Si*l! Bod*h! Sudah pernah kukatakan! Cari wanita yang liar! Bin*l! Banyak pengalaman! Aku dan kawan-kawan ingin dipuaskan! Bukan memuaskan tembok! Berapa banyak aku keluar duit? Kau beri aku wanita macam ini?!" Pria berwajah rupawan bertubuh tegap—yang tepat duduk berseberangan berbatas meja—di hadapanku tampak meradang melalui ponsel hitam. Memaki seseorang di seberang sana.
Telunjuknya mengarah padaku saat ia mengucapkan, 'Wanita ini!'. Sontak, aku pun tersentak dibuatnya."Arrggghhh!" Ia pun membanting ponsel dalam genggaman sehingga benda itu terbelah menjadi beberapa kepingan.Aku melebarkan pandangan. Tak memahami apa yang dikatakannya. "Kau!" tukasnya."I–iya, Tuan?" Aku terbata."Siapa namamu?"Ia masih bertanya, padahal sudah tertera jelas namaku di map cokelat yang tadi kuserahkan padanya. "Emhhh ... ya, Zeeta!" Kembali ia membuka map cokelat dalam genggamannya."I–iya, benar, Tuan!" Entah mengapa aku begitu takut saat menatap kedua mata pria itu. Seakan ia hendak menerkamku hidup-hidup."Kau paham, bukan, maksud kedatanganmu ke sini?" tanyanya lagi."I–iya, Tuan. Saya sudah dua tahun pengalaman di bidang ini. Saya bisa bekerja maksimal dan akan memuaskan Tuan beserta seluruh rekan-rekan. Tuan tidak usah ragu." Aku berpikir positif."Benarkah?" Tatapan pria itu menyelidik, lalu sedikit memajukan badan dengan kedua lengan bertumpu di atas paha. Terlihat sarkastik. Seolah meremehkan kemampuanku. Ia menyorotiku mulai ujung kepala hingga ujung kaki. "Hemmhhh!" gumamnya pelan."Iya, Tuan. Saya bersungguh-sungguh." Aku memantapkan diri. Harus tampak meyakinkan ketika ingin diterima bekerja di sebuah perusahaan besar."Baiklah! Sebaiknya kau bersiap!" Ia melemparkan sebuah tas dengan merk terkenal di atasnya. Aku masih tak mengerti."A–apa ini, Tuan?" "Pakailah cepat! Masuk ke kamar lantai atas nomer dua dari kanan. Setelah selesai, turunlah ke mari. Jangan sampai aku yang menjemputmu di atas. Atau kau akan menyesal!" ucapnya penuh penekanan."Ke–ke kamar atas? Untuk apa, Tuan?" "Ganti pakaianmu!" sentaknya. "Arrggghhh! Si*l! Bagaimana bisa ia mengirim wanita seperti ini?! Bisa kacau semuanya!" lanjutnya kemudian.Baiklah, aku tak perlu banyak tanya kali ini. Mungkin dengan berpakaian seperti yang dimaunya, aku bisa dengan mudah mendapat apa yang kuharap.Bergegas aku memasuki kamar yang ditunjuknya. Rumah ini tampak begitu megah. Mirip rumah di dalam film yang sering aku tonton di layar kaca.Perlahan, aku membuka tas besar dengan merk terkenal.Sebelum menghamparkan pakaian, kulirik bandrol harga. Sontak, mataku membelalak sempurna.Fantastis ....Gajiku berbulan-bulan pun di tempat kerja sebelumnya tidak akan mampu membelinya. Luar biasa ....Perlahan, aku menghamparkan pakaian itu di depan mata.Sontak, kembali mataku membelalak sempurna."A–apa? Pakaian mini seperti ini?! Pria itu menyuruhku memakai pakaian kekurangan bahan seperti ini?"Buru-buru kembali aku memasukkan pakaian kekurangan bahan ini ke dalam tas. Lalu, aku melangkah keluar kamar dan turun menyusuri tangga.Apa-apaan ini?! Apa saja yang kau lakukan di atas?" sentak pria yang tengah berkacak pinggang di depanku."Ma–maaf, Tuan. Mungkin ini salah model dan ukuran.""Hah?! Salah