Share

Rais, 1997

Rais tidak telalu menyukai pesta kelulusan dirinya yang dibuat keluarga Hoetomo. Ia mencoba, tapi tetap tidak bisa. Tidak pernah disukainya pesta-pesta semacam itu. Ayah dan Ibunya mengundang semua orang yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Rais. Mereka para keluarga Muslim dan juga Indonesia-Amerika yang dikenal keluarga Hoetomo.

Selama bertahun-tahun lamanya Ibunya telah mengenalkan Rais kepada sejumlah anak, terutama anak perempuan. Hanya sebagian di antara mereka yang Muslim, karena orangtuanya selalu mengajari Rais untuk tidak menjadi eksklusif. Terkadang Rais bermain ke rumah mereka, terkadang sebaliknya mereka yang mengunjungi Rais.

Semula terasa aneh berkunjung ke rumah orang lain, namun lama kelamaan Rais menjadi terbiasa. Dari sini Rais belajar mengeksplorasi kehidupan pertetanggaan mereka. Sesekali mereka bertanya apakah diizinkan bermain ke rumah Rais, di mana rumah itu sangatlah mewah meskipun Ayah Rais berusaha untuk membuatnya “sesederhana mungkin”.

Ayah dan Ibu Rais sangat menyambut hangat anak-anak yang datang. Bagi mereka ini adalah hal yang bagus saat Rais mulai bersosialisasi. Mereka boleh bermain apa pun selama berada dalam pengawasan.

Maka saat ini, saat keluarganya mengadakan sebuah pesta kebun untuk merayakan kelulusannya di rumah mereka yang menyerupai istana, Rais sudah mulai terbuasa. Pada akhirnya, Rais mendapati bahwa dirinya harus bersyukur akan adanya pesta itu. Ia tidak terlalu percaya takdir, tapi kali ini harus.

Karena itu adalah saat pertama ia bertemu Malikha.

***

Malikha Russel memiliki rambut cokelat yang panjang sempurna. Ia elegan, ramah, dan berpenampilan menarik. Tinggi badannya hampir menyamai Rais. Malikha mengenakan blus dan blazer berwarna terang, menjadikan auranya tampak semakin sempurna.

Diulurkannya tangan kanannya untuk menyalami Rais.

“Miss Russel,” Rais menyambut uluran tangan Malikha.

Malikha terdiam untuk sesaat.

“Tolong panggil Malikha saja,” jawabnya.

“Rais,”

“Dan bagaimana kau tahu namaku?”

“Ayolah, hanya ada sedikit keluarga Muslim di sekitar sini, aku mengetahui nama setiap dari mereka,”

“Tentu, kau adalah jenius terkenal di sini,”

“Jangan mempercayai semua yang kau dengar, Malikha.”

“Tapi itu benar, kan?”

“Jika kau berkata demikian,”

“Oke, mau ke Starbucks?”

“Aku yang traktir,”

“Kenapa?”

“Aku yang merayakan hari ini,”

“Kau benar-benar mau pergi ke Starbucks?”

“Tentu saja, kenapa memangnya?”

“Aku tadi hanya basa-basi, sambil tidak yakin apakah kutu buku sepertimu mau pergi ke Starbucks,”

“Aku bukan kutu buku,”

“Oke,”

“Ayo pergi.”

Mereka beranjak meninggalkan pesta yang masih berlangsung.

***

“Jadi, apa yang kaukerjakan sekarang?” tanya Rais saat mereka memasuki Starbucks.

“Aku seorang paralegal. Baru saja kuselesaikan sekolah hukum di Harvard,”

“Baiklah, mau duduk?”

“Terima kasih,” jawab Malikha usai menyadari bahwa mereka sudah berdiri untuk beberapa saat setelah masuk.

“Vanilla sky,” kata Rais.

“Maaf?”

Rais menunjuk langit di luar jendela.

“Oh, indah sekali,” jawab Malikha.

“Sangat, Malikha,”

“Lalu, apa yang membawamu pulang?”

Well, aku mengunjungi orangtuaku. Kapan terakhir kali kau datang sebelum ini?”

