Pagi di rumah Davies terasa dingin, bahkan di bawah sinar matahari Sydney yang sudah terik. Udara di rumah mewah itu jauh lebih dingin dari AC yang menyala. Davies duduk di ruang makan, kemeja sutra birunya rapi tanpa cela, tatapannya tajam menatap layar ponsel di tangannya.
Di sisi lain, Celine duduk kaku, di sofa ruang keluarga yang tak terlalu jauh dari tempat Davies. Jarinya memilin tepi cangkir tehnya. Satu bulan pernikahan kontrak mereka, dan setiap hari terasa seperti neraka. Celine mencoba menghirup tehnya, namun gemetar di tangannya membuat cangkir itu bergetar pelan. Apalagi ketika melihat Davies tiba-tiba menghampirinya. Suara Davies yang memecah keheningan membuatnya merinding. "Apa ini?" Suaranya rendah, namun penuh ancaman. Davies melemparkan ponselnya ke meja, layar menampilkan sebuah artikel gossip online. "Kau tertangkap kamera keluar dari butik tanpa pengawalan. Apa yang kau lakukan, Celine?" Celine menatap Davies, jantungnya berdebar kencang. "Aku hanya ingin membeli beberapa barang. Aku merasa pengawal itu terlalu mencolok." BRAK! Davies menendang meja dengan satu kakinya, membuat cangkir teh Celine terlonjak dan sedikit isinya tumpah. "Mencolok?! Kau pikir kontrak ini untuk apa, Celine?! Kau adalah istriku! Istriku tidak boleh terlihat seperti wanita murahan yang bisa pergi ke mana saja tanpa pengawasan!" Wajah Celine memucat. Matanya bergetar menatap Davies. Rasa takut merayapi setiap sendi tubuhnya. Ini bukan pertama kalinya Davies meledak karena hal sepele. "Aku hanya tidak ingin jadi pusat perhatian," bisik Celine, suaranya tercekat. "Kau sudah jadi pusat perhatian sejak menandatangani kontrak itu, Bodoh! Tugasmu adalah menjaga reputasiku, menjaga citra kita! Bukan berkeliaran seperti gelandangan!" Bentak Davies. Davies melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya terasa seperti guntur di telinga Celine. Celine secara refleks menarik diri, punggungnya menempel ke sandaran sofa. Aroma maskulin Davies yang kuat kini menguar, bercampur dengan aroma kemarahan. Davies membungkuk, wajahnya mendekat ke wajah Celine, matanya menyala. "Dengarkan aku baik-baik, Celine. Kau adalah bonekaku. Tugasmu hanya patuh. Jangan pernah berpikir untuk melakukan apa pun di luar perintahku." Jari telunjuknya yang kuat menusuk bahu Celine, menekannya dengan kasar. "Paham?!" Rasa sakit menjalar di bahu Celine. Air mata mulai menggenang di matanya, namun ia menahannya mati-matian. Ia tahu, Davies tidak suka melihatnya menangis. "Aku paham," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Davies menarik diri, nafasnya kasar. Ia melangkah sedikit menjauh, namun kemarahannya belum reda. "Dan soal uang. Kenapa kau meminjam uang dari temanmu untuk biaya perbaikan mobil? Aku sudah memberimu kartu kredit! Kau pikir aku tidak sanggup membayar perbaikan mobil murahanmu itu?!" "Aku tidak ingin terlalu bergantung padamu," Celine mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terdengar sumbang di telinganya sendiri. Davies tertawa sinis. "Memangnya kau punya pilihan lain untuk tidak bergantung kepadaku?" Celine menunduk, matanya terasa panas. Rasa sakit di hatinya jauh lebih pedih dari tekanan di bahunya. Ia merasa hina, tak berdaya. Ia adalah tawanan dalam sangkar emas ini. .... Sore harinya, situasi tidak membaik. Davies, yang baru pulang dari kantor, menemukan Celine sedang berbicara di telepon di ruang keluarga. Ia hanya mengenakan dress sederhana, yang ia gunakan sebagai pakaian santai di rumah. "Dengan siapa