Share

Rais 2002

Hari ini Rais telah melewati semuanya. Di usianya yang keduapuluh dua, ia memperhatikan apa yang terjadi dari waktu ke waktu sejak kejadian yang memilukan di New York City. Dari sana ia berpikir bahwa diriya harus bisa menjadi pembela masyarakat sipil. Membela mereka dari teror-teror besar maupun kecil. Juga menghancurkan para teroris yang menebar ketakutan di mana-mana.

Maka ia harus mempelajari ilmu bela diri. Semua itu sebagai awalan dari rencana-rencana besarnya. Satu tahun sudah dihabiskannya waktu mempelajari martial arts yang sangat dinikmatinya.

Ia menghadapi satu demi satu lawan tandingnya. Memukul, menendang, menghindar, mengelabui, dan merobohkan. Hari-hari indah yang sangat ia nikmati. Selain itu, apa yang ia lakukan ini juga cukup untuk membuatnya teralih dari tragedi besar umat manusia, di mana ia sendiri menjadi saksi hidupnya.

Selama setahun Rais tidak pernah menghubungi keluarganya. Ia merasa perlu untuk mengunjungi orangtuanya, melihat keadaan mereka, dan apa perkembangan yang terjadi di perusahaan mereka. Rais menaiki taksi untuk pulang ke rumah Ayahnya.

Ia membawa sendiri dengan kedua tangannya semua peralatan serta perlengkapan yang dibawanya, lalu ditaruhnya di depan rumahnya. Pandji Hoetomo menyambut putranya di gerbang.

“Kau tidak mengabari akan pulang,” katanya. “Aku bisa menyuruh supir untuk menjemputmu.” lanjutnya lagi.

“Jangan Ayah, aku tidak ingin merepotkan. Apalagi jalanan saat ini macet. Penjualan mobil yang meningkat ternyata menimbulkan efek negatif.”

Mereka berjalan beriringan memasuki rumah. Semua penghargaan dan barang-barang antik khas Timur Tengah ada di sana. Bahkan miniatur Ka’bah, Al Aqsa, Dome of The Rock, serta piramida Mesir menghiasi lemari milik Pandji Hoetomo.

“Bagaimana bisnismu, Ayah?” tanya Rais.

“Berjalan cukup bagus.”

Mereka duduk di ruang tengah. Rais memandang sekelilingnya. Rumah yang belum banyak berubah, pikirnya.

Beberapa saat kemudian, gerbang terbuka dan supir mereka masuk mengendarai Mercedes. Maryam Hoetomo berada di kursi belakang.

“Kau berencana menetap di sini dan memulai karir baru di Boston?” tanya Pandji. “Atau kau bersedia membantuku di perusahaan?”

“Aku belum memutuskan,”

“Kau tidak menyukai tempat ini?”

“Aku suka, tapi rasanya ada yang harus kulakukan.”

Maryam Hoetomo masuk ke rumah. Rais berdiri menyambut lalu mencium pipinya. Ibunya itu mengatakan bahwa ia baru saja kembali dari luar kota. Saat ini mereka harus berkonsentrasi penuh pada bisnisnya dengan mempertimbangkan kondisi yang sedang sulit. Awal Oktober yang biasanya dihiasi musim gugur kini semakin terasa temaram.

Rais pergi dengan Pandji beberapa saat setelahnya. Mereka mengendarai Mercedes yang sama dengan yang dipakai Maryam, meninggalkan gerbang rumah Hoetomo, menuju kantor mereka.

Sesampai di kantor, Rais memperhatikan bangunan yang sama dengan yang pernah dilihatnya waktu kecil. Tidak terlalu banyak yang berubah. Ia tetap bersih, mewah, dan sangat mengagumkan. Diakuinya bahwa Ayahnya telah berjuang keras menjaga tempat ini tetap seperti sedia kala. Semua keadaan yang menjadi ciri khas Hoetomo Group tetap dipertahankan.

