Share

Bab 4

Author: Daes Eag
last update Last Updated: 2022-03-18 09:45:51

Perlahan Nara menarik salah satu anak panah miliknya. Kedua mata anak itu tidak lepas barang sedetik pun dari Moa. Kedua matanya mengkilap.

Sementara Moa belum bergerak dari posisinya. Ia masih memperhatikan Nara. Dari kejauhan, anak itu tampak mirip seperti Kiara. Tatapan mata mereka tampak sama. 

Perlahan, bayangan ketika tubuh Kiara yang berlumuran darah kembali terlintas begitu saja. Wanita itu meregang nyawa tidak jauh dari tubuh suaminya yang terbelit akar pohon. Sementara itu, seorang anak kecil menangis meraung-raung di belakangnya. Sebuah pedang yang berlumuran darah menancap di permukaan tanah di dekatnya, beserta beberapa mayat yang tergeletak.

Moa sadar, perlahan anak itu berubah seiring berjalannya waktu. Ia bisa melihat keberanian yang begitu besar perlahan muncul. Anak itu, Nara. Tidak lain adalah ancaman terbesar untuknya. Gadis itu kini sudah menarik tali busur dengan kedua mata yang tepat mengarah padanya. Pedang Moa bereaksi, bersamaan dengan ujung anak panah milik Nara yang terbuat dari batu giok. Benda itu tampak bersinar. Orang-orang di belakangnya belum menyadari hal itu, karena mereka tidak akan pernah beranjak atau bahkan mengangkat wajah selama sepatu sang pendeta belum terlihat berbalik arah. 

Anak panah itu melesat cepat melewati segel perbatasan, lalu masuk ke dalam hutan. Moa dengan cepat mengangkat pedangnya hingga anak panah itu terpental keluar, kembali kepada si pengirim dan menancap di atas permukaan tanah. Menyadari ada yang tidak beres, Seungmo mengangkat kepalanya saat ia melihat anak panah itu. Ia melihat cucunya sudah memegang busur dengan tatapan lurus ke depan.

"Moa!" Seungmo langsung menarik pedangnya keluar dan berdiri di depan Nara. Beberapa orang lain tampak terkejut melihat keberadaan Moa dan mereka langsung berdiri, mengeluarkan pedang mereka dan berdiri di samping Seungmo. 

"Bawa Nara pergi!" titah Seungmo pada pengikutnya. Salah satu di antara mereka langsung memasukkan pedangnya kembali dan membawa Nara pergi dari sana.

Kedua mata Moa mengkilap. "Anak itu milikku!" tubuhnya dengan cepat melompat ke udara. "Kau tidak akan pernah bisa lari, Nara."

Dengan sekali tebasan, pohon-pohon ek di sana bergetar hebat layaknya diterpa angin dahsyat. Salju-salju yang terdapat di sana berjatuhan. 

"Nara!" 

Tubuh Moa berhasil melewati segel dalam hitungan detik. Namun Seungmo dengan sigap menahannya. Pria tua itu mengacungkan pedang milik Daehyun tepat ke leher Moa.

"Tempatmu bukan di sini," ujar Seungmo. Kini Moa terkepung dengan semua pengikut Seungmo yang mengelilinginya. Masing-masing ujung pedang itu mengarah ke arahnya.

"Kalian pikir kalian bisa membunuhku?" Moa menyeringai. Dia melempar pedangnya ke udara, lalu disusul tubuhnya dan dari atas dia melempar kembali pedangnya hingga menancap kembali di tanah dan menimbulkan getaran cukup dahsyat.

Satu per satu pengikut Seungmo mencoba melawannya namun Moa dengan cepat mengalahkannya. Seungmo melayangkan pedang itu namun Moa berhasil menangkis menggunakan pedangnya hingga menimbulkan bunyi nyaring di tengah malam yang semula sunyi. Bahkan beberapa ekor burung tampak terbang menjauh dari sana.

"Kakek!" Nara menghentikan kedua kakinya dan berbalik begitu indra pendengarannya mendengar suara pedang dari kejauhan. 

"Tidak, Nona! Anda harus menjauh atau Moa akan menangkap Anda!" Salah satu pengikut Seungmo langsung menahan tangan Nara begitu anak itu hendak pergi.

"T-tapi aku tidak bisa membiarkan kakek dalam bahaya."

"Tuan Seungmo pasti akan baik-baik saja! Sekarang Anda harus pergi!" 

