Share

CEO Baru

            Kania buru-buru membawa semua dokumen yang diperlukan. Divia, sekretaris wakil direktur baru saja menghubunginya lewat telepon. Memberitahukan bahwa Pak Prasetya—bosnya—meminta Kania untuk ke ruangan beliau sebelum rapat besar bersama jajaran direksi dimulai.

            Kania melintasi beberapa blok kubikel berisi karyawan sebelum sampai ke ruangan wakil direktur.

            “Langsung masuk aja, Pak Bos sudah nunggu,” seru Divia.

            “Et...et...et tunggu dulu bentar.” Divia tiba-tiba meminta sahabatnya mundur, mendekat ke mejanya yang persis berada di depan ruangan Pak Prasetya. “Gue enggak sabar nunggu CEO baru datang, ganteng banget!” bisiknya sambil terkikik.

            Kania memelotot, bergidik mendengar suara cekikikan sahabat karibnya. “Gelo, ah, lu!” balas Kania yang segera berlalu masuk ke ruangan Wakil Direktur Utama.

            “Pagi pak ...,” sapa Kania kepada lelaki paruh baya yang duduk di kursi berlengan. Rambutnya yang kelabu di bagian samping menunjukkan umur beliau yang sudah tak muda lagi.

            “Kania ...,” Laki-laki itu mambalas sapaan Kania. “Ayo, duduk!” perintahnya

            Kania segera menarik kursi di seberang meja untuk duduk.

            “Sudah siap untuk presentasi?”

            “Insya Allah, Pak.”

            “Good! Saya percaya kamu bisa menghandle situasi ini.”

Pak Prasetya melihat arloji di pergelangan kanannya. “Setengah jam lagi rapat dimulai, saya mau kasih sekilas info mengenai CEO baru kita yang mungkin kamu belum tahu.”

Kania mengangguk.

“Jadi Erlangga Hadinegoro, chairman kita, almarhum, memiliki seorang putra, Baramukti Hadinegoro, biasa dipanggil Barry, anak satu-satunya, sayangnya.” Pak Prasetya menekankan kata terakhirnya, membuat Kania mengangkat alis, penasaran dengan cerita lebih lanjut.  

“Seandainya dulu Istri Pak Erlangga, bu Anjani tidak mengalami kecelakaan dua puluh tahun yang lalu, tentu akan ada pewaris lain. Kini hanya Barry pewaris tunggal, pemilik kerajaan bisnis Hadinegoro Company.” Pak Prasetya melihat ke arah Kania, saat Kania kembali menganguk, beliau melanjutkkan. “Umur Barry sekarang 26 tahun, hampir seusia denganmu, cukup cerdas, sama sepertimu. Lulus sekolah bisnis di London empat tahun yang lalu dengan predikat prima. Setelah lulus menyandang gelar masternya di sana. Ia tetap tinggal untuk bekerja di sebuah perusahaan besar di Inggris. Ibunyalah yang memaksa untuk pulang ke Indonesia dan bersiap menerima tahta di kerajaan bisnis Hadinegoro Company. Nantinya, kita tidak hanya berhadapan dengan Baramukti Hadinegoro, melainkan juga Clarissa Hadinegoro dan seluruh kerabat mereka. Saya minta kamu berhati-hati. Sebenarnya selama ini saya tidak khawatir karena ada Marlo. Namun, sekarang tahta sudah berlanjut. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas, puluhan ribu karyawan sangat mengandalkan kita untuk menjaga perusahaan tetap stabil.”

     

***

            Ruangan rapat masih hening saat Kania selesai presentasi. Wanita itu hampir tak berani menatap CEO baru yang duduk menghadap lurus ke arahnya, walaupun ia sadar lelaki muda itu terus menerus menatapnya sejak awal presentasi. 

            “Jadi, bagaimana Pak Barry? Apakah cukup jelas presentasinya?” tanya Pak Prasetya memecah keheningan.

            Lelaki muda, yang dipanggil Pak Barry itu bertepuk tangan sendiri, hingga semua orang di ruangan rapat antusias menatap lelaki berjas lengkap itu.

            “Luar biasa!” serunya. “Saya suka dengan penyampaian presentasi kali ini.”

            Kania merasa lega sekali dengan komentar sang CEO. Ia pun memberanikan diri menatap langsung lelaki itu. Kedua mata yang memincing bagaikan elang itu membalas dengan menatap langsung ke arahnya. Lalu pria itu tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Memang benar gosip yang beredar belakangan ini, CEO baru itu amat sangat tampan. Tanpa sadar Kania merona.