Meskipun ia tahu keadaan sedang sulit.

“Aku sudah menyiapkan ruangan untukmu,”

“Ruangan biasa saja, Ayah,”

“Rais, kau adalah termasuk salah satu pemilik,” kata Pandji.

“Tapi Ayah yang membangun perusahaan ini. Bukan aku. Dan semua yang ada ini adalah kerja keras Ayah. Aku hanya meneruskan. Layakkah aku langsung bertindak sebagai raja?”

“Kau sangat punya kemampuan untuk itu,”

“Aku tidak meragukannya. Aku sama hebatnya sepertimu,”

“Lalu apa yang menghalangimu?”

“Orang-orangmu, apakah mereka akan menyambutku?”

“Kita membangun perusahaan ini dari generasi pertama, mereka akan sangat menghormatimu,”

“Selama itu jelas. Tinggal berikan aku waktu, akan kutunjukkan siapa raja di sini,”

Pandji tersenyum.

“Ini baru anakku yang kukenal,”

Rais mengangguk.

“Ah ya, baru kuingat, beberapa kali temanmu mencarimu.”

“Temanku?”

“Ya, anak perempuan Russel,”

“Malikha,”

“Benar, itu memang namanya. Saat kau bertualang, beberapa kali ia mencarimu,”

“Untuk apa ya?”

“Mungkin ia rindu padamu,”

“Bisa saja. Apakah ia meninggalkan kontak?”

Pandji memberikan kontak Malikha.

“Sebelum kita mulai, percayalah, Rais. Hanya kita yang mampu memperbaiki keadaan ini,”

“Ayah selalu percaya padaku,”

“Tidak pernah tidak,” Pandji menepuk lengan putra tunggalnya sambil tersenyum dan berlalu.

 Rais menelusuri lorong dan masuk ke ruang kerjanya. Ini merupakan ruangan yang belum pernah dimasukinya seumur hidup. Sangat berbeda dengan ruangannya saat menempuh pendidikan doktoral. Jauh lebih luas. Tidak ada tumpukan buku-buku sains dan gambar-gambar simulasi. Yang ada adalah ruangan luas dengan meja kerja yang bersih tertata rapi. Beberapa lemari berisi dokumen yang menurutnya adalah dokumen-dokumen kontrak.

Sejumlah foto Rais saat SMA dan kuliah terdapat di sebuah lemari, terpajang dengan pigura. Begitupun di salah satu rak terdapat sebuah foto keluarga Hoetomo. Melihat Rais berdiri lebih tinggi di samping ayahnya, maka bisa disimpulkan itu adalah foto terakhir. Pandji mengenakan jas dan dasi di foto itu, didampingi Maryam yang mengenakan pakaian kasual.

Rais tersenyum, menduduki kursinya, dan membuka-buka dokumen di atas mejanya. Beberapa adalah laporan tahunan, beberapa lagi merupakan foto-foto perusahaan dan anak perusahaan mereka. Bahkan ada juga foto-foto produk mereka.

Ia mendengar pintu diketuk. Dipersilakannya orang yang mengetuk untuk masuk. Segera dibereskannya dokumen-dokumen yang dibacanya dan dimasukkan ke dalam kabinet. Dikenakannya jas miliknya untuk menyambut sekretaris yang datang mengabarinya bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya.

Rais meninggalkan ruangannya dan keluar untuk menemui orang yang dimaksud. Ternyata seorang perempuan berusia sekitar dua puluh lima dengan wajah yang sangat cantik dan menarik, duduk di kursi tamu dan segera berdiri begitu ia keluar. Perempuan ini menghampirnya dengan santai dan mengulurkan tangannya.

“Apa kabar?” sapa perempuan tersebut.

Ia adalah Malikha.

Namun Malikha yang sangat berbeda dengan yang pernah ditemuinya. Ia nampak jauh lebih dewasa, percaya diri, dan berpendirian. Malikha mengenakan setelan blus dipadu dengan rok hitam yang membuatnya semakin menarik. Ia sangat-sangat menarik.

