Valleya terkesiap begitu dia terbangun dari tidur. Matanya nyalang menatap sekitar, dan dengan degup jantung yang berdebar, dia pun turun dari kasur kemudian berlari ke luar kamar. Langkahnya terdengar buru-buru saat menuruni tangga menuju dapur, dimana dia bisa mendengar suara Bibi Ema bersama adonan roti yang dibanting di atas meja.
“Bibi!” panggil Valleya setengah histeris.
Seketika sang Bibi mengangkat wajah, dan menatap Valleya dengan ekspresi bertanya begitu mendapati pipinya yang pucat sedang mata membulat seperti sedang dikejar seseorang.
“Ada apa?” tanya Bibi Ema sedikit kesal telah diinterupsi.
Wanita tambun itu kembali mengadon kue dan tidak lagi memedulikan wajah ketakutan gadis tujuh belas tahun di hadapan.
“Bibi, tadi … tadi … di kamarku,” ucap Valleya terbata sembari berusaha menarik napas dengan rakus.
Paru-parunya terasa sesak, karena oksigen yang menipis drastis sejak bangun pagi ini.
“Ada apa di kamarmu, Valleya?” tanya sang Bibi dengan wajah masam, kesal pekerjaannya diinterupsi oleh hal sepele.
“Ada laki-laki asing di kamarku!” jerit Valleya pada akhirnya.
Gadis itu menatap ke langit-langit lantai dua, seakan pria misterius tersebut dapat muncul kapan saja dan bayangan tadi membuat Valleya memeluk tubuh seketika. Dia mencoba mendekati Bibi Ema yang mulai terlihat marah karena sikap keponakannya yang sedikit aneh.
“Apa kau tidak ingin pergi ke sekolah? Kenapa masih di sini?”
Pertanyaan tersebut membuat Valleya menoleh cepat ke arah sang Bibi, dan dia menggeleng pelan, mengisyaratkan sekolah libur hari itu.
“Nona Lisbet tidak bisa hadir mengajar, jadi dia memberikan kami tugas di rumah,” jelas gadis tersebut sembari terus memeluk tubuh, yang membuat dahi sang Bibi berkerut semakin dalam.
“Sekarang apa lagi, Valleya? Apa kau tidak lihat, aku sedang membuat adonan? Jika tidak ada yang ingin kau lakukan, bantu aku di sini!”
Mendengar suara Bibi Ema yang meninggi, Valleya pun berjengit dan memundurkan langkah, sebelum akhirnya berlari menuju ke lantai dua.
“Aku akan segera kembali,” ucapnya setengah berteriak dengan nada suara terdengar kecewa, karena sang Bibi ternyata tidak peduli.
Dengan langkah berat, Valleya kembali ke kamar. Namun sebelum masuk, dia menatap pintu di depan dengan rasa gugup yang besar, hingga telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin diikuti jantung berdebar-debar.
‘Apa pria miserius itu masih ada di sana?’ tanya Valleya ragu hingga beberapa kali dia menarik tangan yang hendak memutar gagang pintu.
Setelah menarik napas dalam-dalam serta berdoa pada Tuhan, barulah Valleya berani untuk membuka kamar yang ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan, semua perabotan masih berada di tempat semula. Yang berbeda hanya seprei dan kasur dimana tadi dia tidur. Sangat berantakan, tidak seperti biasa saat dia bangun setiap pagi, dimana Valleya selalu merapikan semua sebelum beranjak keluar, namun mimpi aneh yang terasa nyata itu membuatnya tidak tahan berlama-lama.
Dia melangkah masuk ke dalam dengan perasaan cemas, karena sudah dua kali pria itu mendatangi, meskipun tidak melakukan sesuatu yang buruk, hanya berkomunikasi tanpa menggerakan bibir. Dan barulah malam tadi Valleya melihat pria itu berbicara.
“Chrysander,” bisiknya sembari menatap keluar jendela.
Semua masih sama, tidak ada tanda-tanda seseorang membuka paksa jendela kamar yang ditempati.
Jemarinya memutar-mutar pelan bandul merah darah yang mengalung di leher, kebiasaan sedari kecil yang sulit dia hilangkan. Seketika rasa hangat menjalari kulit porselinnya, seolah benda tersebut mengisyaratkan; selalu berada bersamanya.
***
Sementara itu, jauh di bawah tanah. Tepatnya di sebuah Kerajaan Malam tempat Iblis terlelap, Sander menatap pantulan bayangan Valleya dari gelas kaca yang dia sesap setengah, sedangkan tangan kananya, Bervis, duduk di hadapan dengan kedua lengan terlipat di depan dada.
