Home / Romansa / The CEO Girl for The College Boy / CHAPTER 4: ACT LIKE A LEADER, NOT A VICTIM

Share

CHAPTER 4: ACT LIKE A LEADER, NOT A VICTIM

Author: th
last update Last Updated: 2021-05-13 21:53:47

Cassie memejamkan matanya yang lelah. Satu, dua, tiga, …sepuluh, dihitungnya pelan-pelan sesuai tarikan dan hembusan napas. Kepalanya berdenyut lebih menyakitkan setiap membaca satu lagi kalimat dari salah satu jurnal yang tersimpan dalam l**k cloud yang dihapalnya (ya, Cassie menghapal browsing address panjang itu dan bukan bit.ly-nya).

Satu kata: MOQ.

Skenario apa yang harus Cassie pilih? Cewek itu tahu jawabannya, namun otaknya harus berpikir seratus kali untuk memilih kata-kata di hadapan orang-orang ini. Satu kesalahan kecil bisa jadi alasan mereka untuk makin membenci Cassie dan memaksanya mundur dari posisinya sebagai CEO PT Bellezza.

“Saya masih pada pendapat saya di awal,” ujar Pak Hendra, COO (Chief Operating Officer) PT Bellezza. Umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun, sepertiganya diabdikan untuk perusahaan ini. Singkat kata, mayoritas BOD (board of director) akan memercayai nyaris semua ucapannya. “Memesan bahan baku lagi untuk MOQ (minimum order quantity) sebesar satu juta pcs final goods menurut saya kurang bijaksana. Vitamin yang kita produksi rata-rata hanya terjual lima ribu pcs setiap bulan. Bahan baku bisa rusak bila disimpan terlalu lama.” Kata-katanya diucapkan dengan kalimat halus yang tegas dan reason dibaliknya sangat masuk akal. Sayangnya, Cassie tidak bisa setuju kali ini.

“Tapi bila kita tidak memesannya sekarang, akan terjadi out of stock di market. Bukankah tidak akan menguntungkan bagi kita? Toko-toko pasti akan protes, apalagi menjelang masa festive di mana penjualan bisa meningkat hingga dua kali lipat,” bantah Cassie. Cewek itu sadar suaranya nyaring dan terdengar seperti anak kecil yang tidak mau kalah. Di mata para BOD, mungkin dia terdengar seperti seseorang yang memaksakan pendapat amatir. Sayang bagi mereka, sebagai CEO (Chief Executive Officer), keputusan terakhir tetap ada di tangan Cassie.

That’s it. Dua kali lipat.” Cassie melirik ke sisi kanannya. Bu Andini, CFO (Chief Financial Officer) PT Bellezza membuka suara. Wanita itu diam sepanjang presentasi dan baru mulai memberikan pendapatnya, dan tampaknya ia akan menentang Cassie seperti BOD lain. “Dan hanya di masa festive, berarti hanya sekitar dua bulan kan? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk sisa bahan bakunya? Masa simpannya hanya satu tahun. Misal lima ribu pcs kita kalikan empat belas karena penjualan di masa festive naik dua kali lipat. Hanya 70.000 pcs per tahun.”

C-health adalah signature product PT Bellezza yang tidak boleh dihentikan produksinya apa pun alasannya. Sebagai identitas dan asal-usul PT Bellezza, C-health memang tidak relevan lagi sebagai sales driver product, tetapi masih dapat digunakan untuk keperluan lain. Dua kalimat tersebut menghantui Cassie sejak awal meeting dimulai. Kak Vino, ayah Dhika, sudah menulisnya seperti ini, yang berarti Cassie harus memperjuangkan pembelian bahan baku produk C-health bagaimanapun caranya.

“Bagaimana dengan keperluan lain?” tanya Cassie setenang mungkin.

“Kita memproduksi barang untuk menjualnya, Bu Cassie,” sergah Bu Andini dingin, membuat keringat dingin mengalir dari leher belakang Cassie ke punggungnya. Namun saat kau sudah mengalami yang lebih menyakitkan dibanding menghadapi kematian, satu dua kalimat tak berperasaan tak akan mampu menembus otakmu terlalu dalam. “Kita bukan organisasi non-profit.”

