Zhura tahu bahwa keselamatan dan kedamaian rakyat adalah nomor satu, tapi melakukan hal yang sewajarnya dilakukan bukan kejahatan. Meskipun pemuda itu menyembunyikan perasaannya, Zhura melihat ada hasrat terpendam di balik matanya. Fakta bahwa terdapat aturan tertulis yang mengendalikan seluruh kehidupan Azhara, semakin memperkuat alasannya untuk tetap hidup dalam keterbatasan."Menghabiskan sisa hidupmu untuk mencegah sesuatu yang belum tentu terjadi pasti melelahkan." Ini masih pagi, tapi topik berat membuat penat mengganggu diri Zhura."Mau bagaimana lagi, sejak awal aku tidak memiliki pilihan." Mata lautan Azhara menerawang ke arah danau.Gadis bermata hijau lantas kembali bersuara, "Kau sudah hidup ribuan tahun, apa kau pernah berpikir untuk tidak patuh pada aturan itu?"Bergemingnya Azhara adalah tanda jika perasaan buruk sedang ia rasakan."Kalau kau tidak mengatakannya dengan mulutmu sendiri, aku tidak akan percaya. Guru, apa kau bahagia dengan hidupmu sekarang?"Pemuda perak
"Salam, Ayahanda."Pagi ini langit berawan membuat suhu terasa menyengat. Azhara memasuki ruangan terbuka yang terhubung ke halaman samping kediaman ayahnya. Di sana, sosok tua itu menunggunya di sisi meja dengan jubah berlapis yang menghangatkan dirinya."Duduklah." Raja Amarhaz menghela napas, terlihat menampilkan raut lega. "Bagaimana kabarmu? Aku tidak datang di perjamuan waktu itu. Aku jadi merasa bersalah. Sebenarnya saat cuaca sedang baik aku ingin mengunjungimu, tapi tubuhku belum sepenuhnya pulih. Karena itu aku memintamu datang ke sini. Aku ingin mengucapkan sendiri selamat untukmu. Maaf karena sangat terlambat, tapi selamat ulang tahun, Azhara.""Kesehatan Ayah adalah yang terpenting, jangan memikirkan hal yang tidak perlu. Asalkan Ayah sehat, Azhara akan senang." Azhara mengambil sisi lain meja sebagai tempat duduknya. Ditatapnya sendu tubuh tua yang dulu bugar itu, kini dia terlalu pekat dipenuhi aroma obat. Kondisi kesehatan yang tidak baik membuat wajah ayahnya tak sese
Azhara melangkah ringan ke dalam paviliunnya. Ketika ia sampai di ruangan yang menghadap ke luar, ia menangkap seseorang berdiri di atas atap. Tak perlu dilihat dua kali pun ia tahu siapa sosok itu. Namun, Azhara sudah memutuskan untuk menguatkan kembali tekadnya. Azhara akan melupakan semua hal yang sudah ia lalui bersama dengan gadis itu. Jadi, tidak seharusnya dirinya mendekati apa yang membuatnya goyah.Meskipun demikian, Azhara tidak bisa membuang semuanya begitu saja karena ia punya hutang budi. Dengan begitu, ada yang harus ia lakukan lebih dulu sebelum melepaskan perasaannya.Dengan kekuatannya, ia terbang dan mendarat di sisi Zhura. "Sedang apa kau di sini?""Guru, kau sudah kembali?!" tanya Zhura terkejut bukan main."Sedang apa kau?""Aku ... aku baru selesai latihan jadi tubuhku gerah. Kau pasti tahu kalau cuaca hari ini terik, jadi aku mencoba mencari udara segar." Zhura mengakhiri kalimatnya dengan tawa garing."Tidak ada orang yang mencari udara segar di atas atap." Azh
"Berikan tanganmu.""Untuk apa?" Zhura mendekatkan tangan kanannya dengan ragu-ragu.Dengan wajah datar Azhara menjentikkan jarinya. Saat itu juga, sebuah gelang perak berbentuk untaian sayap melingkar di pergelangan tangan Zhura."Kau membawaku terbang ke langit, lalu sekarang kau memberikan gelang indah ini, aku jadi merasa tidak enak," tukas gadis bermata hijau itu tidak dapat menyembunyikan wajah tersipunya.Itu merupakan gelang keramat yang Azhara dapatkan dari kuil suci setelah bersaing dengan jutaan orang. Dengan menggunakan gelang itu, Azhara akan tahu jika Zhura dalam masalah. Gelang itu juga bisa menyembuhkan luka dengan cepat. "Itu akan melindungimu dari berbagai macam bahaya. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk membalas kebaikanmu. Selain aku, tak ada yang bisa melepasnya. Jadi, kau akan selalu aman."Mendengar penuturan itu, Zhura terdiam.Di tengah debaran jantungnya, terselip perasaan menyesakkan. Ia merasa sedih saat menyadari Azhara begitu peduli padanya. Itu karena d