ukuran?!" Pria tersebut menaikkan alis sebelah."Sa–saya tidak biasa memakai pakaian seperti ini, Tuan." "Damn!" Pria itu mengacak rambut gusar. "Hey! Kau! Zota!""Zeeta, Tuan." Aku membenarkan."Arrrggghhh! Whatever!" Ia perlahan mendekat. Kini hanya berdiri sejengkal di hadapanku. Aku mencoba untuk mundur. Entah mahluk macam apa yang ada di hadapanku ini? "Kau pernah berhubungan dengan pria sebelumnya?" Ia sedikit menunduk mensejajari tubuh kecilku.Seketika, aku layangkan tamparan keras pada rahang kokohnya."A–Anda! Hati-hati, ya, Tuan! Jaga ucapannya!" sentakku kemudian."B*tch! Kau menamparku?!" "Ti–tidak pantas Anda bertanya seperti itu pada saya, Tuan. Kalau begitu, saya mau pulang saja. Saya tidak jadi melamar pekerjaan kalau sikap Tuan seperti ini." Tanganku merasa dingin. "Melamar pekerjaan?!" Seketika keningnya mengernyit."Permisi, Tuan. Saya pamit pulang." Buru-buru aku bersiap melangkah hendak keluar dari rumah berpenghuni iblis berwajah Malaikat ini. "Pulang?!" Sekali lagi ia menatap heran."I–iya."Rasanya percuma menghabiskan waktu menunggu di sini. Mulai pukul 7 malam lewat duduk sendiri di ruang tamu sehingga pukul 9 pria itu baru datang–ternyata ia baru saja dari luar. Sedang Rena—wanita yang menjadi penyalur itu—setelah mengantarku, ia buru-buru pergi.Jujur, aku tidak tahu harus ke mana. Wanita itu pun pergi membawa ponselku."Aku sudah membayarmu mahal! Tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja!" tukasnya lantang."Ba–bayar? Bayar apa, Tuan? I–ini baru pertama kali kita bertemu. Belum juga saya bekerja." Sungguh aku tak mengerti dengan apa yang dikatakannya."Etannn! Baj*ngan!"Pria itu menyerukan nama seseorang. Tepatnya merutuk."Permisi, Tuan. Saya mau pulang." Aku hendak melewatinya.Namun, tubuhku bagai disentak. Tiba-tiba pria itu mengangkat tubuhku begitu saja di atas bahunya."A–anda mau apa, Tuan!? Lepaskan saya!" Aku mencoba memukul punggungnya kencang. Namun, tak diindahkan.Pria itu membawaku menuju kamar di lantai atas. Berbeda dengan kamar yang kumasuki tadi. Lalu ia menghempaskan tubuhku dengan kasar di atas ranjang."Kau tunggu di sini! Tidak akan kubiarkan kau lepas begitu saja! Rugi aku membayar untuk tubuhmu. Tapi, setidaknya kau bisa memuaskan kawan-kawanku!" Ia pun berlalu hendak keluar dari kamar."Ti–tidak, Tuan! Bukan ini niat saya datang kemari! Sa–saya datang kemari bukan untuk menjual diri! Tuaannn! Tolong!! Jangan seperti ini! Saya wanita baik-baik, Tuan! Tolong, Tuan!" Aku menggedor pintu penuh iba. Sungguh pria macam apa dia? Mengapa tidak berperasaan seperti itu.Aku bukan pelacur ....Tubuhku perlahan merusut di pintu. Lunglai tak berdaya. Ada apa ini? Aku sungguh tidak mengerti. Bergetar saat mendengar ucapan pria itu tadi. 'Memuaskan kawan-kawanku.' Membayangkan saja seakan sudah membuat denyut nadiku terhenti.Membayar mahal atas tubuhku, ucapnya. Membayar pada siapa? Aku bukan pelacur .... Bukan pelacur .... Ke mana wanita bernama Rena itu? Ia datang dari kota dengan menawariku pekerjaan di sebuah perusahaan property di kota ini. Aku pikir dia wanita baik-baik. Ya Allah! Tolong aku! Mengapa aku bisa terjebak dalam situasi mencekam seperti ini? ____ Bersambung ..... .