“Hai, baik, terima kasih,” jawab Rais. “Lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu,” lanjutnya.

“Terlihat jelas, kau sekarang juga semakin bertambah tinggi,”

Rais memperhatikan badannya. Sebenarnya ia tidak pernah memperhatikan penambahan tinggi badan dirinya.

“Aku tidak memperhatikan.”

“Kau lebih suka hal-hal hebat.”

“Dan kau masih mengingatku dengan baik.”

“Kau masih berusaha untuk menguasai seluruh dunia?”

Rais mengangkat bahu.

“Kau tahu bahwa semua hal yang kuinginkan tidak pernah kulepas. Tapi keadaan berbeda saat ini, meskipun itu tidak mengubahku. Kudengar kau sekarang telah menjadi ilmuwan top, memenangkan sejumlah penghargaan yang mendapat sorotan publik.”

Giliran Malikha mengangkat bahu.

“Tempat ini sangat bagus.” kata Malikha.

“Bagus, tapi bukan aku yang membangun semuanya.”

“Kau bagian darinya, terutama saat ini.” Malikha menatap Rais tepat di matanya.

“Aku baru akan memulai.”

“Ah ya, aku juga menyesal tentang semua yang terjadi. Tragedi yang ada, semuanya.”

“Kau juga terkena dampaknya,”

“Pasti, dan pengadilan akan segera dimulai,”

“Atta?”

“Betul.”

“Kapan tepatnya?”

“Beberapa saat lagi.”

“Kalau begitu ayo kita saksikan.”

“Bagaimana menurutmu?”

“Pengadilannya? Kuharap mereka dihukum seberat-beratnya.”

“Aku yakin demikian, yang mereka lakukan sungguh tak termaafkan,”

“Lalu kenapa hanya mereka?”

“Maksudmu?”

“Induk mereka, organisasi yang lebih besar, kenapa tidak dihabisi juga?”

Malikha menarik napas panjang.

“Kau masih mau menontonnya?”

Rais mengangguk.

“Tapi tidak di sini, ayo kita ke tempatmu.” jawab Rais.

“Oh, baiklah,”

Rais menumpang mobil Malikha untuk menuju ke apartemen perempuan ini. Sepanjang jalan ia melihat wajah New York City di hari kerja, dan ia menikmati setiap detiknya. Sudah lama sekali ia tidak menikmati mobilitas kota ini.

Malikha memasuki sebuah komplek apartemen dan memarkir mobilnya di spot miliknya yang bertanda “Russel” di dinding spot tersebut.

“Aku tidak sabar ingin menyaksikan pengadilan ini.” kata Rais.

Malikha tersenyum, mencoba mengerti perasaan temannya tersebut.

“Malikha, mereka bertanggung jawab atas penderitaan kita.”

Malikha memandangi wajah Rais, mencoba memahami pria ini. Akhirnya dia hanya menepuk pundak Rais dan menunjukkan jalan menuju apartemennya. Rais mengikutinya, setelah Malikha memastikan mobilnya terkunci dan mereka pun mulai menaiki tangga.

Rais berjalan di belakang Malikha sambil memperhatikan lingkungan apartemen ini.

“Selamat datang di tempat tinggalku,” kata Malikha sambil memandang sekeliling.

Rais memperhatikan sekitarnya. Tentu saja ia mengenal bangunan ini. Bangunan yang dibangun dengan gaya Mesir Kuno, begitupun dengan ukiran-ukiran dinding dan gaya pengecatannya.

Apartemen ini dibangun oleh perusahaan keluarga Hoetomo. Ia dapat mengenalinya dari salah satu foto yang dilihatnya di meja tadi siang di kantornya. Mungkin ini dibangun usai perang dunia kedua.

Mereka memasuki sebuah ruangan di lantai lima.

“Inilah tempat tinggalku.” kata Malikha.

“Indah.” timpal Rais.

