“Apa, sih, Ma?” Barry merasa sangat suntuk, ia barusan menelepon Kania, begitu mendengar semua cerita dari Prasetya.
Rasa kesal karena tidak bisa melindungi Kania bertambah dengan adanya laporan bahwa sang paman turut andil dalam menyelamatkan nyawa Kania. Semua berita itu membuat moodnya di hari itu menjadi buruk. Mendengar suara Kania secara langsung pun masih belum bisa mengurangi rasa kesalnya.
Kini, ibunya datang tiba-tiba ke kamar. Melemparkan amplop besar berwarna cokelat tepat ke arah pangkuannya.
“Apa ini?” Ia melirik tajam ke arah wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan gaun satin warna peach itu.
"Gimana kondisi Nadin, Vi?" Suara Kania terdengar gugup. Ia baru saja bisa mengakses gawainya setelah perjalanan masuk dan keluar kebun."Tenang, Kan. Udah gue atasin. Tadi gue bawa ke dokter. Kata dokter, si cantik kena radang tenggorokan. Udah dikasih obat.""Parah, nggak?""Si Bocah udah bobok sekarang di kamar Kan, gue rasa udah gak terlalu panas, sih. Tapi gue minta surat ijin tadi, biar anak lu libur dulu sekolahnya.”"Iya, Vi. Thanks banget ya, Vi .... Gue berutang banyak banget ke elu.""Astaga, biasa aja Kan ... udah, yang penting elu nggak usah khawatir kita semua disini pasti jagain Nadin.""Gue panik banget waktu baca chat elu kalau si Nadin panas." Kania menelan ludah. "Jadi lu bawa ke dokter siapa? Sama Bi Darni?" tana Kania penasaraan."Gue bawa ke RS Internasional, yang deket kompleks elu. Gue cari taksi susah banget kagak nemu. Akhirnya gue telepon Damar, gue minta
Marlo melihat-lihat ke sekeliling ruangan kantor bibitan. Kantor ini merupakan sebuah ruangan berukuran lima kali lima meter. Bangunannya merupakan bangunan lama, mungkin hanya dilakukan pemeliharaan tiap tahun. Dindingnya berwarna kuning pucat, sedangkan kusen-kusen kayunya dicat warna hijau. Ruangan ini berisi beberapa perabot khas kantor di perkebunan, dengan dua buah meja besar. Satu meja tampak kosong sedangkan meja lain berisi sebuah PC. Masing-masing meja dilengkapi dengan kursi berlengan. Dua buah lemari arsip berjajar di belakang meja tersebut. Ada sebuah wastafel tanpa kaca dan sebuah dispenser berisi air mineral. Perabotan lain ada satu set kursi tamu dengan lengan kayu dan alas busa. Terdiri dari sebuah kursi panjang, mungkin bisa muat untuk tiga orang dan dua buah kursi ukuran satu orang. Meja kopi rendah berada tepat di tengah set kursi tamu tersebut.Kania sedang duduk di salah satu kursi tamu tersebut. Tangannya sibuk
Tubuh jangkung itu menghimpitnya ke dinding. Punggung Kania kini sudah menyentuh dinding yang dingin."Bapak mau ngapain? Jangan macam-macam, ya!" serunya panik.Marlo tak mempedulikan protes dari Kania. Tangannya menapak di dinding belakang tubuh Kania. Kepala Marlo menyuruk di cekungan leher wanita itu."Pak, saya ingatkan lagi, Bapak jangan macem-macem, ya!"Kini kepala Marlo bersandar miring di pundak Kania. Rambut lelaki itu menyapu telinga Kania.Wanita itu sudah siap mendorongnya, tetapi tangannya seperti tersengat kompor. Badan Marlo terasa begitu panas di telapak Kania."Pak?"Posisi Marlo kini memeluk tubuh Kania, merapat ke dinding, matanya terpejam. Rasanya nyaman sekali berdiri memeluk Kania seperti itu.Wanita itu kian merasakan sengatan panas tubuh Marlo hampir di sekujur tubuhnya. "Pak! Astaga! Bapak demam ini!" seru Kania semakin panik"Sst ...! Udah diem aja, saya pinjam tubu
“Divia, gimana Nadin? Masih demam, enggak?” Suara itu kian akrab di telinga Divia. “Damar? Udah, udah kok, udah enggak panas. Kita lagi main ini,” jawab Divia, ia melirik ke arah Nadin yang sedang memainkan boneka Barbie. “Udah makan?” “Udah, Nadin kan harus minum obat. Jadi tadi udah makan sebelum minum obat.” “Mmm. Kalau Piza, Nadin suka nggak?” “Nggak tahu, coba bentar gue tanyain, ya.” Divia berpaling pada Nadin, tangan kanannya yang memegang ha