Satu tarikan napas, dan Cassie menutup laptopnya dalam satu hentakan. Ia akan menyelesaikan ini dan pulang secepatnya, lalu memeriksa suhu tubuh Dhika. Dirutuknya jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. “Bapak Ibu, C-health adalah signature product PT Bellezza. Mungkin kita tidak bisa menjualnya secara mass lagi, tetapi kita bisa menggunakannya sebagai hampers untuk relasi, hadiah-hadiah giveaway, atau sebagai gift untuk pembelian produk lain. Tiga puluh tahun lalu, PT Bellezza dimulai dengan C-health. Kita sudah cukup dinamis dengan berbagai produk baru setiap tahun, tetapi C-health adalah identitas kita yang tidak boleh hilang. Pak Hendra,” Cassie mengunci pandangannya pada pria berkemeja biru yang duduk di seberang kursinya. “Berapa penjualan seluruh produk kita setiap tahun? In pcs?”

“Sekitar lima puluh juta pcs,” jawabnya singkat. Kemeja lengan panjangnya digulung sampai siku dan meskipun tampak masih yakin dengan pendapatnya, pria itu mulai terlihat lelah dan ingin menyelesaikan meeting ini secepatnya.

“Pak Hari, alokasikan C-health untuk aktivitas marketing sebesar 200.000 pcs per tahun. Oke?” Cassie kini menyapukan pandangannya pada CMO (Chief Marketing Officer) yang duduk di ujung kiri. Pria paruh baya itu mengangguk. “Berapa persen dari total pengajuan free product marketing?”

“Lima puluh persen, Bu Cassie.”

Noted. Bu Anggi.” Cassie menyebut nama CCO (Chief Commercial Officer) yang duduk di samping Pak Hari. “200.000 pcs untuk marketing, 70.000 pcs untuk penjualan organik. Bisa habiskan 730.000 pcs sisanya untuk program sales yang menunjang penjualan produk lain?”

Bu Anggi mengangguk mantap. “Ya, Bu Cassie. Ada banyak program tim sales yang membutuhkan free product.”

“Bagus. Apakah ada sanggahan lagi dari Bapak Ibu yang lain?”

Cassie menahan napasnya, namun semua orang hanya diam. Lalu, saat Cassie akan menutup meeting, suara Pak Hendra kembali terdengar.

“Bu Cassie, bukannya saya tidak menghargai pendapat Ibu. Hanya penasaran, kenapa Ibu sangat ingin mempertahankan C-health? Ini bukan yang pertama kalinya.”

“Karena CEO sebelumnya bilang demikian,” jawabnya singkat.

Mengangguk sopan, Cassie meninggalkan ruangan dengan cepat.

***

“Oke, nanti Cassie akan jadi CEO saat umur tiga puluh ya. Siap kan?” Vino memandang calon adik iparnya dengan mata berbinar-binar. Bahkan saat SMA, anak ini sudah mengelola online shop yang cukup besar dan terkenal di kalangan penjual pernak-pernik. Tiga belas tahun mendatang, rasanya Vino sudah cukup tua untuk melepas perusahaan, dan pilihan terbaiknya untuk meneruskan PT Bellezza adalah Cassie. Anak ini punya sense of business yang begitu bagus. Tiga belas tahun tentunya waktu yang cukup untuk mengasahnya jadi CEO yang hebat. “Pokoknya harus sudah hapal semua jurnal ini di luar kepala, baru boleh jadi CEO.”

“Siap, Kak Vino,” jawab Cassie mantap. Disimpannya l**k cloud tempat jurnal-jurnal Vino tersimpan. Kemudian cewek itu mengernyit. “Aku nggak yakin akan hapal semuanya meski sudah umur tiga puluh. Ini banyak banget.”

Vino mendelik. “Mau jadi CEO nggak?”

“Memangnya aku punya pilihan?” Cassie bertanya main-main.

“Nggak. Soalnya, Kak Vino sudah nulis nama Cassie di surat wasiat.” Cassie tertawa ringan menanggapinya, sadar benar ia masih punya banyak waktu untuk belajar mengelola PT Bellezza. “Oh, Cass, satu lagi.”

Cewek itu menutup laptopnya. “Hm? Apa Kak?”

Act like a leader, not a victim. At all costs, at all times.” Pria itu menatap calon adik iparnya dengan serius. Ada kilau yang familiar di matanya dan Cassie tidak bisa berpaling. “Akan ada waktunya masalah merundungmu, terutama dari mereka yang beranggapan kamu hanya mendapatkan posisi CEO karena hubungan keluarga.”

Well it’d be true.” Cassie menyeka poninya ke balik telinga. Membayangkannya saja sudah membuatnya down, bagaimana saat ia mengalaminya nanti?

Vino masih memandangnya serius. Ditepuknya laptop Cassie yang tertutup. “Well, apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah menyalahkan keadaan, oke? Karena CEO bukan korban, Cass, mereka pemimpin.”

