Emma merasa heran karena Ethand yang terdiam dan tidak bersuara lagi semenjak dirinya meminta pulang dengan taksi. Ia kembali mencerna tiap kalimat yang diucapkannya. Namun Emma tidak menemukan kesalahan di dalamnya. Lelaki itu juga bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Apakah ada sesuatu yang telah membuatnya terdiam dan enggan berbicara?
Ryan juga terdiam kala melihat raut wajah Ethand yang sudah tidak selembut sebelumnya. Ia tahu jika Ethand merasa kesal dengan Emma yang bersikeras untuk pulang dengan orang lain selain dirinya.
“Sudah pukul sepuluh lewat dua puluh menit, Ethand,” ucap Ryan. Emma menatap heran ke arahnya karena mendengar Ryan begitu santai memanggil atasan mereka.
“Baiklah.” Ethand bangkit berdiri kemudian berjalan turun dari roof garden tanpa memanggil Emma.
“Apakah pak Ethand sedang marah?” tanya Emma pada Ryan selepas Ethand meninggalkan mereka.
“Aku tidak tahu, Emma.” Ryan sengaj
Ada yang pandai menyembunyikan rasa selepas pedih menggerogoti. Ada yang trauma bahkan depresi akibat cinta dan harapan yang gagal. Selepas dari pedih dan kecewa tentu, ada rasa lega dan juga syukur kala ada hati yang mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan. Bukan keberuntungan tapi itulah hidup, harus ada pahit dan manis agar dapat membentuk pribadi yang baik dan tangguh.Wajah polos dan manis yang kini di tatap Ethand mampu membuat hati yang telah lama beku kini mulai berbunga. Ethand kembali duduk di kursi kemudi. Sejenak ia kembali menengok pada Emma yang masih terlelap. Dihembuskannya napas perlahan lalu kembali berbalik ke arah Emma.“Emma… Emma,” panggil Ethand pelan. Tidak ada reaksi dari wanita itu. Ethand tersenyum lucu melihat Emma yang hanya terdiam dalam tidur pulasnya.“Emma..,” panggilnya sekali lagi. Lagi-lagi tidak ada reaksi dari Emma. Ethand dengan tangannya memegang lengan wanita itu lalu diguncangnya per
Seorang wanita dengan long dress dipadukan dengan long coat berdiri di samping Rolls Royce. Tangannya dilipat di dada dan menatap lekat wajah Ethand. Raut wajahnya terlihat kesal namun berusaha tersenyum. Sangat jelas di mata Ethand jika wanita itu sedang kesal.Ethand enggan mendekat dan berdiri mematung dengan mata menyipit. Dari senyum wanita itu sepertinya ia mengenalinya. Melihat Ethand yang terus mematung dan enggan menanggapinya, wanita itu menghampiri Ethand.“Apakah kamu sudah melupakanku?” tanya wanita itu.Melihat wanita itu dari dekat Ethand baru menyadari siapa wanita itu. Mata yang semula menyipit kini kembali normal dan senyum ketus terukir di bibirnya. “Saya tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang dengan orang asing,” ucap Ethand dengan nada dingin. Untuk menatap wanita itu saja dia sudah jengah. Tidak ingin membuang waktunya, Ethand berjalan menuju lift. Wanita itu ditinggalkannya begitu saja.Sampai di
“Apakah ibu sudah siap?” tanya Emma yang sudah rapi dengan celana jeans berwarna navi dan baju kaos berwarna putih polos dipadukan dengan long coat warna cokelat. Rambutnya dibiarkan terurai.“Sudah, Kak.” Alin dengan jumpsuit denim yang sangat cocok di pakainya. Rambut di kuncir kuda dan tidak berdandan. Kedua kakak beradik itu cantik alami tanpa polesan make up yang berlebihan. Hanya bedak dan lipstik seadanya. Sedangkan bulu mata mereka lentik alami.“Sudah pada cantik semua. Ibu jadi tidak percaya diri nih.” Goda Ester pada kedua putrinya.“Kan cantiknya sudah di ambil oleh aku dan Kakak,” balas Alin. Emma hanya tertawa dan Ester hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.“Grab-nya sudah datang. Ayo kita berangkat.” Emma mendengar bunyi klakson mobil. Ia sudah memesan taksi sebelumnya.Mereka sama-sama menaiki taksi dan menuju ke Wilobi Mall. Mall terbesar dan teramai di Vunia.
