Share

Sebelum Mati Rasakan Nerakaku Dulu!

Pukul 10.00 a.m

Luna mengerjap-ngerjapkan matanya yang terkena sorot sinar matahari dari jendela kamarnya yang sudah dibuka tirainya.

Tubuhnya masih telanjang, hanya berbalut selimut tebal hingga batas dadanya. Ia susah bergerak.

Pergelangan tangannya memerah akibat ikatan dari ikat pinggang Abimana.

Terlebih intinya sangat perih. Rasanya susah sekali ingin berjalan.

Lalu pintu kamar terbuka, muncullah Maya. Maya melihat kamar Luna sangat berantakan. Piyama tidur Luna yang robek teronggok dilantai beserta dalamannya. Ada kemeja Tuan Abimana juga yang berserakan di lantai. Seperti sehabis bertempur hebat.

Maya segera merapikan pakaian yang berserakan itu. Ia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia melihat Luna diranjang tengah duduk bersandar pada kepala ranjang, sedang menatap kearah luar jendela. Tampilannya sangat berantakan. Rambut yang acak-acakan. Wajah sembab, mata merah dan bengkak.

"Maya, tolong bantu aku ke kamar mandi." Luna berkata dengan wajah datarnya.

Maya merespon dengan cepat, ia menuntun Luna ke kamar mandi tanpa sehelai benang ditubuh Luna. Luna berjalan dengan tertatih-tatih. Ia meringis merasakan perih pada intinya.

Maya membelalakkan matanya tak percaya, tubuh Luna penuh memar dari punggung hingga paha belakangnya. Tubuh putihnya sangat kontras dengan warna lebam ditubuhnya.

Sepanjang leher Luna, banyak terdapat kissmark.

Sungguh miris melihat keadaannya.

"Luna__ tubuhmu." Maya tidak dapat melanjutkan perkataannya. Ia bingung.

Ia mendengar teriakan Luna semalam, ia mendengar suara tangis Luna.

Ia mendengar segala umpatan yang keluar dari mulut Luna dan Abimana. Ia mendengar desahan Abimana.

Namun ia tak bisa berbuat apa-apa.

Kamar Luna tidak kedap suara, tidak seperti kamar Tuan Abimana.

"Maya, tolong bawakan aku salep anti iritasi dan memar ya." Luna berkata saat ia sudah berdiri didepan wastafel kamar mandinya.

Maya segera keluar kamar mandi dan keluar kamar menuju lantai bawah untuk mengambil kotak P3K.

Luna menatap wajah hingga seluruh tubuh polosnya. Wajahnya sudah seperti mayat hidup.

Tubuhnya begitu banyak lebam berwarna keunguan dan di paha belakangnya terdapat garis merah akibat cambukan dari ikat pinggang Abimana.

Abimana seperti iblis ketika sedang bercinta. Ia melakukan kekerasan fisik dan ia sangat bergairah saat melihat Luna merasakan kesakitan.

"Maaf Luna, tapi inilah diriku. Aku bergairah saat melihat wajah kesakitan mu. Itu sangat menggemaskan."

Begitulah semalam ia berkata pada Luna di pertengahan pergulatan panas mereka.

Luna menangis, ia tatapi lekat-lekat dirinya dicermin. Ia sudah kotor, hina, tak bernilai.

Ia melihat botol shampo yang besar, ia lemparkan kearah cermin dengan kencang.

Praangg!

Pecahan cermin terlempar ke sembarang arah. Ada beberapa yang mengenai wajahnya hingga ia tergores dan mengeluarkan darah. Ia mengambil pecahan cermin yang ujungnya sangat runcing.

Ia tatap kembali dirinya.

Ini lebih baik, dia sendirian didunia ini.

Bahkan Tuhan sekarang tidak berpihak padanya.

Ia goreskan dengan penuh tekanan pecahan cermin itu ke pergelangan tangannya hingga robek dan mengeluarkan darah sangat banyak.

Ia melihat pergelangan tangannya.

Sakit.

Tapi ini akan berakhir sampai disini saja.