Mereka menyalakan televisi.

“Tepat pada waktunya,”

Pengadilan telah dimulai. Jajaran juri dan seorang hakim menghadapi Mohammad Atta. Rais menunggu semua orang siap dan itu tidak memerlukan waktu lama. Seseorang berdiri membacakan tuntutan. Sementara pengacara Atta membacakan pembelaan.

Atta tidak membalas, tidak juga memberikan pembelaan kecuali mengucapkan sejumlah kata bernada “Jihaad”.

“Saya tidak menyesali perbuatan saya. Semua ada pada keyakinan kami. Imam Besar kami telah menjanjikan bahwa surga ada di depan kami. Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Amerika adalah iblis. Amerika adalah negeri yang harus dimusnahkan.” Kata Atta.

Atta duduk kembali.

Semua orang tampak berdiskusi. Mereka terlihat berkonsentrasi pada dokumen-dokumen tuntutan. Beberapa di antara mereka meminta izin untuk mendekati hakim. Sementara di ruangan tersebut tampak keluarga dari beberapa korban. Rais bisa mengenali kemiripan mereka dengan orang-orang yang berlari di hari yang naas tersebut.

Atta memandang berkeliling dan tatapannya terlihat tanpa makna. Ia seperti orang yang kehilangan ingatan. Lalu ia kembali menunduk dan mulutnya berkomat-kamit.

Rais menyandarkan tubuhnya ke sofa, dan menyadari bahwa Malikha telah berada di posisi itu untuk beberapa lama. Ia lalu pergi mendekati jendela dan menghirup udara segar. Malikha mengikutinya dan berdiri di sampingnya.

Mereka menunggu sidang selesai sambil mendengarkan suara dari arah televisi. Pengadilan belum memutuskan hukuman apa yang akan dijatuhkan pada hari itu. Akan terdapat beberapa kali sidang, hingga akhirnya semua terdakwa dijatuhi hukuman mati.

“Apakah ini yang paling adil untuk mereka?” tanya Malikha.

“Untuk mereka ya, tapi untuk kasus ini tidak.”

“Maksudmu?”

“Seperti yang kukatakan, ini adalah kejadian besar. Seharusnya organisasi mereka mendapat ganjaran yang lebih keras,”

“Kita akan menyerang Taliban di Afganistan, kau tahu bukan?”

“Tentu, tapi kurasa itu masih kurang.”

“Apa lagi yang kurang?”

“Mereka semua, di seluruh dunia, harus dihabisi.”

“Kau benar-benar  berkata demikian?”

“Mengapa tidak?”

“Mereka saudara kita juga, Rais.”

“Kau masih menganggap mereka saudara?”

“Kenapa tidak?”

“Saudara tidak akan membuat saudaranya menderita.”

“Mungkin perbedaan sudut pandang.”

Rais menghembuskan napas panjang.

“Kita harus menegakkan keadilan.” kata Rais.

“Seperti apa yang kau maksud?”

“Keadilan untuk umat yang disakiti.”

“Armada kita sedang mengusahakannya.”

“Aku meragukannya.”

Malikha menatap tajam Rais.

“Ikut aku.” ia menarik tangan Rais.

“Ke mana?”

“Ayo, ikutlah dulu.”

Malikha menyalakan Toyota miliknya dan mengemudi menembus kota bersama Rais.

“Akan kuperlihatkan salah satu masalah yang sebenarnya.” Kata Malikha.

Mobil Malikha menyusuri jalan-jalan yang remang-remang. Rais belum pernah mencapai wilayah ini seumur hidupnya. Selama ini ia selalu dikelilingi lingkungan akademis dan semua hal yang ia butuhkan ada di sekitarnya. Kini Malikha membawanya ke sebuah daerah yang sama sekali baru baginya. Mereka memasuki tempat di mana banyak orang mengenakan pakaian gamis, berjanggut.

Malikha mengarahkan wajahnya pada mereka.

