Share

Prisoner or Pet?

Abimana segera menggendong gadis tersebut dan menuju kamar dilantai dua yang sudah disiapkan oleh pelayan.

Gadis itu dibaringkan diranjang dengan perlahan. Abimana menatap bibir ranum gadisnya, sangat menggoda.

Abimana melepas dasi kupu-kupunya dengan kasar. Ia tak tahan melihat tubuh polos gadis didepannya. Entah namanya siapa, namun wajahnya memang sangat cantik. Apalagi ketika ia tertidur seperti bayi sekarang ini.

Sangat menggemaskan.

Abimana mengecup bibir manis itu sekilas. Ia harus menahannya sampai besok. Ia ingin meniduri gadis ini saat ia sadar. Agar ia bisa mendengarkan gadis ini mendesah seraya menyebut namanya.

Abimana menyeringai , lalu keluar dari kamar itu.

Ia memanggil kembali pelayan.

"Maya, gantikan pakaian gadis itu dan sekalian tubuhnya dilap saja dengan air hangat," perintah Abimana.

Maya, hanya mengangguk dan menunduk hormat. Dengan sigap, ia segera melaksanakan perintah Abimana.

Abimana segera memasuki kamarnya yang berada tepat disebelah kamar gadis itu. Ia harus mendinginkan tubuhnya.

•••

"Nona, silakan mandi dulu, setelah itu anda bisa sarapan dibawah. Tuan Abimana sudah menunggu," Maya sudah masuk kedalam kamar tempat Luna tertidur semalam.

"Tuan Abimana?" Luna bertanya.

"Iya Nona. Tuan Abimana yang semalam membawa Nona kesini," Maya menjelaskan.

"Jadi, itu namanya. Aku akan mandi! Tapi aku tidak mau sarapan dibawah," Luna melengos pergi meninggalkan Maya yang terdiam dan menuju kamar mandi.

Maya segera menyiapkan pakaian untuk sang Nona. Titah Abimana, ia diharuskan melayani Nona kecil ini. Jadi, Maya akan melaksanakan tugasnya. Walau si Nona kecil itu terlihat tidak menyukainya.

Dua puluh menit kemudian, Luna keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk kimono hitam. Ia tidak melihat pelayan tadi. Mungkin sudah keluar.

Ia lihat pakaian sudah siap diatas ranjang.

Ia segera memakainya dan mengeringkan rambutnya. Saat ia sedang fokus mengeringkan rambut , ia tidak mendengar pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Saat ia menegakkan kepalanya, betapa terkejutnya ia saat melihat dicermin ada Abimana berdiri dibelakangnya sedang menatapnya dengan intens.

Luna segera berdiri dan menjaga jarak dengan pria yang bernama Abimana.

Pria itu, mungkin sekitar tiga puluhan. Memang tampan, namun auranya menyeramkan. Kini pria itu memakai setelan jas kantor berwarna abu-abu. Ia sudah rapi. Mungkin akan berangkat ke kantor.

"Ternyata memang cantik," Abimana menyeringai.

Ia berjalan perlahan mendekati Luna yang berwajah cemas. Abimana geli melihatnya, ini akan menjadi mainan yang mengasyikkan sepertinya.

Abimana meneliti penampilan Luna dari atas hingga bawah. Ia memakai dress cantik dengan belahan dada yang rendah.

"Aku tidak salah memilihnya, itu cocok untukmu," Abimana masih mendekati Luna.

"Jangan mendekat!" Luna berteriak.

"Tidak sopan! Aku sudah mengurusmu tapi kau malah berteriak seperti itu," Abimana menekan kedua bahu Luna dengan kencang dan menghimpit tubuhnya ke dinding.

"Lepas brengsek!" Luna masih berusaha berontak.

"Ini masih pagi, jangan memancing emosiku! Cepat sarapan, aku banyak pekerjaan hari ini. Kuharap kau makan yang banyak, karena untuk melayaniku kau butuh tenaga yang besar," Abimana berbisik ditelinga Luna dan itu membuat tubuh Luna seketika merinding.

"Siapa namamu?" Lanjutnya.

Luna diam, hanya menatap netra hitam pekat milik Abimana.

"Sebutkan namamu," Abimana mengelus lembut surai coklat Luna hingga tangannya tiba-tiba menarik kencang surai tersebut.

Luna meringis kesakitan, ia memegang tangan Abimana yang mencengkram rambutnya.

"Namamu?!" Abimana.

"Lu___na," Luna sudah tidak tahan, air matanya mengalir. Kepalanya sakit sekali.

"Baiklah Luna. Jangan coba-coba melawanku. Aku akan segera membelikanmu make up," Abimana melepas cengkramannya dan mengusap lembut rambut Luna. Ia melirik ke meja rias yang kosong, tak ada benda apapun untuk merias wajah gadis ini.

Walaupun Luna tetap cantik tanpa make up, hanya saja, mainannya harus terlihat menawan.