            “Kamu harus tahu seluk beluk bisnis kita! Jangan asal bilang bagus saja!” Suara Bariton yang menjengkelkan merusak suasana hati Kania yang sebelumnya berbunga-bunga.

            Barry menatap ke arah kanan, ke tempat pamannya sedang duduk mengawasi dirinya.

            “Oom Marlo, kita harus memberikan apresiasi kepada staff kita yang berprestasi!” sanggah Barry. “Bagus sekali, nona Kania!”

            Marlo tersenyum sinis pada keponakannya yang baru naik tahta itu.

            “Tolong jelaskan kembali posisi stock minyak mentah kita! Sampai kapan kita bisa bertahan di posisi unggul! Saya tidak melihat adanya proyeksi sepuluh tahun ke depan dari presentasi kamu!” Dengan ketus Marlo memberikan pertanyaan kepada Kania.

            Kania sudah menyiapkan diri. Setelah lebih dari lima tahun bekerja dengan komisaris muda Marlo Hadinegoro, ia paham betul apapun yang telah dibuat pasti akan dicari titik lemahnya.

            “Sengaja tidak saya sorot terlebih dahulu tadi, Pak Marlo, karena akan saya bahas labih lanjut dalam topik presentasi saya selanjutnya.” Kania menatap lelaki jangkung berbaju setelan serba hitam itu. “Apabila tidak ada pertanyaan lagi, saya akan lanjut ke topik selanjutnya.”

***

            Dua jam berlalu seperti menaiki roller coaster bagi Kania. Rentetan sanggahan dan pertanyaan tajam dari sang Komisaris terus menerus membombardir dirinya. CEO baru hanya sekali-sekali menanggapi, itupun lebih banyak pembelaan kepada wanita berkemeja biru muda itu. Hingga akhirnya rapat direksi pun berakhir.

            “Good job Kania!” seru Pak Prasetya sambil mendekat ke arah anak buah favoritnya .

            Kini tinggal Kania dan Pak Prasetya di dalam ruang rapat berukuran 10x10 meter itu. Layar proyektor mengerjap lalu mati, seiring Kania membereskan semua peralatan tempurnya tadi.

            “Nanti makan siang saya traktir, sama Divia sekalian.”

            “Wah, siap, Pak,” ujar Kania semringah.

            “Saya jalan dulu, Ya. Ada rapat lagi sama tim audit. Jangan lupa nanti makan siang.” Pak Prasetya meninggalkan Kania sendirian di ruang rapat.

            Kania menyusun semua dokumen yang tadi sempat berserakan di meja. Ia menyusunnya menjadi tumpukan tinggi. Laptop portable segera dimasukkan ke dalam tas jinjing.

            Pintu ruangan rapat terbuka kembali, seseorang masuk dengan terburu-buru.

            “Lho masih ada di sini?” tanya Barry.

            “I-iya Pak. A-ada perlu apa Pak?” tanya Kania gugup, tidak menyangka sang CEO kembali masuk ke ruang rapat.

            “Oooh, enggak apa-apa, lanjutkan saja beres-beresnya, saya cuma mau ambil berkas yang tertinggal.”

            Kania sedikit mengangkat alis. Enggak salah apa ya? Seorang CEO mengambil sendiri berkas  yang tertinggal di ruang rapat, batinnya. Kania membayangkan Marlo yang tertinggal berkas, lelaki itu pasti akan berteriak kepada staff nya atau kepada office boy malang untuk segera mengambilkan berkas di ruang rapat. Sungguh bertolak belakang sifat dua orang kerabat itu.

            “Saya sudah mendengar bahwa kamu adalah staff andalan di perusahaan kita.” Barry tiba-tiba sudah berdiri dekat dengan Kania. “Presentasimu luar biasa, saya suka.”

            Entah kenapa wajah Kania memerah seperti kepiting rebus. Postur lelaki itu yang menjulang tinggi membuat Kania harus sedikit mendongak untuk menatap detail wajah tampan itu. Posisi tubuh Barry yang cukup dekat membuat wanita itu bisa memandang dengan jelas bulu matanya yang tebal dan melentik ke atas, membingkai sepasang mata yang tajam bak mata elang. Hidung lelaki itu lurus dan tinggi dipadu dengan bibir yang sedikit tebal di bagian bawah, sungguh merupakan kombinasi yang sangat pas.

            “Kita belum berkenalan lebih dekat.” Lelaki itu tersenyum, membuat Kania ikut tersenyum juga. “Barry,” ujarnya mengulurkan telapak tangan kanan.

            Kania menjadi salah tingkah, laki-laki di depannya ini sungguh tahu cara membuat wanita bertekuk lutut, bahkan pada pandangan pertama.

            “Kania,” jawabnya singkat, meraih uluran tangan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status