Seorang pria bersandar di jendela dengan salah satu tangan berada di dalam saku celana sedangkan tangan lainnya menggoyangkan pelan gelas wiski. Tatapannya yang dalam dan tenang menatap ke langit malam di luar jendela unit apartemen tersebut.
"Sir."
Begitu sekretarisnya memanggilnya, dia pun menoleh dan menatap pria yang memegang tumpukan kertas. Dia berjalan menuju meja kopi sambil mendengarkan perkataan sekretarisnya, Albar.
"Ini daftar wanita yang lajang. Dan ini yang memiliki kekasih. Lalu ini yang sudah bertunangan."
Mengambil satu tumpukan pertama, dia mengembuskan napas singkat. Karena perintah kakeknya, dia harus menambah jam kerjanya demi hal yang tidak berguna seperti ini.
Dan setelah memakan waktu 1 jam, dia akhirnya memilih empat nama. Empat wanita yang berpotensial melahirkan seorang penerus untuknya.
"Buat janji temu dengan mereka satu per satu." Setidaknya dia harus melihat langsung mereka untuk diseleksi sekali lagi.
"Baik. Saya akan mengambil sekitar 2 jam kosong Anda tiap pertemuannya."
Ketika Albar menyusun kertas kandidat yang tidak dipilihnya untuk dihancurkan, dia tidak sengaja melihat sebuah foto pada lembar paling atas.
"Tunggu."
Albar berhenti dan menoleh menunggu perintah selanjutnya.
"Dia dulu."
Albar melihat nama Rhea Pramidita di sana, salah satu kandidat yang sebenarnya sudah memiliki kekasih. Walaupun begitu, Albar tidak banyak bertanya dan segera mengangguk. "Baik, Pak."
***
Keluar dari taksi, seorang wanita berparas cantik namun dingin itu segera berlari kecil ke bangunan apartemen di depannya dan memasuki lift yang kosong. Wanita itu bernama Rhea Pramidita. Dia berusaha berdiri dengan tenang walau wajah cantiknya memiliki kerutan tipis di ruang antara alisnya yang rapi. Rhea membawa tangannya ke dadanya karena khawatir. Dia berharap kekasihnya tidak ikutan sakit seperti ayahnya yang berada di rumah sakit.Selama di dalam taksi, dia berusaha menghubungi kekasihnya namun pria itu tidak mengangkatnya. Karena tidak ada jawaban tersebut, tentu saja dia menjadi gelisah padahal dia sangat membutuhkan Enzo sekarang.
Lift terbuka dan Rhea segera keluar, berjalan cepat di lorong yang sepi tersebut menuju pintu unit yang sudah tidak asing lagi. Dengan menggunakan key card yang diberikan Enzo kepadanya selama ini, dia membuka pintu tersebut dan melihat sepasang stiletto merah muda tergeletak di sana. Dia terdiam untuk beberapa waktu lamanya.
Bingung dan sedikit takut. Itu yang ia rasakan. Tangannya yang memegang gagang pintu dengan perlahan mulai kehilangan tenaganya membuat ia mencengkeram pintu erat. Menghirup lalu mengembuskan napas dalam-dalam, ia berusaha untuk tenang dan mencoba berpikir positif.
Tidak ada yang terjadi.
Rhea melangkahkan kaki ke dalam. Dan begitu dia menginjak lantai unit tersebut, dia merasa langkahnya terasa berat. Langkah demi langkah yang ia ambil menjadi semakin berat dan lebih berat karena dia tidak melihat tamu kekasihnya di mana pun, begitu pun kekasihnya.
Tanpa sadar kakinya menuntunnya menuju lorong kamar Enzo. Dari jauh dia mendengar suara tawa nakal wanita yang samar keluar dari kamar Enzo yang tidak tertutup, membuatnya tertegun dan berhenti kembali. Suara itu terdengar familiar baginya.
Tidak mungkin ....
Kedua tangannya gemetar dan dia mengepalkannya erat berusaha menghentikan rasa kalutnya.
Tidak ada yang terjadi. Tidak akan ada yang terjadi ....
Entah sudah berapa kali Rhea ucapkan di dalam hati hanya supaya pikirannya tetap dingin dan tenang. Dan semakin mendekati kamar, ia mengulangi kalimat itu terus-menerus secara berlebihan hingga dia mendengar jeritan.
"Ah! Lebih cepat, Sayang!"
Dengan wajah mengeras, Rhea melangkahkan kembali kakinya, kali ini berjalan cepat mengikuti suara yang tidak asing itu.
