Share

1. Kenyataan Yang Menyakitkan.

Hujan di malam itu membuat kegaduhan dari kediaman keluarga Draven sedikit teredam. Pasalnya sepasang suami istri sedang terlibat pertengkaran yang sangat hebat.

"Karena kau adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab, Adonis!" bentak Kaira kemudian mengacak-acak semua hidangan yang ada di atas meja makan. "Aku menyesal sudah menikah dengan lelaki sepertimu!"

"Tapi, Kaira …, selama ini aku berusaha untuk menafkahimu! Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik! Aku sadar, sekarang aku miskin dan dengan pekerjaanku yang sekarang pun aku tidak bisa memberimu lebih, tapi tak pernah sedikitpun aku melupakan kewajibanku sebagai seorang suami," ujar Adonis. Matanya berkaca-kaca, air matanya hampir jatuh.

"Apa katamu? Memenuhi semua kebutuhanku? Selama ini kau hanya mampu membelikanku makanan dan baju bekas dari thrift shop temanmu itu! Itu semua memang bermerek, tapi aku tahu membedakan mana yang baru dan mana yang bekas!"

"Maafkan aku, sayang …, tapi setidaknya baju-baju itu masih sangat bagus dan masih layak untuk kau pakai, kan?"

"Belum lagi dengan peralatan make-up, vitaminku, ponsel pun tak ada gunanya lagi di sini karena beberapa bulan yang lalu wifi-nya sudah dicabut karena menunggak berbulan-bulan! Untung saja aku punya simpanan untuk membeli paket data," seru Kaira dengan tatapan sinis yang menakutkan seraya duduk dengan anggunnya di sofa, lantas ia berkata, "sejak hampir setahun belakangan apa kau pernah mengajakku liburan? Kau hanya mampu mengajakku ke pasar untuk berbelanja kebutuhan makanan, itu pun selalu tidak cukup karena uangnya terlalu sedikit!"

Emosi menyulut amarah Adonis yang tidak menyangka Kaira tega membuang kata-kata yang menyakitkan seperti itu. Lalu ia berkata, "dasar kau tidak pernah bersyukur!" ujarnya dengan penuh kemarahan, matanya melotot dengan tajamnya seraya mengangkat tangan kirinya berniat melayangkan tamparan.

Kaira terkejut dengan reaksi Adonis. Seketika dia langsung beranjak dari sofa dan berkata, "ayo pukul! Pukul aku jika kau ingin berakhir di penjara. Kau pikir ayahku akan membiarkan putri kesayangannya ini dianiaya pria miskin sepertimu?"

Adonis terdiam. Tangannya masih terangkat, nafasnya menderu dengan hebat karena menahan amarah. Tapi, sekalipun Adonis marah, ia tidak pernah sampai hati memukul istri yang sangat dicintainya itu.

"Hmm, aku tahu kau tidak akan pernah berani melakukan itu padaku, selama ini kau hanya bisa menggertak dengan gayamu yang sok kuat itu," sindir Kaira dengan sombongnya sambil berkacak pinggang dengan tawa sinis.

"Sombongnya dirimu, Kaira Harrison! Harusnya kau malu karena di saat aku sedang bersusah payah mengumpulkan uang untuk memenuhi semua kebutuhanmu, kau malah pergi dengan lelaki lain!

Raut wajah Kaira yang tadinya terlihat bangga karena merasa telah memenangkan argumen, tiba-tiba memucat. Dia tersentak mendengar perkataan suaminya tadi.

"Be-beraninya kau memfitnahku! Ternyata pandai juga kau mengarang cerita." Kaira beralibi. Ia terbata namun berusaha tetap terlihat tenang.

Adonis meraih ponsel yang ada di sakunya kemudian membuka folder galeri. Beberapa kali dia menggeser-geser gambar-gambar mencoba mencari sesuatu yang sepertinya ingin ditunjukkan kepada Kaira.

"Ini apa?" kata Adonis sambil mengulurkan tangannya yang memegang ponsel ke wajah Kaira. "Lalu ini, ini, ini dan ini! Semuanya ada tanggal dan jamnya, Kaira!" ujarnya sambil menahan tangis yang sudah berada di ujung mulut.

"Dari mana kau mendapatkan itu semua?"

"Kau tidak perlu repot-repot mencari tahu dari mana aku mendapatkan ini. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu aku selalu membuntuti dan memantau semua gerak-gerikmu itu. Kau pikir aku bodoh?" berangnya dengan penuh emosi. Katanya, "tapi, memang aku bodoh karena tetap mencintaimu walaupun mungkin tubuhmu sudah disentuh lelaki lain."