Tak lama semuanya tampak gelap. Luna terjatuh dilantai.

Tak selang berapa lama, Maya muncul membawa kotak P3K permintaan Luna. Betapa terkejutnya ia melihat Luna tergeletak dilantai dengan bersimbah darah.

"Toolooooong!" Teriak Maya. Ia berlari keruangan kerja milik Abimana yang hanya lewat dua pintu saja dari kamar Luna.

Beruntung Abimana hari ini tidak pergi ke kantornya. Ia memilih bekerja dari rumah karena lelah melakukan aktivitas seksnya bersama Luna semalam.

Abimana terkejut melihat Maya, si pelayan dengan tidak sopannya memasuki ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Saat ia ingin memprotes tindakan si pelayan, ucapan Abimana tersangkut di tenggorokannya saat Maya berkata...

"Tuan, Nona Luna__ pingsan. Ia __ merobek pergelangan tangannya. Tolong Tuan." Maya berkata dengan gugup dan terengah-engah.

Abimana seketika melotot tajam kearah Maya. Ia segera keluar ruangan dan menuju kamar Luna.

Betapa terkejutnya Abimana melihat tubuh Luna sudah bermandikan darah.

"Segera telpon Dokter Syamsir untuk kesini, cepaaat!" Abimana berteriak pada Maya.

Abimana langsung mengangkat tubuh Luna keatas ranjang dan menyelimutinya. Ia ikat pergelangan tangan Luna dengan bajunya. Ia lepaskan kaos santainya untuk menghentikan pendarahan pada pergelangan tangan Luna.

Ia menatap Luna dengan tajam. Wajah Luna sudah sangat pucat, seluruh tubuhnya penuh memar. Pergelangan tangan kanannya memerah akibat ikatan yang kencang semalam.

Entah apa yang ada dipikiran Abimana saat ini. Ia hanya diam dan menatap tajam sosok Luna yang sedang terbaring diranjang.

*

*

*

"Memar itu__ ulahmu kan?" Tanya Dokter Syamsir pada Abimana yang masih berdiri disamping Dokter namun tatapannya tak lepas dari Luna yang masih tergolek lemah diranjang.

"Sebaiknya kau konsultasi pada psikiater." Lanjut Dokter Syamsir.

"Aku tidak gila!" Abimana protes.

"Itu untuk mengontrol obsesimu pada kesakitan orang lain. Kau melakukan sex dengan kekerasan dan itu tidak bisa ditolerir. Kecuali partner sex mu memang menyetujuinya. Sedangkan dia?" Dokter Syamsir menatap Luna dengan kasihan.

"Dia akan segera menyetujuinya nanti. Ia hanya belum terbiasa." Abimana.

"Dia terlihat seperti gadis baik-baik. Dan sepertinya masih terlalu belia untuk mengalami hal seperti ini."

"Aku membelinya di tempat lelang."

"Ya Tuhan Abimana! Apa yang sudah kau lakukan? Itu ilegal. Jangan-jangan ia korban penculikan. Pasti keluarganya sangat mengkhawatirkannya." Dokter Syamsir menatap Luna.

"Cerewet! Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan sadar?" Abimana.

Dokter Syamsir hanya menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan otaknya Abimana.

"Dia akan segera sadar. Beruntunglah, lukanya memang dalam tapi tidak sampai mengenai urat nadinya. Dengan kata lain, ia tidak akan mati dengan cepat. Kecuali kau yang selalu menyakitinya." Dokter Syamsir menatap Abimana dengan ketus.

"Kau ini! Kenapa memihaknya? Aku yang membayarmu." Abimana duduk di sofa dekat ranjang.

"Baiklah. Aku sudah selesai. Setelah dia sadar, minumkan obatnya sampai habis. Besok aku akan datang lagi, untuk mengecek infusnya." Dokter Syamsir beranjak dari kamar Luna meninggalkan Abimana disana.

Abimana tidak merespon Dokter Syamsir, ia masih menatap lekat tubuh Luna. Lalu ia beranjak menuju ranjang Luna. Ia berdiri seraya memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana panjangnya. Masih dengan sorot mata tajamnya, ia menatap Luna.