Masuk ke dalam kamar, Rhea harus tertegun dan membeku. Di kamar yang beraroma menjijikkan itu, dia hanya bisa melihat kekasihnya bersenggama dengan seorang wanita tanpa bisa melakukan apa pun. Rhea tidak bisa melihat wajah wanita itu selain rambut panjangnya. Siapa wanita berambut pirang yang dipeluk kekasihnya? Dari suaranya hingga rambutnya mengingatkan Rhea pada seseorang yang dia kenal.
Saat wanita itu akhirnya mendongak dan dilihatnya wajah itu, sontak saja dia terkejut. Itu ... sahabatnya.
Dua orang yang ia kenal serta percayai tidak mengenakan busana apa pun dan saling memberi kepuasan tanpa menyadari jika seseorang telah masuk. Enzo, kekasih yang ia cintai dan ia pikir adalah seorang pria setia ternyata bermain di belakangnya dengan satu-satunya sahabat Rhea, Andini.
Terguncang dan tidak bisa melakukan apa pun, itu yang terjadi pada Rhea sekarang. Tubuhnya membeku seolah kakinya tertancap dengan paku di lantai, namun tidak terasa sakit. Dadanya yang terasa sangat menyakitkan hingga menyesakkan. Dia bahkan tidak ingat jika tangannya masih mengepal sampai sekarang.
Tiba-tiba tatapannya dan Andini bertemu namun anehnya wanita itu tidak terkejut seperti yang dialami Rhea. Wanita itu malah tersenyum dan mencium Enzo dengan lapar. Apakah Andini tidak melihatnya tadi? Apakah itu hanya perasaannya saja?
Rhea mulai mendapatkan kendali penuh atas dirinya. Melirik ke samping, dia mengambil laptop Enzo di atas meja dan menjatuhkannya di lantai untuk menarik perhatian dua orang yang sedang bersenang-senang itu. Dan seperti yang dia duga, Enzo dan Andini terkejut. Mereka secara naluriah menoleh ke pintu. Begitu melihat Rhea, Andini langsung menjerit takut lalu berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Rhea? Apa yang kamu lakukan di sini? Tunggu, apa itu MacBook-ku? Kenapa kamu menghancurkannya? Apa kamu tahu berapa banyak file penting di sana?"
Rhea menatap Enzo. Pria itu memunguti celananya di lantai dan memakainya dengan santai.
"Apa maksudnya ini?"
Enzo mengusap rambutnya dan menghela napas ringan. "Kamu sudah melihatnya. Dan membuat alasan akan sia-sia di sini."
"Apa maksud semua ini?" Napas Rhea mulai berat ketika menekankan tiap kata.
Enzo berdecak. "Apa aku perlu menjelaskannya lagi? Kamu gadis pintar, Rhe. Kamu pasti paham apa yang kami la—"
"Aku bertanya kenapa harus dia?"
"Aku tahu mengenai kondisi papamu. Dia ada di rumah sakit, kan? Dan aku tebak kedatanganmu kemari untuk meminta pertolongan untuk papamu."
Rhea mengernyit. Dia tahu tapi tidak mengunjungi ayah Rhea? Betapa jahatnya dia!
"Perusahaannya akan diambil alih oleh pamanmu, iya kan? Jadi kenapa aku harus tetap bersamamu? Kamu pikir aku akan menikahi wanita dari keluarga yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi? Aku akan mengaku, aku dan Andini ...."
Penjelasan panjang lebar yang mengerikan dari Enzo hilang begitu saja dari indra pendengarannya. Dia terkejut untuk kesekian kalinya. Bisa-bisanya pria ini berbicara dengan begitu ringan seolah ucapannya tidak akan membuat Rhea sesak. Dia pikir hati Rhea terbuat dari besi? Mengetahui jati diri Enzo yang berbanding terbalik dari apa yang pria ini perlihatkan biasanya, rasanya sungguh menyakitkan sampai sulit untuknya bernapas di ruangan itu.
Dia beralih pada Andini. Dia menatap wanita yang sedang menatapnya dengan air mata berlinang.
Tunggu, kenapa kau menangis? Aku adalah korban yang sebenarnya. Dan kau yang melakukan kejahatan di sini. Jadi hentikan tangisan menjijikkanmu itu, Jalang Sialan.
"Rhe, bisa kamu suruh Enzo kemari? Ada yang ingin Papa bicarakan dengannya tentang kalian."