Nara yang semula hendak menarik anak panahnya itu pun segera mengurungkannya dan memilih pergi.

Seungmo mulai kewalahan menghadapi Moa. Pria itu berkali-kali hampir terbunuh dan tubuhnya terhempas ke permukaan pohon-pohon ek di sana. Tepat setelah itu, Moa mulai menghisap seluruh jiwa dari para pengikut Seungmo yang telah mati. Kuku jemarinya kian memanjang begitu ia mencabik tubuh mereka semua. Di bawah sinar rembulan itu, ia menyeringai. 

Napas Seungmo memburu. Ia tidak boleh mati di sana. Nara masih membutuhkannya. Seungmo beranjak dari posisinya dan dia melayangkan pedangnya ke salah satu tangan Moa. Darah seketika langsung memuncrat mengenai wajah dan pakaiannya.

Moa perlahan berbalik, menatap Seungmo yang tampak berusaha menjauh darinya. Pedang di tangan pria tua itu langsung jatuh begitu saja ke permukaan tanah. Moa menatap benda yang berlumuran darah itu, lalu beralih menatap lengannya.

"Berani sekali kau," ujar Moa diikuti geraman pelan. Kedua kakinya perlahan maju, berbanding dengan Seungmo yang bergerak mundur. Pedang miliknya yang berada di tanah dalam hitungan detik sudah berada di genggaman tangannya. Moa menatap Seungmo nyalang. 

"Akan kukirim kau ke alam baka sekarang juga!" Pedang itu sudah dia angkat tinggi-tinggi ke udara, bersiap menebas kepala Seungmo kapan saja.

"Bersiaplah dengan kematianmu, Tua Bangka!" 

Seungmo memejamkan kedua matanya rapat. Namun Moa justru berhenti di detik berikutnya. Pedangnya bereaksi, kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menyeringai.

Seorang gadis belia berdiri tidak jauh di belakangnya dengan kedua tangan yang sudah siap dengan busur dan anak panah. 

"Nara! Jangan kemari!" Seungmo berteriak dengan susah payah. 

"Aku tidak akan bisa seperti ibu jika aku terus melarikan diri," ujar Nara. Ia berusaha membidik benar sasarannya di tengah ketakutan. Ujung anak panahnya yang bersinar mengikuti gerakan Moa. 

"Ini terlalu berbahaya, Nona!" Pria yang sedari tadi bersama Nara langsung maju ke depan gadis itu dan menarik pedangnya keluar. "Anda masih harus melindungi desa. Hanya Anda yang kami punya, Nona."

Moa tertawa tanpa alasan. Kedua kakinya bergerak maju, dan dia bisa melihat sebuah norigae berwarna merah yang menggantung di hanbok Nara itu semakin bersinar. Salah satu sudut bibirnya naik.

"Bahkan setelah mati pun, ibumu masih bisa menghalangiku," ujarnya. "Kau terlalu sibuk memperkuat segel di pohon ek ini, sampai kau tidak menyadari kalau pedangku ini sudah berlumuran darah milik ibumu. Sebagian jiwanya terhisap ke dalam. Dan itu artinya aku bisa melewati segelnya." 

"Ibu ... " Napas Nara tertahan pelan. Ya, benar. Ibunya akan terus melindunginya walaupun kini raganya sudah tiada. Kedua orang tuanya akan selalu bersamanya.

Seungmo terkejut mendengar ucapan Moa. Jiwa Kiara terhisap oleh pedang itu? Pedang Moa hanya menghisap jiwa-jiwa gelap manusia, Kiara adalah seorang pendeta. Jiwanya seharusnya tidak bisa terhisap ke sana. 

"Jangan lengah, Nak." Moa menyeringai. Di detik berikutnya tubuh pengikut Seungmo sudah terpental jauh dengan luka di dada. 

Kedua mata Nara membulat. Anak panah di tangannya bergetar. Kedua kakinya perlahan mundur ke belakang. 

"Lari, Nara!" Seungmo berusaha bangkit namun tidak bisa karena ia terluka.

"Mana keberanianmu yang tadi, Nak?" Moa terus bergerak maju. "Manusia memang bermulut besar. Bahkan anak kecil sepertimu juga sama." 

"Jika kau maju selangkah lagi, maka kau akan mati!!" Nara kembali menarik tali busur dengan kuat. Napasnya memburu. Kedua kakinya semakin bergerak mundur. 

"Menyerahlah, Nak. Apa kau tidak merindukan ibu dan ayahmu?"

