Share

Bab 3. Pulang

Penulis: Fitri_alpha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-18 14:03:43

"Kau sudah siap, Sayang?"

Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil.

Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum.

Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat.

"Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang."

Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana.

Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya bangsawan kelas rendah yang tinggal di desa, ia tetap harus mempelajari semua itu.

Etika kesopanan sangat diperlukan seorang gadis dalam pergaulan. Etika juga yang menunjukkan kelas seseorang. Meskipun bangsawan, jika tidak memiliki etika kesopanan tidak ada bedanya dengan rakyat biasa. Itu yang selalu dikatakan Mama kepadanya, dan Crystal selalu mengingatnya.

Astrid mengerti perasaan putri kecilnya. Perempuan itu menekuk lutut, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan tinggi tubuh Crystal. Tangan lembutnya membingkai wajah sedih sang putri tunggal.

"Mama tahu kau masih ingin bermain bersama Pangeran Alexant, tetapi kita harus pulang, Sayang. Tempat kita bukan di sini," ucap Astrid lembut, berusaha menjelaskan sebaik mungkin agar kata-katanya bisa dimengerti oleh gadis kecil seumur Crystal.

Mata bulat itu menatap Astrid. Tatapannya bertanya. "Tetapi, kata Alexant nanti jika kami dewasa, kami akan menjadi pasangan dan Alexant akan memakaikan mahkota sungguhan di kepalaku," ucapnya polos.

Bola mata Astrid melebar. Benarkah apa yang dikatakan putrinya?

"Kau sungguh-sungguh, Sayang?" tanya Astrid tak percaya. Mungkin saja, 'kan, Crystal hanya bercanda. Meskipun jika dilihat dari wajahnya dia serius.

Dia Ibu Crystal, perempuan yang melahirkannya, dan ia sangat mengenal putrinya. Astrid mengetahui kapan putrinya bercanda, kapan serius, dan sekarang ia tidak melihat jika Crystal sedang bercanda.

"Benarkah Pangeran Alexant mengatakan hal itu kepadamu, Sayang?"

Crystal mengangguk.

"Kapan?" tanya Astrid lagi sambil menahan napas. Dadanya berdebar menanti jawaban putrinya.

Di negeri mereka, perkataan seorang pangeran merupakan ikrar atau janji yang harus dipenuhi. Jika benar Pangeran e berkata seperti itu, berarti Crystal-nya akan menjadi ratu Namira.

Senangkah Astrid dengan hal itu? Jawabannya tentu saja tidak. Dia sangat tidak mengharapkan putrinya kenapa-kenapa. Menjadi ratu bukanlah perkara gampang, banyak hal di dunia politik yang bisa merusak kepribadian seseorang. Itulah sebabnya, dia melarang suaminya untuk memasuki kancah politik istana.

Astrid tidak ingin keluarga kecilnya ternoda. Kehidupan istana bukanlah sesuatu yang baik, terlalu banyak kebohongan di dalamnya. Dia tidak mau putrinya teracuni, kemudian berubah.

"Kapan pangeran Alexant mengatakan hal itu?" tanya Astrid lagi. Suaranya bergetar, kentara sekali jika dia sedang menahan gejolak perasaannya.

"Beberapa hari yang lalu saat kami bermain di taman," jawab Crystal jujur. "George juga ada bersama kami."

Jawaban Crystal makin meresahkan hati Astrid. Jika memang George juga berada bersama Crystal dan Alexant saat anak itu mengucapkan ikrar itu, berarti ikrar itu sah.

"George juga mendengar perkataan Pangeran Alexant?" Pertanyaan yang tak seharusnya Astrid utarakan karena sungguh, dia tak ingin mendengar jawabannya. Dia takut jika jawaban Crystal tidak sesuai dengan yang diharapkannya.

Crystal lagi-lagi mengangguk. Gadis kecil itu menatap ibunya bingung. Ia tidak mengerti kenapa sang Ibu justru menggeleng dengan mata terpejam rapat selama beberapa detik.

