Share

9. Kekasih

TDLM 09

--

Tips dan trik yang Mason berikan tidaklah manjur. Tesa bisa tahu itu semua bahkan sebelum ia memraktikkannya. Dilihat dari trek rekor Mason yang selalu menyanjung wanita hanya memang benar banyak wanita yang luluh karena disanjung demikian, tapi tidak dengan Tesa. Dan Tesa memiliki sifat juga kekebalan hati mirip-mirip dengan Raphael. Jika Tesa menjadi cabai merah untuk mendekati Raphael sepertinya akan gagal, Raphael jelas bukan orang yang menyukai wanita cabai.

Berhubung Tesa memiliki otak yang cukup pintar, tak butuh waktu lama baginya untuk tahu apa yang harus dilakukan. Kebalikan dari wanita cabai adalah wanita keras kepala dengan kesan frigid. Tentu, harus terlihat pintar dan mandiri juga.

Tesa bisa berpura-pura seperti itu.

Ia memang sudah mandiri dan pintar, jadi Tesa hanya harus berpura-pura menjadi seorang yang keras kepala dan frigid— bersikap seolah ia tidak tertarik dengan laki-laki atau hal-hal seksual. Intinya Tesa hanya perlu jadi dirinya sendiri dan berakting jika perlu.

Para pria biasanya menyukai tantangan. Menaklukan wanita cantik yang penuh tantangan juga bisa terasa menyenangkan bagi mereka.

Berakting? Sungguh bakat bawaan lahir bagi Tesa. Ia bisa membodohi seluruh dunia jika sudah berakting.

Ingat? Seluruh dunia, tanpa terkecuali, termasuk orang yang tinggal di rumah yang sedang Tesa datangi ini.

Jika hari sebelumnya setiap Tesa mendatangi rumah Raphael ia selalu membawa piring atau mangkuk berisi makanan untuk lelaki itu, hari ini Tesa datang dengan tangan kosong.

Ia hanya membawa tubuh dan wajah cantiknya saja. Tenang teman-teman, wajah Tesa adalah senjata utama. Dan tidak ada yang bisa menang dari senjata ini.

Senyum percaya diri menghiasi wajah Tesa, ia menatap pintu yang ada di depannya bersama dengan tarikan napas tenang sebelum kemudian menaikkan tangan, mengetuk pintu itu dengan tempo cepat sebanyak tiga kali.

“Raphael!” teriak Tesa panik. “Raph buka pintunya! Ini penting!”

Jika ada orang melintas dan melihat kelakukan Tesa ini mereka pasti akan mengira bahwa Tesa adalah korban patah hati yang sedang memohon mantan pacar untuk kembali. Miskin sekali jiwa-jiwa malang itu, tolong jangan samakan Tesa dengan mereka.

Butuh banyak waktu untuk pintu yang sebelumnya dianiaya Tesa itu untuk terbuka.

Menampilkan Raphael yang masih menggunakan kaca mata baca menyangkut di tulang hidungnya, dengan raut muka yang— tentunya tidak bersahabat, tidak rikuh menampilkan rasa terganggu atas kehadiran Tesa dan segala gangguannya.

“Bisa tolong aku?” pinta Tesa penuh harap.

“Tidak,” sahut Raphael tanpa berpikir.

“Sebentar saja,” sambung Tesa tidak patah semangat, nada suaranya terkesan memaksa. “Keran di rumahku tiba-tiba rusak, dan aku—”

Raphael dengan cepat menghentikan. “Kau bisa panggil tukang ledeng atau—”

“Ibu menyuruhku untuk meminta tolong padamu,” potong Tesa, dan Raphael terdiam dibuatnya. Kan. Kalau bawa-bawa Anna sudah pasti semua akan jadi lancar tanpa halau rintang.

Sebelum datang kemari, tentunya Tesa sudah menyiapkan amunisi kebohongan-kebohongan yang tidak mungkin diabaikan orang lain. Senjata tanpa amunisi tentu akan kurang. Wajah cantik dan kebohongan memang paket lengkap untuk sebuah misi penting.

“Dia tidak suka orang lain memasuki rumah kami, sementara kau bukanlah orang asing baginya,” lanjut Tesa sembari melipat tangan di depan dada, Tesa kemudian mengangkat bahu sekilas. “Kalau kau tidak mau aku juga tidak bisa memaksa,” imbuhnya.

Berbanding terbalik dengan apa yang diusahakan beberapa menit terakhir. Tesa JELAS sekali sedang memaksa. Raphael untuk datang ke rumahnya.

Raphael masih tidak mengatakan apa pun, dia Cuma memandang Tesa dengan raut wajah kelewat datar.

Tesa menarik napas dalam-dalam dan membuangnya sekaligus satu. Dia mengangkat tangan dan melihat kuku-kuku jari tangannya yang berwarna merah. “Paling-paling hari ini aku tidak bisa tidur karena mendengar suara air yang terus menetes, atau paling parah rumahku akan banjir dan ibuku bisa stres karena itu.”

Selesai bicara Tesa melirik reaksi Raphael dari ekor matanya. Masih tidak ada tanggapan dari laki-laki tinggi yang menggunakan kaca mata itu.

Tidak ada tanda-tanda bahwa Raphael bersedia membantu Tesa.

Tesa pun menurunkan tangan, ia memutar bola mata, menyibak rambut ke belakang sembari mendengkus kesal. Capek.

