Share

The Demon's Bride
The Demon's Bride
Penulis: Blezzia

PROLOG

Candeline, Tahun 504 Dalam Kalender Kematian

Hujan membasahi tanah hingga menggenang di saluran pembuangan dan lubang jalan. Suara langkah samar-samar mengisi lorong-lorong gelap yang sempit, seolah berkejaran satu dan yang lain, menambah irama tidak hanya derap langkah satu dua kaki ketika menerjang genangan lumpur di sepanjang jalan.

Seorang laki-laki berlari hingga mencapai sudut tergelap dari tempat yang bisa ia jangkau, mencoba menyembunyikan diri di sela gang kecil antara dua bangunan. Tidak hanya dua pengejar, tetapi ada lima pria yang mengikuti sejak dia meninggalkan kedai minuman di ujung jalan itu. Napasnya terdengar putus-putus, lelah, namun sedapat mungkin dia menenangkan diri kembali.

"Apa kau yakin dia berlari ke arah sini?" Salah satu dari para pengejar itu mengendus udara, mencari jejak buruannya.

"Ya, tidak salah lagi. Dia pasti bersembunyi." Terdengar geraman dari pria yang lebih kurus. "Sudah kukatakan bahwa kita harus menyeretnya sejak di kedai tadi!"

"Kalau kita lakukan itu, akan terjadi keributan. Dan Yang Mulia tidak akan senang bila itu terjadi. Dia berpesan agar kita melakukan ini dengan bersih tanpa menarik sedikit perhatian."

Pria kurus tadi pun terdiam mendengar salah satu temannya berkata dengan tegas dan mengingatkan tugas yang dibebankan pada kelompok kecil mereka.

Lelaki yang bersembunyi itupun menggigil ketakutan, dia bahkan kesulitan menahan gemeretak gigi yang beradu dan rasa panas yang menjalari tulang-tulang. Jantungnya menjeritkan kata "mati" berulang-ulang, seolah dia memang akan mati saat itu juga.

"Kita bisa mencarinya lagi, sekarang lebih baik kita kembali."

Ada rasa lega menjalari setiap nadinya begitu mendengar suara langkah para pengejar yang mulai menjauh. Dia bernapas cepat dengan lega, hingga nyaris meledakkan paru-paru. Tubuhnya begitu lemas, dia pun terduduk di gundukan tanah basah sembari bersandar pada dinding yang tadi menyembunyikannya.

Terima kasih tuhan.

Bisiknya, nyaris menangis. Namun tubuh pria itu berubah kaku dan wajahnya kembali memucat ketika sepasang sepatu kulit hitam berhenti tepat di hadapan. Kini jantungnya kembali berdenyut dengan irama tidak teratur. Takut-takut dia mendongak, hanya untuk mendapati sepasang mata hitam legam yang menatapnya tajam. Sebuah seringai, atau jika dia salah mengartikan sebuah senyuman, kini mengarah padanya.

"Aku tidak memiliki apa-apa, kumohon bebaskan aku!" tangisnya diiringi gelombang suara yang menjeritkan ketakutan.

Pria yang bersembunyi itu terkesiap ketika ia mendengar suara kepak sayap dan bayangan sayap kuning keemasan keluar dari balik punggung pria bermantel putih di hadapannya.

"Si .. Siapa ka.. Kau?!" Wajah ketakutannya semakin kentara, seolah dia melihat wujud iblis ketika itu.

Pria bersayap itu membungkuk sedikit dan berbisik lirih tepat di telinga pria yang ketakutan.

"Katakan, ke mana kau membawanya!" Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan perintah dengan kalimat penuh penekanan.

Tubuh pria yang meringkuk di tanah kini semakin menggigil, dia menggeleng cepat dan menangis hebat karena begitu takut.

"A...aku ti...tidak tahu, aku ti...tidak mengerti maksudmu!" jeritnya hingga suaranya terdengar parau.

Sebuah pukulan mendarat di pipi pria itu, dan dengusan jijik kini memecah kesunyian setelah tangis pria tersebut berhenti.

"Aku tidak suka berlama-lama, di mana kau membuangnya!"

Tidak lagi ada kesabaran, pria dengan sayap kuning emas besar di punggungnya itu menarik kerah baju pria tersebut dan mengangkatnya tinggi ke udara.

"Di mana kau membuangnya!" Penekanan yang diberikan kali ini semakin mengintimidasi pria malang yang tergantung-gantung di udara, pria bersayap itu belum menghempasnya ke tanah, dia masih punya sisa kesabaran.

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, lepaskan aku!" mohonnya dengan suara tercekat nyaris tercekik.

"Seth! Hentikan!" Suara kepakan sayap mengisi udara. Pria yang dipanggil Seth itu pun menurunkan buruan mereka dengan kasar hingga kepala pria malang itu membentur dinding di belakangnya.