“Lihat, mereka saudara-saudara kita, tapi bukan itu yang ingin kutunjukkan. Lihat mesjid itu.”

Malikha menunjuk sebuah bangunan kumuh.

“Di sana ada orang bernama Imam Akbar. Kalau kau mau menemuinya kau akan tahu kenapa banyak orang seperti Atta. Atta memang membunuh banyak orang, tapi itu tidak akan terjadi tanpa ada yang menyuruh. Orang-orang yang menjadi pemikir mereka. Akbar adalah orang seperti itu. Dia adalah sang pemikir.”

Malikha meminggirkan mobilnya lalu kemudian mematikan mesin. Mereka parkir di sebuah area di mana tetesan air bekas hujan dari talang akan terus menetes sepanjang hari. Dari bangunan yang disebut “mesjid” oleh Malikha, muncullah suara dari arah pengeras suara.

“Kau mau bicara padanya, bicaralah.” kata Malikha.

Rais membuka pintu dan pergi sebelum Malikha sempat berbicara lebih lanjut.

Malikha lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya keras-keras. Ia hanya bisa membatin.

Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Orang sepertimu adalah kebanggaan umat kita. Jangan rusak hal itu.

Rais berjalan semakin jauh dari mobil Malikha. Ia tahu Malikha telah menggerakkan mobilnya, dan ia juga tahu bahwa perempuan itu hanya memindahkan kendaraannya ke tempat yang lebih aman. Ia terus berjalan menju mesjid yang dimaksud Malikha. Setelah mencapai bangunan tersebut, ternyata ia dapati bahwa mesjid tersebut berada di lantai dua.

Ia memasuki bangunannya dan mendapati bahwa lantai pertama digunakan sebagai rumah makan China. Disadarinya bahwa dirinya sama sekali tidak membawa senjata. Baru kali ini ia merasa was-was akan terjadi sesuatu padanya. Ia tidak mau mengandalkan Malikha biarpun ia tahu perempuan itu berada tidak jauh darinya.

Rais memasuki mesjid, membuka sepatunya, dan mulai duduk bersila. Beberapa lama ia menunggu, belum muncul orang yang disebut Malikha. Ia juga tidak tahu ciri-cirinya. Maka ia pun pergi ke luar, mengambil air wudhu karena adzan ashar telah berkumandang.

Ia bergabung untuk melakukan shalat berjamaah dengan semua orang yang ada di sana. Hanya ada beberapa saf. Setelah shalat, ia duduk di ujung ruangan, menunggu orang yang dimaksud Malikha. Beberapa orang masih duduk bersila sambil berdoa.

Kurang lebih satu jam kemudian, baru muncul seseorang yang disambut oleh orang-orang yang ada di sana. Mereka menyebutnya “Sheikh Akbar”.

Rais yakin inilah orang yang dimaksud Malikha.

“Aku merasa tersinggung, saudara kita diperlakukan demikian!” kata Sheikh Akbar kepada orang-orang di sekitarnya.

“Negeri ini adalah negeri pengecut, mengadili orang yang tidak bersenjata!” lanjutnya.

“Kita harus mengumpulkan kekuatan. Jangan sampai umat kita ditindas. Semua orang harus kita pegang, kita harus menjadi yang paling berkuasa. Semua orang harus takut pada kita. Khilafah! Itu solusinya.”

Rais memperhatikan orang ini. Semakin lama ia semakin mengerti tentang apa yang terjadi. Ia juga semakin memahami tentang apa yang dikatakan oleh Malikha. Umat Muslim sedang sakit, dan salah satu sumber penyakitnya ada di depan dirinya sekarang.

