Beberapa minggu setelah itu, ketenangan palsu di antara Celine dan Davies terasa semakin tebal. Mereka masih melakukan rutinitas kaku mereka, seolah semuanya baik-baik saja, kecuali bekas luka di lengan Celine, meninggalkan ingatan pahit.
Suatu sore, telepon di rumah berdering. Davies mengangkatnya, raut wajahnya yang biasanya tenang perlahan mengeras. Celine, yang sedang membaca di sofa, bisa mendengar suara berat di seberang sana, meskipun tak jelas apa yang dibicarakan. Ketika Davies menutup telepon, ia berbalik, matanya menatap lurus ke arah Celine dengan intensitas yang tak biasa. "Kakek," katanya singkat, nada suaranya mengindikasikan masalah. "Dia akan datang berkunjung besok." Jantung Celine berdebar. Kakek Davies, pria tua yang memiliki kekuasaan mutlak atas warisan cucunya. Ia hanya pernah melihatnya di pesta pernikahan, seorang pria tua dengan mata tajam yang seolah bisa membaca pikiran orang. Davies mulai berjalan mondar-mandir. "Dia mencium sesuatu," lanjutnya, rahangnya mengeras. "Dia pikir kita tidak benar-benar saling mencintai." Celine menelan ludah. Kecurigaan itu, seperti pisau tajam, menusuk langsung ke inti sandiwara mereka. Dengan mata tajam dan pengalaman hidup yang panjang, sang kakek jelas bukan orang yang mudah dibodohi. "Ini ancaman serius," desis Davies, pandangannya menerawang jauh. "Jika dia menarik kembali warisannya, semua ini akan sia-sia." Ia menunjuk ke sekeliling ruangan mewah itu dengan gestur kasar. "Ini juga akan merusak kelangsungan kontrak kita, berpotensi mengungkap seluruh sandiwara di hadapan publik dan menghancurkan reputasiku, juga kepentingan bisnisku." Celine menatap Davies, merasakan beban yang sama menimpanya. Ia tahu, jika rahasia ini terbongkar, ia akan kembali ke titik nol, dengan reputasi yang hancur dan mungkin saja tuntutan hukum. Seluruh utangnya memang sudah lunas, tapi ia tak mau kembali ke masa-masa sulit itu. "Kita harus segera bertindak," kata Davies, suaranya kini dipenuhi urgensi. Ia berhenti di depan Celine, menatapnya tajam. "Kita harus meyakinkan kakek bahwa pernikahan ini nyata. Atau segalanya akan terbongkar." Suasana di ruangan itu menjadi tegang, diselimuti oleh ancaman yang nyata. Mereka berdua tahu, pertaruhan kali ini jauh lebih besar daripada sekadar menjaga citra di depan publik. Ini adalah pertaruhan atas masa depan mereka masing-masing. Ancaman dari sang kakek ibarat sebuah api yang membakar jembatan di belakang Celine dan Davies, memaksa mereka untuk bekerja sama, bukan hanya sebagai sandiwara, tetapi untuk bertahan. Malam itu, ruang kerja Davies, yang dulu menjadi saksi bisu amarahnya, kini menjadi medan diskusi intens mereka. "Dia tidak akan melewatkan detail sekecil apa pun," kata Davies, suaranya tegang namun terkontrol, sambil menunjuk sebuah daftar pertanyaan yang ia duga akan diajukan sang kakek. "Kita harus punya cerita yang konsisten. Dari awal kita bertemu, sampai... ya, insiden di jalan itu." Celine mengangguk, merasa jantungnya berdebar kencang namun juga anehnya, ada rasa penasaran. "Bagaimana kalau kita bilang kita bertemu di sebuah galeri seni? Aku kan desainer grafis." Davies mengangkat sebelah alis, "Tidak buruk." Ia kemudian bangkit, berjalan mondar-mandir. "Lalu, bagaimana kita menjelaskan ketertarikan kita? Kakek itu licik, dia akan mencari celah emosional." Interaksi yang tadinya dibatasi kini tak terhindarkan. Mereka berdiskusi, merencanakan strategi, dan menyusun setiap detail cerita mereka. Davies menunjukkan sisi perfeksionisnya, menghafal setiap jawaban seolah itu adalah skrip penting dalam presentasi bisnis. Celine, di sisi lain, mencoba menambahkan sentuhan emosi agar cerita mereka terdengar lebih natural. Dalam proses yang penuh tekanan itu, Celine mulai melihat sekilas sisi manusiawi Davies di balik topeng dingin dan dominannya. Ia menyaksikan bagaimana Davies berpikir di bawah tekanan, logis dan cepat, namun juga sesekali menghela napas panjang tanda frustrasi. Pernah, saat Celine mengusulkan sebuah detail cerita yang konyol, Davies tertawa kecil, suara tawa yang jarang sekali ia dengar. Ada sedikit humor tersembunyi di balik wajah serius itu. Suatu malam, setelah berjam-jam berdiskusi, Davies tiba-tiba berhenti di tengah kalimat, pandangannya menerawang. "Kakek adalah orang yang sangat penting dalam hidupku," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kehilangannya... akan sangat berpengaruh." Celine melihat sisi rapuh yang jarang ditampakkan, sebuah kerentanan yang membuat Davies tampak lebih dari sekadar pengusaha ambisius. Kedekatan yang tak terduga mulai tumbuh. Mereka berbagi secangkir kopi larut malam, membahas detail kecil tentang hobi yang bisa mereka klaim bersama, atau selera musik yang mereka sebut "cocok." Ruangan itu, yang dulunya terasa menakutkan bagi Celine, kini perlahan terasa sedikit lebih hangat. Mereka berdua, yang awalnya terikat oleh kontrak dingin dan ancaman, kini terikat oleh kebutuhan untuk saling mendukung, membawa mereka lebih dekat dari yang pernah mereka bayangkan. Akankah kedekatan yang terpaksa ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih nyata, atau akankah mereka tetap berpegang pada batas-batasan kontrak mereka setelah ancaman sang kakek berlalu? .... Ketukan di pintu terdengar renyah, memecah ketegangan yang menyelimuti ruang tamu. Kakek Davies sudah tiba. Davies membuka pintu, senyum hangat—yang jelas sekali dipaksakan—terukir di wajahnya. "Kakek! Senang sekali Kakek bisa datang," sapanya, terdengar seperti cucu yang tulus. Kakek Davies, seorang pria tua dengan rambut keperakan yang rapi dan mata secerdas elang, melangkah masuk. Pandangannya langsung tertuju pada Celine, menelisiknya dari ujung kepala hingga kaki. Celine sudah siap. Ia tersenyum ramah, sedikit malu-malu, seperti pengantin baru pada umumnya. "Selamat datang, Kek," ujar Celine lembut, sedikit membungkuk hormat. "Jadi, ini istrimu, Davies?" Kakek Davies menatap Davies, lalu kembali ke Celine, matanya menyipit penuh selidik. "Kudengar kau gadis yang pandai. Davies tidak pernah sembarangan memilih." Davies merangkul pinggang Celine, gestur yang terasa canggung namun ia lakukan dengan sangat meyakinkan. "Celine memang yang terbaik, Kek. Dia sangat pengertian dan cerdas." Pertunjukan dimulai. Mereka duduk di sofa, dan Kakek Davies mulai melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji keaslian hubungan mereka. "Jadi, bagaimana kalian bertemu? Davies tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupan pribadinya." Celine menatap Davies sekilas, lalu dengan tenang menjawab, "Kami bertemu di sebuah pameran seni, Kek. Aku sangat mengagumi karya-karya abstrak, dan kebetulan Davies juga ada di sana." Celine menceritakan detail pertemuan palsu mereka dengan sangat alami, menambahkan bumbu-bumbu kecil tentang obrolan pertama mereka yang membuat Davies terkejut. Kecerdasan dan ketenangan Celine dalam menghadapi krisis ini membuat Davies sedikit terkesima. Ia melihat bagaimana wanita itu mampu berpikir jernih di tengah kekacauan, merangkai kata-kata dengan begitu meyakinkan. "Davies, apakah istrimu tahu kebiasaanmu yang suka bekerja sampai larut malam?" tanya sang kakek, mencoba mencari celah. Davies hendak menjawab, tetapi Celine mendahuluinya dengan senyum tipis. "Tentu saja, Kek. Terkadang aku sampai harus membawakannya kopi ke ruang kerjanya agar ia tidak ketiduran," katanya dengan nada jenaka, mengisyaratkan kedekatan yang akrab. Davies menoleh ke arah Celine, terkejut. Jawaban tak terduga dari kakek ini dijawab Celine dengan sangat cerdik, bahkan sedikit jenaka. Dalam momen itu, Davies menyadari hal baru tentang Celine: ia memiliki ketenangan dan kecerdasan yang luar biasa, mampu mengendalikan situasi di bawah tekanan. Ia bukan hanya wanita yang panik di pinggir jalan kala itu. Selama jamuan makan siang, kakek melontarkan pertanyaan-pertanyaan pribadi lainnya, menguji kompatibilitas mereka, kebiasaan mereka, bahkan rencana masa depan. Setiap kali ada pertanyaan sulit, Davies akan melirik Celine, dan Celine akan merespons dengan jawaban yang mulus, kadang diselingi gurauan kecil atau sentuhan ringan di lengan Davies yang membuat sang kakek tersenyum tipis. Dalam upaya mereka untuk menipu sang kakek, sebuah koneksi tak terduga mulai terbentuk. Setiap tawa palsu, setiap tatapan yang disengaja, dan setiap jawaban sinkron, sedikit demi sedikit mengikis dinding yang telah mereka bangun tinggi-tinggi. Davies, yang selalu menjaga jarak, kini menemukan dirinya menikmati "pertunjukan" ini, dan ia tak bisa menyangkal, ia mulai melihat Celine dengan cara yang berbeda. Akankah pertunjukan ini terus berlanjut, ataukah dinding yang terkikis akan runtuh sepenuhnya, mengungkapkan perasaan yang lebih dalam di antara mereka?Waktu tanpa Celine terasa hampa, dingin, dan kosong bagi Davies. Setiap sudut rumah mewah itu, setiap keheningan, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Celine. Penyesalan atas perbuatannya menggerogoti hatinya, ditambah kerinduan yang mendalam pada wanita itu. Ia tahu ia telah menyakitinya, dan penyesalan itu jauh lebih pedih dari luka fisik mana pun. Davies menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, merenungkan setiap kesalahan. Ia melihat kembali hidupnya, ambisi yang membutakannya, dan rahasia yang telah menghancurkan segalanya. Ia tahu ia harus berubah, tidak hanya untuk Celine, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk menjadi pria yang pantas dicintai. Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah berani: ia berniat mengakhiri bisnis ilegalnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat betapa dalamnya ia telah terlibat. Ia mulai membuat panggilan telepon rahasia, merencanakan pertemuan-pertemuan tersembunyi, berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sindikat itu.
Setelah kepergian Celine, rumah mewah itu terasa hampa, dingin, dan kosong. Davies berjalan kesana kemari bagai jiwa tak tenang. Ia duduk di sofa yang dulu mereka gunakan untuk berdiskusi, namun kini hanya ada keheningan. Di titik krusial ini, Davies harus menghadapi ketakutan terbesarnya: takut kehilangan Celine, takut kehilangan ikatan yang tanpa sadar telah mereka bangun. Perasaan itu menghantamnya begitu kuat hingga ia merasa lumpuh. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak menjelaskan? Mengapa ia begitu takut membuka diri? Penyesalan menggerogoti, membuat Davies menutup dirinya. Ia mengabaikan panggilan telepon dari kantor, menunda rapat penting, dan membiarkan dokumen-dokumen menumpuk di meja kerjanya. Pekerjaannya terhambat, bahkan terancam berantakan. Aura dominan yang selalu ia pancarkan kini digantikan oleh kesuraman dan keputusasaan. Berita tentang kemunduran Davies akhirnya sampai ke telinga Kakek Davies. Khawatir dengan cucunya, sang kakek datang berkunju
