Sejak kembali dari kafe Janasses Ethand hanya terdiam dan enggan berbicara. Berbeda dengan Ryan yang sejak tadi merona karena bahagia. Sesekali ia menengok ke belakang namun Ethand tidak menanggapinya. Ryan hanya bisa ikut terdiam tanpa bertanya pada lelaki dingin itu.
Sesampainya di Eves The Hill Vunia Ethand turun dari mobil dan langsung menuju ke private lift. Ryan hanya bisa memaklumi atasannya.
“Apakah dia lagi kesal?” Ryan pun melepaskan sabuk pengaman dan menyusul atasannya ke penthouse. Seorang diri di dalam private lift membuat Ryan mengantuk apalagi kekenyangan karena baru usai makan siang.
“Di manakah dia?” Ryan menjelajahi ke seluruh ruangan dan mencari keberadaan Ethand namun tidak menemukan keberadaannya. “Apakah dia langsung ke kamar?” Ryan hanya bisa menghela napas kesal dan mendaratkan bokongnya di sofa panjang ruang tamu.
Di dalam kamar bernuansa monokrom, Ethand duduk di side chair seraya memegang seg
Hari ini adalah hari senin. Sudah hampir sebulan Emma bekerja di Alves Corp. hari ini pula akan dilakukan uji coba terhadap program yang ia dan Sobig kerjakan. Semalam Emma sudah melakukan uji coba sendiri di rumahnya. Semua berjalan sesuai dengan logaritma rancangannya. Yang dikerjakan oleh Sobig juga sesuai dengan apa yang diharapkannya.“Makan dulu, Emma.” Suara Ester setelah membuka pintu kamar Emma tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia tahu jika Emma sudah selesai mempersiapkan diri setelah melihat jam di dinding.“Iya, Bu.” Emma sudah rapi dengan kemeja berwarna putih dengan motif garis yang terkesan santai dan sensual. Kancing bagian atas sengaja di copotnya agar terkesan lebih sensual namun masih sopan dan juga celana palazzo sebagai paduannya. Lengkungan tubuhnya yang ramping terlihat jelas hal itu membuat Ester berpikir sejenak.“Kenakanlah blazer untuk berjaga-jaga, Emma,” ucap Ester.Emma yang sedang memasuk
Ethand bukan tidak ingin bertemu dengan Emma namun ia harus membatasi diri agar jangan sering muncul di hadapan wanita itu. Bahkan dengan berat hati ia mengabaikan Emma. Tanpa menyapa dan berbincang hanya ekor matanya yang diam-diam memperhatikan wanita itu.Setelah seminggu lamanya mengabaikan Emma, hari ini dirinya harus menelan kekesalan lantaran Emma yang mengabaikannya. Baru di rasakannya jika diabaikan ternyata sangat menjengkelkan.“Selamat pagi, Pak.” Ryan yang sudah menunggu di depan ruangan Ethand bersiap dengan berkas untuk ditandatangani. Ryan mengernyit kala melihat raut wajah suram dari atasannya itu. Padahal masih pagi namun Ryan tidak menemukan semangat dalam raut wajah lelaki itu. Ia segera membuka pintu ruangan untuk Ethand.“Pagi ini akan diadakan uji coba program baru dengan tim IT, Pak.” Ryan memberikan berkas pada Ethand. Lelaki itu menerima tanpa bersuara. Ia hanya melihat cover depan laporan itu lalu diletakannya d
Emma menajamkan penglihatannya pada layar ponsel sembari kembali membaca isi pesan itu. Untuk memastikan pesan tersebut, Emma memberanikan diri melihat ke arah lelaki yang ditakutinya kini. Ia segera berpaling kala netra tajam lelaki itu juga sedang menatap ke arahnya. Tangannya langsung meraih blazer hitamnya dan memakainya. Sudah dua kali Ethand mengharuskannya memakai blazer dan tidak tampil sensual. Ada apa dengan lelaki ini?“Saya persilahkan kepada NN untuk melakukan uji coba dan mempresentasikan hasil program.” Suara Mac menyadarkan Emma dari pikirannya. Ia segera berdiri dan mengambil mikrofon dari Mac.Emma menarik napas dalam lalu dihembuskannya perlahan. Ia mulai membuka hasil program yang dikerjakannya bersama dengan Sobig. Desain Front-end sangat bagus. Emma mulai mnjelaskan cara mengoperasikannya.“Selain di enkripsi, program ini juga dapat mendeteksi posisi peretas. Selain itu juga, kita memasukan alert ke dalam aplikasi ini agar
Hari yang sungguh melelahkan bagi Emma. Padahal hari ini ia berhasil mempresentasikan program yang dibuatnya. Entah mengapa hati dan tubuhnya seperti bekerja sama menggerogotinya dengan rasa lelah kali ini. Dengan lunglai ia keluar dari gedung Alves Corp. Matahari hampir terbenam di ufuk barat. Jalanan semakin ramai karena waktunya para pekerja pulang ke rumah.“Emma Liandra…” Suara seorang lelaki membuat langkah Emma terhenti. Untuk menoleh ke arah sumber suara pun ia tidak sanggup. Alhasil, terdengar langkah kaki seseorang menghampirinya. Tidak lama kemudian lengannya di pegang oleh lelaki yang belum diketahuinya itu. “Mengapa kamu seperti manusia tanpa jiwa, Emma? Mati enggan hidup pun tak mau.”“Jenaver?” Emma perlahan melepaskan genggaman tangan lelaki itu dilengannya. Bukan tidak nyaman namun ia menyadari siapa Jenaver sebenarnya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Emma mengingat status Jenaver adalah putra Prima.
