“Heh ... mau kemana?” Ken menarik kerah snelly Elsa ketika gadis itu hendak kabur bersama teman-temannya selepas Dokter Glondong selesai visiting.
“Mau ke ruang koas lah, Dok. Ada apa lagi sih?” Elsa menepis tangan Ken, sebuah tindakan berani yang sampai membuat Renita melongo menatap Elsa dengan tatapan tidak berkedip. Berani sekali keset rumah sakit satu ini melawan sendal rumah sakit?
“Ikut saya dulu, bantuin follow up ibu-ibu di VK!” Ken kembali menarik Elsa, membuat Elsa hampir terjungkal karena langkah Ken lebih cepat dari langkah Elsa sendiri.
“Pelan-pelan dong, Dok! Heran deh ... dari kemarin kasar banget sih!” semprot Elsa kesal.
Dio dan Samuel, yang juga residen obsgyn itu saling pandang, mereka kemudian menatap Renita yang masih melongo melihat apa yang tadi terjadi antara Elsa dan residen paling ganteng se-poli obsgyn itu.
“Dek, temenmu itu ada hubungan apa sih sama Ken? Kok kayaknya akrab bener?” tanya Dio pada Renita yang masih melongo itu.
“Dia kan penganggung jawabnya Dokter Ken, Dok.” Jawab Renita seadanya, memang begitu kan faktanya? Untuk persoalan Elsa dan Ken yang harus menyebabkan Elsa jadi asisten alias pembantu residen itu, sepertinya tidak perlu Renita ceritakan bukan?
“Iya kalau itu saya tahu, Cuma kok kayaknya mereka dekat banget ya? Kalian baru dua hari lho koas di poli kandungan, dan mereka sudah seakrab itu? Rasanya bukan kebiasaan Ken deh,” Samuel itu menimpali, sebagai residen yang tahunnya sedikit lebih tua dari Ken, ia tahu betul Ken itu orangnya seperti apa, terlebih kepada lawan jenis.
“Nah kalau soal itu saya tidak tahu, Dok. Saya permisi dulu,” Renita menundukkan kepala sebagai wujud hormat, kemudian melangkah pergi dari hadapan dua residen itu. Ia sendiri tidak tahu apa-apa dan heran kenapa Elsa bisa sedekat itu dengan Dokter Ken. Mereka ada hubungan apa sih?
Kalau pacaran rasanya nggak mungkin, karena mereka baru kenal dua hari. Dan jangan lupa, pertemuan pertama mereka karena sebuah insiden yang menyebabkan Elsa harus jadi babu Dokter Ken selama koas di bagian obsgyn, jadi tidak mungkin kan kalau kemudian mereka pacaran? It`s impposible!
“Bodo ah, ntar mending nanya langsung sama Elsa,” Renita menggelengkan kepalanya, lalu buru-buru menyusuri koridor rumah sakit guna sampai ke poli obsgyn, ia harus sesegera mungkin sampai di ruang praktek Dokter Lidia sebelum obsgyn cantik itu memberinya hukuman karena terlambat datang untuk mengasisteni dia praktek pagi ini.
***
“Dok, ini gimana?” Elsa langsung pucat, teriakan ibu muda itu membuat ia panik dan bingung perihal apa yang harus dia lakukan. Handscoon itu sudah terpasang di kedua tangannya, namun ia masih belum mengerti apa yang harus dia lakukan.
Ken hanya mengela nafas panjang, ia bergegas menjewer telinga Elsa, membuat Elsa jadi bahan tertawaan para bidan magang dan perawat di VK.
“Sudah diajari VT belum? Cek bukaan?” Ken melepaskan jewerannya, menatap Elsa dengan tatapan gemas.
Jika tadi wajah Elsa memucat, kini wajahnya semerah telinga bekas jeweran Ken, ia malu diperlakukan macam anak SD di depan para bidan magang dan perawat VK itu. Dasar menyebalkan, pasti habis ini ia dikata-katain para bidan magang dan perawat itu, mana sejak Elsa masuk tadi sorot mata mereka sama sekali tidak ramah pada Elsa, hanya ramah pada Ken saja.
“Sudah, Dok!” Elsa menyimpan semua rasa dongkolnya, ia menundukkan kepala, malas sekali menatap wajah Ken yang sebenarnya masuk kategori ganteng maksimal itu.
“Ya sudah, cek bukaan secara berkala, catat dan laporkan ke saya, El!”
