Share

BAB 1 I Kota Metropis

Metropis, Tahun 521 Dalam Kalender Kebangkitan (17 Tahun Kemudian)

Angin berembus cukup kencang hingga menerbangkan beberapa tong sampah terbuat dari baja yang diletakkan sengaja di setiap sudut Kota Metropis. Hawa dingin menusuk tulang membuat pejalan kaki memakai mantel tebal mereka saat menembus jalan. Tak jarang suara tangis bayi-bayi tak berdosa terdengar di antara angin, dan cicitan tikus dekat got, serta tumpukan sampah di antara kanal-kanal yang airnya mulai naik hingga menutupi jalanan.

Dapat diprediksi, esok pagi akan ada mayat-mayat baru yang ditemukan petugas patroli. Dan merupakan pemandangan biasa bagi masyarakat Metropis.

Kemiskinan adalah sesuatu yang harus kau salahkan dalam setiap kematian, dan siapa yang peduli pada satu dua mayat tanpa identitas di sana. Kau tak akan kekurangan apa pun dengan meningkatnya jumlah kematian di kota.

Namun, lain halnya dengan sekelompok pria yang berlari menembus gerimis di antara lorong rumah penduduk. Mereka bergerak cepat, walau dengan langkah hati-hati seolah takut membangunkan orang-orang yang pastinya memilih berlindung dalam rumah mereka yang hangat di bawah selimut tebal.

"Aku bisa merasakan dia menuju ke taman. Lihat jejak yang dia tinggalkan," ujar salah satu dari pria-pria itu. Yang lainnya mengikuti isyarat yang diberikan pria tersebut. Mereka mengikuti dari belakang masih dengan langkah kaki cepat menembus gerimis yang akan berganti hujan.

"Sial, wajah tampanku akan berubah keriput bila terus terkena air," umpat seorang pria dengan rambut keemasan sembari mengusap wajahnya yang mulus dan tentu saja tampan. Dia mengedipkan mata ketika serbuan air menerobos masuk ke kelopak matanya.

"Di saat seperti ini, tidak seharusnya kau mempersoalkan ketampananmu kawan." Sebuah tepukan mendarat di bahu si pria berambut emas. Keduanya saling memandang sengit. "Dan aku bisa pastikan wajah yang kau banggakan itu tidak akan bisa menolongmu bila kau dihadapkan pada seigere."

Si pria berambut emas melirik ke balik bahunya, pada pria yang dengan sengaja memancing emosi di tengah pengejaran tanpa ujung ini. Dia menggeram, sedang matanya mencuri pandang pada Jovi, pria yang tanpa sadar telah mereka tuakan dan mereka jadikan pemimpin tanpa syarat dalam barisan itu. Takut jika Jovi melerai perkelahian yang hendak dia mulai andai saja, Snown, sahabat baiknya tidak menengahi di tengah kemarahan yang ia rasakan.

"Kita sedang mengemban tugas mencari iblis dan kalian dengan sengaja memecah diri kalian sendiri. Hentikan sekarang juga dan teruslah bergerak." Snown menghardik keduanya. Mereka masih terus berlari tanpa berhenti sekalipun. "Dennis," bisik Snown dengan suara lemah, matanya mengisyaratkan pada si pria berambut emas untuk tidak terpancing.

Mendesah, lebih karena kesal ia tidak bisa membalas pria yang telah menghina ketampanannya, Dennis pun memutuskan untuk kembali memfokuskan pikiran pada buruan mereka.

Jovi tiba-tiba berhenti. Dia mengangkat tangan ke atas dan menyuruh pria yang bersamanya untuk menghentikan pergerakan. Keempat pria yang berbaris di belakang mulai memasang telinga dan merasakan hawa di sekitar.

"Kau tahu kita akan kesulitan menjinakkannya, dan ini seakan sia-sia saja."

Jovi menatap Gerl yang memandang barisan itu pesimis.

"Apa yang menjadi dasarmu bahwa kita tidak bisa mengalahkan yang satu ini?"

Gerl tersenyum kecut, dia tahu Jovi pasti menantangnya. Bukan maksud Gerl untuk merendahkan kelompok mereka pada tugas mengejar salah satu Iblis paling diburu sejagat.

Semua bangsanya sedang mencari makhluk tak berhati itu, tetapi Iblis ini bukan Iblis yang mudah. Dia bisa membunuh pengejarnya dari jarak yang jauh dan tidak pernah sekalipun menampakkan wujud, belum ada yang melihat wujud aslinya. Dia dipanggil si kasat mata yang licin, dan setiap berhasil lari dari para pengejar, Iblis itu terang-terangan menghina dengan sepucuk surat yang ditinggalkan tepat di samping korbannya. Selalu ada gambar sayap patah di surat dan sebuah tanda tangan berupa sebuah nama "Eros".

