Share

LIMA

Author: Lalaa
last update Last Updated: 2025-07-04 10:20:01

Nasib memang punya cara sendiri untuk mempermainkan mereka. Sore itu, ponsel Celine berdering panik. Suara panik dari asisten Davies mengabarkan bahwa Davies mengalami kecelakaan. Mobilnya tergelincir di jalan licin, menabrak pembatas. Tidak fatal, namun cukup parah hingga ia harus dirawat di rumah dan membutuhkan perhatian penuh.

Kini, kamar Davies yang dulu tertutup rapat oleh batas tak kasat mata, menjadi pusat perhatian Celine. Davies terbaring lemah, sebagian kepalanya diperban, tangannya digips, dan wajahnya pucat pasi. Dalam keadaan yang rentan itu, ia sepenuhnya berada di bawah perawatan Celine. Mengganti perban, menyuapi bubur, membantunya bergerak—setiap sentuhan dan interaksi adalah pelanggaran "kontrak" yang dulu mereka buat.

Suatu malam, demam Davies naik. Kesadarannya pasang surut, dan ia mulai menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Celine, yang setia menjaganya, mendekat untuk mendengar.

"...bukan salahku... bukan... mereka..." Davies meracau, dahinya mengernyit, seolah sedang melihat mimpi buruk. "Dia... tidak mungkin... Ayah..."

Celine menegang. Ia tahu orang tua Davies meninggal dalam sebuah kecelakaan, namun rumor beredar tentang dugaan pembunuhan terkait rekan bisnis ayahnya. Davies tak pernah bicara soal itu.

"Siapa, Davies?" bisik Celine lembut, mengusap dahi pria itu.

"Mereka... mengambil semua..." Davies menggigil, napasnya tersengal. "Dendam... karena... Ayah..." Potongan-potongan masa lalu yang gelap dan menyakitkan mulai terungkap, sebuah luka lama yang tak pernah Davies perlihatkan. Dinding es yang ia bangun perlahan runtuh, memperlihatkan sisi manusiawi yang tak pernah Celine bayangkan. Ada ketakutan, ada kesedihan mendalam yang selama ini Davies sembunyikan di balik topeng dominannya.

Malam berikutnya, saat kesadaran Davies sedikit lebih jernih namun tubuhnya masih lemah, ia memegang tangan Celine yang hendak mengganti kompres. Tatapannya kosong, namun ada kejujuran yang terpancar. "Aku... benci merasa selemah ini," gumamnya pelan, suaranya serak. "Aku selalu harus... kuat."

Bagi Celine, momen-momen ini adalah jendela ke dalam jiwa Davies. Ia melihatnya lebih dari sekadar "pasangan kontrak" yang dingin dan perhitungan. Ia melihat Davies yang takut, Davies yang terluka, Davies yang sesungguhnya. Davies yang selama ini ia kira tak memiliki emosi, kini menunjukkan kerentanan yang membuat hatinya terenyuh. Sentuhan mereka bukan lagi sentuhan karena tugas, tapi sentuhan yang membawa empati.

Di tengah keheningan malam dan denyutan rasa sakit, sebuah ikatan baru mulai tumbuh di antara mereka. Ikatan yang tak tertulis dalam kontrak, namun terasa lebih nyata dan kuat dari apa pun yang pernah mereka sepakati.

Hari-hari berlalu, dan Davies perlahan pulih di bawah perawatan telaten Celine. Luka fisiknya membaik, namun luka di hati Davies justru baru terbuka.

...

Pagi itu, Celine sedang mengganti perban di lengan Davies yang masih lemah. Dengan gerakan hati-hati, ia membersihkan luka, matanya fokus pada tugasnya. Tangan Celine terangkat, ia menyesuaikan posisi kemeja Davies yang sedikit tersingkap. Saat itulah, matanya menangkap sesuatu yang membuat Davies terhenyak.