“Orang-orang di dunia ini memiliki banyak ketakutan. Sangat banyak. Ketakutan akan kehilangan apa yang dimilikinya. Itulah yang menjadi kelemahan mereka. Kita lihat kemiskinan di jalanan, orang-orang yang putus asa. Sementara orang-orang yang berkedudukan lebih tinggi begitu takut akan bernasib seperti mereka. Mereka takut akan kepahitan hidup. Kita tidak, kita berjihad! Dan Allah akan memberi kita surga! Kita adalah pemimpin dunia, kita adalah khalifah! Maka marahlah! Marahlah kenapa kita tidak berada dalam posisi kita yang seharusnya! Kita akan tunjukkan kepada dunia tentang siapa kita. Kita harus tunjukkan dunia yang mereka tidak pernah mengerti. Dan mereka akan mengalami seperti apa ketakutan itu sebenarnya!”

Akbar berhenti sejenak untuk mengambil napas lalu kembali melanjutkan.

“Kita hajar mereka tepat di wajahnya. Kita singkirkan mereka dari kedudukannya! Kita siksa mereka, hancurkan, habisi hingga ke akar-akarnya. Tidak boleh ada yang berkuasa selain kita!”

Ruangan tersebut sunyi, orang-orang diam mendengarkan.

“Kalian punya semangat, aku hargai itu. Dan kita akan mendapat kemenangan darinya. Kita habisi mereka, hingga mereka memohon kepada kita. Memohon kepada Allah agar mereka tidak pernah dilahirkan. Saat itu akan tiba. Dan waktunya tidak akan lama lagi.”

Akbar kembali diam.

“Cukup untuk saat ini, salam alaykum.”

Para jamaah menjawab salamnya.

Rais adalah orang yang realistis. Karena itu diputuskannya untuk pergi dari mesjid itu. Walaupun demikian, kini ia tahu apa yang menjadi masalah. Orang-orang seperti Akbar tidak hanya satu. Mereka sangat banyak, dan Rais yakin akan hal itu.

Ketakutan, mereka akan menebar ketakutan! Memang ketakutan adalah sumber kekuasaan yang sangat besar.

Rais berjalan menyusuri gang, mendapati mobil Malikha masih berada di sana. Gadis itu melambaikan tangannya. Rais masuk ke mobil,

Malikha menyodori segelas kopi.

“Cukup lama juga kau di dalam,”

“Kini aku mengerti, terima kasih.” kata Rais sambil menerima kopi pemberian Malikha.

“Ini adalah salah satu titik awal timbulnya ekstremisme. Kau akan lihat, bahkan di negeri kita pun masih muncul bibit-bibit yang berasal dari tempat seperti ini. Kau bisa bayangkan apa yang terjadi di Afganistan sana?” Kata Malikha.

Rais diam.

Malikha menepuk bahu temannya tersebut.

“Kalau kau ingin melakukan sesuatu, kupikir sebaiknya kau pikir matang-matang.”

“Aku sudah memikirkannya, Malikha. Selama setahun ini aku sudah memikirkannya.”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan menunjukkan padamu. Tapi nanti, pada saatnya.”

Malikha menatapnya.

“Terima kasih sudah mengantarku kemari.”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?”

Rais tersenyum.

“Membuat dunia yang lebih baik.” jawabnya.

“Caranya?”

“Akan kutunjukkan nanti. Ayo kita jalan.”

Malikha mengangguk, menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilnya. Mereka menyusuri jalan-jalan New York City. Di satu tempat, Rais melihat seorang pengrajin kayu.

“Tolong berhenti di sini sebentar.” katanya pada Malikha.

Belum sempat Malikha bertanya, Rais telah turun. Ia menghampiri si pengrajin kayu dan berbicara sekitar sepuluh menit. Rais terlihat menuliskan cek dan memberikannya pada si pengrajin kayu. Tak lama kemudian ia kembali ke mobil Malikha.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Malikha.

“Aku memesan beberapa gerobak jualan kepadanya. Setelahnya kusuruh ia memberikannya pada pedagang-pedagang yang memerlukan gerobak.” jawab Rais.

Malikha terpana. Walaupun demikian, ia tersenyum lebar tak percaya.

“Kita akan membuat dunia yang lebih baik.” kata Rais.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status