Astrid menghela napas sepanjang yang dia bisa. Mata birunya terbuka perlahan, kedua tangan terangkat membingkai pipi putrinya yang kemerahan.

"Dengar, Sayang, kau harus melupakan kata-kata Pangeran Alexant. Kau mau, 'kan?" pinta Astrid sungguh-sungguh. Dia tidak bermaksud apa-apa, sama sekali tidak bermaksud menentang hukum dan tradisi kerajaan mereka. Ia hanya seorang Ibu yang ingin melindungi putrinya.

"Kenapa, Mama?" Crystal bertanya sambil memiringkan kepalanya.

Astrid berusaha tersenyum. Pikirannya ke mana-mana, mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Crystal. Sedikit sulit mendapatkan kata-kata yang tepat dan mudah dicerna anak seusia putrinya.

"Kata Alexant, aku tidak boleh menikah dengan orang lain selain dengannya. Kami akan memimpin Namira."

Hati Astrid tercubit melihat senyum manis di wajah cantik putrinya. Crystal bahkan sudah sangat senang meskipun dia tidak tahu apa dan bagaimana itu memimpin.

"Kau ingin bersama Alexant?" tanya Astrid lirih. Dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika ada yang mendengar perkataan mereka, nyawa Crystal bisa saja terancam. Semua yang menginginkan kedudukan sebagai ratu tentu menginginkan kematian Crystal. Itulah sebabnya, ia lebih memilih hidup di desa daripada di kota, apalagi di istana yang terlalu banyak aturan dan intrik.

Crystal mengangguk, lagi. Ia ingin terus bermain bersama Alexant. Ia tidak pernah bosan bermain dengan anak itu. Alexant selalu memperhatikan, juga menjaganya. Selain itu, Alexant juga tampan.

"Apa aku tidak boleh bermain bersama Alexant lagi, Mama?" tanya Crystal sedih. Wajah cantiknya murung, sinar matanya yang tadi ceria, sekarang mendung.

Astrid menghela napas panjang, kemudian menggeleng. "Boleh," jawabnya hati-hati. Perempuan itu berusaha menyunggingkan senyum agar keceriaan kembali ke wajah putrinya yang murung.. "Tapi, tidak sekarang, sebab sekarang kita harus kembali ke desa."

Crystal menatap Astrid. Tatapannya masih sedih, membuat Astrid kembali menghela napas panjang.

"Sayang, kau tahu kan rumah kita tidak di sini?"

Crystal tidak menjawab, tidak juga bereaksi. Dia hanya diam menunggu Astrid melanjutkan perkataan.

"Apa kau tidak merindukan Bibi Autumn?" Astrid berusaha mengalihkan pikiran Crystal. Bibi Autumn adalah pengasuh Crystal dan mereka sangat dekat. Crystal sangat menyayangi pengasuhnya itu. "Bibi Autumn akan sangat sedih jika kau tidak pulang."

Crystal mengeejspkan matanya menatap Astrid. Tentu saja dia merindukan Bibi Autumn, dia juga tidak suka melihatnya bersedih, tetapi dia juga ingin bersama Alexant. Bermain dengannya sangat menyenangkan sampai-sampai waktu sangat cepat berlalu. Tahu-tahu sudah sore saja. Tahu-tahu sudah satu minggu saja, dan mereka, para tamu pesta ulang tahun raja, sudah harus pulang.

Astrid menoleh saat mendengar pintu kamar mereka dibuka. Dia berdiri begitu Edmund Mars, suaminya, memasuki kamar mereka.

"Kalian sudah siap?" tanya pria tampan itu.

Astrid mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Kamu siap. Benar, 'kan, Sayang?" Dia menatap Crystal yang menganggukkan kepalanya dengan lemah.

"Baiklah, ayo!"

