TDLM 09--Tips dan trik yang Mason berikan tidaklah manjur. Tesa bisa tahu itu semua bahkan sebelum ia memraktikkannya. Dilihat dari trek rekor Mason yang selalu menyanjung wanita hanya memang benar banyak wanita yang luluh karena disanjung demikian, tapi tidak dengan Tesa. Dan Tesa memiliki sifat juga kekebalan hati mirip-mirip dengan Raphael. Jika Tesa menjadi cabai merah untuk mendekati Raphael sepertinya akan gagal, Raphael jelas bukan orang yang menyukai wanita cabai.Berhubung Tesa memiliki otak yang cukup pintar, tak butuh waktu lama baginya untuk tahu apa yang harus dilakukan. Kebalikan dari wanita cabai adalah wanita keras kepala dengan kesan frigid. Tentu, harus terlihat pintar dan mandiri juga.Tesa bisa berpura-pura seperti itu.Ia memang sudah mandiri dan pintar, jadi Tesa hanya harus berpura-pura menjadi seorang yang keras kepala dan frigid— bersikap seolah ia tidak tertarik dengan laki-laki atau hal-hal seksual. Intinya Tesa hanya perlu jadi dirinya sendiri dan be
--“Aku tahu kau terkejut karena pengakuanku yang mendadak ini, tetapi jangan sungkan.”Kata orang, robot selamanya akan tetap jadi robot.Tesa tidak benar-benar memikirkan kalimat konyol itu sebelum hari ini, ia melihat sendiri bagaimana kakunya manusia bahkan sampai pantas disebut dan dinggap sebagai robot.“Ini hari pertama kita?”Raphael tidak menghargai pengakuan seduktif dan romantis dari Tesa, lelaki itu hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Matanya memandang Tesa dengan pandangan yang aneh, entah apa.Bahkan Tesa berkali-kali memastikan.“Jawabannya?”Bahkan sampai membuat Tesa naik pitam.“Kau tidak tiba-tiba bisu, kan?”“Raph!”“Aku suka padamu! Ayo pacaran denganku!”Raphael justru cuma membuang napas dan dengan santainya membenahi perkakasnya, lelaki yang sialnya tampan dan tidak punya hati itu berlalu dari rumah Tesa, membiarkan Tesa yang masih duduk di meja dengan mulut terbuka.Tesa malu sekali mengakui ini tetapi harga dirinya benar-benar koyak.Ia
--“Detektif Seavey menolakmu, ya?”Rasa-rasanya Tesa sudah lelah menyembunyikan wajah dari rekan-rekan kerjanya yang terang-terangan meledek karena informasi memalukan yang ia sebar sendiri secara tidak sengaja.Memang bukan hal besar, Tesa bisa mengatasinya dengan berpura-pura tidak peduli. Biasanya juga begitu, tetapi... oke, Tesa memang sudah berpura-pura tidak peduli dan mengabaikan semua omong kosong yang rekan-rekannya lontarkan sebelum kemudian ia berpapasan dengan Raphael dan lelaki itu terlihat melirik sambil memberikan senyum miring pada Tesa.Dengar? Senyum miring! Sengaja!Dasar tahi!Tesa meremas cup kopinya dengan perasaan kesal, ia tidak melepas mata dari punggung Raphael yang menjauh.Tesa melirik ke samping menggunakan ekor mata, mendengkus pelan.Tesa kira tidak akan ada yang tahu, tetapi ternyata, ada yang menyadari hal itu.Bianca. Ish! Kenapa ia harus punya teman yang peka begini sih!“Iya, kan?” ulang Bianca lagi. “Pasti kau menyatakan cinta pada Rapha
Sebelumnya tidak pernah seperti ini.Bahkan saat sedang berusaha menjilat seseorang skill yang Tesa kerahkan tidak main-main hingga ia hampir tidak pernah gagal. Jadi, wajar saja jika saat ini Tesa merasa jatuh harga diri.Ia sudah melakukan beberapa hal untuk bisa lebih dekat dengan Raphael, tetapi hasilnya masih kosong. Boleh Tesa akui, Raphael memang cukup keras, sepertinya apa yang dibilang Bianca soal gosip yang beredar itu benar adanya, kalau begini caranya, Tesa tidak boleh menargetkan hati atau birahi lelaki itu, ia harus mendekati Raphael dengan cara lain.Tapi apa lagi?Kesan pertama saat bertemu saja sudah hancur, Tesa tidak bisa bersikap seolah-olah ia ingin berteman dengan Raph.Bertanya soal kasus dan berpura-pura menjadi polisi yang bodoh? Agar bisa menyusup masuk ke dalam hidup detektif terhebat di distrik ini?Tapi Tesa tidak suka jika dirinya dianggap bodoh. Lebih-lebih oleh manusia sejenis Raphael, tidak bisa, tidak bisa, pokoknya harus cari cara yang lain.
