Share

The Dark Side (Perawan 1 Miliar)
The Dark Side (Perawan 1 Miliar)
Penulis: Athikah Bauzier Art

Aku Bukan Pelacur (Part 1)

Dinikahi seorang pria buaya darat adalah hal yang tak pernah sekali pun terlintas dalam pikiran. Bahkan, sebutan buaya darat masih terlalu baik untuknya. Mungkin, sebutan yang pantas disandangnya adalah Mafia Kelamin Terkut*k Berdarah Dingin. 

 

Namun, beginilah nyatanya ....

 

Berawal mendapat iming tawaran pekerjaan di kota, justru malah memosisikan diriku nyaris menjadi santapan para buaya darat?

 

Terjebak di dalam sebuah kamar dengan 5 orang pria asing pencari kepuasan, membuatku sempat kehilangan harapan. Demi menghilangkan penat usai bekerja, mereka yang berkuasa menghamburkan uang demi mereguk kepuasan walau dengan cara maksiat.

 

Dan, kini ... pria yang menikahiku adalah satu di antara mereka.

 

Pernikahan yang—dengan penuh kesadaran— tak kuinginkan ini pun dilaksakan di sebuah gedung megah berbintang. Tamu mulai kalangan menengah ke atas berdatangan dengan beraneka rupa gaun pesta indah, pria berjas. Sebagai wanita dari menengah ke bawah, hal seperti ini membuatku kikuk.

 

Tak jauh di sana, sosok pria yang pernah sempat membuat hatiku terpaut padanya, bersama beberapa kawanan tengah menikmati hidangan yang disajikan. Sesekali pandangan pria itu menyorot sendu ke arahku. Tatapan itu masih sama, membuatku lena.

Sungguh aneh memang, mengingat, ia juga merupakan salah satu dari mereka—5 orang pria pencari kepuasan. 

 

Namun, bukankah kadang cinta itu memang tak ada logika?

 

Aku mencoba menekan perasaan. Menahan agar tak terisak. Walaupun hari ini adalah pernikahanku, tapi aku seakan mati rasa. 

 

Tak lama, Alisha mendekat dengan gaun indah bertabur Swarovski, menampakkan punggung putihnya hingga mencapai atas panggul. Belahan dadanya tampak sengaja dibiarkan terbuka mencuat terlihat indah bagi mereka yang menatap penuh nafsu. Namun walaupun begitu, sepertinya ia menjadi idola pria seperti Tuan Erga. 

 

Berdiri beberapa kawanan pria di hadapan kami saat hendak menjabat tangan untuk mengucapkan selamat.

 

"Selamat menempuh hidup baru, Boss! Semoga bahagia," ucap salah seorang pria saat menjabat tangan Tuan Rezvan.

 

"Wah, Boss! Ruang gerak kita semakin terbatas setelah ini," seru yang lain.

 

"Boss, ada sesuatu dari kami!" Seorang pria lain menyerahkan sesuatu pada Tuan Rezvan. Berbungkus warna-warni beraneka rupa dan merk. Saat menyadari apa benda itu, seketika aku memekik pelan dengan kedua tangan menutup mulut. Dari sudut mata dapat kutangkap Tuan Rezvan menoleh ke arahku. Andai bukan karena riasan yang menutupi, mungkin mereka semua memahami perubahan rona merah di wajahku.

 

"Sssttt! Boss sudah menikah, Bro. Tidak perlu pakai seperti ini. Hajar aja, ya, Boss! Hahaha ...!" gelak tawa pria di sebelahnya disusul yang lain membahana di sekitar kami.

 

Dasar pria! Mereka selalu begitu!

 

Dan, seandainya aku tak menyadari posisiku dengan gaun putih indah, megah bertabur Swarvoski, mungkin sudah aku hajar mereka semua saat ini juga menggunakan gagang sapu.

 

"Selamat, Van." Masih dalam keadaan tertegun seraya menundukkan pandangan, sebuah suara yang tak asing memberi ucapan pada Tuan Rezvan, sedang beberapa kawanan lain yang tadinya tak ada akhlaq—seusai menjalani sesi pemotretan—sudah mulai menjauh.

 

"Selamat, Zeeta. Semoga kau bisa menemukan kebahagiaanmu," ucap pria di hadapanku saat ini. Sedang di sebelahnya berdiri sosok Alisha yang tampak cantik memesona. 

 

Seketika, dadaku terasa sesak. Entah apa yang aku pikirkan saat ini. Ucapan selamat itu terdengar begitu menusuk. Berdiri di antara keambiguan harus mengucap amin atau yang lainnya. 

 

Aku menatap pada Tuan Rezvan. Pria yang sudah menjadi suamiku itu menatap bergantian padaku dan Tuan Erga. 

