Share

EMPAT

Penulis: Lalaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 10:03:45

Beberapa minggu setelah itu, ketenangan palsu di antara Celine dan Davies terasa semakin tebal. Mereka masih melakukan rutinitas kaku mereka, seolah semuanya baik-baik saja, kecuali bekas luka di lengan Celine, meninggalkan ingatan pahit.

Suatu sore, telepon di rumah berdering. Davies mengangkatnya, raut wajahnya yang biasanya tenang perlahan mengeras. Celine, yang sedang membaca di sofa, bisa mendengar suara berat di seberang sana, meskipun tak jelas apa yang dibicarakan. Ketika Davies menutup telepon, ia berbalik, matanya menatap lurus ke arah Celine dengan intensitas yang tak biasa.

"Kakek," katanya singkat, nada suaranya mengindikasikan masalah. "Dia akan datang berkunjung besok."

Jantung Celine berdebar. Kakek Davies, pria tua yang memiliki kekuasaan mutlak atas warisan cucunya. Ia hanya pernah melihatnya di pesta pernikahan, seorang pria tua dengan mata tajam yang seolah bisa membaca pikiran orang.

Davies mulai berjalan mondar-mandir. "Dia mencium sesuatu," lanjutnya, rahangnya mengeras. "Dia pikir kita tidak benar-benar saling mencintai."

Celine menelan ludah. Kecurigaan itu, seperti pisau tajam, menusuk langsung ke inti sandiwara mereka. Dengan mata tajam dan pengalaman hidup yang panjang, sang kakek jelas bukan orang yang mudah dibodohi.

"Ini ancaman serius," desis Davies, pandangannya menerawang jauh. "Jika dia menarik kembali warisannya, semua ini akan sia-sia." Ia menunjuk ke sekeliling ruangan mewah itu dengan gestur kasar. "Ini juga akan merusak kelangsungan kontrak kita, berpotensi mengungkap seluruh sandiwara di hadapan publik dan menghancurkan reputasiku, juga kepentingan bisnisku."

Celine menatap Davies, merasakan beban yang sama menimpanya. Ia tahu, jika rahasia ini terbongkar, ia akan kembali ke titik nol, dengan reputasi yang hancur dan mungkin saja tuntutan hukum. Seluruh utangnya memang sudah lunas, tapi ia tak mau kembali ke masa-masa sulit itu.

"Kita harus segera bertindak," kata Davies, suaranya kini dipenuhi urgensi. Ia berhenti di depan Celine, menatapnya tajam. "Kita harus meyakinkan kakek bahwa pernikahan ini nyata. Atau segalanya akan terbongkar."

Suasana di ruangan itu menjadi tegang, diselimuti oleh ancaman yang nyata. Mereka berdua tahu, pertaruhan kali ini jauh lebih besar daripada sekadar menjaga citra di depan publik. Ini adalah pertaruhan atas masa depan mereka masing-masing.

Ancaman dari sang kakek ibarat sebuah api yang membakar jembatan di belakang Celine dan Davies, memaksa mereka untuk bekerja sama, bukan hanya sebagai sandiwara, tetapi untuk bertahan. Malam itu, ruang kerja Davies, yang dulu menjadi saksi bisu amarahnya, kini menjadi medan diskusi intens mereka.

"Dia tidak akan melewatkan detail sekecil apa pun," kata Davies, suaranya tegang namun terkontrol, sambil menunjuk sebuah daftar pertanyaan yang ia duga akan diajukan sang kakek. "Kita harus punya cerita yang konsisten. Dari awal kita bertemu, sampai... ya, insiden di jalan itu."

Celine mengangguk, merasa jantungnya berdebar kencang namun juga anehnya, ada rasa penasaran. "Bagaimana kalau kita bilang kita bertemu di sebuah galeri seni? Aku kan desainer grafis."

Davies mengangkat sebelah alis, "Tidak buruk." Ia kemudian bangkit, berjalan mondar-mandir. "Lalu, bagaimana kita menjelaskan ketertarikan kita? Kakek itu licik, dia akan mencari celah emosional."

Interaksi yang tadinya dibatasi kini tak terhindarkan. Mereka berdiskusi, merencanakan strategi, dan menyusun setiap detail cerita mereka. Davies menunjukkan sisi perfeksionisnya, menghafal setiap jawaban seolah itu adalah skrip penting dalam presentasi bisnis. Celine, di sisi lain, mencoba menambahkan sentuhan emosi agar cerita mereka terdengar lebih natural.