"Si*l!" Rezvan merutuk kesal. "Seorang gadis lugu! Bisa mati dia! Aku harus menyembunyikannya dari mereka." "Bagusnya untukku saja," tukasnya lagi seraya menyeringai. "Sudah kubayar mahal juga!" "Arrggghhh! Sial! Ponselku!" Pria itu memungut kartu perdana dari ponsel yang terpecah menjadi beberapa keping bagian. Rezvan Oxley—pria tampan rupawan bertubuh tinggi, bermata elang, beriris kecokelatan tajam—adalah seorang Owner sekaligus CEO dari perusahaan OXLEY. Sebuah perusahaan besar dan ternama yang bergerak di bidang properti. Saat ini pria itu mengolah beberapa perumahan, villa, dan apartement di beberapa titik wilayah. Sebagai pengusaha sukses, ia sering berlaku sesuka hati. Kehidupan malam ibarat candu memabukkan yang selalu melekat dalam setiap inci kehidupan pria itu, termasuk salah satunya menghabiskan uang demi bermain wanita. Bahkan tak segan merogoh kocek besar demi memikat wanita yang menjadi
Menyadari bahaya yang akan dihadapi, sontak, Zeeta pun memekik, "Aahhh ...."Namun dengan cepat pria itu menutup mulut Zeeta. "Jangan berteriak! Atau mereka semua akan mendengar!" tekannya."Akan kubuka, tapi jangan berteriak! Aku tidak akan menyakitimu. Mengerti?!" tukas pria itu lagi.Zeeta pun hanya mengangguk seraya terisak pelan."Siapa kau?" tanya pria itu."Tu–an! Se–selamatkan saya, Tuan! Sa–saya tidak mau berada di sini. Sa–saya takut!" Buliran bening kian menderas dari kedua benik mata Zeeta."Sssttt!" suruh pria itu lagi seraya menoleh ke arah pintu. Ia pun bangkit, lalu mengunci pintu kamar mandi dari dalam.Melihat pria itu mengunci pintu kamar mandi, Zeeta membelalakkan mata. Semakin dirapatkan rengkuhan pada kedua lututnya."Ja–jangan, Tuan! Sa–saya wanita baik-baik," Wanita itu sema
**Athikah_Bauzier***Zeeta membeliakkan mata menatap ketiga pria yang menyorot tubuhnya tanpa ampun. Semakin direkatkan rengkuhan pada kedua lututnya."Hai, cantik! Siapa namamu? Jangan takut. Kami akan memperlakukanmu dengan lembut." Salah seorang pria mengenakan kaus biru terpana menatap Zeeta yang semakin meringkuk."Ma–maafkan saya, Tuan. Sa–saya mau pulang.""Menyingkir kalian berdua! Wajah mesum kalian membuatnya takut!" Pria bersweater putih mendorong tubuh kedua rekannya seraya menyeringai. Lalu, mengulurkan tangan pada wanita di hadapannya. "Kemarilah, Cantik! Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya terdengar lembut saat menyorot Zeeta.Zeeta hanya menggeleng."Tidak perlu takut. Baiklah! Aku tidak akan menyentuhmu. Kau bisa keluar sendiri," lanjut pria itu lagi.Zeeta pun mengangguk."Ayo, keluarlah," tandas pria
Seketika, tangan Zeeta menarik diri dari lengan Erga. Kembali ia semakin merekatkan selimut yang membalut tubuhnya."Sekarang kau mulai percaya dengan ucapanku juga, heh? Hah! Dasar polos sekali wanita ini! Rasanya ingin aku ... arrghhh!" cecar Rezvan."Sudahlah, jangan dengarkan dia!" ujar Erga menatap Zeeta yang masih meringkuk di balik selimut.Erga Alterio Savian. Pria tampan bermata sendu ini adalah sepupu dari Rezvan Malven Oxley. Ia juga merupakan CEO dari perusahaan ternama SAVIAN yang juga sama bergerak dalam bidang property. Sikap lembut dan bijak dalam menghadapi sesuatu membuatnya banyak disukai bawahan maupun relasi bisnis. Namun, tak jauh beda dari kehidupan Rezvan—demi menghilangkan penat usai beraktivitas—kehidupan dunia malam juga menjadi candu baginya.Kepolosan Zeeta tak mampu membedakan mana pria yang benar-benar tulus dan mana yang hanya modus. Ia hanya mampu menilai dari a