"Jadi, kau lebih memilih mati daripada bersamaku? Bertekad juga dirimu." Abimana pergi keluar dari kamar Luna. Ia memanggil Maya agar membersihkan tubuh dan rambut Luna yang terkena darah.

"Tuan, Nona Luna sudah saya bersihkan." Maya menunduk hormat pada Abimana yang sedang sibuk dengan tabletnya diruang kerjanya.

"Pakaiannya?" Abimana bertanya tanpa menoleh pada Maya.

"Sudah saya pakaikan."

Abimana beranjak dari kursinya dan menuju kamar Luna, diikuti oleh Maya dibelakangnya.

Lalu Abimana menggendong ala bridal tubuh Luna dan Maya membawakan tiang infusnya dengan hati-hati mensejajarkan bersama langkah Abimana.

Luna dibawa ke kamar Abimana. Ia dibaringkan diranjang dengan sangat hati-hati. Lalu tubuhnya diselimuti. Maya menaruh tiang infusnya disamping ranjang dan segera pergi meninggalkan mereka berdua di kamar tersebut.

•••

Luna mengerjapkan kedua matanya. Dibuka kedua matanya, ia menatap langit-langit kamar yang berbeda dari kamarnya. Ia menoleh kearah jendela yang tirainya sudah dibuka, terlihat sinar mentari pagi sangat hangat menerpa wajahnya.

Aku tidak mati?

Ia pejamkan matanya dan menghela napasnya panjang.

"Sudah bangun?" Suara pria itu memecah keheningan.

"Kenapa menolongku?" Luna belum membuka matanya.

"Karena uangku habis hanya untuk membelimu. Jadi, kau tidak boleh mati semudah itu."

"Aku hanya ingin mati! Aku benci melihatmu! Sialan!" Luna berteriak, sorot matanya penuh kebencian menatap Abimana yang masih berdiri tak jauh dari ranjang.

"Sebelum mati___kau harus merasakan nerakaku dulu Luna," Abimana mendekat dan menyeringai.

"Devil, brengsek! Bajingan! Aku benci dirimu!" Luna berusaha melepas jarum infus dengan menariknya paksa. Ia berdiri menghampiri Abimana dan menampar wajahnya dengan keras.

Abimana tak menunjukkan reaksi apapun. Ia masih menatap Luna dengan datar.

"Sepertinya kau sudah sehat. Nanti malam persiapkan dirimu dengan cantik. Aku tidak tahan tidak menyentuhmu semalaman." Abimana terkekeh.

Luna tak habis pikir dengan pria iblis didepannya ini. Tak punya hatikah ia?

Apa Tuhan menciptakannya saat stok hati sedang kosong?

Atau memang ia diciptakan oleh iblis? Bukan Tuhan yang menciptakan pria ini.

"Sebanyak kau menyentuhku, sebanyak itu pula aku akan mencoba terus untuk mati!" Luna tersenyum miring mencemooh.

"Lakukan! Lakukan sesukamu, sampai kau bosan hidup dan bosan mati. Aku menunggu." Rahang Abimana mengetat, sorot matanya tajam bagai pedang. Ia cengkram pipi Luna dengan kencang.

Berani sekali jalang kecil ini mengatakan seperti itu. Abimana benci jika ada seseorang yang menolaknya.

Ia pergi meninggalkan Luna. Sebelum Abimana mencapai handle pintu, Luna melempar lampu tidur yang ada di atas nakas kearah Abimana. Namun karena masih lemah, lampu tersebut tidak mengenai kepala Abimana. Hanya menyenggol bahu iblis itu.

Praangg!

Abimana tersentak merasakan benda keras mengenai bahunya. Ia melihat lampu tidur sudah pecah berserakan dilantai. Ia berbalik, menghampiri Luna.

"Kali ini, aku akan sedikit lembut padamu. Mengingat kau masih lemah." Abimana memajukan wajahnya ke wajah Luna.