“Itu artinya mereka nggak lari dari keadaan, mereka mencari cara untuk menyelesaikan masalah dari  keadaan yang nggak diinginkan.”

Vino tersenyum. “Good girl. Pantes aja bisa punya online shop segini besar.” Vino menyinggung toko online Cassie yang menjual berbagai pernak-pernik khas wanita dan kini sudah cukup besar. Penghasilan rata-ratanya sudah sekitar lima juta per bulan hanya sebagai dropshipper!

Menanggapi calon kakak iparnya, Cassie cemberut sedikit. “Nggak ada hubungannya sama kerjaan sampinganku, Kak.” Vino hanya tertawa.

Suara langkah kaki membuat keduanya menoleh. Rupanya Dhika menghampiri sembari membawa tiga gelas jus mangga. “Pasti ngomongin wasiat ya? Matanya ijo semua tuh.”

“Dhika, anak kesayangan Papa!” seru Vino heboh. Diambilnya segelas jus manga, lalu diteguk banyak-banyak. “Yapp, lagi nakut-nakutin calon tantemu tentang betapa susahnya jadi CEO.”

Menyerahkan salah satu gelas ke Cassie, Dhika duduk di antara ayahnya dan cewek yang akan menjadi tantenya beberapa bulan ke depan. “Eh, nggak boleh ditakut-takutin. Nanti dia nolak dan aku bakal gantiin namanya di wasiat Papa. Cass, nggak serem kok. Tetep jadi CEO ya? Please! Please!”

“Tenang aja. Posisimu sebagai pemilik semua asset ayahmu nggak akan berubah kok, calon pendiri perusahaan IT,” goda Cassie.

Calon keponakannya mengangguk semangat. “Tiga belas tahun lagi, aku akan jadi CEO perusahaanku sendiri, kamu akan nerusin PT Bellezza, sedangkan Papa dan Tante Lila akan duduk-duduk santai di rumah sambil menikmati suasana halaman belakang. Isn’t life amazing?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The CEO Girl for The College Boy   CHAPTER 22: I'LL NEVER LEAVE HER SIDE

    Satu bulan sebelum ulang tahun Dhika yang kedelapan belas… “Apa gunanya penasaran, sih?” Putra berdecak kesal. Sedari pagi, sohibnya yang bernama Andhika Pratama terus menerus merundungnya tentang kado apa yang akan diberikan Cassie, calon pacar garis miring calon tante cowok itu untuk ulang tahunnya yang kedelapan belas (well, Putra agak bingung menentukan title Cassie di sini karena hubungan keduanya memang sangat rumit, tapi masa bodoh karena jika Cassie menjadi tante sohibnya, dia akan punya banyak kesempatan untuk jadi calon pacar Cassie). “Karena kado ini dari Cassie. Dan cewek itu nggak pernah ngasih kado sembarangan.” Dan apa maksudnya itu? “Bro, ulang tahun lo sebulan lagi. Tunggu aja. Kado kan memang harusnya jadi kejutan.” Putra kini menyibukkan diri dengan ponselnya, malas menanggapi Dhika yang memang super terobsesi pada Cassie. Sayangnya, Dhika punya pikiran lain. “Bayangin kalau dia ngasih gue sepatu

  • The CEO Girl for The College Boy   CHAPTER 21: WAY BACK HOME

    “By the way,” Cassie berdiri sembari membawa kotak mentai rice yang sudah kosong. “Aku belum kasih ucapan selamat secara official untuk the birthday boy.”“It’s me.” Dhika menambahkan.Beni, objek sasarannya, menanggapi santai, “I know. I accompanied Cassie to the bakery shop.”“So,” sela Cassie, menghentikan adu mulut keduanya. “Happiest birthday. Aku ambil kuenya dulu.”Cassie kembali dengan kue dan korek api. Kali ini, cewek itu tidak melihat tanda-tanda ada perdebatan kekanakan lagi di antara keponakan dan kekasihnya kali kedua para cowok itu ditinggalkan berdua saja di dalam satu ruangan.“Just for your information,” Dhika berdeham saat Cassie tiba, matanya tidak meninggalkan Beni. “Ada korek api di rumah ini bukan berarti aku atau Cassie merokok. Aku bahkan ng