Dalam proses yang penuh tekanan itu, Celine mulai melihat sekilas sisi manusiawi Davies di balik topeng dingin dan dominannya. Ia menyaksikan bagaimana Davies berpikir di bawah tekanan, logis dan cepat, namun juga sesekali menghela napas panjang tanda frustrasi. Pernah, saat Celine mengusulkan sebuah detail cerita yang konyol, Davies tertawa kecil, suara tawa yang jarang sekali ia dengar. Ada sedikit humor tersembunyi di balik wajah serius itu.

Suatu malam, setelah berjam-jam berdiskusi, Davies tiba-tiba berhenti di tengah kalimat, pandangannya menerawang.

"Kakek adalah orang yang sangat penting dalam hidupku," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kehilangannya... akan sangat berpengaruh."

Celine melihat sisi rapuh yang jarang ditampakkan, sebuah kerentanan yang membuat Davies tampak lebih dari sekadar pengusaha ambisius.

Kedekatan yang tak terduga mulai tumbuh. Mereka berbagi secangkir kopi larut malam, membahas detail kecil tentang hobi yang bisa mereka klaim bersama, atau selera musik yang mereka sebut "cocok." Ruangan itu, yang dulunya terasa menakutkan bagi Celine, kini perlahan terasa sedikit lebih hangat. Mereka berdua, yang awalnya terikat oleh kontrak dingin dan ancaman, kini terikat oleh kebutuhan untuk saling mendukung, membawa mereka lebih dekat dari yang pernah mereka bayangkan.

Akankah kedekatan yang terpaksa ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih nyata, atau akankah mereka tetap berpegang pada batas-batasan kontrak mereka setelah ancaman sang kakek berlalu?

....

Ketukan di pintu terdengar renyah, memecah ketegangan yang menyelimuti ruang tamu. Kakek Davies sudah tiba. Davies membuka pintu, senyum hangat—yang jelas sekali dipaksakan—terukir di wajahnya.

"Kakek! Senang sekali Kakek bisa datang," sapanya, terdengar seperti cucu yang tulus.

Kakek Davies, seorang pria tua dengan rambut keperakan yang rapi dan mata secerdas elang, melangkah masuk. Pandangannya langsung tertuju pada Celine, menelisiknya dari ujung kepala hingga kaki. Celine sudah siap. Ia tersenyum ramah, sedikit malu-malu, seperti pengantin baru pada umumnya.

"Selamat datang, Kek," ujar Celine lembut, sedikit membungkuk hormat.

"Jadi, ini istrimu, Davies?" Kakek Davies menatap Davies, lalu kembali ke Celine, matanya menyipit penuh selidik. "Kudengar kau gadis yang pandai. Davies tidak pernah sembarangan memilih."

Davies merangkul pinggang Celine, gestur yang terasa canggung namun ia lakukan dengan sangat meyakinkan. "Celine memang yang terbaik, Kek. Dia sangat pengertian dan cerdas."

Pertunjukan dimulai.

Mereka duduk di sofa, dan Kakek Davies mulai melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji keaslian hubungan mereka.

"Jadi, bagaimana kalian bertemu? Davies tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupan pribadinya."

Celine menatap Davies sekilas, lalu dengan tenang menjawab, "Kami bertemu di sebuah pameran seni, Kek. Aku sangat mengagumi karya-karya abstrak, dan kebetulan Davies juga ada di sana."

Celine menceritakan detail pertemuan palsu mereka dengan sangat alami, menambahkan bumbu-bumbu kecil tentang obrolan pertama mereka yang membuat Davies terkejut. Kecerdasan dan ketenangan Celine dalam menghadapi krisis ini membuat Davies sedikit terkesima. Ia melihat bagaimana wanita itu mampu berpikir jernih di tengah kekacauan, merangkai kata-kata dengan begitu meyakinkan.

"Davies, apakah istrimu tahu kebiasaanmu yang suka bekerja sampai larut malam?" tanya sang kakek, mencoba mencari celah.

Davies hendak menjawab, tetapi Celine mendahuluinya dengan senyum tipis. "Tentu saja, Kek. Terkadang aku sampai harus membawakannya kopi ke ruang kerjanya agar ia tidak ketiduran," katanya dengan nada jenaka, mengisyaratkan kedekatan yang akrab.

Davies menoleh ke arah Celine, terkejut. Jawaban tak terduga dari kakek ini dijawab Celine dengan sangat cerdik, bahkan sedikit jenaka. Dalam momen itu, Davies menyadari hal baru tentang Celine: ia memiliki ketenangan dan kecerdasan yang luar biasa, mampu mengendalikan situasi di bawah tekanan. Ia bukan hanya wanita yang panik di pinggir jalan kala itu.