"Jangan membunuhnya, kita masih memerlukan dia." Sebuah tepukan lembut mendarat di bahu Seth. Pria itu melihat buruan yang setengah sadarkan diri akibat benturan yang dia dapatkan.

"Aku tidak membunuhnya," ucap Seth dengan wajah jengkel menghadap dua temannya yang masih mengepak sayap mereka di udara.

"Ya, tetapi nyaris jika saja kami terlambat beberapa detik."

Seth mendengus dan berderap pergi menjauh.

"Seth! Kau mau ke mana?" Pria dengan rambut kuning keemasan mencoba mengejar temannya itu, namun sebuah lengan menghentikannya.

"Biarkan Seth pergi, dia butuh untuk berpikir," kata pria yang pertama menghentikan Seth tadi.

Pria berambut kuning keemasan melirik keempat temannya yang kini menatap Seth dengan simpati.

"Kuharap dia akan baik-baik saja," ujarnya lirih, namun pandangannya beralih pada pria yang kini bersandar pada dinding. "Apa yang harus kita lakukan pada pria ini?" tanyanya dengan wajah bingung. "Jovi, kau yang paling tua, jadi kau saja yang memutuskan," katanya dengan enteng pada pria yang masih melayang di udara. "Dan, tidak bisakah kalian diam lalu berdiri di tanah. Melayang-layang di udara selagi kita bekerja bukanlah hal yang sopan!" Kejengkelan jelas tercetak di wajahnya.

Jovi mendesah, dia dan dua lainnya menapak tanah dan menyimpan sepasang sayap di balik tulang-tulang dalam balutan jaket putih mereka.

"Lebih baik kita menanyainya sekali lagi, jika tidak ada jawaban, kita harus membawanya ke Madelin."

Tampaknya empat orang di balik punggung Jovi setuju akan gagasan itu, walau membawa manusia biasa ke Madelin cukup beresiko, tetapi bukan berarti hal itu belum pernah terjadi.

"Kau sudah tahu maksud kami mengejarmu, jadi katakan di mana kau membuangnya?" Jovi berusaha lembut saat bertanya, berharap pria lemah itu menjawab mereka.

"Aku tidak mengerti maksud kalian," rintihnya.

"Tetot." Pria berambut emas menyilangkan kedua tangan di depan dada, menunjukkan bukan itu jawaban yang mereka mau.

"Dennis?" Sebelah alis Jovi terangkat sedikit, mengisyaratkan yang lainnya untuk tidak ikut campur sementara dia bekerja.

Si pria berambut keemasan itu hanya tersenyum, menunjukkan barisan giginya yang rapi.

"Begini." Jovi memutar tubuh menghadap pria tadi, dia membungkuk dan berusaha tidak mengintimidasi. "Kau ingat di mana membuang bayi dalam box silver yang kau dapat dari seorang wanita?"

Ada kerut yang jelas menghiasi wajah pria malang tersebut, seolah Jovi baru saja menyadarkannya akan sesuatu.

"Apa ... Apa kalian datang hanya untuk mencari bayi itu?"

Serentak lima pria di hadapannya mengangguk. Tetapi kerut wajahnya tidak berubah.

"Ba ... Bayi itu ... Aku ... Aku," ucapnya ragu. "Aku memberikannya pada seorang wanita kaya, dia membelinya. Sungguh aku tidak mencuri! Seseorang memberikan bayi itu begitu saja dan aku serta istriku tidak memiliki uang, kami menjualnya, bayi tersebut pasti lebih bahagia bersama wanita kaya itu!" jeritnya diikuti kedua lutut yang bersimpuh, seakan dia tersadar kesalahan apa yang telah diperbuat.

Dennis berdecak diikuti ketiga temannya, hanya Jovi yang tetap tenang. Air mukanya menunjukkan dia tidak terusik sama sekali.

"Kita kehilangan jejaknya, lagi." Kini si pria berkulit putih dengan warna mata cokelat kehitaman yang bersuara.

"Apa kita harus membunuh pria ini? Mengingat masih ada satu kelompok lagi yang pasti mencari bayi itu." Kelima pria bersayap itu saling tatap.

"Tidak perlu repot-repot, sepertinya Seth sudah melakukannya dengan baik." Keempat pria itu menatap Jovi dengan bingung, namun mereka akhirnya paham ketika melihat bercak kehitaman di sekitar leher pria yang kini meringkuk menyedihkan di atas genangan hujan.

"Pria malang," bisik Dennis bersamaan dengan tubuh kelimanya yang menghilang dibawa angin serta gema kepakan yang mereka tinggalkan sesaat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
adiwahyubowo
Can't wait for the next updates!!! This is so great! I wish you could share any social media I could follow so I can send you lots of love!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status