Itu keinginan ayahnya beberapa hari lalu. Lalu setelah melihat adegan sampah di depannya, apakah dia masih harus membawa Enzo ke hadapan ayahnya?
Kepalan Rhea semakin kuat karena mendengar suara isakan pelan yang menyakiti telinganya. Ingin sekali dia mencakar Andini atau melakukan kekerasan apa pun padanya untuk meluapkan emosinya. Namun hebatnya dia masih bisa mengontrol emosinya dan tidak ingin melakukannya karena ia tahu begitu dia bergerak selangkah saja, Enzo akan melindungi wanita sampah ini dan dia akan menjadi hiburan untuknya.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin memutuskan hubungan kita hanya saja aku belum memiliki waktu yang baik untuk membicarakan hal itu denganmu. Aku kasihan pada Andini karena harus menyembunyikan hubungan kami beberapa bulan ini. Aku harap kamu tidak memarahinya biar bagaimanapun kalian itu bersahabat."
Ah begitu ternyata ..., batin Rhea. Enzo menyukainya hanya karena dia dari keluarga terpandang. Dan dia terpikat dengan Andini ketika mereka masih berpacaran.
Dengan wajah kesal, salah satu sudut bibir Rhea terangkat dan mendengus. Pasti selama ini mereka menertawakannya di belakang.
Apakah Rhea pernah menelepon salah satu di antara mereka berdua ketika mereka sedang melakukan kegiatan memalukan ini? Memikirkan salah satu di antaranya mengangkat panggilannya ketika bersetubuh membuat perutnya bergejolak ingin muntah.
Andini melihat Rhea berjongkok mengambil laptop yang sudah terbelah lalu menatapnya dengan dingin, dia dengan wajah pucat dan takut menatap Enzo. "E-Enzo."
Enzo yang juga khawatir akan kondisi kekasih gelapnya yang lemah lembut membuatnya secara naluriah berdiri di depan Rhea, menghalanginya untuk melihat Andini. "Rhea, apa yang ingin kamu lakukan?"
"Kau penasaran apa yang ingin aku lakukan?" tanya Rhea pelan. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap Enzo tanpa emosi. "Aku ingin membunuhmu."
Enzo segera memegang tangan Rhea dan berbisik cepat, "Ikut aku."
Sebelum diseret Enzo, Rhea menatap Andini untuk yang terakhir kalinya. Dan Andini di sisi lain setelah ditinggal sendiri, dia berdecih pelan dengan kerutan tipis di dahi.
Dia bergumam, "Jangankan menjadi gila, dia bahkan tidak emosi sama sekali." Kenapa bisa ada wanita seperti itu?
Di lorong depan pintu unitnya barulah Enzo melepaskan tangan Rhea. Dia mengembuskan napas lelah. Dan dengan perasaan yang penuh percaya diri, dia berkata, "Aku tahu kamu masih mencintaiku dan tidak dapat hidup tanpaku. Kamu pun pasti terluka tapi aku bisa apa? Aku menyukai Andini begitu juga dia."
Oh lihat. Betapa mengagumkannya Enzo! Pria ini bisa mengatakan itu dengan santai seolah sedang menayangkan berita hiburan. Setelah tertangkap basah dia sama sekali tidak menyesal. Dari awal ... dari saat dia memergokinya, saat dia menggunakan celananya, sampai dia berbicara seolah Rhea akan mengemis cinta padanya. Bagaimana bisa ada pria seperti ini di dunia?!
Sial, Rhea tidak bisa menahankan sikap elegannya yang hebat lebih lama.
"Jadi aku mohon, jangan pernah mencariku la—"
Bruk!
Tidak sabar, Rhea yang tanpa emosi memukul wajah Enzo yang tidak siap dengan layar laptop yang dia pegang.
"Ugh! Dammit!" Enzo mundur beberapa langkah sambil menyeimbangkan langkahnya. Dia menyentuh wajahnya yang sakit, terlebih lagi hidung dan bibirnya.
Dan Rhea berseru seraya mengembuskan napas puas, "Whoo!"
Well, tidak juga. Rhea masih belum puas sebenarnya walaupun suasana hatinya sedikit lebih baik. Banyak hal yang ingin ia lakukan pada Enzo sebelum dia beralih ke Andini. Dia menatap Enzo. Melihat bahwa hidungnya hanya mengeluarkan darah, Rhea mendengus. Seharusnya dia memukulnya lebih keras. Setidaknya sampai hidungnya patah. Tunggu, apakah itu patah?
"Ah sial, hidungku. Hei, apa kau gila?!"