Malam itu nyaris beku.Pertanda musim dingin akan segera datang. Membawa segenap bencana campuran antara hujan, salju, serta hidung berair yang kebanyakan orang benci.Jemari lentik gadis bersurai hitam panjang itu menggeser layar ponsel, ingin cepat-cepat pulang. Ia tidak pernah suka musim dingin. Sekarang pukul sepuluh. Tesa mengangkat tangan dan mendesah, dua menit lagi tugasnya selesai.Tesa tidak akan mengalami ini, berdiri di tengah malam yang dingin dengan mata kritis. Kalau saja dulu ia mematuhi keinginan ibunya menjadi seorang model alih-alih menyia-nyiakan tubuh tinggi serta wajah cantiknya untuk mengintai buronan dengan mata mengantuk.Gadis yang genap berusia dua puluh lima bulan kemarin itu memfokuskan pandangan di balik kacamata hitam yang ia pakai, ia menghela napas, membenarkan sedikit letak beret yang sejak pagi bertengger di kepalanya, menjejalkan tangan berharga dalam saku mantel berwarna oranye muda.Lagi. Harusnya ia menuruti kata-kata Kemal, rekan satu tim dari d
"Sudah berapa kali kubilang jangan pakai pakaian begitu lagi!"Pagi itu Tesa baru saja masuk melewati pintu masuk kantor kepolisian tempatnya mengabdi, dan bukannya selamat pagi ia justru mendapati sapaan aneh dari senior wanita yang selalu mengatakan hal yang sama setiap harinya. Seperti biasa pula Tesa tak mengindahkan.Gadis jangkung yang rambutnya digerai itu dengan santai duduk di kursi miliknya. Mendesah lelah ketika mendapati meja kerjanya lagi-lagi penuh dengan minuman serta makanan-makanan ringan dengan satu kertas pesan kecil."Operasi kita kemarin sepenuhnya gagal, kau jadi pusat perhatian karena pakaianmu!" Wanita berbalut mantel hitam di sebelah biliknya berbicara lagi. Kali ini lebih seperti mendesis. Menatap Tesa yang tengah sibuk membenahi meja. “Kau pikir fashion penting saat sedang mengintai buronan?!”"Jangan salahkan pakaianku." Tesa mulai menyalakan komputernya. Mengambil satu teh botol, membuka tutupnya lalu meneguknya santai. Tak menoleh ke meja samping sedikit
Selama masa remajanya Tesa suka dengan komik maupun film bergenre thriller, ia senang menebak-nebak, gemar berpikir dan membuat analisis yang disajikan dalam film-film dengan tema berat, memikirkan suatu topik berat dan juga sensasi debaran jantung yang dirasa membuat Tesa menaruh selera.Setiap adegan dan kegilaan yang di luar imaginasi selalu berhasil membuat darah Tesa berdesir, tidak, Tesa serratus persen waras, ibu sudah pernah menyeretnya paksa memeriksakan diri ke psikiater karena mengira kalau Tesa gila sebab selalu menonton adegan berdarah-darah dan bukan scene romansa seperti gadis muda kebanyakan. Tesa hanya cukup puas ketika ia analisis dan spekulasi yang ia buat ternyata benar, alur film, asal muasal kejahatan dan semua tebakan Tesa benar atas judul film ternama, maka Tesa senang karena itu.Bukan karena ia menyukai bagaimana cara para penjahat dan pembunuh itu melakukan aksinya. Tapi karena betapa memuaskan rasa yang didapat setelah berhasil memecahkan sesuatu.Namun ber
Dalam satu sekon, Tesa merasa ragu bahwa yang dilihatnya itu nyata atau Cuma halusinasi semata.Tetapi setelah melihat lelaki itu melengos acuh dan berputar kembali memasuki rumah, Tesa tidak bisa tidak percaya bahwa dia— benar-benar dia. Dia laki-laki yang kemarin. Dia lak-laki yang membuat rekan tim devisi mengklaim bahwa Tesa berkhayal dan bahkan gila. Dia orang yang membuat Tesa merusak rekor bagus dalam hidupnya dengan bekerja setengah hari.Jika pun takdir benar-benar nyata, maka Tesa yakin semesta sedang berpihak padanya. Ada berjuta-juta rumah kosong di kota ini, tetapi dia justru pindah ke depan rumah Tesa.Kebetulan yang amat indah. Yang menambah kelegaan sesaat di jiwa tetapi juga menghadirkan pening berlebihan di kepala.Sorot matanya datar, bahkan tampak tak terkejut saat melihat kehadiran Tesa, seolah mereka tidak pernah bertemu sebelum ini, seolah Tesa tidak memergokinya membawa bunga yang digantungnya di rumah Elana Dey.Penjahat berdarah dingin biasanya memang tidak