Luna memukul-mukul dada kekar Abimana sekuat tenaganya. Ia menangis seraya mengumpat kata-kata kasar untuk Abimana. Abimana tidak merespon, pukulan Luna terlalu lemah. Bahkan tubuhnya tidak bergeser sama sekali.

Luna merasakan pandangannya menggelap.

Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri lagi.

"A__aku membencimu, Abimana__brengsek." Kalimat terakhirnya sebelum Luna tak sadarkan diri.

Tubuhnya hampir membentur lantai, jika saja Abimana tidak menahannya.

"Akhirnya kau menyebut namaku, Luna." Abimana tersenyum. Ia menggendong tubuh lemah Luna. Ia baringkan kembali ke ranjang.

Ia mengganti perban di pergelangan tangan Luna. Darahnya keluar lagi. Akibat gerakannya saat memukul Abimana.

*

*

*

"Kau ini! Seharusnya kau bersikap lebih lembut. Jiwanya tertekan." Dokter Syamsir sedang memeriksa luka di pergelangan tangan Luna yang terbuka kembali. Lukanya belum mengering.

"Dia yang memancing emosiku! Berani sekali dia melempar lampu kearahku!" Abimana memberenggut.

"Bernyali juga gadis kecil ini padamu." Dokter Syamsir tersenyum.

Tiba-tiba Luna bereaksi, sepertinya ia sudah mulai sadar.

Luna membuka matanya dan ia melihat kearah Dokter Syamsir.

"Halo Luna, saya Dokter Syamsir. Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya Dokter.

"Buruk." Luna menjawab dengan wajah datar seraya melirik kearah Abimana.

"Kau harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak berpikir. Dan rajinlah meminum obatmu, supaya lekas sehat kembali."

"Aku hanya ingin mati."

"Ehem, Luna, tolong jangan melakukan hal konyol lagi. Kau tahu? Abimana sangat mencemaskan mu." Dokter Syamsir melirik Abimana.

Abimana langsung menatap tajam kearah Dokter Syamsir.

Luna melirik sinis kearah Abimana.

"Baiklah Luna, kau harus makan dulu sebelum meminum obatmu. Nanti Maya akan mengantarkan makanan kesini." Dokter Syamsir beranjak dari sisi Luna.

Ia keluar dengan menarik tangan Abimana.

"Ada apa?!" Abimana sontak melepaskan tangan Dokter Syamsir dengan kasar.

"Jangan terlalu kasar padanya. Nanti jika dia mati bagaimana?"

"Biarkan saja, itu memang keinginannya."

"Dia sangat cantik. Sayang sekali jika harus mati cepat. Jika kau memang tidak menginginkannya, berikan padaku!" Dokter Syamsir menatap lekat netra hitam Abimana.

"Kau!" Abimana melotot.

"Kenapa?! Aku sepertinya tertarik padanya. Dia bukan gadis murahan. Setelah kau tiduri, bahkan ia bersikeras ingin mati. Jika kau memang tidak berminat padanya, berikan padaku!" Dokter Syamsir tampak serius dengan ucapannya.

Abimana terdiam sejenak.

"Huh, aku belum puas menikmatinya. Aku sudah membelinya dengan mahal!" Wajahnya kembali mencemooh.

"Akan aku ganti uang yang sudah kau keluarkan untuknya." Dokter Syamsir tetap bersikeras.

"Cih! Dia milikku Syam!" Abimana melengos pergi menuruni anak tangga meninggalkan Dokter Syamsir sendirian.

Dokter Syamsir hanya menatapnya dalam diam.

Dan ia menyusul Abimana kebawah.

"Bawakan dia makanan, jangan ada benda tajam apapun dikamarku. Pastikan juga dia meminum obatnya. Paksa bila perlu!" Perintah Abimana pada Maya.

Dokter Syamsir yang mendengar itu, hanya melirik kearah Abimana.

"Baiklah, aku pergi dulu. Kuharap kau memperlakukan dia dengan baik," Dokter Syamsir segera berlalu meninggalkan mansion tanpa menunggu jawaban dari Abimana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status