Elsa menghela nafas panjang, bukankah sebenarnya itu tugas para bidan magang itu juga? Ah tapi sudahlah, ia tidak boleh menolak bukan? Lagi pula di sini nanti ia akan belajar banyak bukan? Jika kemarin melihat secara langsung tindakan sectio caesarea, sekarang ia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana para perempuan melahirkan anaknya secara normal.
Elsa bergegas mendekati bed paling ujung, dimana sejak tadi peremupuan muda itu terus berteriak kesakitan. Astaga, Elsa jadi ngeri, apakah besok ketika ia melahirkan juga akan seheboh itu? Elsa menelan salivanya dengan susah payah, ia sudah berdiri di depan pasien yang sedang tidur miring kek kiri, sebuah posisi yang dipercaya bisa menambah bukaan.
“Permisi, Bu, mohon maaf saya cek dulu sudah bukaan berapa ya,” guman Elsa sopan, tentu ia harus meminta izin dulu kepada si pasien bukan?
“Dok, sakit banget, Dok!” rintih wanita muda itu dengan keringat sebesar biji jagung.
Apa tadi dia bilang? Dia panggil Elsa dengan sebutan ‘Dokter’? Ah ... rasanya begitu membahagiakan dipanggil dengan sebutan itu, padahal Elsa belum benar-benar menjadi dokter bukan? Panggilan itu sontak melunturkan rasa takut dan gugup Elsa, rasa percaya dirinya tumbuh seketika, membuat Elsa melepas satu handscoonnya guna membantu si ibu memposisikan kakinya untuk ia periksa sudah masuk bukaan ke berapa.
“Nah, tahan sebentar ya, biar saya cek dulu!” Elsa bergegas menjulurkan jarinya, sesuai apa yang dulu ia pelajari, sebuah tindakan yang jika dilakukan oleh orang yang bukan perawat, bidan atau dokter spesialis kandungan maka akan dikatergorikan sebagai tindak pelecehan seksual.
Namun karena ini demi kepentingan pemeriksaan dan prosedur kesehatan, maka hal ini bukan hal tabu dan melanggar hukum. Elsa langsung menarik jarinya, melepas handscoon lalu mencatat tanggal dan jam dimana ia melakukan pengecekan.
“Sudah bukaan berapa, Dok?” tanya seorang wanita paruh baya yang Elsa yakin betul itu adalah ibu dari wanita muda itu, yang mana sekali lagi memanggil Elsa dengan sebutan 'Dokter'.
“Baru bukaan empat ya, Bu. Kalau masih kuat bisa dipakai jalan-jalan dulu untuk mempercepat bukaan, dan jangan mengejan sebelum dokter atau bidan yang memberi instruksi ya, Bu. “ Elsa tersenyum, itu saran yang tepat bukan?
“Baik, terima kasih, Dok.”
“Nanti kalau semisal ada air merembes, keluar darah atau lendir atau apapun lah, segera hubungi saya atau petugas medis lainnya di depan ya, Bu. Saya permisi dulu.”
Elsa tersenyum, kemudian melangkah pergi dari bed tersebut. Hatinya lega luar biasa, ia benar-benaer bahagia dengan sebuah hal kecil yang ia dapatkan barusan. Dipanggil ‘Dokter’! Astaga ... belum jadi dokter beneran dan dipanggil seperti itu saja rasanya benar-benar bahagia, apalagi nanti kalau dia sudah jadi dokter beneran? Rasanya ia tidak bisa membayangkan lagi bagaimana bahagianya.
“Kenapa senyam-senyum?” tegur Ken dengan sorot mata menyelidik.
“Lagi bahagia saja, Dok.” Jawab Elsa sambil tersenyum, ia menyodorkan kertas berisi catatan yang tadi Ken minta.
“Nggak ketemu isteri mantan pacar kamu lagi kan?” Ken menerima kertas itu dari tangan Elsa.
“Astaga!” Elsa melotot dengan gemas, “Mantan saya mau punya isteri berapa sih, Dok? Kok tiap hari lahiran!”
“Lho bisa jadi mantan pacar kamu yang lain, saya mana tahu?” guman Ken sambil tersenyum jahil.
“Mantan saya cuma satu, ya yang kurang ajar kemarin itu.” jawab Elsa apa adanya, memang sampai detik ini ia hanya punya satu mantan pacar.
“APA?” Ken berteriak, membuat Elsa sontak melonjak saking terkejutnya, “COBA ULANGI LAGI!”
Elsa mendelik, kenapa residen itu jadi berteriak sih?
“Mantan saya Cuma satu, Dok!” jelas Elsa menegaskan.
“NGGAK MUNGKIN, BULLSHIT!”
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha