apa maksudmu?”“Di mana kau menemukannya?” Satu per satu orang-orang yang ada di sana mulai berkerumun dan melayangkan berbagai pertanyaan. “A-aku menemukannya di –“ “Apa kau baru saja bilang mayat?” Nara bertanya begitu ia mendekat. Sudah bertahun-tahun lamanya Moa tidak lagi menjatuhkan korban, apakah sekarang ia mulai lagi? Pria itu baru saja membuka mulut hendak menjawab, namun begitu melihat Nara ia tiba-tiba berlutut di hadapan gadis itu.“Nona Pendeta, saya mohon!” Pria itu menggenggam tangan Nara kuat. “Jika ini memang ulah Moa, tolong hentikan dia!” pintanya. Orang-orang lainnya satu per satu ikut berlutut. “Apa kau yakin ini ulah Moa?” tanya Nara memastikan. Pasalnya Moa sudah melakukan kesepakatan dengannya beberapa tahun lalu, apakah sekarang ia benar-benar melanggar kesepaka
“Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan putriku pada Moa!!” Seungmo memberontak namun tubuhnya terkunci. “Kami tidak berniat memberikan Nona Pendeta kepada Moa. Tapi kami, hanya berusaha menyingkirkan segala nasib sial. Semula kami berpikir kalau Moa sudah berhenti, namun begitu mendengar kalau Nona Pendeta berusaha berkhianat, kami sadar kalau kami harus menyingkirkannya.” Seorang pria paruh baya berkata dengan pandanganyang sudah mengabur. Ia menatap tubuh Nara yang berada di dalam peti. “Kami bahkan sekarang kehilangan harapan kalau Nona pendeta akan bangun kembali,” sambung yang lain. “Beliau selama ini sudah bersikap baik, namun jika sudah seperti ini, biarkan kami sendiri yang bertindak.” Seungmo menatap nanar peti berisi tubuh cucunya. Ia tidak sanggup jika benar-benar harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana orang-orang melempar peti itu ke lautan. “Nara … “ Suaranya terdengar hampir habis. Tubuhnya ambruk begitu ora
Begitu matahari lenyap dari pandangan mata, maka binatang-binatang di kegelapan akan datang sebagai gantinya. Semakin gelap, hutan akan terasa semakin mencekam. Jika tidak bisa waspada lalu mempertahankan diri, maka nyawa bisa melayang karena terkaman binatang buas kapan saja. Namun sayangnya bukan itu yang Yooshin khawatirkan sekarang. Namun ia khawatir sesuatu terjadi pada Nara, maka ia bertekad untuk mencari keberadaan gadis itu. “Sulit dipercaya jika mereka akan membunuhnya dengan cara seperti itu.” Ia bergumam. Kedua kakinya sampai di tebing tempat Nara dijatuhkan. Ia menatap ke bawah sana, mengecek apakah peti itu masih selamat, ataukah dia justru menemukan mayat. Melihat bagaimana besarnya ombak di sana, membuatnya tak bisa berpikir jernih. Sudah jelas peti itu hancur begitu menghantam air, lalu bagaimana dengan sosok di dalamnya? “N-Nara!” Dengan cepat Yooshin mencari jalan agar bisa pergi ke bawah. Ia juga harus memastikan sendiri ke
Seungmo sudah siap dengan pedangnya namun ia tak menemukan apapun di antara keramaian. Suasana pasar tampak seperti biasanya, hanya saja sebagian barang-barang milik para pedagang tampak berantakan. Kedua mata Seungmo menelusuri ke setiap sudut pasar, namun ia tak menemukan hal yang mencurigakan. Bahkan setetes darah pun tak ia temukan di sana. "Ada apa ini?" Seungmo menyarungkan lagi pedangnya dan berjalan menghampiri penduduk yang terduduk di permukaan tanah. "Seorang pencuri baru saja ke sini dan membuat kekacauan. Dia mengambil beberapa buah dan pergi dengan cepat, entah apa saja yang dia ambil," jawab salah seorang pedagang. Kedua alis Seungmo saling bertaut. Ia menatap kekacauan di sekitarnya, lalu beberapa saat kemudian Tuan Hwang berlari ke arahnya dengan raut wajah yan sulit diartikan. "Ada apa ini?" Tuan Hwang menatap keadaan di sana. Namun, Seungmo justru terfokus pada ekspresi lain di wajah milik Tuan Hwang. "Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu? Apa ada sesuatu yang l
Berbagai medan dilalui dengan susah payah oleh Yooshin. Salah satu kakinya cedera selepas terjatuh. Ia pun sempat tak sadarkan diri, beruntung tak ada binatang buas yang melahapnya di sana. Entah ada di mana Nara sekarang. Entah gadis itu masih hidup dan berada di suatu tempat, atau justru sekarang ia tengah melihatnya dari atas surga. Apapun yang terjadi, Yooshin berharap Nara akan baik-baik saja, meskipun pada kenyataannya ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Langkah Yooshin terhenti saat kepalanya berdenyut. Entah sudah hari ke berapa ia mencari keberadaan Nara, namun tak kunjung menemukannya. Bahkan ia tak menemukan adanya jejak sedikitpun dari kejadian beberapa waktu lalu, termasuk serpihan-serpihan kayu dari peti yang lenyap entah ke mana, mungkin sudah ditelan lautan. "Aku tidak menyangka dia akan melakukan hal senekat itu." Yooshin bergumam. Nara benar-benar melewati batas dan mengorbankan diri. Bagaimana bisa dia tak menyadari kalau norigae yang dip