"Kau bertanya apa aku gila? Mau lihat kegilaanku yang sebenarnya? Lebarkan kakimu."
"Apa?"
"Aku bilang lebarkan kakimu, Bedebah." Rhea kembali mengangkat layar laptop dengan mata terfokus pada selangkangan Enzo namun pria itu yang memiliki firasat buruk dengan cepat merampasnya.
"Sial ...," Enzo kembali mengumpat setelah melempar layar laptop sejauh-jauhnya.
Namun, Rhea tidak berhenti sampai di situ saja. Dia memukul dada Enzo bertubi-tubi tanpa suara.
"Hei, hentikan. Rhe-" Dilihatnya mata Rhea yang memerah dan air mata yang ingin jatuh, dia terdiam. Apa wanita ini benar-benar menangis?
Kepalan tangan kecil Rhea berhenti di udara cukup lama sebelum menariknya kembali.
"Dengar, jangan pernah mencariku lagi. Aku sudah selesai denganmu," ujarnya setelah melemparkan key card Enzo. Dia pun berbalik meninggalkan Enzo yang menggeram di belakangnya.
Hola, it's me Riri! WARNING!!! • Cerita ini adalah romansa dewasa. • Mengandung konten dewasa dan bahasa kasar. • JANGAN COPY CERITA INI DAN JANGAN POSTING INI DI WEBSITE APAPUN. • Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, lokasi, dan kejadian adalah produk dari imajinasi penulis. Kemiripan apa pun dengan orang yang sebenarnya hidup atau mati, tempat, atau peristiwa sepenuhnya kebetulan. Semoga kalian suka, selamat membaca cintaku!
Rhea merasakan sentuhan lembut yang membuatnya terjaga. Dan dia merasa seperti sedang digendong. Dipandangnya Maven yang ternyata memang mengangkat tubuhnya sambil melangkah. Tunggu, dia masih ingat dia sedang membaca buku di ruang santai ketika beberapa orangnya memindahkan barang-barang Maven ke kamarnya.“Apa aku membangunkanmu?”Rhea balik bertanya. “Apa aku tertidur? Aku masih ingat sedang membaca tadi.”Maven menunduk sambil tersenyum lembut. “Ya.”“Di mana bukunya?”“Aku letakkan di meja.”“Tunggu, mereka sudah selesai mengemasi barangmu?”“Hm.”“Bukankah aku berat? Ada makhluk hidup di dalamku.”“Sama sekali tidak.”“Jam berapa sekarang?”“Empat.”Rhea mengerutkan dahi samar masih sedikit mengantuk. “Kamu pulang awal lagi.”“Begitulah.”Rhea kembali bertanya, “Kenapa kamu pulang cepat?”’“Tidak ada pekerjaan yang mendesak.”Dengan lihai walau kedua tangannya mengangkat tubuh istrinya yang sedang mengandung, tagannya masih bisa membuka pintu dan mereka masuk ke kamar.“Aku kasi
Dokter mengecek hasil laporan di tangannya, saling pandang, lalu menatap Maven dan mengangguk. Rhea yang duduk manis di tempat tidur pasien tersenyum lebar ketika menatap suaminya.“Anda sudah dibolehkan pulang, Bu Rhea,” ujar salah satu dokter. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, mohon untuk datang pada jadwal temu nanti.”“Baik.”Di dalam mobil, Rhea yang memegang buket bunga dari Maven tidak bisa berhenti tersenyum. Kaca mobil dibiarkan terbuka agar dia bisa merasakan angin pagi yang segar. Maven yang mengemudi juga tidak bisa tidak ikut tersenyum. Melihat istrinya yang bahagia sudah cukup melegakannya.Tidak seperti di rumah sakit, kali ini Maven melonggarkan keamanannya dan membolehkan rekan kerjanya datang menjenguknya di rumah. Rumah mereka yang biasanya sepi kini sangat berisik dan ramai. Yana dan pelayan lainnya menjadi kewalahan dan sibuk namun tetap menikmati pekerjaan mereka.“Kau membuatku khawatir, kau tahu!” seru Ayu berlebihan membuat Rhea tertawa pelan. “Kami bahka