“Tidak cukup lama, hanya beberapa bulan lalu untuk merayakan Eid,”

“Ah ya, bagus,”

“Aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini, apakah kau pernah bergabung untuk Eid?”

“Tidak, dan aku tidak terlalu peduli,”

“Aku mengerti, kau sangat sibuk. Untuk usiamu sekarang, apa yang kau miliki adalah suatu prestasi yang luar biasa,”

“Hidup adalah tentang kekuasaan, Malikha. Dan aku tahu cara menciptakan kekuasaan. Aku tahu cara menghasilkan berton-ton uang, aku tahu cara menaklukkan Harvard, aku tahu bagaimana membuat orang-orang nampak seperti sampah, aku tahu apa yang kebanyakan manusia inginkan dan bagaimana memenuhinya.”

Mata Malikha membesar menatap Rais.

“Aku percaya bahwa aku adalah yang terbaik di dunia ini,” lanjut Rais. “Aku bekerja lebih cerdas dan lebih keras daripada orang lain, aku membuat keputusan yang lebih baik daripada siapa pun, aku punya insting yang tajam, lebih tajam dari siapa pun,”

“Dengan kata lain, kau adalah Superman?”

“Aku tidak menyukainya, Malikha. Tidak ada tantangan bagi dirimu jika kau tidak dapat dimusnahkan. Aku dapat melakukan banyak hal di waktu dan tempat yang tepat, jauh lebih baik dibandingkan Superman,

“Kau terdengar seperti orang gila hormat,”

“Terserah siapa pun boleh berkata demikian. Tapi jika kita tidak percaya pada diri kita sendiri, siapa lagi yang akan?”

“Kau percaya bahwa dirimu punya kekuatan super?”

“Tidak hanya satu, Malikha.”

Malikha terbengong-bengong.

“Kau punya sesuatu yang kau takuti?” lanjut Malikha.

“Tidak, tidak sama sekali,”

“Kau yakin?”

“Malikha, aku meraih kesarjanaanku sebelum aku berusia tujuh belas. Beberapa patenku telah menghasilkan jutaan dolar. Apa yang harus kutakuti? Aku orang kaya sekarang, bahkan tanpa harus mengandalkan harta ayahku. Dalam tahun-tahun ke depan, aku bisa jauh lebih kaya.”

Seriously, bagaimana kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”

“Perbedaanku dengan orang lain adalah, aku berpikir dan mereka tidak.”

Malikha menangkat bahunya.

“Kau terdengar sangat Arogan,” komentar Malikha.

“Bukan pertama kalinya ada orang yang berkata demikian,”

“Dan kau sama sekali tidak terganggu?”

“Aku adalah raja dari hidupku, Malikha. Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan.”

“Tapi kau tidak hidup sendirian di dunia ini,”

“Memang tidak. Orang membutuhkanku, dan aku membutuhkan orang, aku tidak pernah berkata bahwa aku tidak,”

“Lalu kenapa kau begitu arogan?”

“Itu hanya perspektif. Arogan hanyalah perspektifmu akan diriku.”

“Lalu apa perspektifmu akan diriku?”

“Kau punya integritas yang tinggi dalam memperjuangkan hukum. Alasanmu masuk sekolah hukum bukanlah untuk menjadi kaya-raya. Kau tidak mencoba mencari keuntungan finansial dari pekerjaanmu, meskipun kau tahu bahwa kau bisa. Selain itu, kau belum merencanakan secara serius tentang masa depanmu.”

“Contohnya?”

“Misalnya, pernikahan?”

Wajah Malikha memerah.

“Tapi kau punya ketertarikan pada sains, seperti misalnya...botani?”

Bola mata Malikha mengembang.

“Ayo, akan kubawa kau ke laboratorium hidroponikku,” kata Malikha.

“Kau punya laboratorium hidroponik?”

“Ya, di rumahku.”

Mereka pergi dari Starbucks dan menuju tempat yang dimaksud Malikha.