Kedua pria itu memilih hening tidak bersuara, namu terliha jelas bahwa sejak tadi mulut Bervis gatal ingin berbicara. Dia menunggu dengan sabar, sampai pria di hadapan selesai mengagumi seorang gadis di bumi melalui pantulan cahaya dari balik gelas yang baru saja digunakan untuk minum.
“Apa kau ingin mengatakan sesuatu, Bervis?” tanya Sander, tanpa sedikitpun mengangkat kepala sedang mata tetap fokus ke dalam pantulan gelas dalam genggaman.
Setelah menarik napas panjang, Bervis pun berkata pelan; “Tidakkah menurutmu itu sangat berlebihan, Yang Mulia?”
Mendengar pertanyaan sederhana, namun sarat makna tersebut, Sander hanya tersenyum samar. Dia melirik sekilas pada sahabat sekaligus tangan kanannya itu.
“Bagian mana dari aksiku yang menurutmu berlebihan?”
Sebelum memberi jawaban, Bervis menyusun kata-kata di kepala, karena dia tidak ingin salah berucap dan membuat Sander menjadi murka.
“Kau sudah menunjukan diri sebanyak dua kali, kupikir satu kali saja cukup, tetapi berulang-ulang kali …”
Perkataan Bervis yang terjeda, membuat Sander paham maksud yang hendak disampaikan.
Gadis itu masih terlalu muda untuk mengenal dunia mereka, dan menunjukan diri dengan sangat tiba-tiba, bukanlah sikap yang benar. Mereka dua makhluk yang berbeda, keberadaan Sander sangat dirahasiakan, sehingga menunjukan diri di hadapan manusia terutama seorang wanita adalah hal yang tidak dibenarkan dalam dunia mereka.
Terlebih, dia menunjukan wujud aslinya, yang tidak pernah sekalipun dilihat oleh makhluk-makhluk lain selain para Iblis yang bekerja padanya.
Sander menaruh gelas dalam genggaman kembali ke atas meja, menandakan percakapan itu telah selesai. Dan Bervis mengerti akan itu, sehingga dia pun bangkit dari sofa, kemudian membungkukan sedikit tubuh sebelum akhirnya menghilang lewat pintu yang terbuka.
Tanpa adanya orang lain dalam ruangan, Sander ikut beranjak dari tempatnya duduk. Dia berjalan menuju perpustakaan dan mencari sebuah buku yang selalu dibaca setiap malam. Tangannya bergerak pelan menyusuri setiap buku pada rak yang ada, dan gerakannya terhenti begitu dia menemukan apa yang dicari. Sebuah buku tentang Rahasia Merayu Wanita dengan sampul merah muda mendominasi.
Sander menarik buku tersebut dengan gerakan pelan, menyebabkan benda berisi ilmu pengetahuan itu terbang di udara dan mengikutinya dari belakang.
“Apa yang pria lakukan disaat dia ingin memberi sebuah hadiah pada wanita untuk kali pertama?”
Suara Sander yang bertanya mengisi ruangan tersebut, dan dia pun mendapat jawaban dari sebuah suara feminim yang berasal dari buku di belakangnya.
“Cukup berikan gadis pujaanmu sebuket bunga dan makanan yang dia suka, biasanya cokelat menjadi pilihan umum, diikuti permen dan kue berbentuk hati.”
Langkah Sander terhenti, dan dia menoleh pada buku yang masih melayang di udara dengan halaman nomor tiga puluh dua terbuka di tengah-tengah.
“Apa itu akan berhasil?”
Halam pada buku itu berganti dengan cepat, dan suara feminim itu kembali terdengar begitu menemukan yang dicari.
“Berdasarkan testimony, lakukan hal-hal manis berulang-ulang dan berikan kesan yang baik agar gadis itu mengingatmu dan tidak mudah lupa.”
Kepala Sander mengangguk pelan, dan dia berjalan menyusuri lorong itu kembali, sedang buku yang tadi tetap setia mengikuti.
“Itu artinya aku terlalu terburu-buru menunjukan diri,” gumam Sander dibarengi helaan napas.
“Tidak juga, karena dengan begitu gadis itu jadi lebih ingat padamu,” jawab suara feminim itu lagi yang membuat Sander tersenyum senang.
“Menurutmu begitu?”
“Menurutku memang begitu.”
Hanya dengan gerakan satu tangan, buku tersebut pun tertutup rapat dan melayang rendah ke tempat semula, kembali ke asalnya.
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa