Share

Aku Bukan Pelacur (2)

Si*l! Bod*h! Sudah pernah kukatakan! Cari wanita yang liar! Bin*l! Banyak pengalaman! Aku dan kawan-kawan ingin dipuaskan! Bukan memuaskan tembok! Berapa banyak aku keluar duit? Kau beri aku wanita macam ini?!" Pria berwajah rupawan bertubuh tegap—yang tepat duduk berseberangan berbatas meja—di hadapanku tampak meradang melalui ponsel hitam. Memaki seseorang di seberang sana. 

Telunjuknya mengarah padaku saat ia mengucapkan, 'Wanita ini!'. Sontak, aku pun tersentak dibuatnya.

"Arrggghhh!" Ia pun membanting ponsel dalam genggaman sehingga benda itu terbelah menjadi beberapa kepingan.

Aku melebarkan pandangan. Tak memahami apa yang dikatakannya. 

"Kau!" tukasnya.

"I–iya, Tuan?" Aku terbata.

"Siapa namamu?"

Ia masih bertanya, padahal sudah tertera jelas namaku di map cokelat yang tadi kuserahkan padanya. 

"Emhhh ... ya, Zeeta!" Kembali ia membuka map cokelat dalam genggamannya.

"I–iya, benar, Tuan!" Entah mengapa aku begitu takut saat menatap kedua mata pria itu. Seakan ia hendak menerkamku hidup-hidup.

"Kau paham, bukan, maksud kedatanganmu ke sini?" tanyanya lagi.

"I–iya, Tuan. Saya sudah dua tahun pengalaman di bidang ini. Saya bisa bekerja maksimal dan akan memuaskan Tuan beserta seluruh rekan-rekan. Tuan tidak usah ragu." Aku berpikir positif.

"Benarkah?" Tatapan pria itu menyelidik, lalu sedikit memajukan badan dengan kedua lengan bertumpu di atas paha. Terlihat sarkastik. Seolah meremehkan kemampuanku. Ia menyorotiku mulai ujung kepala hingga ujung kaki. "Hemmhhh!" gumamnya pelan.

"Iya, Tuan. Saya bersungguh-sungguh." Aku memantapkan diri. Harus tampak meyakinkan ketika ingin diterima bekerja di sebuah perusahaan besar.

"Baiklah! Sebaiknya kau bersiap!" Ia melemparkan sebuah tas dengan merk terkenal di atasnya. Aku masih tak mengerti.

"A–apa ini, Tuan?" 

"Pakailah cepat! Masuk ke kamar lantai atas nomer dua dari kanan. Setelah selesai, turunlah ke mari. Jangan sampai aku yang menjemputmu di atas. Atau kau akan menyesal!" ucapnya penuh penekanan.

"Ke–ke kamar atas? Untuk apa, Tuan?" 

"Ganti pakaianmu!" sentaknya. "Arrggghhh! Si*l! Bagaimana bisa ia mengirim wanita seperti ini?! Bisa kacau semuanya!" lanjutnya kemudian.

Baiklah, aku tak perlu banyak tanya kali ini. Mungkin dengan berpakaian seperti yang dimaunya, aku bisa dengan mudah mendapat apa yang kuharap.

Bergegas aku memasuki kamar yang ditunjuknya. Rumah ini tampak begitu megah. Mirip rumah di dalam film yang sering aku tonton di layar kaca.

Perlahan, aku membuka tas besar dengan merk terkenal.

Sebelum menghamparkan pakaian, kulirik bandrol harga. Sontak, mataku membelalak sempurna.

Fantastis ....

Gajiku berbulan-bulan pun di tempat kerja sebelumnya tidak akan mampu membelinya. Luar biasa ....

Perlahan, aku menghamparkan pakaian itu di depan mata.

Sontak, kembali mataku membelalak sempurna.

"A–apa? Pakaian mini seperti ini?! Pria itu menyuruhku memakai pakaian kekurangan bahan seperti ini?"

Buru-buru kembali aku memasukkan pakaian kekurangan bahan ini ke dalam tas. Lalu, aku melangkah keluar kamar dan turun menyusuri tangga.

Apa-apaan ini?! Apa saja yang kau lakukan di atas?" sentak pria yang tengah berkacak pinggang di depanku.

"Ma–maaf, Tuan. Mungkin ini salah model dan ukuran."

