Share

Rais, 2001

Beberapa hari telah berlalu.

Pada sebuah pagi yang terik, Rais menghadiri pemakaman puluhan orang yang menjadi korban 11 September. Mereka diantar dan dimakamkan dengan diiringi tangisan dari keluarganya.

Rais ingin ikut menangis, ia sangat ingin. Bagaimanapun di antara mereka ada pegawai-pegawainya. Ia ingin menunjukkan simpati, tapi sekeras apapun ia berusaha, air matanya tak kunjung turun.

Kerumunan orang saling mengucapkan bela sungkawa, lalu disusul dengan ucapan-ucapan selamat tinggal. Rais berdiri di samping ayahnya sampai seluruh upacara pemakaman selesai. Perlahan langit tertutupi awan. Tidak lama kemudian cuaca cerah berubah menjadi rintik-rintik gerimis.

Pandji Hoetomo, ayah Rais, menepuk pundak anaknya.

“Ini akan menjadi masa sulit. Aku harap kau kuat.”

“Maksud Ayah?”

“Kita mengalami kerugian cukup besar, tapi asuransi akan menanggungnya. Tidak akan ada masalah finansial. Tapi ada sebuah kerugian besar yang lebih dari materi.”

Rais teringat ucapan petugas yang duduk di sampingnya usai kejadian menara kembar.

“Maksud Ayah, tentang siapa kita?”

Pandji mengangguk.

“Kau harus tahu bahwa saat ini kita harus saling mendukung. Kita harus jalankan bisnis kita, sambil memulihkan nama baik.”

“Kenapa kita yang harus menanggung semuanya, Ayah?”

“Selama ini kau mungkin tidak terlalu peduli. Tapi kita semua tidak bisa menyangkalnya. Kita adalah Muslim.”

Rais terdiam.

Pemakaman telah usai. Semua orang pulang, termasuk Rais. Ia berjalan menembus hujan gerimis. Ia menolak ketika pegawai ayahnya menawari untuk memayunginya. Rais memilih berjalan menembus gerimis yang semakin lama semakin deras, berubah menjadi hujan.

“Pulanglah, Ayah akan menyuruh Mrs. Elvie menyiapkan makan siang.” kata Pandji dari jendela Rolls Royce.

Rais mengangguk, melambaikan tangan. Beberapa orang yang tersisa melambaikan tangan mereka ke arah Rais. Entah ilusinya atau bukan, ia merasa melihat Malikha di antara mereka.

Di rumah mereka, Rais memandangi jendela yang diguyur hujan.

“Kau belum puas berhujan-hujanan sejak tadi?” tanya Pandji.

“Mereka semua tewas, Ayah. Aku ada di sana dan menyaksikannya,” Rais tak dapat menahan diri untuk menceritakan semuanya, bagaimana orang-orang yang dikenalnya meregang nyawa.

“Rais...”

“Aku di sana, Ayah. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Rais, itu bukan salahmu...” Pandji meletakkan tangannya di pundak Rais.

“Tapi dunia menyalahkan kita,”

“Tidak...tidak...”

“Kenyataannya demikian, Ayah!”

“Tidak ada yang menyalahkan kita. Mereka hanya tidak paham perbedaan antara Muslim dan teroris Muslim,”

“Jika saja aku bisa berbuat sesuatu...”

“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Tidak ada yang salah darimu. Ini semua tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri?”

“Aku hanya menyesal, kenapa tidak bersikap lebih baik. Dan seharusnya aku bisa berbuat lebih,”

“Begitu juga denganku,”

“Aku perlu waktu sejenak untuk mengasingkan diri. Untuk membangun diriku kembali dan memikirkan apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki ini semua.”

“Ayah mengerti, ambillah waktumu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status