Di lengan Celine, tepat di area dekat pergelangan tangan, terlihat bekas memar samar yang sedikit kekuningan—jejak yang tak sepenuhnya hilang, seringan apa pun itu. Davies mengenali bekas itu. Itu adalah bekas memar yang dulu ia sebabkan, pada hari ia membentak Celine di ruang kerjanya dan mencengkeram lengannya dengan kasar.

Momen itu menghantamnya dengan telak, memicu gelombang penyesalan yang mendalam. Jantung Davies berdesir, bukan karena sakit fisiknya, melainkan karena rasa bersalah yang menusuk. Ia ingat amarahnya yang membabi buta, suara desisannya yang penuh ancaman, dan ketakutan yang terpancar jelas di mata Celine. Sebuah kekejaman yang ia lakukan, pada wanita yang kini merawatnya dengan penuh kesabaran.

Davies menatap Celine, yang masih menyibak kemejanya. Wanita itu tampak tak menyadari tatapan Davies, atau mungkin ia sudah terbiasa dengan bekas luka itu, menganggapnya sebagai bagian dari masa lalu yang harus dilupakan. Namun bagi Davies, itu adalah pengingat nyata akan keburukan dirinya.

Sebuah realisasi pahit menamparnya: ia tidak ingin lagi melukai wanita di hadapannya ini.

Dinding es yang ia bangun di sekelilingnya, yang selama ini melindunginya dari perasaan, kini runtuh total. Ia telah menyakiti Celine, tidak hanya secara fisik, tapi mungkin juga secara emosional. Davies, yang selalu mendahulukan logika dan keuntungan, kini merasakan gejolak emosi yang asing. Penyesalan itu begitu nyata, dan untuk pertama kalinya, ia menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar kontrak atau warisan. Ia menginginkan kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

...

Hari-hari berlalu, dan Davies telah pulih sepenuhnya. Namun, ada yang berubah. Dinding yang dulu ia bangun tinggi-tinggi di sekelilingnya, kini terasa lebih rendah, lebih rapuh. Dan Celine, yang selalu waspada, mulai menyadari perubahan itu.

Suatu pagi, saat Celine sedang menyiapkan sarapan di dapur, melakukan kebiasaan rutin mereka yang dulunya tanpa interaksi, Davies muncul. Bukan untuk mengambil kopinya dan langsung pergi seperti biasa. Ia bersandar di kusen pintu, mengamati Celine. Ada kelembutan dalam tatapannya, yang dulu selalu tajam dan dingin.

"Kau kurang tidur?" Davies bertanya, suaranya lebih rendah, ada kekhawatiran yang nyata di dalamnya. Ia bukan lagi sang penguasa yang hanya peduli pada jadwalnya.

Celine sedikit terkejut. "Tidak juga. Hanya... sedikit banyak pekerjaan," jawabnya, sedikit canggung. Ia masih belum terbiasa dengan nada bicara Davies yang baru ini.

Siang itu, saat Celine sedang sibuk di ruang tamu dengan desain grafisnya, Davies lewat. Ia berhenti sejenak, melihat layar laptop Celine. "Itu bagus," komentarnya singkat, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, beberapa menit kemudian, ia kembali membawa segelas jus jeruk dingin dan meletakkannya di meja samping Celine. "Kau terlihat butuh ini," katanya, lalu pergi tanpa menunggu jawaban. Gestur-gestur kecil seperti itu mulai sering terjadi.

Davies mulai lebih sering berada di dekat Celine, bukan karena keharusan, tapi karena pilihan. Ia mungkin tidak mengucapkan kata-kata manis, namun tindakannya berbicara lebih keras. Misalnya, saat Celine terbatuk di pagi hari, Davies akan dengan cepat menanyakan apakah ia baik-baik saja atau bahkan diam-diam menyiapkan teh hangat. Ketika Celine kesulitan mengangkat tumpukan buku, Davies akan mengambil alih tanpa diminta.

Celine sedikit terkejut dengan perubahan sikap Davies. Ia mencoba mencari alasan logis: mungkin Davies merasa berutang budi karena perawatannya. Atau mungkin ini bagian dari strategi baru untuk meyakinkan sang kakek. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Tatapan mata Davies yang kini lebih sering tertuju padanya, senyum tipis yang sesekali muncul saat mereka berinteraksi, dan kepedulian yang nyata dalam setiap tindakan kecilnya.

Pergeseran ini, meski samar dan tidak terucapkan, adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang tak pernah terbayangkan dalam perjanjian kontrak mereka. Dinding di antara mereka tidak lagi setinggi dulu. Dan di hati Celine, sebuah harapan kecil mulai bersemi, bertanya-tanya ke mana arah perubahan ini akan membawa mereka.

Akankah perubahan sikap Davies ini menjadi awal dari perasaan yang lebih dalam, ataukah ia akan kembali ke sifat aslinya setelah ia merasa 'aman'?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Contractual Heart   TIGA BELAS

    Waktu tanpa Celine terasa hampa, dingin, dan kosong bagi Davies. Setiap sudut rumah mewah itu, setiap keheningan, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Celine. Penyesalan atas perbuatannya menggerogoti hatinya, ditambah kerinduan yang mendalam pada wanita itu. Ia tahu ia telah menyakitinya, dan penyesalan itu jauh lebih pedih dari luka fisik mana pun. Davies menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, merenungkan setiap kesalahan. Ia melihat kembali hidupnya, ambisi yang membutakannya, dan rahasia yang telah menghancurkan segalanya. Ia tahu ia harus berubah, tidak hanya untuk Celine, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk menjadi pria yang pantas dicintai. Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah berani: ia berniat mengakhiri bisnis ilegalnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat betapa dalamnya ia telah terlibat. Ia mulai membuat panggilan telepon rahasia, merencanakan pertemuan-pertemuan tersembunyi, berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sindikat itu.

  • The Contractual Heart   DUA BELAS

    Setelah kepergian Celine, rumah mewah itu terasa hampa, dingin, dan kosong. Davies berjalan kesana kemari bagai jiwa tak tenang. Ia duduk di sofa yang dulu mereka gunakan untuk berdiskusi, namun kini hanya ada keheningan. Di titik krusial ini, Davies harus menghadapi ketakutan terbesarnya: takut kehilangan Celine, takut kehilangan ikatan yang tanpa sadar telah mereka bangun. Perasaan itu menghantamnya begitu kuat hingga ia merasa lumpuh. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak menjelaskan? Mengapa ia begitu takut membuka diri? Penyesalan menggerogoti, membuat Davies menutup dirinya. Ia mengabaikan panggilan telepon dari kantor, menunda rapat penting, dan membiarkan dokumen-dokumen menumpuk di meja kerjanya. Pekerjaannya terhambat, bahkan terancam berantakan. Aura dominan yang selalu ia pancarkan kini digantikan oleh kesuraman dan keputusasaan. Berita tentang kemunduran Davies akhirnya sampai ke telinga Kakek Davies. Khawatir dengan cucunya, sang kakek datang berkunju

  • The Contractual Heart   SEBELAS

    Malam itu terasa dingin, diisi oleh keheningan yang memekakkan telinga setelah pertengkaran mereka. Dalam keputusasaan yang melanda, Celine merasa tidak sanggup melanjutkan. Semua beban dan kebohongan terasa terlalu berat untuk ditanggung. Hatinya hancur, dan ia tahu ia harus pergi. Dengan langkah pelan, Celine berjalan menuju jendela kamarnya. Jendela itu menghadap ke taman belakang, sebuah jalan setapak kecil yang biasa ia gunakan untuk berjalan-jalan. Celine membuka jendela lebar-lebar, udara malam yang dingin menerpa wajahnya, seolah menyambut kebebasannya. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeluarkan suara, Celine melangkah keluar, menghilang di kegelapan malam. Ia berharap bisa menemukan ketenangan dari badai emosi yang mengamuk di dalam dirinya. Davies, di sisi lain, masih terpaku di ruang tamu, dihantam oleh kebisuan. Ia duduk di sana untuk waktu yang lama, bergulat dengan dirinya sendiri, dengan beban masa lalu yang begitu berat. Ia tahu ia telah menyakiti Celine, dan ia

  • The Contractual Heart   SEPULUH

    Beberapa hari setelah kunjungan Celine ke Onyx, hidupnya berubah menjadi penyelidikan rahasia. Ia berpura-pura seperti biasa di depan Davies, tertawa, berbicara tentang hal-hal sepele, namun di balik itu, matanya selalu waspada, telinganya selalu siaga. Ia mencari bukti, potongan puzzle yang bisa mengonfirmasi apa yang ia dengar di klub malam itu. Pagi itu, saat Davies menerima telepon di ruang kerjanya, pintu yang sedikit terbuka membuat Celine bisa mendengar samar-samar. "Malam ini... pukul dua belas... tempat biasa," suara Davies terdengar datar, namun ada nada urgensi yang tak biasa. Jantung Celine berdesir. Malam ini. Ia harus siap. *** Malam harinya, Celine berakting sempurna. Ia berbaring di tempat tidur, memejamkan mata, napasnya teratur, berpura-pura tidur nyenyak. Namun, setiap sarafnya tegang. Sekitar pukul dua belas malam, ia mendengar pergerakan pelan di ruang depan. Davies. Celine membuka matanya sedikit, menunggu. Lima menit kemudian, ia mendengar suara pintu utam

  • The Contractual Heart   SEMBILAN

    Malam itu, setelah makan malam, Celine duduk di sofa ruang tamu. Davies ada di sampingnya, sibuk membaca buku tebal tentang ekonomi. Kehangatan yang kini tumbuh di antara mereka membuat Celine merasa nyaman, namun ingatan akan kotak logam dan catatan misterius itu tiba-tiba menyelinap. "Davies," panggil Celine pelan, mencoba terdengar santai. "Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja melihat tas kerjamu terjatuh. Ada sebuah kotak kecil di dalamnya, dan... catatan aneh." Davies menurunkan bukunya, menoleh ke arah Celine. Wajahnya tetap tenang, namun ada kilatan cepat di matanya yang tak luput dari perhatian Celine. "Oh, itu?" jawabnya singkat, seolah tak penting. "Hanya barang lama. Sudah kubereskan." Ia kembali fokus pada bukunya, seolah pembicaraan sudah selesai. Celine merasa tidak yakin. Jawaban Davies terlalu singkat, terlalu cepat, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa seperti penolakan halus. Ia tahu Davies sedang menyembunyikan cerita aslinya. Meskipun hubungan mere

  • The Contractual Heart   DELAPAN

    Setelah badai Marcus berhasil mereka atasi, ketenangan kembali menyelimuti rumah mewah itu. Namun, kali ini, ketenangan itu diisi dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak terduga. Momen-momen romantis mulai bermunculan, tak direncanakan, justru semakin mengaburkan garis antara peran "pasangan kontrak" dan perasaan sesungguhnya. Suatu sore, saat mereka berjalan di taman belakang, tiba-tiba sebuah dahan pohon tua jatuh menimpa tepat di jalur yang akan dilewati Celine. Tanpa berpikir, Davies secara refleks menarik Celine kuat-kuat ke belakangnya, memeluknya erat, melindunginya dari reruntuhan dahan. Gestur itu begitu spontan, begitu naluriah, dan begitu tak terduga. Celine mendongak, menatap mata Davies yang menunjukkan kekhawatiran yang tulus, bukan sekadar basa-basi. Perlahan, mereka mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai manusia. Celine menemukan keberanian dan kesetiaan di balik topeng dingin Davies. Ia melihat bagaimana Davies

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status