"Hah?! Salah ukuran?!" Pria tersebut menaikkan alis sebelah.

"Sa–saya tidak biasa memakai pakaian seperti ini, Tuan." 

"Damn!" Pria itu mengacak rambut gusar. "Hey! Kau! Zota!"

"Zeeta, Tuan." Aku membenarkan.

"Arrrggghhh! Whatever!" Ia perlahan mendekat. Kini hanya berdiri sejengkal di hadapanku. 

Aku mencoba untuk mundur. Entah mahluk macam apa yang ada di hadapanku ini? 

"Kau pernah berhubungan dengan pria sebelumnya?" Ia sedikit menunduk mensejajari tubuh kecilku.

Seketika, aku layangkan tamparan keras pada rahang kokohnya.

"A–Anda! Hati-hati, ya, Tuan! Jaga ucapannya!" sentakku kemudian.

"B*tch! Kau menamparku?!" 

"Ti–tidak pantas Anda bertanya seperti itu pada saya, Tuan. Kalau begitu, saya mau pulang saja. Saya tidak jadi melamar pekerjaan kalau sikap Tuan seperti ini." Tanganku merasa dingin. 

"Melamar pekerjaan?!" Seketika keningnya mengernyit.

"Permisi, Tuan. Saya pamit pulang." Buru-buru aku bersiap melangkah hendak keluar dari rumah berpenghuni iblis berwajah Malaikat ini. 

"Pulang?!" Sekali lagi ia menatap heran.

"I–iya."

Rasanya percuma menghabiskan waktu menunggu di sini. Mulai pukul 7 malam lewat duduk sendiri di ruang tamu sehingga pukul 9 pria itu baru datang–ternyata ia baru saja dari luar. Sedang Rena—wanita yang menjadi penyalur itu—setelah mengantarku, ia buru-buru pergi.

Jujur, aku tidak tahu harus ke mana. Wanita itu pun pergi membawa ponselku.

"Aku sudah membayarmu mahal! Tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja!" tukasnya lantang.

"Ba–bayar? Bayar apa, Tuan? I–ini baru pertama kali kita bertemu. Belum juga saya bekerja." Sungguh aku tak mengerti dengan apa yang dikatakannya.

"Etannn! Baj*ngan!"

Pria itu menyerukan nama seseorang. Tepatnya merutuk.

"Permisi, Tuan. Saya mau pulang." Aku hendak melewatinya.

Namun, tubuhku bagai disentak. Tiba-tiba pria itu mengangkat tubuhku begitu saja di atas bahunya.

"A–anda mau apa, Tuan!? Lepaskan saya!" Aku mencoba memukul punggungnya kencang. Namun, tak diindahkan.

Pria itu membawaku menuju kamar di lantai atas. Berbeda dengan kamar yang kumasuki tadi. Lalu ia menghempaskan tubuhku dengan kasar di atas ranjang.

"Kau tunggu di sini! Tidak akan kubiarkan kau lepas begitu saja! Rugi aku membayar untuk tubuhmu. Tapi, setidaknya kau bisa memuaskan kawan-kawanku!" Ia pun berlalu hendak keluar dari kamar.

"Ti–tidak, Tuan! Bukan ini niat saya datang kemari! Sa–saya datang kemari bukan untuk menjual diri! Tuaannn! Tolong!! Jangan seperti ini! Saya wanita baik-baik, Tuan! Tolong, Tuan!" Aku menggedor pintu penuh iba. Sungguh pria macam apa dia? Mengapa tidak berperasaan seperti itu.

Aku bukan pelacur ....

Tubuhku perlahan merusut di pintu. Lunglai tak berdaya. Ada apa ini? Aku sungguh tidak mengerti. Bergetar saat mendengar ucapan pria itu tadi. 'Memuaskan kawan-kawanku.' Membayangkan saja seakan sudah membuat denyut nadiku terhenti.

Membayar mahal atas tubuhku, ucapnya. Membayar pada siapa? 

 

Aku bukan pelacur ....

 

Bukan pelacur ....

 

Ke mana wanita bernama Rena itu? Ia datang dari kota dengan menawariku pekerjaan di sebuah perusahaan property di kota ini. Aku pikir dia wanita baik-baik. 

 

Ya Allah! Tolong aku!

 

Mengapa aku bisa terjebak dalam situasi mencekam seperti ini?

 

____

 

Bersambung ....

 

. .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status