แชร์

TIGA

ผู้เขียน: Lalaa
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-05 19:29:07

Pagi di rumah Davies terasa dingin, bahkan di bawah sinar matahari Sydney yang sudah terik. Udara di rumah mewah itu jauh lebih dingin dari AC yang menyala. Davies duduk di ruang makan, kemeja sutra birunya rapi tanpa cela, tatapannya tajam menatap layar ponsel di tangannya.

Di sisi lain, Celine duduk kaku, di sofa ruang keluarga yang tak terlalu jauh dari tempat Davies. Jarinya memilin tepi cangkir tehnya. Satu bulan pernikahan kontrak mereka, dan setiap hari terasa seperti neraka.

Celine mencoba menghirup tehnya, namun gemetar di tangannya membuat cangkir itu bergetar pelan. Apalagi ketika melihat Davies tiba-tiba menghampirinya. Suara Davies yang memecah keheningan membuatnya merinding.

"Apa ini?" Suaranya rendah, namun penuh ancaman. Davies melemparkan ponselnya ke meja, layar menampilkan sebuah artikel gossip online. "Kau tertangkap kamera keluar dari butik tanpa pengawalan. Apa yang kau lakukan, Celine?"

Celine menatap Davies, jantungnya berdebar kencang. "Aku hanya ingin membeli beberapa barang. Aku merasa pengawal itu terlalu mencolok."

BRAK!

Davies menendang meja dengan satu kakinya, membuat cangkir teh Celine terlonjak dan sedikit isinya tumpah. "Mencolok?! Kau pikir kontrak ini untuk apa, Celine?! Kau adalah istriku! Istriku tidak boleh terlihat seperti wanita murahan yang bisa pergi ke mana saja tanpa pengawasan!"

Wajah Celine memucat. Matanya bergetar menatap Davies. Rasa takut merayapi setiap sendi tubuhnya. Ini bukan pertama kalinya Davies meledak karena hal sepele.

"Aku hanya tidak ingin jadi pusat perhatian," bisik Celine, suaranya tercekat.

"Kau sudah jadi pusat perhatian sejak menandatangani kontrak itu, Bodoh! Tugasmu adalah menjaga reputasiku, menjaga citra kita! Bukan berkeliaran seperti gelandangan!" Bentak Davies.

Davies melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya terasa seperti guntur di telinga Celine. Celine secara refleks menarik diri, punggungnya menempel ke sandaran sofa. Aroma maskulin Davies yang kuat kini menguar, bercampur dengan aroma kemarahan.

Davies membungkuk, wajahnya mendekat ke wajah Celine, matanya menyala. "Dengarkan aku baik-baik, Celine. Kau adalah bonekaku. Tugasmu hanya patuh. Jangan pernah berpikir untuk melakukan apa pun di luar perintahku."

Jari telunjuknya yang kuat menusuk bahu Celine, menekannya dengan kasar. "Paham?!"

Rasa sakit menjalar di bahu Celine. Air mata mulai menggenang di matanya, namun ia menahannya mati-matian. Ia tahu, Davies tidak suka melihatnya menangis. "Aku paham," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Davies menarik diri, nafasnya kasar. Ia melangkah sedikit menjauh, namun kemarahannya belum reda. "Dan soal uang. Kenapa kau meminjam uang dari temanmu untuk biaya perbaikan mobil? Aku sudah memberimu kartu kredit! Kau pikir aku tidak sanggup membayar perbaikan mobil murahanmu itu?!"

"Aku tidak ingin terlalu bergantung padamu," Celine mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terdengar sumbang di telinganya sendiri.

Davies tertawa sinis. "Memangnya kau punya pilihan lain untuk tidak bergantung kepadaku?"

Celine menunduk, matanya terasa panas. Rasa sakit di hatinya jauh lebih pedih dari tekanan di bahunya. Ia merasa hina, tak berdaya. Ia adalah tawanan dalam sangkar emas ini.

....

Sore harinya, situasi tidak membaik. Davies, yang baru pulang dari kantor, menemukan Celine sedang berbicara di telepon di ruang keluarga. Ia hanya mengenakan dress sederhana, yang ia gunakan sebagai pakaian santai di rumah.

"Dengan siapa kau bicara?" suara Davies tiba-tiba menginterupsi.

Celine terlonjak, ponselnya nyaris jatuh. "Rekan kerjaku," jawabnya gugup.

Davies merebut ponsel dari tangan Celine, mematikan panggilan itu secara sepihak. "Sudah kubilang, jangan berbicara dengan mereka terlalu lama! Kau bisa membuat masalah!"

"Aku hanya membicarakan soal pekerjaan," Celine mencoba membela diri, namun Davies sudah terbakar emosi.

"Benarkah? Apa kau tidak meminjam uang lagi?" Davies melotot, suaranya yang berat menggelegar di ruangan itu.

Celine menggelengkan kepala, air matanya kembali mengalir. "Tidak! Aku tidak pernah—"

Davies melangkah mendekat, mencengkeram lengan Celine dengan kasar. Jari-jarinya menekan kulit Celine hingga memerah. "Tidak usah beralasan!"

Rasa sakit menjalar dari lengannya. Celine mencoba melepaskan diri, namun Davies terlalu kuat. Ia menyeret Celine ke sofa, lalu mendorongnya hingga terjatuh.

"Kau harus belajar patuh, Celine," desis Davies, matanya dingin dan tanpa ampun. "Kau adalah milikku. Setiap inci tubuhmu, setiap napasmu, adalah milikku."

Celine terisak, meringkuk di sofa, berusaha melindungi dirinya. Ia menatap Davies dengan ketakutan yang luar biasa. Pria di hadapannya ini, suaminya, adalah monster yang telah menguasai hidupnya. Ia merasa terjebak, tak ada jalan keluar dari kontrak neraka ini.

Davies menatapnya sejenak, lalu berbalik pergi, meninggalkan Celine sendirian dalam isak tangis dan rasa sakit. Ia tahu ia telah melukainya, namun ia tidak peduli. Baginya, itu adalah cara untuk menegaskan dominasi, untuk memastikan Celine tidak akan pernah berani melawannya lagi. Ia tidak tahu, bahwa tak lama lagi, takdir akan memutar balikkan segalanya, dan ia akan sepenuhnya bergantung pada wanita yang baru saja ia sakiti ini.

....

Malam itu, Celine menyeret langkahnya yang berat menuju kamarnya sendiri. Kamar yang menjadi tempat pengungsiannya itu terasa dingin dan asing, sebuah sangkar emas yang tak bisa ia tinggalkan. Ia melemparkan dirinya ke ranjang, luka di lengannya terasa berdenyut lagi, pengingat akan cengkeraman Davies yang kejam.

Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan. Davies masuk, bayangannya menjulang tinggi di ambang pintu. Celine menegang, tidak berani bergerak, hanya menatap Davies dengan pandangan kosong. Davies tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan suara pelan.

Ia tidak mendekati ranjang. Davies hanya berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, menatap Celine dengan tatapan dingin dan tanpa emosi. Cahaya remang-remang dari lampu tidur membuat wajah Davies terlihat lebih menyeramkan, bayangan di bawah matanya tampak lebih dalam.

"Kau tahu mengapa aku ada di sini, Celine?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun terdengar menusuk di telinga Celine.

Celine tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, berusaha menyembunyikan getaran di tubuhnya.

"Aku ingin memastikan kau mengerti posisimu," lanjut Davies, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi.

"Kau adalah istriku. Di depan umum, kau adalah nyonya Davies yang sempurna. Di dalam rumah ini, kau adalah propertiku. Kau tidak memiliki kehendakmu sendiri. Kau tidak punya pilihan."

Ia mengambil beberapa langkah, mendekati ranjang, namun tidak cukup dekat untuk disentuh. "Setiap kali kau berani membantahku, setiap kali kau mencoba melanggar aturanku, akan ada konsekuensinya."

Davies berhenti, membiarkan kata-katanya meresap. "Aku tidak suka mengulang perintahku, Celine. Aku tidak suka main-main."

Celine mengangkat kepalanya sedikit, menatap Davies tajam, berusaha untuk sabar. Ada keputusasaan yang mendalam di hatinya. "Aku mengerti, Davies" bisiknya, suaranya tercekat.