“Aku dan ibuku sering memberimu lauk makan,” ketus Tesa mengungkit kebaikan. “Kau hanya kuminta tolong membenarkan keran sebentar saja tidak mau? Mulai sekarang belajarlah adab bertetangga!”

Setelah mengatakan itu Tesa pun berbalik, dia berjalan dengan langkah lebar yang dihentakkan, sengaja agar Raphael tahu bahwa dirinya sendang kesal, membuka pintu rumahnya sendiri dan kemudian menutup pintu itu dengan sedikit bantingan.

Setelah berada di dalam rumah, wajah Tesa yang semula terlihat marah mendatar kembali, dia tersenyum lebar sebelum kemudian berlari menuju jendela, membuka sedikit tirai yang menutupi jendela itu sembari menatap rumah Raphael.

“Dia pasti datang, tidak mungkin tidak,” ujar Tesa pada dirinya sendiri. “Aku sudah mengungkit kebaikanku, biasanya orang-orang seperti dia akan ngotot membalas perbuatan baik karena enggan kalau kebaikan atau pertolongan itu diungkit, orang-orang yang tidak ingin berhutang. Jadi sudah pasti dia akan datang.”

Pintu rumah Raphael sudah menutup, lelaki itu sudah tidak terlihat di mata.

Beberapa menit menunggu Raphael masih tidak terlihat pergerakan dari rumah Raphael, Tesa mulai mengernyit risau. “Apa dia bisa mendeteksi aktingku? Kenapa belum kemari juga.”

Tetapi tepat setelah Tesa mengatakan itu, mata gadis muda yang terlihat melebar. Ia buru-buru bersembunyi dan senyum lebar terpasang di wajahnya.

Tak berapa lama, pintu rumah Tesa terdengar diketuk. Tesa sengaja tidak langsung membukanya meski pintu itu ada di sampingnya. Gadis itu menetralkan wajah dalam satu detik lalu berjalan menuju pintu rumahnya.

“Mau apa?” tanya Tesa, melihat Raphael dari atas hingga bawah dengan tatapan menilai. Raphael terlihat membawa satu kotak perkakas di tangannya, kali ini lelaki itu tidak menggunakan kaca mata baca seperti sebelumnya. Tepat seperti apa yang Tesa perkirakan.

Tesa melipat tangan di depan dada. “Ah jadi akhirnya kau bersedia menolongku?”

Raphael tidak menjawab.

“Masuklah,” ujar Tesa mundur sedikit dan membuka pintu rumahnya lebih lebar. Setelah Raphael masuk, Tesa pun menutup pintu dan mulai melangkah menuju dapur. Ia menujuk satu keran air di tempat cuci piring. “Yang itu yang rusak.”

Sejujurnya ia tidak pernah menggunakan keran itu selain untuk mencuci tangan, cuci piring tentu menggunakan mesin cuci piring.

Tanpa ba-bi-bu Raphael meletakan kotak peralatan yang ia bawa di dekat washtafle sana, dia mulai melihat-lihat keran yang entah untuk apa gunanya Tesa tak tahu.

“Kau mau minum apa?” tawar Tesa, ia mendekat pada Raphael, dan Raphael cuma melirik sekilas tanpa membalas. Lelaki itu lanjut mengambil satu alat di kotak yang ia bawa. Tesa melanjutkan. “Teh, kopi atau susu hangat?”

Dan lagi-lagi Raphael tidak menjawab, dia tidak ingin menetap lebih lama hanya untuk minum kopi atau susu hangat.

Tesa mendengkus melihat tingkah lelaki yang ada di sampingnya itu. Raphael tidak ubahnya sebuah robot. Bahkan robot lebih bisa diajak bicara daripada lelaki ini.

“Aku bersumpah aku tidak pandai melakukan ini tetapi aku sudah berusaha untuk bersikap baik padamu,” kata Tesa hilang sabar. “Jadi alangkah baiknya jika kau membalasku dengan bersikap baik juga.”

“Dilihat dari kondisinya, keran ini dirusak dengan sengaja.” Bukannya menyahuti Tesa dengan menyambung pembicaraan. Raphael justru melaporkan keadaan genting pipa itu. “Tidak ada lumut yang menyumbat, kondisi pipa dan semuanya masih sangat bagus, jadi sangat kecil kemungkinan bahwa benda ini…”

Raphael memberi tunjuk sebuah benda panjang berwarna merah muda dengan ujung berrambut. Brush make up yang baru Tesa pakai pagi tadi.

“…Bisa sampai di sana.”

Tesa menarik napas berpura-pura terkejut. “Oh my god, bagaimana si kecil ini bisa ada di sini?”

Dan Raphael hanya memberinya tatapan datar.

Tesa menggerakan bola matanya sebentar, ia menarik napas dan kemudian menaikkan badan untuk duduk di samping kotak peralatan milik Raphael.

Raphael pun mendongak, sementara Tesa tanpa malu menaikkan tangan ke atas pundak lelaki yang ada di depannya itu. Senyum semanis madu diberikan.

“Karena kau menangkap basah motifku maka aku tidak bisa terus berpura-pura,” kata Tesa dengan suara mendayu. Jemari Tesa bergerak dari pundak menuju rahang dan berakhir ke ujung dagu Raphael. Tesa memajukan wajah, ia berbisik. “Aku jatuh cinta, jadilah kekasihku.”

-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status