Astrid meraih tangan Crystal. Membiarkan para pelayan yang ditugaskan untuk melayani mereka selama di sini membawakan barang-barang mereka menuju keluar. Mereka akan pulang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The CROWN (Sang Pewaris Takhta)   Bab 115. Malam Pertama Kerajaan

    Tengah malam, lonceng di menara tertinggi istana berdentang dua belas kali. Crystal dan Alexant baru bisa meninggalkan pesta. Padahal, Crystal sudah meminta untuk beristirahat jauh sebelum ini, tetapi Alexant menahannya, dan memintanya untuk bertahan sebentar lagi. Sebentar yang ternyata beberapa jam. Crystal mendengkus kasar, tak menyangka ternyata berpesta lebih melelahkan daripada harus berperang. Dia berharap tak ada lagi pesta semacam ini yang akan dihadirinya. Jika ada yang mengundang, ia akan menolaknya terang-terangan. Pesta tidak berguna, hanya membuat lelah saja. Tak ada acara mandi atau membersihkan diri ala-ala pasangan pengantin kerajaan lainnya. Alexant mengusir mereka sebelum para dayang dan pelayan istana yang mengekor di belakang mereka ikut masuk ke kamar tidurnya. Ini malam pengantin mereka, para dayang dan pelayan itu hanya akan merusaknya saja jika mereka sampai ikut masuk. Alexant melangkah ke kamar mandi, membiarkan Crystal yang berbaring dengan kaki menjunt

  • The CROWN (Sang Pewaris Takhta)   Bab 114. Ratu Namira

    Istana Namira di bawah siraman sinar matahari sore yang berwarna keemasan, bayangannya terlihat memanjang dengan ujung-ujung kubah yang nyaris menyentuh bibir pantai. Gelap terlihat di sepanjang daerah yang tertutup bayangan istana. Beruntung daerah itu belum ditinggali penduduk, hanya kawasan hutan dan gunung-gunung yang dijadikan sebagian rakyat yang tinggal di daerah terdekat sebagai tempat untuk mencari kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Di atas balkon, Crystal masih melambaikan tangan pada rakyat yang menyerukan namanya. Wajah cantiknya semakin terlihat memukau tertimpa sinar matahari sore. Banyak rakyat yang memujinya, mereka mengagumi kecantikan calon ratu mereka yang menurut mereka tidak ada bandingannya. Entah siapa yang menggagaskan, mereka menyatakan jika Putri Crystal adalah gadis tercantik di Namira. Hal itu tentu saja membuat Alexant bangga. Ia melambaikan tangan tak henti ke arah mereka. Sesekali sudut matanya melirik ke arah sang istri yang berdiri tepat di sampingn

  • The CROWN (Sang Pewaris Takhta)   Bab 113. Putri yang Dicintai Rakyat

    "Yang Mulia, apakah Anda di dalam? Saya mencari Anda ke mana-mana. Semua orang khawatir pada Anda berdua!" Itu adalah suara George. Alexant tak menyahut. Perlahan ia bangkit, membantu istrinya untuk duduk. "Kau tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya serak. Ia masih berada dalam kondisi bergairah, tubuhnya masih memanas, bagian bawahnya masih berdiri sempurna. Sialan George!"Yang Mulia, maafkan saya jika mengganggu Anda, tetapi saya hanya menjalankan tugas!" Alexant mendengkus kasar. Napasnya terasa panas menerpa bibir bagian atasnya."Sebentar lagi Anda dan Putri Crystal harus ke balkon untuk menyapa rakyat!" Geraman tertahan keluar dari mulut Alexant yang terkatup. Ia memeluk istrinya yang tampak lemas. Tubuh Crystal berkeringat, sejuk terasa di tubuhnya yang panas. Alexant membingkai pipi mulus itu dengan tangan kanannya, mengecup bibirnya sekilas. "Ayo, kubantu merapikan diri!" Alexant turun dari ranjang lebih dulu, kemudian membantu Crystal untuk turun dan berdiri. "Kupikir, kau p

  • The CROWN (Sang Pewaris Takhta)   Bab 112. Malam Pertama?

