--“Detektif Seavey menolakmu, ya?”Rasa-rasanya Tesa sudah lelah menyembunyikan wajah dari rekan-rekan kerjanya yang terang-terangan meledek karena informasi memalukan yang ia sebar sendiri secara tidak sengaja.Memang bukan hal besar, Tesa bisa mengatasinya dengan berpura-pura tidak peduli. Biasanya juga begitu, tetapi... oke, Tesa memang sudah berpura-pura tidak peduli dan mengabaikan semua omong kosong yang rekan-rekannya lontarkan sebelum kemudian ia berpapasan dengan Raphael dan lelaki itu terlihat melirik sambil memberikan senyum miring pada Tesa.Dengar? Senyum miring! Sengaja!Dasar tahi!Tesa meremas cup kopinya dengan perasaan kesal, ia tidak melepas mata dari punggung Raphael yang menjauh.Tesa melirik ke samping menggunakan ekor mata, mendengkus pelan.Tesa kira tidak akan ada yang tahu, tetapi ternyata, ada yang menyadari hal itu.Bianca. Ish! Kenapa ia harus punya teman yang peka begini sih!“Iya, kan?” ulang Bianca lagi. “Pasti kau menyatakan cinta pada Rapha
Sebelumnya tidak pernah seperti ini.Bahkan saat sedang berusaha menjilat seseorang skill yang Tesa kerahkan tidak main-main hingga ia hampir tidak pernah gagal. Jadi, wajar saja jika saat ini Tesa merasa jatuh harga diri.Ia sudah melakukan beberapa hal untuk bisa lebih dekat dengan Raphael, tetapi hasilnya masih kosong. Boleh Tesa akui, Raphael memang cukup keras, sepertinya apa yang dibilang Bianca soal gosip yang beredar itu benar adanya, kalau begini caranya, Tesa tidak boleh menargetkan hati atau birahi lelaki itu, ia harus mendekati Raphael dengan cara lain.Tapi apa lagi?Kesan pertama saat bertemu saja sudah hancur, Tesa tidak bisa bersikap seolah-olah ia ingin berteman dengan Raph.Bertanya soal kasus dan berpura-pura menjadi polisi yang bodoh? Agar bisa menyusup masuk ke dalam hidup detektif terhebat di distrik ini?Tapi Tesa tidak suka jika dirinya dianggap bodoh. Lebih-lebih oleh manusia sejenis Raphael, tidak bisa, tidak bisa, pokoknya harus cari cara yang lain.
Malam itu nyaris beku.Pertanda musim dingin akan segera datang. Membawa segenap bencana campuran antara hujan, salju, serta hidung berair yang kebanyakan orang benci.Jemari lentik gadis bersurai hitam panjang itu menggeser layar ponsel, ingin cepat-cepat pulang. Ia tidak pernah suka musim dingin. Sekarang pukul sepuluh. Tesa mengangkat tangan dan mendesah, dua menit lagi tugasnya selesai.Tesa tidak akan mengalami ini, berdiri di tengah malam yang dingin dengan mata kritis. Kalau saja dulu ia mematuhi keinginan ibunya menjadi seorang model alih-alih menyia-nyiakan tubuh tinggi serta wajah cantiknya untuk mengintai buronan dengan mata mengantuk.Gadis yang genap berusia dua puluh lima bulan kemarin itu memfokuskan pandangan di balik kacamata hitam yang ia pakai, ia menghela napas, membenarkan sedikit letak beret yang sejak pagi bertengger di kepalanya, menjejalkan tangan berharga dalam saku mantel berwarna oranye muda.Lagi. Harusnya ia menuruti kata-kata Kemal, rekan satu tim dari d
"Sudah berapa kali kubilang jangan pakai pakaian begitu lagi!"Pagi itu Tesa baru saja masuk melewati pintu masuk kantor kepolisian tempatnya mengabdi, dan bukannya selamat pagi ia justru mendapati sapaan aneh dari senior wanita yang selalu mengatakan hal yang sama setiap harinya. Seperti biasa pula Tesa tak mengindahkan.Gadis jangkung yang rambutnya digerai itu dengan santai duduk di kursi miliknya. Mendesah lelah ketika mendapati meja kerjanya lagi-lagi penuh dengan minuman serta makanan-makanan ringan dengan satu kertas pesan kecil."Operasi kita kemarin sepenuhnya gagal, kau jadi pusat perhatian karena pakaianmu!" Wanita berbalut mantel hitam di sebelah biliknya berbicara lagi. Kali ini lebih seperti mendesis. Menatap Tesa yang tengah sibuk membenahi meja. “Kau pikir fashion penting saat sedang mengintai buronan?!”"Jangan salahkan pakaianku." Tesa mulai menyalakan komputernya. Mengambil satu teh botol, membuka tutupnya lalu meneguknya santai. Tak menoleh ke meja samping sedikit
Selama masa remajanya Tesa suka dengan komik maupun film bergenre thriller, ia senang menebak-nebak, gemar berpikir dan membuat analisis yang disajikan dalam film-film dengan tema berat, memikirkan suatu topik berat dan juga sensasi debaran jantung yang dirasa membuat Tesa menaruh selera.Setiap adegan dan kegilaan yang di luar imaginasi selalu berhasil membuat darah Tesa berdesir, tidak, Tesa serratus persen waras, ibu sudah pernah menyeretnya paksa memeriksakan diri ke psikiater karena mengira kalau Tesa gila sebab selalu menonton adegan berdarah-darah dan bukan scene romansa seperti gadis muda kebanyakan. Tesa hanya cukup puas ketika ia analisis dan spekulasi yang ia buat ternyata benar, alur film, asal muasal kejahatan dan semua tebakan Tesa benar atas judul film ternama, maka Tesa senang karena itu.Bukan karena ia menyukai bagaimana cara para penjahat dan pembunuh itu melakukan aksinya. Tapi karena betapa memuaskan rasa yang didapat setelah berhasil memecahkan sesuatu.Namun ber
Dalam satu sekon, Tesa merasa ragu bahwa yang dilihatnya itu nyata atau Cuma halusinasi semata.Tetapi setelah melihat lelaki itu melengos acuh dan berputar kembali memasuki rumah, Tesa tidak bisa tidak percaya bahwa dia— benar-benar dia. Dia laki-laki yang kemarin. Dia lak-laki yang membuat rekan tim devisi mengklaim bahwa Tesa berkhayal dan bahkan gila. Dia orang yang membuat Tesa merusak rekor bagus dalam hidupnya dengan bekerja setengah hari.Jika pun takdir benar-benar nyata, maka Tesa yakin semesta sedang berpihak padanya. Ada berjuta-juta rumah kosong di kota ini, tetapi dia justru pindah ke depan rumah Tesa.Kebetulan yang amat indah. Yang menambah kelegaan sesaat di jiwa tetapi juga menghadirkan pening berlebihan di kepala.Sorot matanya datar, bahkan tampak tak terkejut saat melihat kehadiran Tesa, seolah mereka tidak pernah bertemu sebelum ini, seolah Tesa tidak memergokinya membawa bunga yang digantungnya di rumah Elana Dey.Penjahat berdarah dingin biasanya memang tidak
“Tidak mungkin.”Berapa kali pun Tesa memikirkannya, jawaban di kepalanya masih sama. Tidak ada. Semuanya tidak mungkin. Lelaki itu adalah kakak tetangganya dulu? Meski hanya mengingat sebagian kecil dan samar, tetapi Tesa bisa merasakan sifat yang bertolak belakang.Maksudnya, sejauh yang Tesa ingat, kakak tetangganya dulu sangatlah baik, sangat, bahkan untuk ukuran seorang anak-anak dia sangat baik. Berbanding terbalik dengan Raphael yang dilihatnya sekarang.Seperti yang Tesa bilang sebelumnya, semua orang bisa berubah, setelah lama menghilang Tesa tidak tahu kehidupan macam apa dan kejahatan apa saja yang kiranya bisa dilakukan Raphael.Tesa suda memperingati ibunya untuk tidak terlalu dekat atau sok akrab dengan lelaki penghuni rumah depan itu, dan sudah pasti, Anna mengabaikannya.Tesa memandangi langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, gadis cantin yang sedang berebah diri dengan pikiran kalut itu kemudian menoleh ke arah pintu balkon yang tertutup tirai.“Aku jelas tida
-Ide menangkap penjahat dengan mendekati hati dan memasuki sarangnya bukanlah ide buruk sama sekali, di dunia kepolisian yang penuh drama kriminal, penegak hukum harus bergerak selicin belut, mempunyai otak selicik rubah, dengan begitu mereka para kriminal yang memang pintar berkelit tidak akan bisa lolos.Tesa sudah pernah menggunakan trik ini sebelumnya, wajah ayu dan tubuh yang aduhai jelas mampu menarik perhatian kaum adam, belum lagi kepribadian Tesa yang menarik. Goda menggoda adalah hal kecil bagi Tesa. Dan tentu, semuanya berhasil tanpa perlu diragukan.Oke. Kegagalan mungkin ada, tetapi selama Tesa tidak menyerah, pada akhirnya ia akan tetap mencapai apa yang dimaunya.Tesa menemui Raphael. Berbekal keberanian dan juga satu buah kotak makan sebagai umpan ia keluar rumah dan berjalan menuju rumah depan. Rambut Tesa digerai, ia juga memakai pakaian tebal berlapis jaket dan juga syal.Tidak ada yang lebih konyol dari dirinya memakai lipstik dan berdandan tipis-tipis hanya untu