Share

BAB 2 I Chrysander

Ketukan pelan di depan pintu kamar membangunkan Valleya seketika, dia melirik seisi kamarnya sebelum menyahut.

"Ya Bibi, aku akan turun!"

Valleya bergegas bangun, dan merapikan kamar secepatnya sebelum memasuki kamar mandi. Pagi ini dia ada janji untuk bertemu Nina, sahabatnya, sebelum menghadiri kelas sopan santun dari salah satu guru paling dibencinya, Nona Lisbet.

Sembari merapikan lipatan rok berendanya, Valleya mematut diri di depan cermin. Tubuhnya yang montok dibalut ketat dengan blus kuning muda dipadu rok berenda kuning tua. Kalung berbandul permata merah yang tak pernah dia lepas sejak kecil memantulkan cahaya matahari pagi yang mengintip masuk dari kisi jendela.

Dia melatih senyum seperti yang Nona Lisbet ajarkan minggu lalu. Pantulan dirinya di cermin membuat Valleya puas, berputar beberapa kali, akhirnya gadis itu mengakhiri ritual paginya di depan cermin.

Suara feminim yang terdengar dari lantai bawah lagi-lagi memanggil namanya.

"Valleya! Sarapan sekarang juga!"

Gadis itu mendengus, walau enggan, akhirnya dia meninggalkan sangtuari miliknya. Valleya hendak menutup pintu kamarnya saat sebuah ingatan singgah di kepala, menghasilkan kerutan di wajahnya yang rupawan.

"Itu hanya mimpi, aku yakin pasti mimpi," ucapnya meyakinkan diri, walau keraguan jelas terlihat di wajah. Dia menggelengkan kepala, seolah hal itu dapat mengeluarkan ingatan tersebut dari kepala.

***

Nina memandang Valleya lucu, gadis tinggi langsing, berkulit putih susu itu tampak menahan tawa.

"Apa sekarang kau memasuki masa pubertasmu? Dan mimpi itu adalah petunjuk tipe pria idamanmu, ayolah Valleya percaya padaku, pasti begitu maksud dari mimpimu itu," jelas Nina dengan meyakinkan.

Valleya menatap Nina setengah percaya, sembari berpikir dan tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya.

"Apa menurutmu begitu? Tapi aku bahkan tidak melihat wajah pria itu, bagaimana aku tahu kalau pria seperti itu adalah tipeku?" Mata hijau Valleya memandang jauh pada bentangan laut biru di hadapan mereka. Keduanya duduk bersebelahan di atas pagar batu sebuah mercusuar tua. Itu adalah tempat favorit mereka sejak kecil.

"Aku tidak tahu, tapi apakah kau merasakan sesuatu saat itu?" Nina balik bertanya.

Valleya tampak tenggelam dalam pikirannya lagi, hingga akhirnya dia menggumam, "Ya, aku sedikit takut, namun juga merasa aman secara bersamaan." Dia memandang sahabatnya, lalu membuang napas. "Lihatkan, sudah kubilang mimpiku itu aneh. Bahkan aku tidak tahu apa itu nyata atau hanya mimpi, dan lagi, bagaimana mungkin seseorang merasa takut dan aman secara bersamaan."

Nina tertawa lepas melihat kebingungan juga raut kesal sahabatnya.

"Ini tidak lucu Nina, aku yakin malam tadi itu nyata, pria itu nyata, bukan mimpi pubertas seperti yang kau bilang. Usiaku tujuh belas tahun, aku sudah melewati masa puber!" Sungutnya.

"Oh lihatlah siapa yang bicara. Apa kau sadar bahwa selama tujuh belas tahun usiamu, kau tidak sekalipun menyukai pria! Bahkan Josh yang tampan saja kau tidak suka!" balas Nina membeberkan fakta yang ada.

"Aku hanya belum bertemu pria yang kusuka, itu saja Nina. Percayalah aku sudah cukup dewasa dan melewati masa puberku," kata Valleya membela diri.

"Ah, sudahlah, lupakan percakapan pubertas bodoh ini." Nina merapikan poninya yang berantakan karena ditiup angin. "Kalau pria itu nyata, dia tidak mungkin meninggalkan wanita secantik dirimu Valleya, percayalah, pagi ini pasti kau tidak ada di sini bersamaku, tapi berbaring kaku di tanah peristirahatan."