    Awal dan akhir musim semi biasanya ditandai dengan suhu udara yang sedikit lebih dingin. Bahkan, di Namira yang memiliki cuaca yang lebih hangat dibandingkan dua kerajaan besar lainnya yang beriklim lebih dingin. Rans, meskipun tidak ditutupi salju sepanjang tahun seperti Alastoire, suhu udaranya masih jauh lebih lembap dibandingkan Namira yang selalu mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun. Keadaan itu tak membuat cuaca Namira lebih panas, tetapi hangat. Matahari masih mau menunjukkan diri walau di musim dingin sekalipun sehingga tidak terjadi penumpukan salju yang berlebihan. Di awal musim semi sekarang, suhu udara masih bisa dikatakan rendah di Namira, cuaca sedikit lebih dingin dari biasanya. Itulah sebabnya pesta pernikahan putra mahkota lebih banyak diadakan di dalam ruangan —ballroom— daripada di taman. Pihak penyelenggara khawatir hujan akan turun. Walaupun langit terlihat cerah, tidak menutup kemungkinan akan turun hujan. Angin berembus sedikit lebih kencang dari biasan

  • The CROWN (Sang Pewaris Takhta)   Bab 111. Kabur

    Tanpa bersuara, Alexant menarik pinggang Crystal menjauh. Ia meletakkan jari telunjuk di bibir sang istri saat mulut mungilnya terbuka untuk memprotes. Namun, kemudian bibir yang sejak tadi membuatnya gatal ingin menyentuh itu menyunggingkan senyum. Alexant memperhatikan keadaan sekali lagi sebelum membawa istrinya keluar dari arena pesta. Beruntung, para prajurit yang berjaga di depan ruangan sedang sibuk melahap hidangan pesta bagian mereka sehingga tidak ada yang menghalangi kepergian mereka. Beberapa kali Alexant membawa Crystal bersembunyi di balik tembok sebuah ruangan ataupun gorden saat mereka berpapasan dengan beberapa orang prajurit yang tengah berpatroli. Mereka tidak boleh ketahuan atau akan kembali ke pesta yang sama sekali tidak menyenangkan. Sekali lagi, mereka bersembunyi di balik tirai tebal pembatas ruangan saat dua orang prajurit melintas. Kemudian, langsung berlari meninggalkan tempat itu setelah kedua prajurit sudah tak lagi terlihat. Kamarnya tidak dikunci, k

  • The CROWN (Sang Pewaris Takhta)   Bab 110. (Bukan) Pesta Pernikahan Kita

    Taman bagian selatan istana terlihat lebih indah dari biasanya. Taman yang dipenuhi bunga mawar aneka warna dijadikan sebagai tempat pesta pada siang hari, akan dilanjutkan pada malam hari di tempat yang berbeda. Sebenarnya, Crystal sudah lelah, tetapi dia tetap mencoba bertahan dan tersenyum manis pada setiap tamu yang hadir. Para tamu yang merupakan para bangsawan dari tiga kerajaan seolah tak pernah ada habisnya. Padahal, dia ingin beristirahat sebentar saja, menunggu sore untuk menyapa rakyat yang ingin melihatnya. Seandainya saja bisa, dia akan kabur. Sungguh, berada di medan perang terasa lebih menyenangkan daripada berada di sini. Senyum palsu dari para bangsawan yang datang terlihat menjijikkan di matanya. Dasar penjilat!"Apa kau mau berdansa?" tawar Alexant. Senyum tak pernah lepas dari bibir merah pucat alaminya. Ia terlalu bahagia sampai rasanya ingin terus tersenyum saja selamanya. Sejak beberapa menit yang lalu, beberapa pasangan tampak berdansa di bagian taman yang d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status