Di bawah pepohonan rindang, Zhura tengah berlutut di samping makam seseorang. Kedua tangannya bertautan, ia sedang berdoa. Di sisi gadis itu, Ranzak pun turut berlutut seraya menutup mata. Sepertinya ia memilih menyembunyikan permohonannya dalam hati. Beberapa saat kemudian mereka mengakhiri doanya."Hai, bagaimana kabarmu? Maaf, ada banyak hal yang terjadi, aku jadi sangat sibuk akhir-akhir ini. Tolong jangan marah, aku berjanji akan datang lebih sering setelah ini," ungkap Ranzak menatap sendu makam adiknya.Di tempatnya, Zhura mendengar ucapan itu dengan perasaan campur aduk. Ia yakin bahwa Ranzak sangat merindukan adiknya, tapi di sisi lain pemuda itu mempunyai tugas sebagai prajurit yang harus bekerja keras demi rakyat."Tidak bisa kukatakan seberapa sulitnya hidup tanpamu. Aku sangat merindukan saat-saat kita bersama, Delia," kata pemuda elf itu ketika air hampir tergenang di matanya.Zhura termangut. Ranzak pernah bilang bahwa adiknya meninggal saat menjalani ritual pengorbanan
"Itu petanya. Aku sudah menyertakan jalur sungai dan darat, lengkap dengan penandanya."Zhura menyerahkan sebuah kertas pada Valea, kemudian membuka jendela agar udara segar masuk.Dengan kening berkerut, gadis merah itu mengamati lukisan Zhura. "Bagaimana bisa kau mendapatkan gambaran sedetail ini?" Terduduk di atas ranjangnya, ia masih menggunakan baju tidur karena baru bangun ketika Zhura datang membawa peta pelarian mereka."Kau tidak perlu tahu. Aku sudah memberitahu Inara soal peta itu, selanjutnya aku serahkan padamu." Zhura hendak keluar dari kamar itu tapi tertahan karena Valea menangkap sebelah lengannya.Ia menatap gelang Zhura dengan pandangan lebar. "Gelang ini, siapa yang memberikannya padamu?""Ini hanya aksesoris biasa dari Azhara." Zhura menarik tangannya menjauh. "Kenapa kau begitu terkejut?"Valea tahu itu bukan gelang biasa. Gelang itu adalah gelang Arbutus. Sebuah azimat suci kuil Azalea di selatan Silvermist. Hanya satu banding sepuluh juta orang yang bisa menda
Sesosok bertudung membungkuk pada orang di depannya. Seperti biasa, ruangan yang gelap dan sepi itu masih saja menjadi tempat rahasia mereka."Tuan, rencana pendekatan terhadap target sukses. Setelah ini kita bisa langsung mengeksekusinya.""Kerja bagus. Kau tidak pernah mengecewakanku. Demi mendapatkan kepercayaan gadis itu kau bahkan berpura-pura menjadi temannya," ujar si tuan mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai."Selama itu berarti saya bisa membantu Anda, saya tidak keberatan terus berpura-pura berteman dengan target kita," jawab sosok bertudung itu. Ia lalu teringat sesuatu, "Ada gelang Arbutus di tangan gadis itu. Sepertinya kita tertinggal satu langkah dari Azhara.""Gelang Arbutus?" Si tuan tercenung, ia tidak menyangka bahwa Putera Mahkota itu berani bertindak sejauh ini. "Karena mereka sudah terikat, kita tidak bisa langsung membunuhnya. Yang harus kita lakukan adalah memisahkan mereka. Tidak masalah, lagipula kita mempunyai sekutu yang menjalankan rencana ini dengan su
"Dia menyudutkan dirimu, apa kau punya sangkalan? Tidakkah kau ingin membela diri?"Bagi Zhura suara Carmina sudah terdengar seperti gong yang dipukul berulang kali, dan itu baru bergema saat Tuan Minra mengajukan pertanyaan tersebut.Azhara keluar dari perenungannya, ia berjalan ke sisi Zhura. "Mohon Ayahanda untuk menyelidiki ini sekali lagi. Aku yakin hal yang dituduhkan kepadanya adalah kesalahpahaman. Gadis ini selalu berperangai baik dan mematuhi peraturan. Dia tidak mungkin melakukan tindakan ini," jelasnya pada Raja Amarhaz."Situasi istana sedang kacau, banyak hal terjadi di luar kendali. Aku akan menganggap ini sebagai bentuk kelalaianmu sebagai gurunya. Semuanya bisa kembali seperti semula hanya jika Lailla mengakui bahwa ia tidak memiliki obsesi itu." Raja Amarhaz mengambil jalan tengah.Carmina tidak puas dengan jawabannya, ia lantas kembali berujar, "Kenapa Yang Mulia Azhara sangat yakin kalau Lailla tidak bersalah? Padahal semua bukti mengarah padanya. Apakah jangan-jan