Duduk di sofa dengan membiarkan jendela dibiarkan dibuka, Rhea tidak bereaksi saat Maven menyelimuti pundaknya. Suaminya lalu meletakkan botol minum mineral yang sudah dibuka segel botolnya di depannya sebelum duduk di seberangnya.“Bagaimana kabarmu?”“Sudah lebih baik,” jawabnya pelan setelah menoleh. “Aku bisa pulang besok kata dokter.”“Mereka sudah mengabariku tadi pagi bahwa kamu ingin cepat pulang.”Tentu. Tiga dokter yang mengawasinya tidak mungkin tidak memberitahukan detail kondisi terbarunya pada Maven.“Untuk apa aku dikurung di sini lebih lama jika aku sudah baik?”“Kamu tidak tahu mengenai kondisimu—”“Aku lebih tahu mengenai kondisi tubuhku.”“Ya sampai pingsan. Tentu.”Rhea tidak bisa membalas, namun ekspresinya jelas menunjukkan ketidakpuasan.“… Dengar, aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan berharap kamu menerima perawatan dan diawasi di sini untuk beberapa hari ke depan lagi. Hanya untuk berjaga-jaga.”Nada bicara Maven terdengar lebih lembut dan pelan, tidak ingi
Rhea tidak memikirkannya dua kali. Dia sudah mengambil keputusan bulat dari awal. Begitu dia hamil, dia akan merawatnya dengan baik lalu menyerahkannya pada Maven setelah lahir. Toh, sudah tidak ada harapan mengenai sebuah keluarga baginya berkat Enzo.“Setelah dia lahir?”Lalu kenapa dia tidak bisa menjawab hal yang sama seperti saat kesepakatan itu dibuat? Apa karena wajah penuh harap dan ketakutan dari Maven yang kali pertama ia lihat? Atau ….“… bisa mengkhawatirkan, terutama selama kehamilan. Tetapi saya ingin meyakinkan Anda bahwa bayi Anda baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahaya—” Dokter yang menangani Rhea terdiam seketika begitu mengamatinya yang termenung memandang ke luar jendela.“Bu Rhea, apa Anda mendengarkan?”Rhea mengerjap pelan sebelum mengangguk kecil. Mereka sudah mengatakan hal yang sama sejak dua hari lalu. Dan dia sudah berada di rumah sakit selama tiga hari.“Selamat, Bu Rhea, Anda hamil. Ini sudah memasuki minggu ke-7,” ujar dokter setelah melakukan tes b
Sekarang, setelah Maven menjelaskannya, dia jadi mengingat pertemuan mereka walau masih samar. Itu sangat mengejutkannya hingga rasanya mustahil. Dia masih tidak percaya jika dia memiliki cinta monyet saat masih kecil, bahkan mengajaknya berpacaran. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pria itu ternyata suaminya.Artinya, dia dapat menyimpulkan kesepakatan di antara mereka itu sebenarnya akses untuk kembali padanya.“Jadi, bagaimana kita akan membuat skenario hubungan ini?”“Ada ide?”“Uh … mantan yang kembali?”Pantas saja saat dia memberi saran bagaimana hubungan palsu ini dimulai, Maven meatapnya dengan pandangan yang berbeda.“Aku anggap kamu sudah mengingatnya,” gumam Maven yang memperhatikan raut wajahnya sejak tadi.“Ta-Tapi, apa harus membantuku mengingatnya dengan posisi ini?”Alih-alih ke rumah sakit atau pulang ke rumah, Maven membawanya ke hotel. Memesan suite mewah dengan pemandangan khas ibu kota, juga makan malam dengan lilin. Situasi ini lebih intim hanya untuk mengingat
Ketika Rhea berkata dia belajar bahasa baru dari ibunya, itu bukanlah kebohongan. Sejak dini, orang tuanya selalu mengajaknya ke acara pribadi kalangan atas, jika acara itu semua orang membawa anak mereka.“Kalian sudah dengar soal kebijakan pajak baru yang pemerintah keluarkan? Mereka mulai mengenakan pajak lebih tinggi untuk perusahaan besar, terutama di sektor teknologi dan energi.”“Kita harus mulai berpikir jangka panjang. Tapi, Pak Okta, saya lebih tertarik dengan apa yang pemerintah lakukan terkait kebijakan perdagangan.”“Saya baru-baru ini terlibat dalam sebuah inisiatif untuk membantu masyarakat di daerah terpencil …. Oh ya, bagaimana kabar usahamu, Pak Hans?”“Yah, tidak banyak hal. Terima kasih untuk Pak Joko yang membantu saya.”“Ahahah aku yang seharusnya berterima kasih! Kau banyak membantuku selama dua tahun terakhir ini!”Para pria dewasa mendiskusikan banyak hal yang tidak dipahaminya. Tiap kali Rhea mendengar obrolan mereka, dia masih belum terbiasa. Hans yang memeg