Share

8. Detektif yang terdengar hebat

--

Salah satu cara untuk mengurangi frustasi dalam diri tidak lain tidak bukan adalah dengan melakukan pekerjaan fisik yang berat, lelah fisik yang teramat sangat sangat ampuh dan akan mampu membuat pikiranmu teralihkan, sepertinya semua orang tahu tentang jurus jitu itu dan Tesa menjadi salah satu orang yang gemar mempraktikannya.

Sudah dibuktikan, dan lumayan manjur.

Jika ada pikiran membandel atau emosi berlebihan lebih baik salurkan emosi itu menjadi kegiatan fisik saja, Tesa yakin hasilnya akan sempurna. Meski pikiran itu tidak bisa sepenuhnya terhapus dan dirimu menjadi tenang seketika, tetapi setidaknya hal itu memberimu waktu untuk bernapas dari rasa pening yang membobardir.

Benar. Tesa sedang pusing.

Pusing kenapa? Karena Anna yang tidak berhenti mengomel padanya atau karena Raphael yang terlalu misterius hingga Tesa tidak bisa menerawang apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu? Sebenarnya dua-duanya benar, hanya saja kali ini pening di kepala Tesa lebih menjadi-jadi karena satu alasan tambahan lain.

Kemal.

Si brengsek sialan!

Mengingat nama Kemal emosi yang ada di jantung Tesa mengalir lagi ke seluruh tubuh. Mata gadis berambut panjang itu fokus ke depan, telinganya tertutup penutup telinga pun lengkap dengan kaca mata pelindung, dua tangan panjangnya terarah ke depan memegang satu senjata api yang berisi peluru panas.

Tesa menembakkan peluru dan membuat lapangan tembak ini bergema. Satu kali, dua kali, dan tiga kali, semuanya terkena lingkaran merah. Menatap lubang-lubang di tengah lingkaran itu dengan puas Tesa pun membuang napas dan melepas penutup telinganya.

Benar ‘kan apa yang ia bilang, rasanya puas sekali.

“Kau mau benar-benar menembak atau cuma tebar pesona saja?” celetuk seseorang tiba-tiba, membuat Tesa segera menoleh dan kembali membuang muka saat melihat senyum jahil Mason di sampingnya.

Entah sejak kapan dia berada di sana. Mungkin sejak Tesa baru datang, atau mungkin saat Tesa menghabiskan peluru di pistol itu berurutan dalam tempo cepat.

Tesa mengabaikan Mason, ia mengambil ponselnya dan melepas kaca mata menggunakan satu tangan, setelah melihat tak ada satu pesan yang masuk dengusan kasar kembali keluar dari hidung Tesa, gadis itu menyugar rambut frustasi.

“Kuberitahu ini karena aku baik, Tesa.” Mason berujar dengan senyum melekat di wajahnya. “Kau terlihat sangat cocok dengan pistol itu, sangat seksi.”

“Terima kasih infonya tetapi aku sudah tahu,” sahut Tesa tak berminat. Ia lebih ingin menanyakan hal lain. “Apa kau punya nomor Kemal yang bisa dihubungi?” imbuh Tesa sembari terus memandangi layar ponselnya.

Mason mengedip lembut. “Ku pikir kau sahabatnya.”

“Dan sepertinya dia mencampakkan aku,” balas Tesa sambil menarik satu napas panjang. Sialnya ia tidak bercanda dan sangat merasa dicampakkan. Kenapa? Cukup dengan konyolnya dia keluar tanpa bilang dan sekarang Tesa baru tahu kalau Kemal sudah pergi tanpa pamit.

Benar. Pergi tanpa pamit. Sangat tidak sopan untuk ukuran seorang teman yang sudah menjalin persahabat bertahun-tahun lamanya.

“Kemarin aku ke rumah Kemal tapi tidak ada siapa pun di sana, Mason,” lanjut Tesa kemudian. “Apa kau pernah melihatnya sebelum hari itu?”

Mason terlihat menggeleng pelan. “Tidak.”

Tesa pun hanya mengangguk mengerti dan melangkah pelan keluar dari lapangan tembak, dan Mason mengikuti langkahnya. Langkah Tesa berhenti di depan mesin kopi, ia membuatkan untuk Mason juga,

“Ku pikir Kemal keluar setelah sedikit berdebat dengan kepala Kim,” ujar Mason tiba-tiba yang mampu membuat Tesa menoleh cepat. Kemal berdebat dengan Kepala Kim?