  • The CEO Girl for The College Boy   CHAPTER 20: BENI DAN DHIKA

    Hal paling awkward yang mungkin pernah terjadi di hidup Cassie adalah salah masuk ruang meeting saat ia baru saja menjabat sebagai CEO sementara. Cassie ingat benar bagaimana tangannya yang mendorong gagang pintu langsung dingin dan kaku seketika saat berpasang-pasang mata menatapnya dengan tatapan aneh. Apa dia karyawan baru yang datang terlambat di hari pertama? Mungkin sebagian besar berpikir seperti itu, berhubung ruangan yang salah dimasukinya adalah ruang induction. Parah sekali, terlambat satu jam! Lebih mungkin lagi, itulah kalimat yang semua orang pikirkan. Saat itu, Cassie ingin kabur secepatnya dan mengubur diri di tong sampah terdekat, tetapi tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan dalam angan-angan. Lagipula cewek itu sudah berjanji untuk menjaga PT Bellezza sebaik mungkin. Jadi dengan penuh percaya diri, Cassie membenarkan postur tubuhnya, dan berkata dengan nada bass yang sudah ia latih sema

  • The CEO Girl for The College Boy   CHAPTER 19: KEBERUNTUNGAN

    “Rule number one, behave, ada Dhika di dalam.” Beni bukan orang yang gampang terintimidasi, apalagi dengan orang yang lebih muda dibandingkan dirinya. Jika ingin contoh ekstrim, Beni bahkan tidak terintimidasi oleh deretan C-level bertampang seram di perusahaannya sendiri (tapi posisinya sebagai calon penerus perusahaan mungkin berpengaruh besar dalam hal ini). Jadi, bertemu keponakan Cassie seharusnya bukan hal yang sulit. Dhika mungkin tidak menyukainya dengan alasan kuno seperti kau-tidak-cukup-baik-untuk-tanteku-yang-sempurna, tapi cowok itu tidak mungkin membencinya, kan? Beni belum (jangan sampai!) berbuat sesuatu yang menyebabkan Cassie marah besar atau sedih luar biasa, jadi seharusnya ia ada di posisi aman. Jika Beni boleh jujur, malahan ia sudah memiliki rasa peduli pada Dhika walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali. Kekasihnya selalu bercerita tentang Dhika, keponakannya, dan satu-satunya keluarganya. Beni tahu mereka bukan tant

  • The CEO Girl for The College Boy   CHAPTER 18: TERGUNCANG

    Beni tahu dan paham semua teori dan nasihat tentang fokus mengemudi dan jangan melihat ke arah lain selain spion dan jalanan. Cowok itu bukan pengemudi ugal-ugalan, sungguh. Saat orang-orang lain membuat SIM A dengan jalur dalam (atau jalur uang, well, sama sajalah), Beni mengambil les mengemudi selama dua minggu untuk mempersiapkan diri dalam tes pengambilan SIM. Hasilnya, dia lulus dengan mudah dan murah. Jadi, Beni tahu benar apa yang dilakukannya ini salah. Jalanan ibukota malam-malam begini memang cukup lengang, namun bukan berarti tidak akan ada mobil atau motor yang mencoba menyalip (baik dari sebelah kanan maupun kiri). Meskipun begitu, lebih dari setengah perhatian Beni kini tidak tertuju pada jalanan. Tangan kirinya memang masih berada di atas setir, namun tangan kanannya merangkul pundak Cassie yang practically bersandar pada bahunya. Beni melirik ke tangan cewek itu yang gemetaran sesering yang ia bisa tanpa membuat mereka olen

  • The CEO Girl for The College Boy   CHAPTER 17: A FAVOR

    “Masih beef bowl terenak yang pernah gue makan.” Putra berkata di sela-sela kunyahannya. Setelah selesai mengambil surat rekomendasi magang di TU, cowok itu dan Dhika makan di Kafe Kafe, kafe tempat Dhika bekerja part-time. Nama yang aneh? Definitely. Namun nama-nama unik seperti inilah yang menimbulkan kesan kekinian dan membuat orang-orang tertarik untuk mencoba. Apalagi di lingkungan dekat kampus yang sasaran utamanya mahasiswa. Nama Kafe Kafe yang unik juga diiringi dengan interior kafe yang menarik, seperti berteriak-teriak kepada cewek-cewek pecinta I*******m, “Ayo foto di sudut ini!” atau semacamnya. Ada tema musim gugur di satu sisi ruangan, lengkap dengan dedaunan dan rumput-rumput yang mulai menguning. Bahkan ada lampu sorot berwarna kekuningan yang mengarah ke sudut itu sehingga suasananya khas sendu musim gugur. Di sisi lain, ada tembok dan pintu warna-warni seperti yang sering ditemukan di tempat wisata bergaya Belanda. Tambaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status