Suasana di Alam Kontrak menjadi semakin gelap. Angin panas berhembus membawa jeritan-jeritan jiwa yang terikat. Sierra dan Alex berdiri di hadapan altar kuno, tempat di mana ribuan kontrak telah ditulis dengan darah, air mata, dan pengkhianatan.
Namun kali ini, mereka akan menulis sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya: Kontrak yang dibentuk dari cinta. “Jika kita lakukan ini,” kata Alex perlahan, “kita akan mematahkan hukum lama yang mengikat dunia iblis dan manusia. Aku tak tahu apa yang akan terjadi.” Sierra menatapnya, yakin. “Aku tidak peduli. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian di neraka ini lagi.” Alex menatap Sierra seperti ingin menghafal wajahnya untuk terakhir kali. Kemudian ia mengeluarkan sebuah belati perak, artefak kuno dari masa para Penjaga Kontrak pertama. Ia memotong telapak tangannya, darah hitam mengalir dan menyatu dengan simbol di altar. Sierra mengikutinya, namun yang mengalir dari tangannya bukan darah merah, melainkan cahaya keemasan. Simbol segel di pergelangan tangannya bersinar terang, meledak menjadi lingkaran sihir yang membungkus mereka berdua. Dunia mulai berguncang. Langit di alam manusia berubah menjadi merah. Gerbang-gerbang dimensi terbuka. Dante—dengan bentuk iblis sejatinya—muncul dari balik retakan langit bersama para iblis yang haus kekuasaan. "Terlambat!” raung Dante. “Kontrak kalian tak akan menghentikan kehancuran!” Namun saat darah dan cahaya cinta menyatu di altar, segel kuno mulai pecah. Dari dalam altar, cahaya raksasa menyembur ke langit, menusuk dimensi dunia atas. Gelombang energi menghempaskan para iblis, memaksa mereka kembali. Sierra dan Alex melayang di udara, di tengah badai sihir yang mengamuk. Luka-luka Alex mulai menghilang, tandanya kembali menjadi manusia. Namun, kekuatan yang membangkitkan semua ini terlalu besar. Dunia mulai tidak stabil. Sierra gemetar. “Kita harus menutupnya, sekarang!” Alex menariknya dalam pelukan. “Kalau kita tutup semuanya… kau tidak akan pernah kembali ke dunia manusia.” Sierra menatap mata Alex, tersenyum lembut. “Kita mulai ini bersama. Kita akhiri juga bersama.” Dengan satu ciuman terakhir yang membekukan waktu, mereka menyatukan tangan dan mengucapkan kalimat terakhir dari kontrak baru itu. “Kami menolak takdir yang memisahkan. Kami tulis ulang hukum dengan cinta.” Cahaya meledak. Dunia gelap. Sunyi. Saat Sierra membuka mata, ia berada di tempat yang asing—ladang bunga putih di bawah langit biru yang tidak ia kenal. Di sampingnya, Alex berbaring, tertidur damai. Ia tersenyum. Dunia mereka telah berubah. Kontrak baru telah menciptakan dimensi baru—tanpa iblis, tanpa manusia, hanya mereka… dan awal baru. Sierra terbangun dengan aroma manis bunga yang belum pernah ia cium sebelumnya. Kelopak putih berguguran pelan dari langit seperti salju musim semi. Ia duduk perlahan, menatap lanskap di sekelilingnya—seolah-olah surgawi, terlalu tenang untuk disebut dunia nyata. Alex masih tertidur di sampingnya, dadanya naik turun perlahan. Tubuhnya yang dulu dikelilingi kegelapan kini bersinar lembut, seperti manusia… bukan lagi iblis, bukan lagi penjaga segel, hanya Alex—versi terbaik dari dirinya. Sierra menyentuh wajahnya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa… bebas. “Apa ini surga?” gumamnya. Suara lembut menyahut dari kejauhan, “Bukan. Ini dimensi penyeimbang. Hasil dari kontrak baru yang kalian buat. Dunia ini tak diikat oleh iblis maupun hukum manusia. Ini milik kalian.” Sierra menoleh. Seorang wanita tua berpakaian putih berdiri di antara bunga. Matanya bening, menyiratkan ribuan tahun pengetahuan. “Aku… siapa kau?” tanya Sierra, berjaga. “Aku adalah roh penjaga altar pertama. Sudah lama dunia tidak