Share

BAB 4 I Bunga Kristal

Ketika pagi tiba, Valleya menemukan sebuket bunga yang sangat indah di depan jendela.

Lama dia terdiam menatap kelopak pelangi pada bunga-bunga beraneka jenis, namun tidak pernah dia temui sebelumnya. Seolah bunga-bunga tersebut tidak tumbuh di bumi melainkan surga.

Setiap bunga-bunga itu tampak berkilau bagai taburan kristal yang menempel di setiap daun, batang, dan kelopak dengan aneka warna pelangi begitu diterpa cahaya sinar mentari pagi.

Dengan ragu-ragu Valleya menyentuh buket tersebut, sedang kepalanya menatap sekitar. Pada atap rumah di hadapan yang terlihat dari jendela kamar, serta langit biru yang menunjukan cuaca begitu cerah dengan semilir angin pagi menyentuh pipi.

“Dari siapa bunga ini?” gumamnya penuh tanya ketika menaruh buket itu ke dalam pelukan.

Tidak mungkin seekor burung membawa benda sebesar itu terbang di angksa dan menjatuhkannya tepat di depan jendela Valleya.

Dengan diliputi perasaan mengganjal, gadis tujuh belas tahun itu pun menutup daun jendela beserta gorden yang melindungi dari terpaan cahaya luar. Kemudian, dia menaruh buket tersebut ke atas meja dan segera keluar dari ruangan, menuju lantai bawah untuk sarapan.

Bibi Ema yang melihat Valleya datang terlambat hanya memberikan tatapan masam, sedang kedua tangan berada di pinggang dan lidah berdecak tidak senang.

“Aku sudah bilang jam makan pagi adalah pukul tujuh!” kata wanita tambun dan berwajah bulat tersebut penuh kekesalan.

Valley menatap Bibinya bersalah sembari menggigit bibir bawah.

“Maaf, Bibi,” ucap Valley pelan dengan kepala menunduk ke bawah begitu sampai di kursi yang biasa ia duduki.

Rumah itu hanya ada mereka berdua, sehingga meja makan terasa jauh lebih canggung bila Valleya melakukan sedikit saja kesalahan.

Bibi Ema adalah wanita penuh aturan. Karena wanita paruh baya itu sudah terbiasa hidup sendiri, dan sepertinya sang Bibi sangat terganggu akan kehadiran Valleya sejak beberapa bulan setelah kematian Ibu gadis tersebut. Yang tidak lain adalah kakak kandung sang Bibi.

Keduanya makan dalam hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu piring.

“Sebelum kau pergi ke sekolah, aku ingin kau membawa keranjang-keranjang itu ke rumah Paman James,” ucap Bibi Ema memberi perintah.

Valley mengangguk saja dan terus menghabiskan makanan.

“Dan jangan lupa untuk mengambil uang dari Agate begitu kau pulang dari sekolah,” tambah sang Bibi begitu mereka menyelesaikan sarapan.

Setelah menaruh sendok, garpu dan piring ke westafel, Valleya pun menyahut patuh.

“Baik Bibi,” jawabnya sembari berjalan menuju keluar rumah.

Agate yang Bibi Ema maksud adalah kedai makanan di mana biasanya mereka menitipkan kue-kue yang dibuat. Dan dari sanalah sumber penghasilan rumah itu berasal yaitu kue buatan Bibi untuk pesanan.

Meskipun harta yang diwariskan Ibu angkat Valleya dapat membuat mereka hidup berkecukupan, tetapi dia masih belum memiliki akses untuk menyentuh semua kekayaan itu. Termasuk sebuah Mansion yang kini ditutup dan tidak bisa dia masuki perkara usia Valleya belum menginjak dua puluh empat.

“Aku pergi Bi!” seru Valleya berpamitan, yang hanya dibalas dengan suara gumaman dari arah dapur.

Dengan langkah malas, Valleya melintasi halaman dan menyusuri jalanan di depan tanpa memperhatikan sekitar.

Sander yang sejak tadi bersandar di salah satu dahan pohon dekat rumah gadis itu, hanya bisa menggelengkan kepala ketika Valleya nyaris tertabrak sebuah kereta kuda yang melaju cepat di jalan utama. Dia menarik napas dan mengangkat tubuh gadis itu hingga bergeser ke tepi jalan dengan satu gerakan jari yang diarahkan ke udara.

Seketika tubuh Valleya berpindah dengan lembut ke sisi jalan yang lebih aman, seolah-olah ada angin yang menerbangkannya dengan sengaja, membuat gadis itu terpaku dan menatap sekitar dengan mata bergetar.

Melihat Valleya menatap sekitar dengan takut, Sander pun mengusap tengkuk karena lagi-lagi dia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, namun bila tidak begitu Valleya dapat terluka.

Ketika Valleya menghilang di ujung jalan dengan langkah terburu-buru, Bervis pun tiba-tiba muncul di sebelah. Sayap hitamnya yang besar mengepak di udara sedang kedua tangan bersidekap dan fokus pandangan lurus ke depan, menatap kepergian Valleya menuju pusat kota.

“Ada apa kau menyusul?” tanya Sander datar sembari berdiri di dahan pohon sedang tangan berada di masing-masing saku celana.

Bervis mengalihkan pandangan dan menatap ke arah sahabat sekaligus tuannya itu.

“Tadinya kau bilang hanya ingin berkunjung untuk patroli, tetapi ini …” Tunjuk Bervis ke sekitar. “Aku tidak ingat, bahwa tujuan kita ke bumi adalah melihat gadis itu.”

Sander tersenyum samar dan menoleh sedikit ke arah Bervis yang masih melayang di sebelah.