Lelaki jangkung itu menarik tangan Kania dengan kasar. Langkah-langkahnya yang panjang membuat Kania seperti terseret harus mengikuti supaya tidak tertinggal."Kita ke mana, sih, Pak?"Kania melirik wajah atasannya yang kaku, tanpa ekspresi.Jangan-jangan gue mau dibantai ini, pikiran jelek Kania tiba-tiba muncul."Pak, ngapain kita ke sini? Enggak mau, saya mau kembali ke kamar aja." Protes wanita dengan kaus longgar dan celana yoga itu.Marlo membawa Kania naik ke sebuah bangunan tinggi dengan cor beton. Bagian atas bangunan itu terbuka tanpa ada peneduh. Dari tempat mereka berdiri saat ini mereka bisa melihat hamparan pohon sawit membentang sampai batas cakrawala."Saya, saya belum pernah ke tempat ini. Menakjubkan! " Mata Kania terbuai oleh hamparan gelap di bawahnya.Mendung yang sedari siang menggantung di langit sudah sirna, kini cahaya rembulan muncul menyinari hamparan sawit yang berjajar
"Asyik! Onty Vi, kita main sebelah sana, yuk! Nadin mau ke situ, ayo, Onty!" Gadis kecil itu terus bergerak ke sana ke mari, hatinya sungguh riang bisa berlibur sementara waktu."Nadin, Onty Vi mungkin capek, sama Om Damar aja, ya. Nanti Onty nyusul."Gadis kecil itu mengangguk dengan semangat. Damar mengulurkan tangan, Nadin menyambutnya dengan suka ria. Gadis itu berjalan melompat-lompat di samping Damar. Divia melihat pemandangan di depannya dengan senyum semringah. Orang pasti mengira mereka adalah keluarga kecil bahagia. Sayangnya hal itu jauh dari kenyataan.Divia berjalan memutar playground, ia berencana memesan minuman untuk mereka bertiga sebelum bergabung bersama Nadin dan Damar."Jay? " Divia mengenali sosok lelaki yang sedang merangkul gadis belia di depannya. Jantungnya berdebar kencang. Rasa tak karuan antara amarah dan kecewa.Lelaki itu menoleh dan cukup terkejut mendapati Divia di tempat itu. Ia segera m
Perjalanan berjam-jam lewat darat dan disambung dengan perjalanan udara selama hampir dua jam cukup melelahkan. Kania dan Marlo akhirnya sampai di Ibu Kota. Mereka keluar dari bandara sudah cukup larut malam karena penerbangan yang mereka ambil tadi adalah penerbangan terakhir."Saya antar pulang," kata Marlo kaku. Lelaki itu berjalan di sisinya sambil menggeret travel bag masing-masing."Enggak usah, Pak. Terima kasih. Saya bisa pulang sendiri, kok.""Kania!" Sebuah suara familiar memanggil nama wanita itu. Mereka berdua kompak menoleh.Barry berdiri tegak tak jauh dari mereka dengan kaus turtleneck lengan panjang berwarna cokelat dan celana denim. Rambutnya rapi dipoles styling gel."Ba-Barry?" Kania tampak ragu-ragu. Ia melirik bergantian antara Marlo dan Barry. Wanita itu sempat melihat rahang Marlo yang tiba-tiba mengeras, tapi hanya sekilas. Nyaris tak kentara. Wajah Marlo kembali datar dalam wakt
"Mama enggak ke kantor?" Gadis kecil berseragam sekolah warna kuning itu menggigiti pinggiran roti lapis isi selai yang menjadi sarapannya."Mama libur, Sayang." Wanita muda dengan gaun pendek warna peach itu mengoles sebuah roti tawar lagi dengan selai bluebery."Asiiik, berarti Mama bisa anterin Nadin ke sekolah, yaa!"Kania mengangguk sambil tersenyum melihat Nadin yang berjingkat-jingkat bahagia."Iya, Mama anterin ke sekolah, tapi habiskan dulu sarapannya ya, minum susunya juga!""Iya, Ma. " Gadis itu segera melahap roti lapis kesukaannya, kemudian menghabiskan segelas susu putih yang dibuat oleh Bi Darni.Divia muncul membawa dua tenteng tas penuh di kedua tangannya."Kan, gue berangkat dulu, ya. Lu istirahat, ntar habis anterin Nadin, okay?""Makasih banyak, ya. Vi!" Kania mencium pipi sahabatnya. "Gue banyak berutang sama elu, beneran! Makasih banyak pokoknya udah jagain Nadin selama gu