Sudah pukul 7 malam. Emma sudah rapi dan bersiap untuk menghadiri acara makan malam. Gaun sequin yang dikenakannya memiliki efek gemerlap dengan aksen ruffles dan drapery, sungguh memikat hati bagi mata siapa saja yang memandangnya.Taksi sudah di pesannya. Emma duduk di ruang tamu sembari memainkan ponselnya. Di grup chat tim IT sangat heboh karena saling bertanya posisi masing-masing. Hanya Emma lah yang tidak memberitahukan posisinya sehingga membuat para pria itu terus menanyakannya. Emma hanya menahan senyumnya kala membaca chat dari Json.“Apakah mereka pikir aku tidak datang?” Emma hendak membalas namun diurungkannya. Ia membiarkan mereka penasaran.Lima belas menit kemudian, taksi pun datang. Emma segera berpamitan pada Ester dan segera berangkat menuju restoran Qnita.Ketika membaca nama restoran, Emma kembali teringat pada peristiwa beberapa minggu yang lalu. Di mana ia kehujanan dan Ethand hadir membawa payung dan memakaikan j
Perkataan Emma membuat lidah Ethand kelu. Sepertinya wanita di hadapannya yang sedang menatapnya lekat memang menyimpan luka jauh di lubuk hatinya. Pada kenyataannya, dirinyalah menambah luka pada hati wanita yang masih rapuh itu.“Jika aku memperlakukanmu sama seperti caramu memperlakukanku, aku pastikan kamu akan membenciku.” Emma tertunduk sejenak. Ia seperti merasa muak menatap manik hitam tajam namun teduh baginya. Sobig dibelakangnya berusaha menarik Emma menjauhi atasan mereka. “Lepaskan! Aku harus membinanya.” Emma kemudian berdiri dan dengan jari telunjuk mengarah pada Ethand. Semua yang hadir hanya memelotot dengan mulut membentuk huruf ‘o’.“Jangan bertingkah seolah-olah kamu mencintaiku namun di sisi lain malah bertingkah sebaliknya. Aku hukk…” Emma tersedak dan matanya segera mencari air. “Air..,” pintanya sembari mengguncang lengan Ethand.Ryan segera mengambil sebotol air yang ada
Emma menggeliat. Cahaya sinar matahari yang menerobos masuk di sela-sela gordennya menampar wajahnya. Dengan wajah memelas, Emma mencoba kembali terlelap. Namun matanya tiba-tiba terbuka.“Jam berapa ini?” Emma sontak bangkit dari tidurnya. Matanya sibuk mencari benda segi empat yang selalu menemaninya. Ia menggaruk kepalanya karena tidak menemukan benda itu. “Dimana ponselku?” Emma beranjak turun dari ranjangnya dan segera menuju ke kamar mandi. Langkahnya terhenti di depan cermin dan menyadari jika gaunnya masih melekat di tubuh rampingnya.“Apa yang terjadi semalam yah?” Dahinya mengernyit sembari berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Hal terakhir yang diingatnya adalah Ethand memberikan udang padanya. Samar-samar ia mengingat kalimat yang dilontarkannya pada lelaki itu.“Mampus…” Emma memegang pelipisnya. Bagaimana bertemu atasannya hari ini? Emma menyandarkan badannya di dinding. Kepalanya dibentur
Bunga Camelia sedang berbunga dengan indahnya. Sebagian bunganya jatuh ke tanah dan menampakkan pemandangan yang memanjakan mata. Sebuah kursi kayu panjang terletak di bawah Camelia. Akan sangat menyenangkan jika duduk di bawahnya.Jane melangkahkan kaki menuju ke sana. Setelah seharian mengalami writer block, ia memutuskan untuk mencari inspirasi dengan datang ke taman Camelia itu. Taman Camelia adalah satu taman terindah di Vunia. Aroma Camelia tercium di hidungnya. Sungguh menenangkan. Jane mendaratkan bokongnya di kursi kayu itu.Untuk sesaat ia memejamkan mata dan berusaha menenangkan pikirannya. “Karena sudah mendapat kenyamanan dan keindahan ini, hari ini harus menebus dengan menulis sepuluh ribu kata,” ucap Jane dengan tekad menaklukan dirinya sendiri.“Apakah kamu tertidur?” Suara seorang lelaki membuat Jane terkejut dan segera membuka matanya. Betapa terkejutnya ia kala seorang lelaki dengan wajah yang berjarak sepuluh senti saj