“Apa sekarang aku harus melaporkan setiap kegiatan ketika naik ke Bumi?”

Mendengar ada sedikit nada tidak senang dari sahabatnya itu, Bervis pun menggeleng pelan.

“Maksudku bukan begitu,” bantah pria berbadan besar tersebut.

Sander membuang tatapan kembali lurus ke depan, dan dia mengibaskan tangan ke udara, menunjukan sebaiknya Bervis tidak mengingatkan lagi dengan apa yang sedang mereka lakukan di Bumi.

“Tugas kita sudah selesai,” ucap Sander sembari menatap ke arah langit yang memamerkan bentangan warna biru yang indah.

Bervis mengikuti arah pandang sahabatnya tersebut, dan dia dapat melihat rona cahaya merah pekat yang memenuhi langit, menandakan portal dunia bawah dari dimensi berbeda sedang terbuka.

“Aku melihat hal yang berbeda,” kata Bervis sembari menatap sekitar dengan cemas.

Sander hanya tersenyum tipis.

“Tidak perlu khawatir, portal itu sedang dijaga.”

Mendengar hal itu, Bervis pun ikut tersenyum, karena itu artinya Sander baru saja menyuruh beberapa jendral kepercayaan yang berada di bawah perintahnya untuk menutup portal itu kembali.

Akan menjadi bencana bila para Iblis dari dunia bawah tanah berhasil lolos secara beramai-ramai ke Bumi, karena itu artinya akan banyak manusia yang mati, dan menjadi pekerjaan sulit, tidak hanya bagi Sander tetapi juga para Malaikat penjaga manusia.

“Apa kau melakukan ini semua karena gadis itu?”

Sander mendengus keras dan melirik Bervis tajam.

“Kau tahu bahwa semua yang kulakukan tidak hanya berpusat pada satu wanita, Bervis. Jadi, jangan menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu jawabannya.”

Bervis memilih bungkam dan mengangguk sebanyak satu kali.

Meskipun Sander mengatakan dia menutup portal dunia bawah agar para Iblis tidak mendapat serangan dari para Malaikat, tetapi jelas sekali dia juga melakukan itu demi gadis yang tadi menjadi pusat perhatian keduanya.

Karena kehadiran gadis itu dapat membuat ketidakseimbangan bagi dua makhluk yang saat ini sedang bersitegang. Usianya sebentar lagi menginjak delapan belas, dan bila mereka tidak siaga, bisa-bisa akan terjadi kekacauan di dunia.

“Sebaiknya kita kembali,” ujar Sander yang perlahan tubuhnya menghilang dalam rona cahaya.

“Bagaimana dengan bunga itu?”

Mendengar pertanyaan tersebut, tubuh Sander yang mulai memudar akhirnya utuh kembali.

Dia melirik sahabatnya itu dengan sebelah alis naik ke dahi.

“Aku sudah menaruhnya di jendela Angel sebelum kau tiba.”

Mendengar itu, Bervis menatap Sander seolah dia gila.

“Dia itu manusia, Sander! Bagaimana bila tangannya terluka begitu memegang bunga-bunga tersebut!”

Kini, Sander balas melotot seolah Bervis yang tidak tahu apa-apa.

“Gadis itu bukan manusia, Bervis! Buktinya tangan mulusnya tidak tergores sedikit saja,” kata Chrysander membela diri dan memaparkan kenyataan saat tadi Valleya menggenggam bunga kristal itu ke dalam dekapan.

Terdengar dengusan dari Bervis yang tidak mengira Sander bisa menjadi pria paling ceroboh. Bagaimana bila kulit Valleya terbakar karena menyentuh sesuatu yang tidak berasal dari Bumi. Saat ini Valleya adalah seorang manusia, dia masih belum berubah ke wujud aslinya.

“Sekarang kau memberinya Bunga mematikan, lalu besok … apa kau akan memaksanya untuk lompat dari ketinggian saat mengajari gadis itu untuk terbang?”

Beberapa detik Sander terdiam.

Seketika Bervis merasakan keringat dingin keluar dari pori-pori begitu melihat ekspresi sahabatnya yang tampak seperti sedang mempertimbangkan ide gila barusan.

“Jangan pernah kau memiliki pemikiran seperti itu … please,” ucap Bervis dengan suara rendah.

Sander menyeringai dengan sebelah alis naik ke dahi, sedang matanya menatap Bervis seolah mengatakan; memangnya kau bisa apa bila aku melakukan hal itu?

Yang seketika membuat Bervis ingin menepuk dahi ke dahan di sebelah.

“Dia masih hitungan bayi dalam dunia mereka!” kata Bervis meninggikan suara, sementara Sander hanya mengedikan bahu seakan tidak peduli.

Bayi atau tidak, Valleya harus bisa terbang di udara. Apa gunanya memiliki sayap bila tidak bisa dipakai, meskipun sayap gadis itu belum juga tumbuh. Atau mungkin Sander memeriksanya saja, dengan membuka baju gadis itu saat sedang tidur mungkin? Bukankah dia tidak akan tahu bila tidak memeriksanya sendiri?

“Dasar mulut lemasku ini,” rutuk Bervis pada diri sendiri. Dan dia pun menatap Sander tajam sembari berkata; “Sebaiknya kita pergi sebelum kau mendapat ide yang lebih gila.”

Sander hanya tersenyum dan tubuhnya seketika hilang dalam rona cahaya, yang diikuti Bervis belakangan.

“Dasar mesum,” desis Bervis sembari memutar bola mata bersamaan dengan rona cahaya melahap tubuhnya menuju dunia bawah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status