Malam itu terasa dingin, diisi oleh keheningan yang memekakkan telinga setelah pertengkaran mereka. Dalam keputusasaan yang melanda, Celine merasa tidak sanggup melanjutkan. Semua beban dan kebohongan terasa terlalu berat untuk ditanggung. Hatinya hancur, dan ia tahu ia harus pergi. Dengan langkah pelan, Celine berjalan menuju jendela kamarnya. Jendela itu menghadap ke taman belakang, sebuah jalan setapak kecil yang biasa ia gunakan untuk berjalan-jalan. Celine membuka jendela lebar-lebar, udara malam yang dingin menerpa wajahnya, seolah menyambut kebebasannya. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeluarkan suara, Celine melangkah keluar, menghilang di kegelapan malam. Ia berharap bisa menemukan ketenangan dari badai emosi yang mengamuk di dalam dirinya. Davies, di sisi lain, masih terpaku di ruang tamu, dihantam oleh kebisuan. Ia duduk di sana untuk waktu yang lama, bergulat dengan dirinya sendiri, dengan beban masa lalu yang begitu berat. Ia tahu ia telah menyakiti Celine, dan ia
Beberapa hari setelah kunjungan Celine ke Onyx, hidupnya berubah menjadi penyelidikan rahasia. Ia berpura-pura seperti biasa di depan Davies, tertawa, berbicara tentang hal-hal sepele, namun di balik itu, matanya selalu waspada, telinganya selalu siaga. Ia mencari bukti, potongan puzzle yang bisa mengonfirmasi apa yang ia dengar di klub malam itu. Pagi itu, saat Davies menerima telepon di ruang kerjanya, pintu yang sedikit terbuka membuat Celine bisa mendengar samar-samar. "Malam ini... pukul dua belas... tempat biasa," suara Davies terdengar datar, namun ada nada urgensi yang tak biasa. Jantung Celine berdesir. Malam ini. Ia harus siap. *** Malam harinya, Celine berakting sempurna. Ia berbaring di tempat tidur, memejamkan mata, napasnya teratur, berpura-pura tidur nyenyak. Namun, setiap sarafnya tegang. Sekitar pukul dua belas malam, ia mendengar pergerakan pelan di ruang depan. Davies. Celine membuka matanya sedikit, menunggu. Lima menit kemudian, ia mendengar suara pintu utam
Malam itu, setelah makan malam, Celine duduk di sofa ruang tamu. Davies ada di sampingnya, sibuk membaca buku tebal tentang ekonomi. Kehangatan yang kini tumbuh di antara mereka membuat Celine merasa nyaman, namun ingatan akan kotak logam dan catatan misterius itu tiba-tiba menyelinap. "Davies," panggil Celine pelan, mencoba terdengar santai. "Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja melihat tas kerjamu terjatuh. Ada sebuah kotak kecil di dalamnya, dan... catatan aneh." Davies menurunkan bukunya, menoleh ke arah Celine. Wajahnya tetap tenang, namun ada kilatan cepat di matanya yang tak luput dari perhatian Celine. "Oh, itu?" jawabnya singkat, seolah tak penting. "Hanya barang lama. Sudah kubereskan." Ia kembali fokus pada bukunya, seolah pembicaraan sudah selesai. Celine merasa tidak yakin. Jawaban Davies terlalu singkat, terlalu cepat, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa seperti penolakan halus. Ia tahu Davies sedang menyembunyikan cerita aslinya. Meskipun hubungan mere
Setelah badai Marcus berhasil mereka atasi, ketenangan kembali menyelimuti rumah mewah itu. Namun, kali ini, ketenangan itu diisi dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak terduga. Momen-momen romantis mulai bermunculan, tak direncanakan, justru semakin mengaburkan garis antara peran "pasangan kontrak" dan perasaan sesungguhnya. Suatu sore, saat mereka berjalan di taman belakang, tiba-tiba sebuah dahan pohon tua jatuh menimpa tepat di jalur yang akan dilewati Celine. Tanpa berpikir, Davies secara refleks menarik Celine kuat-kuat ke belakangnya, memeluknya erat, melindunginya dari reruntuhan dahan. Gestur itu begitu spontan, begitu naluriah, dan begitu tak terduga. Celine mendongak, menatap mata Davies yang menunjukkan kekhawatiran yang tulus, bukan sekadar basa-basi. Perlahan, mereka mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai manusia. Celine menemukan keberanian dan kesetiaan di balik topeng dingin Davies. Ia melihat bagaimana Davies