Valleya terkesiap mendengar perkataan Nina. Ia memeluk tubuhnya yang tiba-tiba menggigil karena takut.

"Kau benar, pria itu bisa saja membunuhku kalau memang dia nyata." Valleya tahu, mereka harus mengakhiri pembicaraan itu di sini. Rasa takut membuat lidahnya kelu.

Nina meringis, menyadari akibat perkataannya barusan, terkadang dia kesulitan menahan bibirnya berucap tanpa berpikir. Keduanya pun terdiam, menikmati semilir angin dermaga yang berembus pelan.

Metropis bukanlah tempat yang aman, ini adalah kota dengan tingkat kematian tertinggi dan pembunuhan selalu terjadi setiap jamnya. Valleya tidak ingin mengingat mimpi itu. Nyata atau bukan, dia berharap kejadian yang sama tidak akan terulang kembali.

"Waktunya pergi Valleya, Nona Lisbet benci siswa yang terlambat." Nina mengibas rok biru selututnya. Dia membantu Valleya berdiri, dan keduanya bergegas kembali ke jalanan kota yang padat oleh kereta kuda, juga pejalan kaki.

***

Bervis menatap dua tubuh yang kini terbujur kaku di hadapannya, dia berdecak tak senang melihat pemandangan ini.

"Sepertinya mereka sedang bermain-main dengan kita," ucap Bervis sembari melirik seseorang di belakang dari balik bahu.

Lama dia memperhatikan temannya yang menatap kosong pada tubuh-tubuh tak bernyawa yang kini tergelatak di atas aspal jalan.

Sahabatnya hanya tersenyum begitu tatapan mereka bertemu.

"Aku baik-baik saja Bervis. Kembalilah bekerja, kita harus menyelesaikan ini sebelum para Malaikat itu turun untuk berburu."

Bervis mengangguk, lalu berkata, "Aku kembali ke dunia bawah lebih dulu, kita harus pulang sebelum fajar tiba. Akan kutunggu kepulanganmu, Yang Mulia." Penekanan pada panggilan Yang Mulia membuat temannya tertawa. Meski berteman, tapi Bervis selalu mengingatkan sahabatnya akan posisinya sebagai sosok yang berkuasa.

"Akan kuingat nasihatmu, aku ingin berkunjung ke suatu tempat. Pergilah."

Bervis menghela napas dan menghilang bersama angin yang membawanya, meninggalkan temannya berdiri sendiri dalam balutan kegelapan malam.

***

"Kita terlambat lagi." Jovi menatap dua tubuh yang berbaring kaku di atas aspal jalanan. Bentuk kehidupan telah meninggalkan tubuh-tubuh itu.

"Lihatlah betapa sulit menangkap iblis satu ini. Lagi-lagi dia meninggalkan jejak menjengkelkan itu," Dennis meremas kertas yang barusan ia pungut dari atas salah satu tubuh mayat pria.

"Semakin hari banyak kematian yang terjadi. Bila kita tidak bisa mengontrol para iblis yang bergerak bebas, kepunahan umat manusia hanya tinggal menghitung abad saja," ucap Snown sembari menutupi mayat-mayat itu dengan spher, selimut yang akan menjauhkan makhluk halus pemakan mayat. Setidaknya hanya ini yang bisa mereka lakukan.

"Ya, dan itu tak boleh terjadi. Kita harus memburu mereka." Semangat membara berkobar di mata Harley.

Dennis mendecih mendengar perkataan Harley barusan.

"Katakan itu bila kau berhasil menangkap satu iblis saja. Lihatlah, kau bahkan tak pernah membunuh iblis-iblis itu," ujar Dennis dengan nada mengejek.

Melihat adanya kemungkinan pertengkaran, Snown tidak tinggal diam.

"Dennis," disisnya.

Mendengar nada kemarahan dari suara sahabatnya, Dennis pun diam walau wajahnya menunjukkan ia tak mau mengalah.

"Aku merasakan kekuatan Iblis itu masih berada di sini, dia pasti tidak jauh dari tempat kita berdiri." Jovi memandang bangunan sekitarnya. Tempat itu gelap dan sepi, ada beberapa bangunan yang dindingnya rusak dimakan waktu.

"Aku juga merasakan hal yang sama," Kata Gerl ikut membenarkan.

