Share

Bab 3. Pulang

"Kau sudah siap, Sayang?"

Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil.

Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum.

Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat.

"Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang."

Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana.

Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya bangsawan kelas rendah yang tinggal di desa, ia tetap harus mempelajari semua itu.

Etika kesopanan sangat diperlukan seorang gadis dalam pergaulan. Etika juga yang menunjukkan kelas seseorang. Meskipun bangsawan, jika tidak memiliki etika kesopanan tidak ada bedanya dengan rakyat biasa. Itu yang selalu dikatakan Mama kepadanya, dan Crystal selalu mengingatnya.

Astrid mengerti perasaan putri kecilnya. Perempuan itu menekuk lutut, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan tinggi tubuh Crystal. Tangan lembutnya membingkai wajah sedih sang putri tunggal.

"Mama tahu kau masih ingin bermain bersama Pangeran Alexant, tetapi kita harus pulang, Sayang. Tempat kita bukan di sini," ucap Astrid lembut, berusaha menjelaskan sebaik mungkin agar kata-katanya bisa dimengerti oleh gadis kecil seumur Crystal.

Mata bulat itu menatap Astrid. Tatapannya bertanya. "Tetapi, kata Alexant nanti jika kami dewasa, kami akan menjadi pasangan dan Alexant akan memakaikan mahkota sungguhan di kepalaku," ucapnya polos.

Bola mata Astrid melebar. Benarkah apa yang dikatakan putrinya?

"Kau sungguh-sungguh, Sayang?" tanya Astrid tak percaya. Mungkin saja, 'kan, Crystal hanya bercanda. Meskipun jika dilihat dari wajahnya dia serius.

Dia Ibu Crystal, perempuan yang melahirkannya, dan ia sangat mengenal putrinya. Astrid mengetahui kapan putrinya bercanda, kapan serius, dan sekarang ia tidak melihat jika Crystal sedang bercanda.

"Benarkah Pangeran Alexant mengatakan hal itu kepadamu, Sayang?"

Crystal mengangguk.

"Kapan?" tanya Astrid lagi sambil menahan napas. Dadanya berdebar menanti jawaban putrinya.

Di negeri mereka, perkataan seorang pangeran merupakan ikrar atau janji yang harus dipenuhi. Jika benar Pangeran e berkata seperti itu, berarti Crystal-nya akan menjadi ratu Namira.

Senangkah Astrid dengan hal itu? Jawabannya tentu saja tidak. Dia sangat tidak mengharapkan putrinya kenapa-kenapa. Menjadi ratu bukanlah perkara gampang, banyak hal di dunia politik yang bisa merusak kepribadian seseorang. Itulah sebabnya, dia melarang suaminya untuk memasuki kancah politik istana.

Astrid tidak ingin keluarga kecilnya ternoda. Kehidupan istana bukanlah sesuatu yang baik, terlalu banyak kebohongan di dalamnya. Dia tidak mau putrinya teracuni, kemudian berubah.

"Kapan pangeran Alexant mengatakan hal itu?" tanya Astrid lagi. Suaranya bergetar, kentara sekali jika dia sedang menahan gejolak perasaannya.

"Beberapa hari yang lalu saat kami bermain di taman," jawab Crystal jujur. "George juga ada bersama kami."

Jawaban Crystal makin meresahkan hati Astrid. Jika memang George juga berada bersama Crystal dan Alexant saat anak itu mengucapkan ikrar itu, berarti ikrar itu sah.

"George juga mendengar perkataan Pangeran Alexant?" Pertanyaan yang tak seharusnya Astrid utarakan karena sungguh, dia tak ingin mendengar jawabannya. Dia takut jika jawaban Crystal tidak sesuai dengan yang diharapkannya.

Crystal lagi-lagi mengangguk. Gadis kecil itu menatap ibunya bingung. Ia tidak mengerti kenapa sang Ibu justru menggeleng dengan mata terpejam rapat selama beberapa detik.