Selama jamuan makan siang, kakek melontarkan pertanyaan-pertanyaan pribadi lainnya, menguji kompatibilitas mereka, kebiasaan mereka, bahkan rencana masa depan. Setiap kali ada pertanyaan sulit, Davies akan melirik Celine, dan Celine akan merespons dengan jawaban yang mulus, kadang diselingi gurauan kecil atau sentuhan ringan di lengan Davies yang membuat sang kakek tersenyum tipis.

Dalam upaya mereka untuk menipu sang kakek, sebuah koneksi tak terduga mulai terbentuk. Setiap tawa palsu, setiap tatapan yang disengaja, dan setiap jawaban sinkron, sedikit demi sedikit mengikis dinding yang telah mereka bangun tinggi-tinggi. Davies, yang selalu menjaga jarak, kini menemukan dirinya menikmati "pertunjukan" ini, dan ia tak bisa menyangkal, ia mulai melihat Celine dengan cara yang berbeda.

Akankah pertunjukan ini terus berlanjut, ataukah dinding yang terkikis akan runtuh sepenuhnya, mengungkapkan perasaan yang lebih dalam di antara mereka?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Contractual Heart   EPILOG SEASON 1

    Dengan beban masa lalu yang perlahan terangkat, Gerald melangkah menjauh dari bayang-bayang Evan dan dunia lamanya. Udara pagi terasa lebih bersih, seolah beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Dunia yang telah ia tinggalkan tidak akan melepaskannya begitu saja. Namun kini, ia punya tujuan yang jelas: menjadi kakak yang pantas bagi Celine. Ia akan menebus kesalahannya, melindungi adiknya, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Sementara itu, di kediaman mereka, Davies dan Celine duduk berdekatan di sofa, tangan mereka bertaut erat. Cahaya pagi menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah mereka yang tampak lelah namun tenang. Konflik yang telah memporak-porandakan mereka, badai demi badai yang terus datang, justru telah menempa sebuah ikatan yang tak terduga. Mereka telah melewati cobaan yang menyakitkan, bahaya yang mengancam nyawa, dan rahasia kelam yang nyaris menghancurkan segalanya. Namun, cinta yang tumbuh di tengah semua it

  • The Contractual Heart   DUA PULUH

    Tawaran gencatan senjata Davies menggantung di udara, dipenuhi harapan dan ketidakpastian. Gerald masih terdiam, wajahnya kaku, namun di dalam dirinya badai emosi tengah mengamuk. Kata-kata Davies tentang ayahnya yang juga tak bersih, menghantamnya dengan telak. Realitas pahit itu, bahwa dendamnya dibangun di atas fondasi yang rapuh, mulai meruntuhkan dinding pertahanannya. Namun, yang paling menghantamnya adalah tatapan Davies pada Celine, dan kata-kata, "Aku yakin kau juga tidak ingin... membawa adikmu ke dalam bahaya." Memori Celine yang pingsan, wajahnya yang pucat, dan peluru yang menembus kakinya, semua itu berkelebat di benak Gerald. Ia telah melukai adiknya sendiri, orang yang ia sayangi, demi sebuah dendam yang kini terasa hampa Gerald menyadari bahwa siklus dendam ini harus diakhiri. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang telah merenggut begitu banyak darinya, masa mudanya, kebebasannya, dan kini, nyaris merenggut adiknya. Ia ingin sebuah kehidupa

  • The Contractual Heart   SEMBILAN BELAS

    Di ruang tamu rumah kecil itu, Gerald duduk di sofa, tatapannya kosong ke depan. Davies berdiri tidak jauh dari Celine, matanya tetap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik Gerald. Celine duduk di sofa lain, menatap kakaknya dengan campuran luka dan kerinduan. "Aku... aku minta maaf, Celine," Gerald memulai, suaranya terdengar berat, dipenuhi beban masa lalu yang menyesakkan. "Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah meninggalkanmu dan memilih jalan seperti ini." Ia menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya. Gerald melarikan diri dari kekejaman sang ayah, dari rumah yang penuh dengan pukulan dan teriakan. Ia mencari perlindungan di rumah teman, tempat yang tanpa disangka menjadi awal dari jalan gelapnya. Ayah temannya, seorang mafia berpengaruh, melihat potensi dalam dirinya, mungkin juga rasa sakitnya. Lingkungan itu membentuknya, mengajarinya kerasnya hidup, dan perlahan membawanya pada keterlibatan dalam bisnis gelap yang kini menjeratnya. Ia tidak menyembuny

  • The Contractual Heart   DELAPAN BELAS

    Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan

  • The Contractual Heart   TUJUH BELAS

    Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert

  • The Contractual Heart   ENAM BELAS

    Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status