"Dia pikir dia siapa, meninggalkan jejak dengan mengaku sebagai Dewa Cinta yang ketampanannya menyamaiku." Dennis mendengus mengingat betapa nyentrik Iblis yang mereka kejar ini.

Harley terkikik tepat di belakang Dennis, bermaksud mengejek kawannya yang merasa konyol mendengar perkataan barusan.

"Apa!" bentak Dennis dramatis. Dia kesal setengah mati karena ditugaskan bersama Harley yang senang membuatnya marah.

"Jika Dewa Eros mendengarmu, dia pasti akan mengumumkan pada pengikutnya bahwa ada seekor burung yang mencoba bermimpi menjadi Dewa." Terlihat binar mengejek di mata Harley ketika Dennis memutar kepala ke belakang dan menuduh Harley adalah pria paling tidak sopan yang dia tahu.

"Dan kau juga harus ingat Herley, bahwa Eros memiliki sayap." Tatapan tajam Dennis seakan membakar Harley, tapi pria itu tetap memasang tampang menghina yang kentara.

"Oh, kalian berdua!" Kali ini Jovi tidak bisa diam, konsentrasinya buyar hanya karena keributan kecil yang ditimbulkan teman-teman di belakangnya. Dia nyaris saja kehilangan jejak Iblis itu hanya karena suara dua pemuda yang menghancurkan konsentrasi irish nya.

"Bagaimana?" Snown yang paling waras dari empat pria yang ia bawa bertanya dengan wajah penuh harap.

"Dua blok dari sini, dia sudah membunuh tiga wanita dan satu balita. Kurasa dia masih akan melanjutkan perburuan hingga ke sudut kota sekalipun." Jovi mempercepat langkah yang besar diikuti oleh Snown.

Tersadar telah jauh ketinggalan, Harley beserta Dennis mendesis saat menyusul, walau wajah bermusuhan keduanya masih jelas terlihat.

"Jangan lengah, dia bisa saja bersama sepasukan Iblis." Jovi memberi peringatan yang membuat Gerl nyaris menjerit ngeri.

Sebenarnya, pria dua ratus tahun itu sudah menolak masuk akademi, tetapi keluarganya memaksa karena mereka masuk dalam urutan keluarga yang terlahir dari Darah Murni Muda, salah satu garis keturunan yang levelnya dua tingkat di bawah keluarga kerajaan.

Akan sangat memalukan bila ia sebagai anak tunggul, pewaris satu-satunya gelar Estown melarikan diri dari tugas yang telah diemban sejak leluhurnya lahir.

"Jangan takut, kami bersamamu." Snown meremas lembut pundak Gerl. Dia juga seperti itu perasaannya saat pertama kali terjun bersama Jovi dan Dennis tujuh puluh tahun lalu.

***

Valleya Crowd, gadis cantik dengan wajah selembut sinar bulan terbangun dari tidur saat mendengar suara-suara kecipuk air dari atap kamar. Hujan yang tadinya hanya berupa gerimis, kini mulai menderas seolah hendak melahap Kota Metropis.

Gadis itu beranjak dari kasur dan berjalan menuju jendela, bermaksud menutupnya karena angin dengan sengaja membuat jendela-jendela itu terbuka hingga membiarkan angin dingin bersama tetes hujan memasuki ruangan yang sudah tidak lagi hangat.

"Aku benci hujan," umpatnya pelan sembari menutup jendela, namun angin kencang membuat kelopak matanya berkedip hingga dia harus menggunakan satu tangan untuk melindungi wajah sedang satunya meraih jendela yang terbuka.

Tangan Valleya terulur ke luar, namun dengan cepat dia menariknya kembali saat sengatan dingin menyentuh telapak tangannya.

"Ah, dingin!"

Memberenggut kesal, Valleya meraih jendela-jendela terbuka itu tanpa perlakuan lembut, namun gerakannya terhenti saat ia melihat bayangan sesosok pria bermantel hitam tengah memandangnya dari atap rumah tetangga yang berada tepat di depan kamarnya.

Rasa takut menyebar ke seluruh tubuh Valleya, membuatnya membeku seketika. Tatapan sosok pria itu tiada putus memperhatikannya.