menyaksikan kontrak seperti milikmu. Kau dan Alex telah menulis ulang sejarah.” Sierra berdiri pelan. “Apa kami… bisa kembali?” Penjaga itu menggeleng. “Dunia yang dulu tidak akan mengenalmu lagi. Tapi jika kau ingin, kau bisa mengembalikan satu hal yang penting…” Sierra menoleh ke Alex, yang kini membuka matanya. “Kau.” Alex tersenyum. “Jadi ini akhir kita?” Sierra menggeleng. “Tidak, ini awal.” Penjaga altar mengangkat tangannya, dan sebuah pintu cahaya terbuka di tengah ladang. Di baliknya, tampak dunia manusia. Gedung, kota, langit biru yang biasa. Sierra ragu. “Kau bisa membawa ingatan dan jiwamu ke sana,” kata si penjaga, “tapi dunia akan memperlakukanmu seperti manusia biasa. Tidak ada kekuatan. Tidak ada keabadian. Hanya… hidup.” Alex melirik Sierra. “Kalau kau pergi, aku ikut.” Sierra menggenggam tangannya. “Aku tak butuh sihir. Aku hanya butuh kamu.” Dengan langkah mantap, mereka berdua melewati pintu cahaya—meninggalkan dimensi itu untuk terakhir kalinya. Beberapa bulan kemudian… Di sebuah kota kecil di Italia, sepasang kekasih membuka kafe sederhana bernama Luce d’Inferno—Cahaya dari Neraka. Pelanggan tak tahu cerita di baliknya. Mereka hanya tahu bahwa pasangan pemilik kafe itu tampak terlalu saling mencintai untuk dipisahkan. Di dalam kafe, tergantung satu lukisan: Seorang perempuan berdiri di hadapan pria yang dikelilingi api, namun tersenyum seolah tak pernah takut.Angin malam mengoyak dedaunan dengan liar. Bulan merah menggantung di atas hutan seperti mata iblis yang terjaga, menyaksikan segala yang terjadi dengan diam penuh ancaman. Kilasan cahaya merah dari langit turun perlahan, seperti kabut yang membakar. Tiba-tiba, Sierra terhuyung mundur. "S-Sierra?!" Lucien segera menghampirinya, tapi Sierra terjatuh berlutut, kedua tangannya mencengkeram dadanya kuat—tepat di bagian kiri. Nafasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat. "AaaAAAGHHH!!" Jeritannya menembus sunyi hutan. Bersamaan dengan itu, lolongan panjang kembali terdengar—lebih dekat, lebih kuat, lebih menusuk ke dalam jiwa. AuuuuuuuuuUUUUUUUUUMMMM— Darah mengalir dari hidung Sierra, dan sorotan matanya berubah hitam seperti tinta, namun dengan cahaya keemasan samar di tengah pupilnya. Ada dua kekuatan yang saling bertarung dalam dirinya—yang satu menarik, yang lain menolak. "SIERRA!" Alex berlari memeluknya dari belakang, mencoba menahan tubuh istrinya yang bergetar. "Dia… panas
Sierra tertidur di sudut gubuk dengan napas yang berat, tangannya masih menggenggam setengah halaman dari kitab tua itu. Di antara kelelahan fisik dan jiwa, kesadarannya terhempas ke dalam gelap yang familiar. Lalu, muncul cahaya lembut berwarna keperakan. Hening. Lalu suara—nyanyian perempuan. “Tidurlah, bintang kecilku… Jangan takut gelap. Aku di sini. Aku menjagamu…” Dalam mimpinya, Sierra melihat seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang warna cokelat keemasan. Wajahnya damai, penuh kelembutan. Ia sedang menggendong bayi perempuan di pelukannya, membisikkan mantra yang tak Sierra pahami—namun terasa seperti doa kuno. “Itu… Ibu?” bisik Sierra dalam mimpi itu. Namun sebelum Sierra bisa lebih dekat, pemandangan berganti. Sierra kini melihat anak kecil—mirip dirinya—berlari-lari di taman berbunga. Di sampingnya, ada gadis kecil lain, rambutnya lebih gelap… wajahnya sangat mirip dengan Nerine. Gambaran itu terasa hangat, nyaris membuat Sierra tersenyum—hingga lata