Keempat pria lainnya menatap Gerl percaya. Sebagai keturunan Estown dia memiliki kemampuan perasa yang lebih kuat dari bangsa malaikat lainnya.

"Apa kau bisa memprediksi keberadaannya?" tanya Snown ingin tahu.

Gerl menatap keempat lainnya dengan pandangan cemas. Wajahnya tegang dan beberapakali dia menelan saliva.

"Ya," jawabnya dengan parau.

Saat itu juga Jovi dan yang lainnya tahu, bahwa mereka tak akan suka mendengarkan jawaban Malaikat muda ini.

"Dia berada tepat di... sana." Tunjuknya tepat di sebelah kanan Dennis.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga para Malaikat itu. Kelimanya membungkuk kesakitan sembari menutupi telinga mereka.

‘Kerja bagus, Estown, kau seperti apa yang kuharapkan.’

Suara gemuruh itu berhenti begitu suara parau dan berat tersebut berbisik di udara. Saat tubuh mereka tak lagi terpengaruh oleh kekuatan mengikat itu, kelimanya mencari-cari sekitar. Namun tak ada yang berubah dari sana.

"Apa aku tak salah dengar? Iblis itu memuji Gerl," ucap Harley tak percaya.

Mereka berlima saling tatap, bingung sesaat akan situasi yang baru saja dialami.

"Aku tak mengira selama ini dia berada di antara kita, makhluk sekuat apa dia?" Snown dan yang lainnya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Cukup kuat hingga kita tak bisa merasakan keberadaannya." Dan mereka pun terdiam begitu Jovi mengatakan fakta tersebut.

***

Valleya kembali terbangun, dia berguling di atas kasur. Ini sudah entah keberapa kalinya dia terbangun malam ini hanya karena mendengar suara kecil. Matanya berat, ia sangat mengantuk, tapi otaknya menginginkan sebaliknya.

Gadis itu melirik jam di atas meja belajar, pukul dua dini hari. Masih terlalu pagi dan dia butuh waktu istirahat. Besok dia harus membantu Bibi Ema mengantarkan kue-kue pesanan pelanggan.

Valleya mencoba untuk tidur kembali, namun akhirnya dia menyerah. Masih dalam keadaan setengah sadar, gadis itu duduk di atas kasur, dan saat itulah ia merasakan ada sesuatu yang aneh.

Tubuhnya tegang seketika, instingnya memberi peringatan bahwa dia tak sendirian di kamar itu.

"Siapa?" bisiknya takut, dia meremas seprei kasur kuat-kuat, antisipasi akan kemungkinan yang ada.

Siluet hitam bergerak pelan, keluar dari bayangan gelap di sudut kamar dekat jendela di hadapannya. Sosok itu berhenti saat sinar bulan menyirami setengah tubuhnya.

Dari tempatnya duduk, Valleya tak bisa melihat wajah pria itu yang masih bersembunyi di balik gelap. Hanya bagian dada hingga kaki yang terkena cahaya bulan, namun dia bisa merasakan bahwa sosok pria di hadapannya sedang tersenyum.

Tubuh Valleya mulai bergetar, ia ingin berteriak tapi mulutnya terkunci rapat seakan ada sesuatu yang mengendalikan.

‘Aku datang hanya ingin melihatmu, kembalilah tidur.’

Suara itu begitu dalam dan berat, namun sedikit parau.

Aroma kayu dari pegunungan memenuhi indra pencium Valleya, begitu segar, dan aroma ini semakin tercium kuat begitu pria misterius itu mendekat, namun sayang Valleya tetap tak bisa melihat wajah pria itu jelas, karena pria tersebut sengaja membelakangi cahaya bulan.

Kepala pria itu ditutupi tudung mantel hitam yang membalut keseluruhan tubuhnya, tidak ada sedikit pun kulit yang terlihat, sehingga Valleya tidak tahu warna kulit pria itu.

Valleya mengamati pria di hadapannya. Pria itu tinggi dan besar, dagunya yang tidak tertutup tudung berbentuk persegi dan kokoh, sosoknya yang kuat memang sangat mengintimidasi.

Valleya mencoba untuk bicara lagi, dengan suara bergetar dia kembali bertanya.

"Siapa kau?"

Tapi lagi-lagi pria itu hanya diam mengamati sembari tersenyum.

"Chrysander," bisiknya sebelum menghilang dalam balutan cahaya bulan. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status