kau bicara?" suara Davies tiba-tiba menginterupsi. Celine terlonjak, ponselnya nyaris jatuh. "Rekan kerjaku," jawabnya gugup. Davies merebut ponsel dari tangan Celine, mematikan panggilan itu secara sepihak. "Sudah kubilang, jangan berbicara dengan mereka terlalu lama! Kau bisa membuat masalah!" "Aku hanya membicarakan soal pekerjaan," Celine mencoba membela diri, namun Davies sudah terbakar emosi. "Benarkah? Apa kau tidak meminjam uang lagi?" Davies melotot, suaranya yang berat menggelegar di ruangan itu. Celine menggelengkan kepala, air matanya kembali mengalir. "Tidak! Aku tidak pernah—" Davies melangkah mendekat, mencengkeram lengan Celine dengan kasar. Jari-jarinya menekan kulit Celine hingga memerah. "Tidak usah beralasan!" Rasa sakit menjalar dari lengannya. Celine mencoba melepaskan diri, namun Davies terlalu kuat. Ia menyeret Celine ke sofa, lalu mendorongnya hingga terjatuh. "Kau harus belajar patuh, Celine," desis Davies, matanya dingin dan tanpa ampun. "Kau adalah milikku. Setiap inci tubuhmu, setiap napasmu, adalah milikku." Celine terisak, meringkuk di sofa, berusaha melindungi dirinya. Ia menatap Davies dengan ketakutan yang luar biasa. Pria di hadapannya ini, suaminya, adalah monster yang telah menguasai hidupnya. Ia merasa terjebak, tak ada jalan keluar dari kontrak neraka ini. Davies menatapnya sejenak, lalu berbalik pergi, meninggalkan Celine sendirian dalam isak tangis dan rasa sakit. Ia tahu ia telah melukainya, namun ia tidak peduli. Baginya, itu adalah cara untuk menegaskan dominasi, untuk memastikan Celine tidak akan pernah berani melawannya lagi. Ia tidak tahu, bahwa tak lama lagi, takdir akan memutar balikkan segalanya, dan ia akan sepenuhnya bergantung pada wanita yang baru saja ia sakiti ini. .... Malam itu, Celine menyeret langkahnya yang berat menuju kamarnya sendiri. Kamar yang menjadi tempat pengungsiannya itu terasa dingin dan asing, sebuah sangkar emas yang tak bisa ia tinggalkan. Ia melemparkan dirinya ke ranjang, luka di lengannya terasa berdenyut lagi, pengingat akan cengkeraman Davies yang kejam. Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan. Davies masuk, bayangannya menjulang tinggi di ambang pintu. Celine menegang, tidak berani bergerak, hanya menatap Davies dengan pandangan kosong. Davies tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan suara pelan. Ia tidak mendekati ranjang. Davies hanya berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, menatap Celine dengan tatapan dingin dan tanpa emosi. Cahaya remang-remang dari lampu tidur membuat wajah Davies terlihat lebih menyeramkan, bayangan di bawah matanya tampak lebih dalam. "Kau tahu mengapa aku ada di sini, Celine?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun terdengar menusuk di telinga Celine. Celine tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, berusaha menyembunyikan getaran di tubuhnya. "Aku ingin memastikan kau mengerti posisimu," lanjut Davies, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kau adalah istriku. Di depan umum, kau adalah nyonya Davies yang sempurna. Di dalam rumah ini, kau adalah propertiku. Kau tidak memiliki kehendakmu sendiri. Kau tidak punya pilihan." Ia mengambil beberapa langkah, mendekati ranjang, namun tidak cukup dekat untuk disentuh. "Setiap kali kau berani membantahku, setiap kali kau mencoba melanggar aturanku, akan ada konsekuensinya." Davies berhenti, membiarkan kata-katanya meresap. "Aku tidak suka mengulang perintahku, Celine. Aku tidak suka main-main." Celine mengangkat kepalanya sedikit, menatap Davies tajam, berusaha untuk sabar. Ada keputusasaan yang mendalam di hatinya. "Aku mengerti, Davies" bisiknya, suaranya tercekat. Davies menatapnya sejenak, wajahnya tanpa ekspresi. Tidak ada simpati, tidak ada kehangatan. Hanya dominasi mutlak. Ia kemudian berbalik, sama pelannya saat ia masuk. Pintu terbuka, dan Davies melangkah keluar, meninggalkan Celine sendirian lagi dalam keheningan yang dingin. Suara kunci berputar terdengar, mengunci Celine di dalam kamarnya, sebuah pengingat brutal akan statusnya sebagai tawanan di dalam istana mewah itu. Celine kembali meringkuk, memeluk lututnya. Air mata yang sudah kering kini kembali mengalir, lebih deras dari sebelumnya. Ia sendirian, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, bersama seorang pria yang memperlakukannya seperti barang. Kamar itu terasa seperti penjara, dan ia tidak melihat jalan keluar.Waktu tanpa Celine terasa hampa, dingin, dan kosong bagi Davies. Setiap sudut rumah mewah itu, setiap keheningan, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Celine. Penyesalan atas perbuatannya menggerogoti hatinya, ditambah kerinduan yang mendalam pada wanita itu. Ia tahu ia telah menyakitinya, dan penyesalan itu jauh lebih pedih dari luka fisik mana pun. Davies menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, merenungkan setiap kesalahan. Ia melihat kembali hidupnya, ambisi yang membutakannya, dan rahasia yang telah menghancurkan segalanya. Ia tahu ia harus berubah, tidak hanya untuk Celine, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk menjadi pria yang pantas dicintai. Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah berani: ia berniat mengakhiri bisnis ilegalnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat betapa dalamnya ia telah terlibat. Ia mulai membuat panggilan telepon rahasia, merencanakan pertemuan-pertemuan tersembunyi, berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sindikat itu.
Setelah kepergian Celine, rumah mewah itu terasa hampa, dingin, dan kosong. Davies berjalan kesana kemari bagai jiwa tak tenang. Ia duduk di sofa yang dulu mereka gunakan untuk berdiskusi, namun kini hanya ada keheningan. Di titik krusial ini, Davies harus menghadapi ketakutan terbesarnya: takut kehilangan Celine, takut kehilangan ikatan yang tanpa sadar telah mereka bangun. Perasaan itu menghantamnya begitu kuat hingga ia merasa lumpuh. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak menjelaskan? Mengapa ia begitu takut membuka diri? Penyesalan menggerogoti, membuat Davies menutup dirinya. Ia mengabaikan panggilan telepon dari kantor, menunda rapat penting, dan membiarkan dokumen-dokumen menumpuk di meja kerjanya. Pekerjaannya terhambat, bahkan terancam berantakan. Aura dominan yang selalu ia pancarkan kini digantikan oleh kesuraman dan keputusasaan. Berita tentang kemunduran Davies akhirnya sampai ke telinga Kakek Davies. Khawatir dengan cucunya, sang kakek datang berkunju
Malam itu terasa dingin, diisi oleh keheningan yang memekakkan telinga setelah pertengkaran mereka. Dalam keputusasaan yang melanda, Celine merasa tidak sanggup melanjutkan. Semua beban dan kebohongan terasa terlalu berat untuk ditanggung. Hatinya hancur, dan ia tahu ia harus pergi. Dengan langkah pelan, Celine berjalan menuju jendela kamarnya. Jendela itu menghadap ke taman belakang, sebuah jalan setapak kecil yang biasa ia gunakan untuk berjalan-jalan. Celine membuka jendela lebar-lebar, udara malam yang dingin menerpa wajahnya, seolah menyambut kebebasannya. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeluarkan suara, Celine melangkah keluar, menghilang di kegelapan malam. Ia berharap bisa menemukan ketenangan dari badai emosi yang mengamuk di dalam dirinya. Davies, di sisi lain, masih terpaku di ruang tamu, dihantam oleh kebisuan. Ia duduk di sana untuk waktu yang lama, bergulat dengan dirinya sendiri, dengan beban masa lalu yang begitu berat. Ia tahu ia telah menyakiti Celine, dan ia