Mason memiringkan kepala, mencoba mengingat apa yang terjadi hari itu. “Aku tidak tahu pastinya karena aku tidak mendengar itu semua sendiri tetapi jelas ada perdebatan di antara mereka,” lanjut Mason lagi, dan Tesa hanya diam mendengarkan. “Kenapa tidak coba tanya Kepala Kim saja?” imbuh Mason.

“Kau pikir aku berani?” sarkas Tesa. Kepala Kim bukanlah orang yang dekat dengan bawahan, tidak suka diganggu karena hal yang tidak penting, dia juga tidak suka ditemui saat sedang sibuk, kalau sampai hal itu terjadi dia bisa marah, sementara Tesa tidak tahu kapan Kepala Kim sibuk dan tidak sibuk.

Mason tertawa kecil. “Bukannya kau biasanya pemberani?”

Jika bicara soal keberanian, tentunya belum ada junior yang bertingkah seberani Tesa.

“Tidak pernah ada junior seumur jagung yang berani berkata seketus dirimu, Tesa. Tindakanmu juga bisa digolongkan dalam kategori menyebalkan. Jika tidak cantik mungkin aku sudah menggaris hitam namamu,” terang Mason.

Tesa mengibas rambut dengan cantiknya dan menyesap kopi miliknya. “Untung saja aku cantik.”

Pada saat itu seorang lelaki tampan melintas dan terlihat dari kejauhan. Dia terlihat sibuk dengan ponsel di telinganya, ada dua orang junior mengikuti di belakang lelaki tampan itu. Mereka memasuki mobil dan kemudian pergi entah ke mana.

“Apa kau tahu sesuatu tentang dia, Mason?” tanya Tesa sementara matanya menatap lurus di mana mengikuti jejak perginya lelaki yang ia anggap Devil itu.

“Detektif Raph?” Mason memastikan. Dan Tesa mengangguk. Mason melanjutkan. “Dia seniorku.”

“Oh ya?” tanya Tesa dengan kening berkerut lembut.

Senior. Berarti Raphael pernah bertugas di sini dan sudah sangat lama, Mason saja terbilang senior yang sudah bekerja bertahun-tahun, kalau Raphael adalah seniornya sudah berapa lama dia menginjak kaki di dunia kepolisian?

Apa mungkin semuanya adalah kamuflase semata?

“Iya,” sahut Mason. “Dia pernah diberi gelar sebagai polisi termuda. Dia punya otak jenius.”

Tesa mendengarkan. Sangat tertarik untuk mendengarkan.

“Pindahan dari Seattle? Atau mungkin Rusia? Tapi kata kepala Kim dia besar di Auckland dan pernah tinggal di Jepang. Entah mana yang benar.”

Tesa mendesah pelan. “Orang-orang pintar memang kadang menyeramkan.”

“Kenapa? Kau tertarik dengannya?” tanya Mason.

“Sedikit,” balas Tesa jujur, tetapi bukan dalam masalah hati, Tesa tertarik karena hal lain, dan dia tidak bisa mengatakan hal itu pada siapa pun.

“Mata para wanita,” cetus Mason bosan. “Bukankah aku lebih tampan darinya?”

“Tidak juga,” sahut gadis cantik itu tanpa berpikir.

Mason mendelik tak terima. “Tesa, aku selalu memujimu cantik, tidak bisakah kau melakukan sebaliknya?”

“Mason,” potong Tesa cepat. Ia menoleh. “Biasanya apa yang kau lakukan saat ingin mendekati wanita?”

Mason sudah tahu kenapa Tesa menanyakan ini, ia tidak bodoh, setelah mereka bicara mengenai detektif Raph dan Tesa langsung menanyakan kiat-kiat pendekatan dengan lawan jenis, sudah jelas sekali, Tesa benar-benar tertarik dengan Raphael.

“Jadi temannya, puji dia, dengarkan omong kosongnya dan semuanya, lakukan yang baik-baik,” balas Mason. “Sejauh yang aku tahu, tidak pernah ada cerita romansa yang beredar satu kali pun selama aku mengenal detektif Raph.”

“Maksudmu dia menyimpang?” tanya Tesa blak-blakan.

Mason menaikkan bahu. “Tanyakan saja pada Hyo, dia pernah naksir berat dengan detektif Raph dan tertolak.”

Hyo?

Dia… menyukai Raphael?

Untuk pertama kali dalam hari ini, senyum merekah di bibi Tesa. “Baiklah, senior. Terima kasih untuk informasi briliannya.”

--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status