Davies menatapnya sejenak, wajahnya tanpa ekspresi. Tidak ada simpati, tidak ada kehangatan. Hanya dominasi mutlak. Ia kemudian berbalik, sama pelannya saat ia masuk. Pintu terbuka, dan Davies melangkah keluar, meninggalkan Celine sendirian lagi dalam keheningan yang dingin. Suara kunci berputar terdengar, mengunci Celine di dalam kamarnya, sebuah pengingat brutal akan statusnya sebagai tawanan di dalam istana mewah itu.

Celine kembali meringkuk, memeluk lututnya. Air mata yang sudah kering kini kembali mengalir, lebih deras dari sebelumnya. Ia sendirian, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, bersama seorang pria yang memperlakukannya seperti barang. Kamar itu terasa seperti penjara, dan ia tidak melihat jalan keluar.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • The Contractual Heart   EPILOG SEASON 1

    Dengan beban masa lalu yang perlahan terangkat, Gerald melangkah menjauh dari bayang-bayang Evan dan dunia lamanya. Udara pagi terasa lebih bersih, seolah beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Dunia yang telah ia tinggalkan tidak akan melepaskannya begitu saja. Namun kini, ia punya tujuan yang jelas: menjadi kakak yang pantas bagi Celine. Ia akan menebus kesalahannya, melindungi adiknya, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Sementara itu, di kediaman mereka, Davies dan Celine duduk berdekatan di sofa, tangan mereka bertaut erat. Cahaya pagi menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah mereka yang tampak lelah namun tenang. Konflik yang telah memporak-porandakan mereka, badai demi badai yang terus datang, justru telah menempa sebuah ikatan yang tak terduga. Mereka telah melewati cobaan yang menyakitkan, bahaya yang mengancam nyawa, dan rahasia kelam yang nyaris menghancurkan segalanya. Namun, cinta yang tumbuh di tengah semua it

  • The Contractual Heart   DUA PULUH

    Tawaran gencatan senjata Davies menggantung di udara, dipenuhi harapan dan ketidakpastian. Gerald masih terdiam, wajahnya kaku, namun di dalam dirinya badai emosi tengah mengamuk. Kata-kata Davies tentang ayahnya yang juga tak bersih, menghantamnya dengan telak. Realitas pahit itu, bahwa dendamnya dibangun di atas fondasi yang rapuh, mulai meruntuhkan dinding pertahanannya. Namun, yang paling menghantamnya adalah tatapan Davies pada Celine, dan kata-kata, "Aku yakin kau juga tidak ingin... membawa adikmu ke dalam bahaya." Memori Celine yang pingsan, wajahnya yang pucat, dan peluru yang menembus kakinya, semua itu berkelebat di benak Gerald. Ia telah melukai adiknya sendiri, orang yang ia sayangi, demi sebuah dendam yang kini terasa hampa Gerald menyadari bahwa siklus dendam ini harus diakhiri. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang telah merenggut begitu banyak darinya, masa mudanya, kebebasannya, dan kini, nyaris merenggut adiknya. Ia ingin sebuah kehidupa

  • The Contractual Heart   SEMBILAN BELAS

    Di ruang tamu rumah kecil itu, Gerald duduk di sofa, tatapannya kosong ke depan. Davies berdiri tidak jauh dari Celine, matanya tetap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik Gerald. Celine duduk di sofa lain, menatap kakaknya dengan campuran luka dan kerinduan. "Aku... aku minta maaf, Celine," Gerald memulai, suaranya terdengar berat, dipenuhi beban masa lalu yang menyesakkan. "Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah meninggalkanmu dan memilih jalan seperti ini." Ia menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya. Gerald melarikan diri dari kekejaman sang ayah, dari rumah yang penuh dengan pukulan dan teriakan. Ia mencari perlindungan di rumah teman, tempat yang tanpa disangka menjadi awal dari jalan gelapnya. Ayah temannya, seorang mafia berpengaruh, melihat potensi dalam dirinya, mungkin juga rasa sakitnya. Lingkungan itu membentuknya, mengajarinya kerasnya hidup, dan perlahan membawanya pada keterlibatan dalam bisnis gelap yang kini menjeratnya. Ia tidak menyembuny

  • The Contractual Heart   DELAPAN BELAS

    Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan

  • The Contractual Heart   TUJUH BELAS

    Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert

  • The Contractual Heart   ENAM BELAS

    Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status