"Ibu, ayah ... " 

"Nara ... " 

Kedua mata Nara berkaca-kaca. Samar-samar dia bisa melihat ibu dan ayahnya di sana. Kakinya perlahan maju.

"Tidak, Nara! Itu hanya tipu daya Moa!" teriak Seungmo dari belakang. Dia berusaha meraih-raih pedang milik Daehyun yang berada tidak jauh darinya. Nara dalam bahaya. Bagaimana pun, Nara tetaplah seorang anak biasa yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.

"Sadarlah, Nara!"

"Kemarilah, Nara ... "

Kedua kaki Nara semakin bergerak maju. Busur panah miliknya perlahan diturunkan. Pedang milik Moa secara perlahan terangkat, mengarah pada Nara. 

"Bagus, kau hanyalah anak-anak yang lemah," batin Moa.

JLEB!

Kedua mata Moa membulat. Dia memegang anaj panah yang sudah menancap di dadanya. 

"K-kau ... "

"Kau terlalu sibuk dengan pedangmu, hingga lupa kalau hanya norigae milikku yang tidak bisa kau sentuh. Namun tidak dengan anak panahku. Mereka, terbuat dari taring bangsamu." Kedua mata Nara menatap lurus ke arah Moa.

"Berani sekali kau!!" Moa mencabut panah itu begitu api berwarna biru mulai membakar tubuhnya. Tubuh Moa bergerak cepat dalam hitungan detik dan tubuhnya terpental begitu tangannya mengibaskan pedang pada Nara. 

"Benda sialan itu! Aku akan menghancurkannya!!"

"Nara!" Seungmo dengan kesusahan bangkit. Cucunya dalam bahaya, anak itu bisa mati kapan saja.

Pedang Moa melayang hampir mengenai kepala Nara. Namun gadis itu dengan cepat menghindar dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Pedang milik Moa menancap ke salah satu pohon, Moa dengan cepat bergerak dan di detik berikutnya kukunya berhasil mengenai wajah Nara sebelum akhirnya ia terpental cukup jauh karena norigae milik gadis itu. 

Moa mengerang begitu merasakan tangannya terbakar. Rupanya kekuatannya masih belum cukup untuk mengalahkan kekuatan yang ada di norigae itu. Moa menatap bulan yang masih bersinar. Dia menggeram pelan begitu sudah lewat tengah malam. Itu artinya hari sudah berganti. Purnama sudah lewat dan perlahan rambutnya kembali menghitam. Moa menghilang.

Tubuh Nara ambruk dengan darah yang mengalir di wajahnya. Hanbok putih milik gadis itu kini kotor dengan beberapa bercak kemerahan. Tangannya meremas rumput kuat, merasakan panas yang cukup hebat mengaliri tubuhnya.

Napasnya terasa semakin sesak dan pandangannya semakin buram.

—tbc

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Beauty & The Monster   Extra Bab

    Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan

  • The Beauty & The Monster   Bab 101

    Sebuah upacara pernikahan baru saja selesai diadakan begitu hari menjelang siang. Orang-orang yang datang terlihat begitu bergembira, menatap sepasang pengantin baru yang beberapa saat lalu mengucapkan janji sehidup semati.Takdir memang tak ada yang tahu, begitu pun dengan setiap rencana milik Tuhan. Namun sebaik apapun rencana yang manusia pilih, rencana dari Tuhan adalah rencana yang terbaik dari yang paling baik.Langit pun tampak begitu cerah, seolah mendukung pasangan muda ini untuk menikmati waktu bahagia mereka.Pasangan yang dulu dikenal sebagai sahabat dekat sedari usia mereka masih belia, kini bertranformasi menjadi pasangan yang sesungguhnya. Nara melingkarkan tangannya di salah satu lengan milik Yooshin, menatap pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua berjalan menyapa para tamu undangan.Kedua sudut bibir milik Nara naik ke atas melihat betapa bahagianya orang-orang di sana. Dan tanpa ia sadari pula, sedari tadi Yooshin menatapnya dari samping, menat