Walaupun Rais telah melihat hampir semua hal terkait sains di Harvard, ini adalah pertama kalinya ia masuk ke sebuah laboratorium hidroponik, dan terlebih lagi ini ada di rumah pribadi seseorang. Malikha menamai tempatnya menanam tanaman tersebut dengan “Malikha Nature”.

Ada sangat banyak jenis tanaman yang ditemukan Rais saat mereka memasuki Malikha Nature. Sebenarnya bukan itu yang menjadikan Rais tertarik, karena hampir semua jenis tanaman di sana ia mengetahuinya.

Setidaknya hingga saat ini.

Entah kenapa, pikir Rais, tempat ini sangat berbeda. Terasa hangat, dan membuat nyaman. Ibunya telah mengajari banyak hal tentang tanaman, termasuk teknologi hidroponik. Kali ini berbeda. Rais berdiri, terdim, melihat sekeliling, ke arah tanaman-tanaman milik Malikha. Mereka sangat banyak. Ada yang tergantung, maupun menjalar. Ada juga yang tersimpan dalam pot-pot.

“Ada apa, Rais?” kata Malikha melihat Rais terdiam.

Ternyata sejak tadi Malikha pergi untuk mengambil dua gelas minuman untuk mereka berdua. Ia telah kembali dan mendapati Rais bertindak sangat berbeda. Rais terlihat seperti menemukan sesuatu, hal yang sangat menarik.

“Malikha, apakah di sini selalu sehangat ini?”

“Di musim semi seperti ini, ya. Kau harus mencobanya di siang hari,”

Rais melihat ke arah matahari terbenam.

“Rais, apakah ada hal yang mengganggumu?”

“Boleh aku kembali ke sini besok pagi?”

“Tentu, mengapa tidak?”

“Pukul lima?”

“Kau yakin?”

“Ya,”

“Tentu, silakan datang,”

“Oke, sampai jumpa besok pagi,”

Malikha tersenyum. Namun sesaat kemudian ia berpikir, apa yang dimaksud dan diinginkan rais sebenarnya. Ditepisnya pikiran itu, ia akan mengetahui apa yang diinginkan pemuda tersebut besok pagi.

Rais pulang dengan masih menyimpan keingintahuannya. Dalam benaknya ia mengetahui bahwa ia telah mendapatkan sesuatu.

Esoknya, Rais telah muncul di rumah Malikha pukul setengah lima subuh.

“Apa yang kau lakukan sepagi ini? Kita janjian jam lima kan?”

“Boleh aku masuk ke Malikha Nature-mu?”

“Ya, tentu,” Malikha menggeleng-gelengkan kepalanya.

Malikha memberikan Rais kuncinya. Rais masuk, dan berdiri di dalamnya.

“Apa yang sedang kau lakukan?”

“Menunggu matahari terbit,”

“Kau bisa melakukannya di dalam rumahku,”

“Ini rumahmu,”

“Maksudku rumahku yang sebenarnya,”

“Tidak, aku lebih suka di sini.”

Malikha pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kembali ke dalam rumah.

Rais tersenyum mengetahui bahwa kini ia sendirian. Lalu dilanjutkannya “acara” berdirinya.

Matahari terbit, cahayanya memasuki Malikha Nature. Rais masih berdiri, cukup lama. Ditariknya napas, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Begitu terus berkali-kali. Sesuatu, aneh namun penuh energi, seperti merambati tubuhnya.

Sesuatu yang sama dengan yang dialaminya ketika memandangi matahari senja di gedung perusahaan ayahnya, bertahun-tahun silam.

Seketika Rais merasakan sebuah sensasi. Sensasi yang nikmat. Ratusan, ribuan, bahkan jutaan sensasi titik-titik energi memasuki dirinya. Ia merasakan dirinya melayang, semakin ringan, semakin tinggi. Beberapa saat, kemudian ia perlahan merasakan apa yang dicarinya sejak kemarin, bahkan jauh sebelumnya, sejak ia menemukan hal yang sama pada sebuah senja hari, di Hoetomo, inc.

“Ini dia, aku menemukannya!” ucap Rais.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status