"Maya akan mengurus kebutuhanmu. Jangan coba-coba lari," Abimana mengecup pipi kanan Luna dan keluar dari kamar Luna.

Luna terduduk dilantai. Ia masih menahan tangisnya. Entah ia harus pasrah menerima nasibnya atau mencoba melarikan diri.

Ia tidak tahu lagi. Rasanya ia ingin mati saja.

Pintu kamar terbuka dan Maya melihat Luna masih terduduk dilantai dengan air mata yang mengalir. Walau tidak ada isak tangis, namun air matanya terus mengalir. Maya membantu Luna bangun dan mendudukkannya di sofa dekat jendela.

"Nona, sarapan dulu ya? Saya akan membawanya kesini," Maya bergegas keluar tanpa menunggu jawaban dari Luna.

Luna masih termenung menatap kearah luar jendela.

Kini Luna sedang sarapan ditemani oleh Maya. Luna yang memintanya agar menemaninya.

"Nona. Ada lagi yang ingin Nona makan? Mungkin buah?" Maya.

"Panggil Luna saja."

"Maaf Nona, tidak bisa. Nanti Tuan akan marah," Maya menunduk.

"Kalau tidak ada Tuanmu yang brengsek itu, kamu bisa panggil aku dengan Luna. Sekarang kita kan hanya berdua," Luna menatap Maya dengan penuh harap. Ia risih dipanggil Nona.

"Baiklah," Maya menghela napasnya.

"Usiamu berapa Maya?" Luna.

"21 tahun. Kamu?"

"19 tahun, tiga hari yang lalu," Luna memakan kembali rotinya.

"Selamat ulang tahun ya Luna, walau terlambat, tapi masih terasa kan?" Maya tersenyum.

"Tidak perlu lagi. Hari ulang tahun terburukku. Diculik, dijual dan sekarang aku berakhir disini," Luna meminum susunya.

"Aku memang tidak paham mengenai hidupmu, tapi semoga suatu saat nanti kamu bisa hidup bahagia Luna. Tuhan itu baik, Dia tidak akan membiarkan umatNya selalu dalam pesakitan."

"Kurasa____ saat ini Tuhan sedang sibuk mengurus hal lain. Saat aku diculik, Tuhan tidak datang saat aku meminta pertolongannya," Luna memandang Maya.

"Luna, suatu saat nanti. Pasti. Percayakan semua pada Tuhan," Maya menggenggam tangan Luna dengan lembut.

"Ehem, Maya. Bagaimana kamu bisa bekerja disini?" Luna tak ingin meneruskan cerita hidupnya yang sangat miris.

"Aku menggantikan ibuku. Ia sedang sakit, makanya aku yang sekarang menggantikannya."

"Kenapa kamu mau bekerja disini?" Luna.

"Gajinya sangat besar dan lagi tidak terlalu melelahkan. Hanya saja, semua yang kita lihat dan dengar di mansion ini, tidak boleh kami katakan pada pihak luar. Kami harus menutup mata dan telinga kami disini," Maya menjelaskan.

Luna mengangguk paham.

"Sebenarnya, Tuanmu itu apa pekerjaannya?"

"Beliau memiliki perusahaan besar dibeberapa wilayah. Nanti kamu akan tahu kok," Maya.

Ditempat lain...

Abimana saat ini sedang duduk dikursi kebesarannya. Ia menatap tablet didepannya dengan sesekali tersenyum.

Ia sedang melihat Luna memakan sarapannya ditemani oleh Maya.

Semua percakapan mereka pun terdengar olehnya.

Dan kalimat 'Tuanmu yang brengsek itu' pun tak luput dari telinga Abimana.

"Berani sekali gadis ini," Abimana menggelengkan kepala melihatnya.

•••

"Luna, sekarang mandilah. Sebelum makan malam, kamu sudah harus rapi," Maya memberitahunya.

Luna segera ke kamar mandi. Maya seperti biasa, menyiapkan bajunya yang akan dipakai.

Tak lama, Luna sudah selesai mandi dan segera memakai pakaian yang sudah disiapkan. Ia duduk di depan meja rias. Kini, meja riasnya sudah penuh dengan aneka produk perawatan kulit wajah hingga kaki. Tak lupa juga make up bermerk terkenal dan mahal.

Barang-barang itu datang tadi siang. Asisten Abimana--- Vino yang mengantarnya. Abimana menepati ucapannya untuk membeli peralatan make up lengkap.

Luna tak habis pikir, berapa harga semua barang ini. Ia yakin gajinya pun tidak akan cukup untuk membeli ini semua. Sekaya apa si Abimana ini?

Luna segera memakai riasan wajah ringan saja dan mengolesi seluruh tubuhnya dengan lotion yang harum yoghurt. Segar.

Luna tidak pernah memakai barang-barang mahal ini seumur hidupnya.

Setelah selesai makan malam, Luna kembali ke kamar. Ia membaca beberapa novel dan majalah milik Maya yang ia pinjam.

Luna tadi makan malam sendiri. Abimana tidak pulang.

Syukurlah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status