"Amhh ... itu .... " Erga menghentikan ucapan lalu menatap Rezvan. "Kalau begitu saya siap-siap dulu, Tuan." Zeeta pun membawa tas di tangan lalu bangkit hendak mengganti pakaian. "Iya, benar begitu! Tidak usahlah berterimakasih. Aku sudah biasa." Rezvan menyulut rokok di tangan. "Te–terima kasih, Tuan, atas pakaiannya," ucap Zeeta pada Rezvan, lalu kembali menundukkan pandangan. "Telat!" sahut Rezvan. "Ini ganti di mana, Tuan?" tanya Zeeta. "Ganti di depan kami berdua saja!" seloroh Rezvan. "Kau ini!" Ia pun menggeleng. "Ti–tidak bisa begitu, Tuan." Kedua bola mata Zeeta membulat sempurna. "Argghhh! Kamar ataslah!" Rezvan tampak meradang. "Apa aku saja ya
"Kau." "Iya, Tuan?" Zeeta menundukkan pandangan. "Untuk mengganti semua uangku yang hilang, kau harus melayaniku sampai batas waktu yang kutentukan," ucap Rezvan. "Me–melayani?" Wajah Zeeta tampak memucat. "Me–melayani bagaimana, Tuan? Sa–saya tidak mau melayani Tuan di tempat tidur. Kita bukan mahram, Tuan. Itu dosa." "Aarrgghhh! Ceramah lagi! Simpan saja ceramahmu!" Rezvan menggeleng seraya berkacak pinggang. "Ma–maaf!" "Kau punya keahlian apa?" "Saya bisa masak, mencuci, menyapu, dan melakukan apa pun di rumah ini untuk Tuan. Ta–tapi ... jangan suruh saya melayani Tuan di tempat tidur. Saya tidak mau, Tuan," tutur Zeeta tanpa basa-basi. "Melayani di tempat tidur saja tidak bisa.
"Baik, Tuan. Anda ke mari untuk mencari Tuan Rezvan, kah? Sayangnya Tuan Rezvan belum pulang ini." "Aku datang untuk menemuimu." "Sa–saya ...?" Zeeta menyentuh tepat pada bagian dada. "Yup! Boleh aku masuk?" "Ta–tapi ... sebelum saya mendapat izin dari Tuan Rezvan, saya tidak bisa membiarkan tamu pria masuk, Tuan." "Kau jangan lupa, kami sudah terbiasa menghabiskan waktu di sini bersama," tukas Erga. "Oh, iya ... tapi .... " "Kau ini berbicara seakan nyonya dari pemilik rumah," canda Erga kemudian. "Bukan begitu ...." Erga pun melangkah masuk. "Hemh ... aku mencium aroma masakan. Apa kau sedang memasak?"
***Athikah_Bauzier*** Semenjak kehadiran Zeeta di rumah Rezvan, tak seperti biasanya Erga menjadi lebih sering mengunjungi rumah Rezvan. Tak ayal, kedatangan Erga membuat Zeeta merasa aman. Terlebih lagi kedatangan pria itu dapat mengontrol sikap Rezvan yang seringkalinya membuat Zeeta kehabisan kata-kata dan mengurut dada. "Malam ini kau di kamar saja," perintah Rezvan. "Kawan-kawanku akan datang." "Tuan Erga juga datangkah, Tuan?" "Hei ... ada apa kau ini? Berlebihan sekali!" "Ti–tidak apa-apa, Tuan." "Jangan bermain hati, kalau tak mau terluka. Aku tidak mau tanggung jawab kalau kau bunuh diri karena patah hati," ucap Rezvan lagi. "Maksud Tuan apa?" "Ar