  • The Beauty & The Monster   Bab 100

    Moa menyentuh permukaan wajahnya yang lain menggunakan tangan, dan menemukan adanya darah di sana, sebelum akhirnya kembali menatap Nara. Kini gadis itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, tanpa mau memikirkan hal lain lagi. Nara beberapa kali melayangkan serangan padanya tanpa adanya ragu sedikit pun. "Nara ... " Yooshin berniat berdiri untuk membantu Nara. Dengan menggunakan pedangnya untuk tumpuan, pria itu berdiri dari posisinya dan mendekati Nara secara perlahan. Yooshin berlari sekuat yang ia bisa dengan pedang yang sudah bersiap di tangannya. Namun sebelum ia benar-benar mendekati Moa, mahluk itu sudah terlebih dulu berbalik dan menangkis serangannya dan memukul bahu Yooshin beberapa kali hingga tubuh pria itu terdorong beberapa kali ke belakang. "Yooshin!!" Di saat lengah itulah, Moa memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan serangan terakhirnya pada Yooshin. "Matilah kau!!!" Tangan Moa sudah siap mengoyak perut Yooshin, membuat Nara membelalakkan kedua matanya. "Ti

  • The Beauty & The Monster   Bab 99

    "A-aku percaya Paman adalah orang yang baik." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari gadis kecil malang yang berusaha menyelamatkan Nara. Haewon tak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu terduduk di atas permukaan tanah dengan air mata yang berderai."Tidakkk!!" Nara langsung bergerak dari posisinya dan meraih tubuh kecil yang kini tak berdaya itu. Air matanya berderai, tak percaya kalau seorang gadis kecil akan berbuat sampai sejauh itu demi menyelamatkan hidupnya. Gadis itu tak bersalah. Ia tak ada kaitannya dengan ini dan tak seharusnya berkorban sampai sejauh itu. Yooshin yang melihat itu tampak tak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan Moa sekalipun tak bisa menghindar. Gadis kecil yang baru saja meregang nyawa di hadapannya itu tak lain adalah gadis kecil yang beberapa waktu terakhir pernah ia selamatkan. Satu-satunya orang lain yang menganggapnya sebagai orang baik dan memperlakukannya layaknya seperti orang yang tak pernah membunuh.Dan siapa sangka

  • The Beauty & The Monster   Bab 98

    "Nara, kau—" Kedua mata Yooshin membulat saat melihat Nara yang benar-benar berhasil mencabut pedang itu sepenuhnya. "Yooshin, aku berhasil." Nara menatap Yooshin. Gadis itu berhasil. Yooshin dengan segera membantu Nara agar gadis itu tak kehilangan keseimbangannya. Pria itu lalu menatap luka yang ada di punggung Nara. "Nara, tapi lukamu tak menghilang sedikit pun." Napas Nara tersengal, "tak apa, Yooshin. Aku sudah tak lagi merasakan sakitnya. Ha-hanya saja—" Tubuhnya tiba-tiba limbung namun Yooshin dengan sigap menahannya. "Nara, kau tak apa?" tanya Yooshin cemas. "Aku tak apa, rasa sakitnya sudah berkurang, hanya saja aku merasa kalau tenagaku terkuras banyak hingga aku merasa kalau kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri," lirih Nara. "Ayo, kembali ke desa. Kita harus menolong semua orang. Mereka pasti memerlukan bantuan." Yooshin mengangguk. Ia segera memapah Nara dan mulai bergerak keluar dari hutan. *** Moa menggeram dengan darah yang menetes dari ujung

  • The Beauty & The Monster   Bab 97

    "AKU TAK AKAN MENGAMPUNMU!" Seungmo merasakan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya begitu salah satu tangan Moa berhasil merobek permukaan kulitnya. "Entah apa saja yang sudah kau katakan pada Nara yang jelas kau sudah menghancurkan semuanya!!" Moa berteriak tepat di depan wajah Kim Seungmo. Ia seakin mendorong masuk kuku-kuku di tangannya ke dalam, membuat Sungmo terbatu dengan darah yang keluar dari mulutnya. "Tuan Kim!" Tuan Hwang berdiri sekuat tenaga dengan bertumpu pada pedangnya dan pria itu berjalan mendekat ke arah Moa dan Seungmo. Moa langsung melompat menghindar tapat ketika Tuan Hwang mengayunkan pedang ke arahnya. "Semua kekacauan yang terjadi di desa ini, aku takkn pernah bisa memaafkanmu!" murka Tuan Hwang. "Kenapa, Kim Seungmo?" Kedua tangan Moa mengepal dengan kuat. "Kenapa kau melakukan hal ini lagi? Kenapa kau selalu saja menggagalkan semua rencanaku?!" "Ka-karena aku tak ingin menyerahkan cucuku padamu, Moa." Seungmo kembali terbatuk setelahnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status