Kaira yang sudah merasa kalah hanya duduk berpangku kaki mencoba menutupi kegelisahannya dan berusaha menciptakan kesan kalem.

"Syukurlah, akhirnya aku juga tidak perlu lagi repot-repot menyembunyikannya," ucap Kaira. "Jadi ku anggap sekarang kita resmi berpisah, oke!"

"Apa! Berpisah? Kau tahu sendiri aku selalu memaafkanmu, Kaira. Asal kau berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, kan?"

Kaira terkekeh mendengar ucapan Adonis barusan. Kemudian ia berkata, "apa katamu tadi, kesempatan kedua? Sayangnya aku tidak berminat dengan kesempatan keduamu itu. Kesempatan kedua untuk hidup susah lagi maksudmu? Maaf, terimakasih!" Kaira menyeringai seakan bangga dengan perkataanya tadi.

"La-lalu, bagaimana dengan nasib bayi kita yang ada di dalam kandunganmu itu? Empat bulan lagi kau akan melahirkan, Kaira!"

Sudut kanan bibir Kaira terangkat. Dia memandang Adonis dengan penuh keangkuhan. Adonis hanya tersungkur berlutut di hadapan Kaira dengan tatapan penuh harapan.

"Harusnya kau tahu diri dulu sebelum berkata seperti itu, Adonis."

"Apa maksudmu, Kaira?"

"Ternyata memang benar kau bodoh, tepat seperti kata-katamu tadi."

"Aku makin tidak mengerti, Kaira. Kumohon berhentilah bersikap seperti ini. Kita masih bisa memperbaiki ini demi anak kita. Dan lihat …," kata Adonis yang kemudian berjalan dengan cepat ke arah tas ransel yang tergeletak di samping pintu bermaksud mengambil sesuatu untuk ditunjukkan. Ia berkata, "lihatlah ini, aku membelinya tadi. Ini baju untuk anak kita nanti, warnanya biru seperti warna kesukaanmu," ujarnya dengan sangat gembira sembari menghapus air mata yang jatuh di pipinya tadi. Matanya melebar memancarkan kebahagiaan yang tak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.

Kaira yang sedang duduk di atas sofa hanya memandang datar apa yang sedang diperlihatkan Adonis seperti tidak tertarik.

"Bersenang-senanglah dengan belanjaanmu itu. Simpanlah! Aku tidak membutuhkannya!"

"Maksudmu apa? Ini sudah kubelikan untuknya. Aku membelinya dengan gaji dari pekerjaan sampinganku sebagai tukang cuci piring selama dua minggu, ditambah dengan gaji sisa dari mengangkut barang di pelabuhan. Memang tidak seberapa, setidaknya aku bisa membelikannya untuk anakku tercinta."

"Kenapa kau begitu polos, Adonis? Kau terlihat sangat percaya diri kalau anak yang ku kandung ini adalah anakmu!"

Adonis terdiam, otot di rahangnya bergerak. Dia mengernyitkan dahi sambil menunduk dan berpikir. Wajahnya memucat karena akhirnya merasa menyadari sesuatu.

"Ini bukan anakmu, Adonis. Ini adalah anak Harrold Walker, pria yang ada di dalam foto yang kau tunjukkan tadi."

Seketika Adonis berdiri dari tumpuan lututnya. Pandangan matanya kosong, ia berjalan ke arah kulkas dan meraih botol air minum. Dia meminum seluruh isi yang ada di dalam botol kaca transparan itu dengan sangat cepat seperti seseorang yang tengah kehausan di gurun pasir, kemudian duduk di kursi meja makan. Air mata menggenang di mata Adonis.

"Apa kau tidak pernah bertanya-tanya semua baju-baju baruku, makan malam mewah yang selalu ku hidangkan setiap sabtu malam, bahkan biaya rumah sakit ibumu beberapa bulan yang lalu itu dari mana asalnya?" tanya Kaira.

"Ku pikir itu semua bantuan dari ayahmu, maka dari itu tak pernah tersirat di benakku untuk mencari tahu dari mana datangnya semua uang itu," jawab Adonis.

Kaira beranjak dari posisi duduknya dan menghampiri Adonis yang hanya terdiam duduk di meja makan dengan tatapan hampa. Kaira menghampiri Adonis dan duduk tepat di depannya kemudian Kaira berkata, "aku lelah hidup miskin seperti ini. Semua serba kekurangan. Ini tidak seperti ekspektasiku, Adonis. Lagipula, kenapa kau harus menjadi miskin seperti ini? Karena kebodohanmu itulah makanya kau bisa sampai ditipu!" ujarnya sambil bersandar di kursi dan memeluk dada dengan pandangan sinis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status