Cahaya putih dari kitab kuno masih memancar kuat, menerangi seluruh langit Elowen’s Hollow. Sementara di tempat lain—sekitar 2 mil dari lokasi gubuk—sebuah kelompok berpakaian serba gelap berkumpul di bawah bayangan pepohonan tinggi. Mereka adalah para pengejar, pemburu bayangan, penyembah kekuatan kegelapan lama yang kini bangkit kembali. Salah satu dari mereka, Kael, lelaki berbalut sorban hitam dan mata kemerahan seperti bara, masih berdiri diam dengan tenang, senyuman menyimpang menghiasi wajahnya. Namun di sisinya, seorang wanita melangkah ke depan dengan penuh kemarahan. Rambut peraknya memantulkan cahaya bulan, sementara tangan kanannya menunjukkan tato pusaran hitam, tampak berdenyut seperti makhluk hidup. “KAEL!” serunya tajam. “Kau bilang kita akan menghadapinya malam ini! Sierra adalah Kunci! Kita tak seharusnya menunda saat gerbang itu hampir terbuka!” Kael menghela napas sejenak, menatap wanita itu seolah sedang menahan gejolak ledakan. “Tenang, Nyxira. Kau terlalu t
Kabut malam menebal di antara pohon-pohon tua Elowen’s Hollow. Tanah yang mereka injak seperti hidup, menyesatkan arah dan memutar kembali jejak. Di belakang mereka, suara langkah musuh yang makin mendekat bergema seperti bisikan kematian. Sierra menggenggam tangan Selene dan menundukkan kepala. “Jangan pergi. Jangan, Selene. Bangunlah…” Tapi yang terjadi justru sebaliknya — tubuh Selene seperti mulai membeku dari dalam, es tipis muncul di permukaan kulitnya, dan pusaran energi kecil mengitari tubuhnya seperti kepompong. Lucien melangkah mundur. “Ini bukan sekadar pengurasan energi... ini seperti pemanggilan balik dari dimensi asalnya.” “Dimensi... asal?” tanya Alex, masih menyangga tubuh Selene dengan bingung. “Selene bukan sepenuhnya manusia. Dia ‘ditanamkan’ ke dalam dunia ini oleh seseorang. Dan sekarang... ada yang memanggilnya kembali.” Tiba-tiba, simbol aneh menyala di dahinya — seperti huruf kuno yang tak bisa dibaca, lalu perlahan menghilang bersama denyut cahaya dari t
Di tengah hutan sunyi yang tak dikenal, di bawah cahaya rembulan yang menembus awan gelap, kelompok itu duduk mengelilingi kitab usang di hadapan mereka. Angin menghembus seperti napas dari dunia lama. Setiap helai daun seperti menatap mereka. Tempat ini dikenal dalam bahasa kuno sebagai “Elowen’s Hollow” — sebuah kawasan antara dunia manusia dan wilayah arwah, tersembunyi dari peta, dilupakan sejarah, tapi tidak pernah benar-benar mati. “Tempat ini bukan hanya tempat perlindungan,” gumam Lucien. “Ini kuil pemurnian… dan pengingat masa lalu.” Sierra menatap kitab itu dengan tangan gemetar. Setiap halaman yang dibuka seolah menyeretnya lebih dalam ke pusaran takdir. Dan kali ini, ketika ia menyentuh halaman berikutnya, kitab itu hidup. Cahaya lembut merayap dari huruf-huruf tua di halaman itu, membentuk bayangan... seorang wanita berambut hitam panjang, berpakaian seperti imam wanita zaman kuno, menggendong bayi. Suara lembutnya menggema dalam telinga Sierra: "Kau... adalah cahaya
Langit sudah sepenuhnya hitam. Bulan pun tersembunyi di balik awan yang seperti tak mau berpihak malam ini. Tanpa suara, tanpa kilat. Hanya sunyi dan desir angin yang terlalu dingin menusuk kulit. Lingkaran sihir yang dibentuk Selene berpendar pelan sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya—meninggalkan mereka berdiri di tengah hutan lebat dengan pohon-pohon tinggi menjulang seperti menara kegelapan. Akar-akar menjalar di tanah, membuat setiap langkah seolah seperti masuk ke dalam jebakan tak terlihat. Sierra memegang lengan Alex. “Kita... di mana ini?” Alex memandang sekeliling. “Aku tak tahu. Aku pikir kita akan muncul di reruntuhan kuil tua dekat bukit utara…” Selene berusaha membaca energi sekitar, namun bahkan ia pun tampak bingung. “Ini bukan lokasi yang biasa kupakai. Ada sesuatu yang mengganggu sihirku…” Lucien berdiri paling belakang, tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih. “Ini bukan tempat sembarangan. Kita telah dialihkan. Seseorang, atau sesuatu, menarik kita ke mari.”