Share

7. Detektif baru

-

Perempuan tinggi yang rambutnya bergelombang indah itu mendesah kesal, jemari berkuku panjangnya sibuk menekan layar ponsel dengan cepat, mengirim pesan pada seseorang, dan kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinga.

Dering kosong terdengar lama sampai akhirnya operator mengatakan bahwa nomor yang Tesa hubungi sedang tidak aktif.

“Dia tidak mungkin benar-benar keluar, kan?” ujar Tesa pada dirinya sendiri, matanya sibuk menatap layar ponselnya sendiri sementara jemarinya mengetik, mengetik pesan ancaman yang tidak main-main bar-barnya. "Akan kubunuh kalau dia betulan melakukannya tanpa diskusi denganku.”

Sebagai seorang teman seperjuangan, Tesa benar-benar tidak terima dengan tingkah gila kawannya yang mendadak itu.

“Kemal?”

Seseorang datang membawakan dua cup kopi di tangan. Perempuan yang tidak lebih tinggi dari Tesa itu memberikan satu kopi di tangannya pada Tesa.

Tesa menerimanya, lalu mengangguk singkat, pada Bianca— teman kerja seangkatan yang berbeda devisi itu.

“Dia benar-benar keluar?” tanya Bianca agak tak percaya.

Tesa mendesah pelan, menatapi layar ponselnya yang menampilkan deretan pesan tak terbalas.

“Katanya begitu, tapi belum ada konfirmasi dari kepala Kim atau Kemal sendiri,” balas Tesa.

Bianca mengangguk setuju. "Dia bukan tipe orang yang mudah menyerah."

"Aku tahu itu, makanya aku sulit percaya," sahut Tesa dengan suara yang agak risau. "Tetapi sejak dua hari yang lalu dia tidak berangkat, dan sekarang juga. Membuatku emosi setengah mati karena mulai percaya bahwa gosip-gosip itu benar adanya."

Bianca mengangguk paham. "Temui saja, apa pun alasannya aku yakin dia punya alasan. Kau tahu rumahnya di mana, 'kan?"

Tesa pun hanya mengangguk, gadis yang menggunakan coat berwarna biru muda dan sepatu tinggi itu menyimpan kembali ponselnya dan mulai menyesap kopi di tangan.

Sebenarnya Tesa ingin meminta bantuan Kemal tentang Raphael, bahkan hingga hari kemari Tesa belum percaya bahwa Kemal dengan bodohnya keluar dari kepolisian setelah sudah payah bersama. Jika Kemal pergi Tesa ingin bertanya apa alasannya, dan jika Kemal benar-benar pergi itu berarti harapan Tesa bisa mengungkap keberadaan Raphael bisa saja hilang, karena satu-satunya orang yang akan mempercayai Tesa adalah Kemal.

“Kudengar kasus Elana Dey ditransfer ke tim-mu, Bi?” tanya Tesa pada Bianca.

Bianca hampir tersedak mendengarnya, perempuan itu mengernyit tak nyaman.

“Oh, tolong jangan ingatkan aku,” ujar Bianca sembari menggeleng. “Aku hampir tertular mati saat melihat mayatnya, Tesa. Tidak pernah ku sangka ada manusia yang bisa melakukan hal tidak manusiawi itu pada manusia lain.”

Tesa hanya membuang napas berat mendengarnya.

Benar. Yang mampu melakukan hal semacam itu pada manusia lain bukanlah manusia. Dia bukan manusia. Jadi untuk mencegah adanya korban baru, Tesa harus segera mengungkap dan menghukumnya.

“Aku mengerti dirimu, pantas saja kau langsung sakit, aku juga hampir pingsan,” lanjut Bianca kemudian. Tesa menatapnya dengan pandangan bertanya, siapa yang sakit? Dan Bianca melanjutkan kalimatnya. “Semua orang sudah dengar gosipnya, senior Hyo yang menyebarkannya. Sepertinya itu strategi yang cukup bagus untuk membuat pamormu turun.”

Padahal Tesa tidak sakit, Hyo dan Mason yang memaksa Tesa bekerja setengah hari karena bukti di toko bunga tidak ada.

“Masa bodoh dengan wanita tua itu,” acuh Tesa sembari mengibaskan rambut ke belakang.

“Ah, akhirnya setelah mayat-mayat menyeramkan, wajah rekan-rekan yang memuakkan, akan datang seorang detektif baru dengan tampang rupawan.”

Oh Tesa hampir lupa dengan itu. Gosip soal detektif baru yang tampan. Tesa sendiri hanya mendengar. Ia tidak tahu banyak soal hidup detektif baru itu.

Jika prasangka buruk Tesa benar, entah apa yang harus Tesa lakukan nanti, intinya sekarang, Tesa hanya bisa berharap kalau detektif baru itu bukanlah tetangga barunya juga.

“Sudah lihat orangnya?” tanya Tesa tertarik.