Ryan sudah bangun sejak pukul lima pagi. Ia berniat untuk berangkat pagi ke kafe milik Jane.“Pagi, Ethand,” sapa Ryan pada Ethand yang baru saja bangun.“Hm,” Ethand dengan nada khas bangun tidur. Ia langsung bergegas mengambil air putih dan meminumnya. Ryan yang sedang duduk di meja makan dan memainkan ponselnya menatap heran pada Ethand yang minum air tapi mata masih tertutup.“Apakah kamu sudah sadar sepenuhnya?” tanya Ryan dengan nada khawatir.“Jika belum sadar bagaimana saya membedakan mana mulut dan hidung?” Ethand kembali melayangkan pertanyaan.Ryan langsung terkekeh lucu mendengar balasan dari Ethand. “Hari ini saya ada sedikit urusan. Sore baru kembali.”Ethand langsung berbalik menghadap sekretarisnya. Ia baru menyadari jika Ryan sudah rapi. “Temani saya ke Wilobi Mall terlebih dahulu,” balas Ethand.“Baiklah.” Ryan tidak bisa menolak perm
Langkah kaki Emma semakin cepat ketika menyadari bahwa Ethand sedang melihat ke arahnya. Ester dan Alin hanya bisa mengikutinya tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Dada Emma terasa sesak namun ia juga heran mengapa bisa seperti itu. Ethand bukanlah pasangannya.“Hanya karena perhatian lebih darinya membuatmu begitu mudah luluh, Emma.” Batin Emma sambil terus melangkah. Kakinya terus membawanya sampai pada sebuah tempat penjualan kelengkapan dapur. Ester dan Alin terengah-engah karena harus mengikuti langkah kakinya yang lumayan cepat.“Ada apa, Kak? Apa yang terjadi?” tanya Alin. Sudah berapa kali ia memanggil Emma namun kakaknya terus berjalan tanpa memedulikan panggilannya.Emma menghembuskan napas pelan. Ia memejamkan matanya sejenak dan dibukanya perlahan. “Tidak apa-apa kok. Sepertinya aku sedikit lelah.” Emma membalikkan badannya dan mendekat ke arah Ester. Namun Emma melihat Ethand sedang mencari keberadaannya. Emma lan
Bryan yang baru saja menerima berkas dari rekan kerjanya terkejut dengan kedatangan Ryan. Ia belum sempat menyimpan berkas itu. Wajahnya terlihat kahwatir dan juga gugup.“Hari ini sepertinya Pak Bryan menerima tamu penting.” Ryan langsung mendaratkan bokongnya di sofa dan memangku kakinya. Ia dengan senyum tulus namun terlihat mematikan di mata Bryan.Bryan tahu jika Ryan bukanlah sekretaris biasa Alves Corp. Lelaki ini sudah dipercaya oleh tuan Alves dan juga Giorgino. Sekarang Ethand pun demikian. “Hanya tamu biasa, Pak,” balas Bryan.“Saya tidak suka basa basi, Bryan.” Nada suara Ryan kini berubah. Bryan tidak mampu menelan salivanya.“Ma-maafkan saya, Pak.” Bryan lansgung berlutut di depan Ryan. Melihat tingkah Bryan, Ryan semakin kesal.“Maling kalau ketahuan sikapnya sangat tidak tahu malu,” umpat Ryan dengan nada kesal. “Pak Ethand yang menyuruh saya ke sini. Jadi tidak ada k
Dunia memang selebar daun kelor. Ethand tidak menyangka, urusan penting sekretarisnya hari ini adalah datang ke kafe ini. Setelah mendengar nama Jane, Ethand tidak menyangka bahwa wanita itu adalah sahabat dekat Emma. Sungguh kisah cinta mereka sangat luar biasa. Ethand menggeleng kepalanya dan terdiam menatap lekat Ryan.“Apakah pak Ryan sering ke kafe ini?” tanya Emma penasaran. Jika memang Ryan sering datang ke sini maka Emma tentu mengetahuinya karena dirinya senantiasa menghabiskan waktu di kafe ini bersama sahabatnya.“Baru hari ini saya datang.” Jawaban Ryan membuat semua yang ada dalam mobil bingung.“Bukankah tempat ini adalah tempat makan favorit Nak Ryan?” tanya Ester.“Mulai hari ini, Bu,” jawab Ryan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ethand hanya membuang tatapan kesal. Ester hanya manggut-manggut dan berusaha mencerna kalimat Ryan. Dahinya mengernyit dan berbalik menoleh ke arah Emma
Jane dengan dahi berkerut terus menatap Ryan. Sejak kapan lelaki ini seakan-akan menjadi dekat dengannya. Berujar seenaknya dan bahkan menggombalnya. “Maaf, saya tidak bisa menemani Anda makan.” Jane langsung berbalik dan pergi menuju meja kasir. Raut wajahnya terlihat kesal.“Apakah aku telah salah berucap?” Ryan bertanya pada Ethand yang sedang menatapnya jengah. “Ataukah dia terpukau dengan perkataanku?” Ryan dengan senyum sumringah.“Hari ini baru saya bertemu dengan lelaki murahan.” Ethand sedikit berbisik. Emma di hadapannya langsung menahan tawa dengan tangannya. Raut wajah Ryan langsung berubah. Diletakannya sendok dan garpu lalu dilipat kedua tangannya.“Emma…” Ryan menatap nanar makanan di hadapannya. “Apakah aku telah salah berucap?” Emma yang hendak menyantap makanannya seketika mengurungkan niatnya.“Sudah berapa kali Pak Ryan bertemu dengan Jane?” tany