Beberapa hari setelah kunjungan Celine ke Onyx, hidupnya berubah menjadi penyelidikan rahasia. Ia berpura-pura seperti biasa di depan Davies, tertawa, berbicara tentang hal-hal sepele, namun di balik itu, matanya selalu waspada, telinganya selalu siaga. Ia mencari bukti, potongan puzzle yang bisa mengonfirmasi apa yang ia dengar di klub malam itu. Pagi itu, saat Davies menerima telepon di ruang kerjanya, pintu yang sedikit terbuka membuat Celine bisa mendengar samar-samar. "Malam ini... pukul dua belas... tempat biasa," suara Davies terdengar datar, namun ada nada urgensi yang tak biasa. Jantung Celine berdesir. Malam ini. Ia harus siap. *** Malam harinya, Celine berakting sempurna. Ia berbaring di tempat tidur, memejamkan mata, napasnya teratur, berpura-pura tidur nyenyak. Namun, setiap sarafnya tegang. Sekitar pukul dua belas malam, ia mendengar pergerakan pelan di ruang depan. Davies. Celine membuka matanya sedikit, menunggu. Lima menit kemudian, ia mendengar suara pintu utam
Malam itu, setelah makan malam, Celine duduk di sofa ruang tamu. Davies ada di sampingnya, sibuk membaca buku tebal tentang ekonomi. Kehangatan yang kini tumbuh di antara mereka membuat Celine merasa nyaman, namun ingatan akan kotak logam dan catatan misterius itu tiba-tiba menyelinap. "Davies," panggil Celine pelan, mencoba terdengar santai. "Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja melihat tas kerjamu terjatuh. Ada sebuah kotak kecil di dalamnya, dan... catatan aneh." Davies menurunkan bukunya, menoleh ke arah Celine. Wajahnya tetap tenang, namun ada kilatan cepat di matanya yang tak luput dari perhatian Celine. "Oh, itu?" jawabnya singkat, seolah tak penting. "Hanya barang lama. Sudah kubereskan." Ia kembali fokus pada bukunya, seolah pembicaraan sudah selesai. Celine merasa tidak yakin. Jawaban Davies terlalu singkat, terlalu cepat, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa seperti penolakan halus. Ia tahu Davies sedang menyembunyikan cerita aslinya. Meskipun hubungan mere
Setelah badai Marcus berhasil mereka atasi, ketenangan kembali menyelimuti rumah mewah itu. Namun, kali ini, ketenangan itu diisi dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak terduga. Momen-momen romantis mulai bermunculan, tak direncanakan, justru semakin mengaburkan garis antara peran "pasangan kontrak" dan perasaan sesungguhnya. Suatu sore, saat mereka berjalan di taman belakang, tiba-tiba sebuah dahan pohon tua jatuh menimpa tepat di jalur yang akan dilewati Celine. Tanpa berpikir, Davies secara refleks menarik Celine kuat-kuat ke belakangnya, memeluknya erat, melindunginya dari reruntuhan dahan. Gestur itu begitu spontan, begitu naluriah, dan begitu tak terduga. Celine mendongak, menatap mata Davies yang menunjukkan kekhawatiran yang tulus, bukan sekadar basa-basi. Perlahan, mereka mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai manusia. Celine menemukan keberanian dan kesetiaan di balik topeng dingin Davies. Ia melihat bagaimana Davies