“Sudah. Memangnya kau belum? Kemarin dia kemari,” balas Bianca, lalu rekan Tesa itu tampak mengingat sesuatu. “Ah, kau pergi ke toko bunga untuk mencari bukti tersangka imajinasi itu, ya?”

Tesa membuang muka.

Kan. Tidak akan ada yang mempercayai dirinya, kecuali Kemal.

“Bukan imajinasi, semuanya serius, Bi. Aku benar-benar melihatnya,” sahut Tesa malas. "Kau pasti tahu 'kan aku tidak pernah sakit, mataku tidak minus atau plus, semuanya normal, dan aku juga tidak gemar halusinasi. Hanya karena buktinya tidak ada semua orang tidak mempercayai kesaksianku."

Bianca memutar bola mata. Sayangnya, ia juga setuju bahwa Tesa bukanlah gadis yang gemar berhalusinasi, lebih-lebih saat masih sekolah dulu, Tesa adalah murid yang pandai dalam praktik, tebakan masuk akalnya hampir tidak pernah salah.

Tetapi... tidak bisa dipungkiri bahwa bukti memanglah sangat penting. Meski ada kesaksian, kalau tidak ada bukti semua akan sia-sia dan akan sulit untuk percaya.

“Iya-iya,” balas Bianca. Lalu tiba-tiba nada suara Bianca berubah. “Lihat-lihat, pucuk dicinta ulam pun tiba.”

Tesa menoleh pada Bianca. Dan Bianca menunjuk gerbang sana menggunakan dagunya. "Detektif tampan pengusir sumpek akhirnya datang."

Tesa memindahkan arah pandangnya ke arah yang sama dengan Bianca. Lalu bersama satu tarikan napas Tesa pun memejamkan mata pening.

Sialnya Tesa kenal mobil itu.

Prasangka buruk yang ada di kepala Tesa benar-benar nyata.

Mimpi buruknya telah terjadi.

“Benar-benar kamuflase yang bagus, Raphael,” ujar Tesa sembari memandangi mobil berwarna hitam mengkilap yang baru datang itu tajam.

“Kau tahu namanya?” tanya Bianca penasaran.

Tesa mengangguk dan matanya tak lepas dari mobil yang sudah terparkir itu. “Tapi yang ku tahu sebelumnya adalah pria bertato dan penuh tindik. Lebih masuk akal kalau dia bos gengster atau yang lainnya.”

Bianca menganggukkan kepala tak menyangka. “Sekarang kau terdengar lebih dari sekedar ‘tahu’.”

Tesa pun tak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu lalu meminum kembali kopi di tangan yang sudah mulai dingin.

Bianca melanjutkan. “Kuberitahu padamu, Tesa. Aku tidak tahu kau melihat versi yang mana, tetapi seorang detektif punya banyak versi dirinya untuk kebutuhan penyamaran. Dan detektif Seavey mungkin pernah menyamar menjadi seorang kriminal seperti yang dilihatmu sebelum ini.”

Atau mungkin sebenarnya Raphael adalah kriminal yang menyamar menjadi seorang detektif

Semua bisa saja terjadi.

Tesa tidak membalas kalimat Bianca, ia hanya menatap Raphael yang sudah keluar dari mobilnya.

Dan, tentu.

Tesa berhasil dibuat terkejut.

Penampilan yang sungguh berbeda, seratus delapan puluh derajat dari Raphael yang merupakan tetangga baru Tesa.

Jika sebelumnya Raphael adalah lelaki yang penuh tato juga tindik, dan mempunyai rambut panjang dengan penampilan urakan, sekarang Raphael terlihat begitu rapi dengan rambut yang sudah dipotong, belum lagi lengan lelaki itu bersih tanpa tato, jangankan tato tindik saja tidak ada.

Raphael berjalan menjauh dari mobilnya, lelaki itu menggunakan kaos polo dan celana bahan.

Tesa menatap menilai. Penampilan gengster lebih cocok di Raphael daripada yang rapi-rapi begini.

Pada saat Raphael sudah lebih dekat dengan tempat Tesa berdiri, Tesa memberikan senyum andalannya yang semanis madu, jemarinya terangkat dan melambai manja.

Dan Raphael hanya melirik tanpa membalas. Berlalu seakan mereka tidak pernah bertemu satu kali pun.

Saat Raphael sudah melaluinya, senyum di wajah Tesa berubah menjadi satu garis lurus.

"Sekarang kalian malah terlihat seperti musuh," komentar Bianca yang ternyata menyimak sejak tadi.

Tesa mendengkus sekilas. Ia tidak akan mengatakan apa pun pada Bianca.

Kalau teman seperjuangan seperti Bianca saja tidak percaya bahwa Tesa mempunyai kesaksian akan pembunuhan Elana Dey, apa lagi kalau Tesa bilang bahwa detektif idola yang baru pindah itu adalah pelakunya.

Semua orang akan menganggap Tesa gila.

Tesa mendecih. "Konyol sekali.”

--

Tbc.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status