 

"Tidak perlu khawatir, aku akan membahagiakannya," tukas Tuan Rezvan.

 

Membahagiakan? Benarkah? Benarkah itu? Membahagiakan dalam hal apa? Materi? Batin? Atau yang lainnya? Namun, apa pun itu dari lubuk hati terdalam, aku selalu mengucap syukur karena bagaimanapun dengan perasaan sadar dan sesadar-sadarnya bahwa pria itulah malaikat penolongku yang sesungguhnya. Bukan yang lain.

 

Tuan Rezvan ... adalah malaikat penolongku yang sesungguhnya.

 

Bagaimana caraku mengucap terima kasih padanya?

 

Entah mengapa suhu udara terasa begitu pengap. Panas di hidung membuatku terasa sesak. Aku menoleh pada Tuan Rezvan. "Tu–tuan. Kepala saya ...."

 

"Ada apa denganmu?" Seketika, Tuan Rezvan menggenggam tanganku. Sedang tangan sebelahnya lagi melingkar pada pinggangku. 

 

Lututku terasa lemas, tubuhku ambruk seketika. Namun, aku masih tetap tersadar saat beberapa orang berkerumun mendekat padaku. Mungkin aku hanya kelelahan atau ... dalam keadaan tertekan. Aku tak dapat menafsirkan perasaanku.

 

"Zeeta." Aku tangkap dari sudut mata Tuan Erga menunduk dan hendak menyentuhku. Namun, dengan sadar aku mengelak darinya bahkan lebih mendekatkan diri pada Tuan Rezvan. Lalu, perlahan Tuan Rezvan mengangkat tubuhku.

 

Aku sadar sesadar sadarnya saat berada dalam dekapan Tuan Rezvan. Namun, itu hanya sesaat. Setelahnya, pandangan mulai memburam, dan aku tak mengingat apa pun.

 

***Athikah_Bauzier***

 

Aku mengedarkan pandangan pada sekitar seraya mengucek kedua mata pelan. Kini aku berada di dalam sebuah kamar yang tak asing di indera penglihatan. 

 

Kamar ini ....

 

Kamar Tuan Rezvan ....

 

Bagaimana bisa aku berada di kamar ini?

 

Sontak, aku pun beringsut ke bibir ranjang hendak keluar dari kamar ini. Namun, saat hendak meraih gagang pintu, langkahku terhenti sesaat setelah menyimak sekelebat bayang yang mengikuti setiap gerak tubuhku.

 

Aku menatap lekat pada sosok wanita di depan sana. Berdiri cantik dengan riasan make up dan berbalut kilauan gaun putih yang melekat di badan. Ya, saat ini ia telah sah menjadi isteri dari Tuan Rezvan.

 

Menyadari kenyataan yang sudah terjadi di depan mata, kini aku mulai bingung hendak berbuat apa. 

 

Aku dikejutkan oleh derit pintu kamar yang terbuka. Terlihat sosok bertubuh tegap menyembul dari balik pintu. Kedua pandangan mata kami bertautan melalui cermin. Perlahan dengan santai, ia pun melangkah mendekat ke arahku. Sontak, aku membalikkan badan.

 

"Tu–tuan! Sa–saya .... " Entah mengapa aku begitu takut saat mendapati pria itu semakin mendekat. 

 

"Kenapa?" tanyanya santai.

 

"Sa–saya mau ke kamar," timpalku.

 

"Ke kamar?" Pria itu berdiri hanya berjarak beberapa jengkal di depanku. Terlihat kini ia menggeleng-gelengkan kepala sementara tangan kanan berusaha melonggarkan ikatan dasi yang dikenakannya.

 

"Tu–tuan, saya mohon jangan mendekat!" Aku perlahan mencoba menjauh saat pria itu berusaha semakin mendekat.

 

"Jangan mendekat?!" 

 

Sontak ia mengernyit, lalu terkekeh pelan. "Kau menolak suamimu untuk mendekat padamu?"

 

"Sa–saya .... "

 

"Keluarkan dalilmu saat ini juga. Aku ingin mendengar!" suruhnya kemudian, lalu menghenyakkan tubuh di bibir ranjang.

 

"Kau pernah mengatakan, kalau hanya sekadar berhubungan, hewan pun juga bisa, bukan? Kau tidak pernah mau melayaniku hanya karena kita bukan pasangan yang halal. Saat ini ... kau sudah halal bagiku, bukan? Jadi, bukankah kini aku berhak atasmu? Aku tunggu dalil apa lagi yang akan kau keluarlan atas penolakanmu kali ini, Zeeta!" tukas Tuan Rezvan tanpa basa-basi.

 

Aku pun membelalak sempurna mendengar penuturannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status