Astrid menghela napas sepanjang yang dia bisa. Mata birunya terbuka perlahan, kedua tangan terangkat membingkai pipi putrinya yang kemerahan.

"Dengar, Sayang, kau harus melupakan kata-kata Pangeran Alexant. Kau mau, 'kan?" pinta Astrid sungguh-sungguh. Dia tidak bermaksud apa-apa, sama sekali tidak bermaksud menentang hukum dan tradisi kerajaan mereka. Ia hanya seorang Ibu yang ingin melindungi putrinya.

"Kenapa, Mama?" Crystal bertanya sambil memiringkan kepalanya.

Astrid berusaha tersenyum. Pikirannya ke mana-mana, mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Crystal. Sedikit sulit mendapatkan kata-kata yang tepat dan mudah dicerna anak seusia putrinya.

"Kata Alexant, aku tidak boleh menikah dengan orang lain selain dengannya. Kami akan memimpin Namira."

Hati Astrid tercubit melihat senyum manis di wajah cantik putrinya. Crystal bahkan sudah sangat senang meskipun dia tidak tahu apa dan bagaimana itu memimpin.

"Kau ingin bersama Alexant?" tanya Astrid lirih. Dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika ada yang mendengar perkataan mereka, nyawa Crystal bisa saja terancam. Semua yang menginginkan kedudukan sebagai ratu tentu menginginkan kematian Crystal. Itulah sebabnya, ia lebih memilih hidup di desa daripada di kota, apalagi di istana yang terlalu banyak aturan dan intrik.

Crystal mengangguk, lagi. Ia ingin terus bermain bersama Alexant. Ia tidak pernah bosan bermain dengan anak itu. Alexant selalu memperhatikan, juga menjaganya. Selain itu, Alexant juga tampan.

"Apa aku tidak boleh bermain bersama Alexant lagi, Mama?" tanya Crystal sedih. Wajah cantiknya murung, sinar matanya yang tadi ceria, sekarang mendung.

Astrid menghela napas panjang, kemudian menggeleng. "Boleh," jawabnya hati-hati. Perempuan itu berusaha menyunggingkan senyum agar keceriaan kembali ke wajah putrinya yang murung.. "Tapi, tidak sekarang, sebab sekarang kita harus kembali ke desa."

Crystal menatap Astrid. Tatapannya masih sedih, membuat Astrid kembali menghela napas panjang.

"Sayang, kau tahu kan rumah kita tidak di sini?"

Crystal tidak menjawab, tidak juga bereaksi. Dia hanya diam menunggu Astrid melanjutkan perkataan.

"Apa kau tidak merindukan Bibi Autumn?" Astrid berusaha mengalihkan pikiran Crystal. Bibi Autumn adalah pengasuh Crystal dan mereka sangat dekat. Crystal sangat menyayangi pengasuhnya itu. "Bibi Autumn akan sangat sedih jika kau tidak pulang."

Crystal mengeejspkan matanya menatap Astrid. Tentu saja dia merindukan Bibi Autumn, dia juga tidak suka melihatnya bersedih, tetapi dia juga ingin bersama Alexant. Bermain dengannya sangat menyenangkan sampai-sampai waktu sangat cepat berlalu. Tahu-tahu sudah sore saja. Tahu-tahu sudah satu minggu saja, dan mereka, para tamu pesta ulang tahun raja, sudah harus pulang.

Astrid menoleh saat mendengar pintu kamar mereka dibuka. Dia berdiri begitu Edmund Mars, suaminya, memasuki kamar mereka.

"Kalian sudah siap?" tanya pria tampan itu.

Astrid mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Kamu siap. Benar, 'kan, Sayang?" Dia menatap Crystal yang menganggukkan kepalanya dengan lemah.

"Baiklah, ayo!"

Astrid meraih tangan Crystal. Membiarkan para pelayan yang ditugaskan untuk melayani mereka selama di sini membawakan barang-barang mereka menuju keluar. Mereka akan pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status