Valleya memerintahkan kakinya untuk bergerak, beranjak dari sana dan menutup jendela itu agar ia tidak lagi melihat pria menakutkan tersebut, tapi tubuhnya seolah lumpuh. Dia bahkan tidak tahu bagaimana menggerakkan tangan yang masih menggantung di udara saat hendak meraih daun jendela.

'Tetaplah menutup jendelamu Valleya, aku takkan mengganggu. Hanya ingin memandangimu.'

Tubuh Valleya tersentak, suara berat dan maskulin bergema di kepalanya.

Dia yakin pria menakutkan itulah yang baru saja mengatakan itu, tapi bagaimana? Dari balik penutup kepalanya yang hanya menunjukkan bagian hidung hingga batas dagu saja, Pria itu terlihat tidak menggerakkan bibir, kecuali tersenyum. Lalu, apa dia baru saja berhalusinasi?

Angin kencang meniup tubuh Valleya seketika, hingga membuat gadis itu terlempar jauh ke belakang dan menghempaskannya ke atas lantai. Dalam keadaan telentang, Valleya menatap nyalang ke langit-langit. Tapi tubuhnya masih menggigil ketakutan!

Demi tuhan apa itu?

Jeritnya sembari menahan ringisan. Bersusah payah hendak duduk, Valleya berteriak dengan suara tertahan, sentuhan dingin menyentuh kulit kakinya. Dia hendak duduk dan melihat apa yang terjadi, namun tubuhnya tiba-tiba terangkat ke udara dan jatuh dengan lembut di atas kasur.

Dia terkesiap, pandangannya mengarah ke luar. Dari jendelanya yang masih terbuka lebar terlihat sosok pria bermantel hitam dengan penutup kepala masih berdiri di tempatnya tadi, tidak terlihat tanda bergerak sedikitpun.

'Tidurlah, Angel. Akan kututupkan jendelamu.'

Seketika angin kembali bertiup dan daun jendela kamar itu tertutup perlahan, menghilangkan pandangan Valleya akan sosok pria bersuara maskulin bermantel hitam.

***

Bervis memandangi kumpulan pria yang memasuki gang-gang sempit di setiap Kota Metropis. Pandangannya tak lepas mengarah pada pemimpin kelompok itu. Beberapa kali dia harus mematahkan irish mereka untuk mengaburkan keberadaannya.

Dengan konsentrasi penuh dia menunjukkan arah yang salah, namun tidak semudah biasanya, salah satu dari kelompok itu memiliki irish dua kali lebih kuat dari kebanyakan bangsa Malaikat.

Sebuah tepukan di pundak membuat Bervis mendengus kesal.

"Ada perkembangan?" tanya pria bermantel hitam yang baru saja tiba dalam rona cahaya miliknya.

Bervis melirik ke samping kemudian menggangguk.

"Mereka membawa anggota baru, pewaris Estown," jawabnya.

Terdengar tawa kecil dari pria di sebelah.

"Kau tak khawatir?" tanya Bervis dengan nada kesal yang kentara.

"Untuk apa? Dia hanya remaja yang baru saja mendapat senjata, bahkan aku ragu dia tahu bagaimana menggunakannya."

Bervis menghela napas. Dia sangat mengenal sahabatnya, yang kini berdiri dengan ekspresi puas diri melihat pemburu mereka hanya berkeliling buta mencari jejak keduanya sejak tadi.

"Dari mana saja kau? Aku lelah berjaga dan ingin kembali secepatnya. Lebih baik bermain-mainnya cukup sampai di sini," sungut Bervis lelah.

"Aku hanya ingin berkunjung, memastikan Angel tidur nyenyak. Dia benci hujan dan takut akan badai."

Bervis nyaris tertawa mendengar jawaban sahabatnya.

"Tak perlu berbual, katakan saja kau ingin dia melihatmu."

Sahabatnya hanya tersenyum kemudian berbalik.

"Tidak benar. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja sebelum kita kembali pulang," ucapnya.

Sebelum menghilang ke udara, sebuah kertas jatuh ke tanah tepat di dekat tubuh pria yang jantungnya tak lagi berdetak sejak sejam lalu.

Gambar sayap patah berinisial "Eros" memenuhi kertas yang tadinya putih kini merah oleh darah yang menggenang.

Bervis memandang sahabatnya yang menghilang dalam kilasan cahaya. Dia menggeleng geli menatap kertas di sebelah tubuh mayat itu.

Tanda tangan yang tak lupa sahabatnya tinggalkan ketika perburuan berakhir.

"Waktunya pulang," bisik Bervis bersamaan dengan desah angin yang membalut tubuhnya sebelum menghilang. []

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
enak banget dibacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status