Langkah-langkah Alex bergema lirih saat ia memasuki lorong sempit itu. Udara di dalamnya terasa berat, berbau besi dan asap. Cahaya merah redup di ujung lorong seolah menariknya, meskipun setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk berhenti.
Tapi ia terus berjalan. Dinding lorong itu seperti hidup—menampilkan kilatan bayangan masa lalu. Di sisi kiri, ia melihat dirinya saat masih berusia dua puluh tahun, berteriak dalam rapat saat idenya ditertawakan. Di sisi kanan, tampak Jordan—temannya yang kini koma—tersenyum sinis, sebelum bayangannya hancur seperti kaca. Alex merinding. Ini bukan sekadar ilusi. Lorong ini hidup dari kesalahan dan dendamnya. Saat ia sampai di ujung, ia menemukan sebuah pintu logam tinggi dengan simbol yang sama seperti di kontrak: segel iblis dengan tujuh lingkaran mengelilingi mata yang menangis darah. Tangannya gemetar saat menyentuh gagangnya. Dan saat pintu terbuka… ia disambut oleh sesuatu yang tak masuk akal. Sebuah ruangan besar—seperti aula purba, dikelilingi cermin raksasa. Tapi bukan bayangannya yang ia lihat. Di setiap cermin, tampak wajah-wajah mereka yang kini menderita karena keberuntungannya: Jordan, Evelyn, teman kuliahnya, bahkan ibu dari remaja apartemen bawah. Semuanya menangis… memohon. “Kenapa kau membiarkan kami terluka, Alex?” Suara mereka menggema, menyayat telinga dan hati. “Cukup!!” Alex menjerit. Tiba-tiba, di tengah aula, muncul sosok Dante. Kali ini tak mengenakan setelan rapi. Ia memakai jubah hitam panjang, dengan wajah setengah terbakar. Mata kirinya menyala merah, dan senyum khasnya masih di sana—dingin dan penuh cemooh. “Selamat datang di Ruang Timbangan. Di sinilah kontrak ditentukan... dan ditimbang.” “Batalkan ini. Aku tak mau lagi.” Dante mengangkat alis. “Kontrak tidak dibatalkan. Hanya bisa dialihkan... atau dilunasi.” “Bagaimana caranya?” “Serahkan satu jiwa… sebagai ganti semua.” Alex menatapnya tajam. “Jiwaku?” Dante tersenyum miring. “Bukan. Kau tak cukup berharga. Tapi… seseorang yang kau cintai. Seseorang yang bersih. Pengorbanan sejati.” Tiba-tiba, dari balik cermin, muncullah bayangan wanita muda—Sierra, wanita yang baru ia temui seminggu lalu dan diam-diam membuat hatinya tenang. Seseorang yang selama ini tak punya hubungan dengan dunianya yang kacau… namun menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya hidup Alex. Dante menyeringai. “Pilih: teruskan dan biarkan enam lainnya membayar... atau serahkan satu orang yang paling bersih di hidupmu untuk lunas sekarang.” Alex mundur. Napasnya memburu. Ini bukan sekadar tentang kontrak. Ini… penyiksaan batin. Dan di sinilah permainan iblis sebenarnya dimulai: bukan tentang kekuatan… tapi tentang rasa bersalah. Alex terduduk di tengah ruang timbangan. Cermin-cermin raksasa mengelilinginya, memantulkan rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. Wajah Sierra terpampang jelas di satu cermin—matanya yang jernih, senyum tulusnya… kini tampak begitu rapuh. Ia tidak tahu apa-apa. Tidak pantas menjadi korban dari kesepakatan gelap yang tak pernah ia setujui. Dante berdiri diam, membiarkan keheningan menghimpit Alex. “Waktu terus berjalan,” ujarnya lembut, “dan setiap detik yang kau buang adalah luka baru bagi mereka.” Tiba-tiba, salah satu cermin retak. Di baliknya, tampak Jordan—temannya yang koma—mulai menggeliat kesakitan, seolah nyawanya sedang direnggut perlahan. Jeritannya menggema di aula. Alex menggertakkan giginya. “Ada pilihan ketiga. Selalu ada.” Dante menghela napas panjang, seolah bosan. “Manusia dan harapan. Kalian selalu mengandalkannya saat logika tak bisa menolong. Tapi baiklah… kau ingin pilihan ketiga? Ciptakan sendiri. Tapi ingat, dunia kami tidak memberi hadiah. Setiap keajaiban harus ditebus.” Alex berdiri. Matanya menyala bukan karena keberanian, tapi karena keputusasaan. “Kalau aku bisa menebus ini dengan menghadapi asal mula kekuatanmu, aku akan melakukannya.” Dante tertawa kecil. “Kau ingin masuk ke inti kontrak? Dunia di mana iblis tidak hanya menagih, tapi hidup? Baik. Tapi sekali kau masuk, tak ada jaminan kau kembali sebagai manusia.” Cermin-cermin di sekelilingnya mulai berputar. Ruangan bergetar. Lantai terbuka perlahan, memperlihatkan tangga batu menurun menuju kegelapan murni. “Turunlah, Alex,” bisik Dante. “Di bawah sana, hanya ada satu hukum: kebenaran.” Tanpa menunggu, Alex melangkah turun. Setiap anak tangga terasa seperti menyayat kulitnya. Suara-suara samar terdengar—tangisan, tawa, jeritan. Tangga seolah tak berujung, sampai akhirnya ia tiba di ruang bawah tanah yang hanya diterangi cahaya biru dingin dari kristal di langit-langit. Di tengah ruangan itu berdiri sosok tinggi, berjubah merah darah, dengan wajah tertutup topeng emas. Ia memegang buku tebal yang sama seperti yang dulu Alex tanda tangani—tapi lebih tua, lebih gelap… dan tampaknya hidup. “Selamat datang, pewaris kontrak,” suara sosok itu dalam dan berat. “Namaku Malraze, penjaga kontrak utama. Kau datang bukan untuk menyerahkan… tapi menantang.” Alex menegakkan tubuh. “Aku ingin menebus semuanya. Bukan dengan nyawa orang lain. Tapi dengan kebenaran. Tunjukkan padaku apa sebenarnya kontrak ini.” Malraze diam sejenak. Lalu perlahan, ia membuka buku itu. Halaman-halamannya kosong… hingga satu per satu mulai terisi dengan tinta hitam pekat yang merembes keluar seperti darah. Dan di sana, Alex melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan—asal mula kontrak, para penandatangan sebelum dirinya… dan satu nama yang membuat darahnya membeku. Ayahnya.Angin malam mengoyak dedaunan dengan liar. Bulan merah menggantung di atas hutan seperti mata iblis yang terjaga, menyaksikan segala yang terjadi dengan diam penuh ancaman. Kilasan cahaya merah dari langit turun perlahan, seperti kabut yang membakar. Tiba-tiba, Sierra terhuyung mundur. "S-Sierra?!" Lucien segera menghampirinya, tapi Sierra terjatuh berlutut, kedua tangannya mencengkeram dadanya kuat—tepat di bagian kiri. Nafasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat. "AaaAAAGHHH!!" Jeritannya menembus sunyi hutan. Bersamaan dengan itu, lolongan panjang kembali terdengar—lebih dekat, lebih kuat, lebih menusuk ke dalam jiwa. AuuuuuuuuuUUUUUUUUUMMMM— Darah mengalir dari hidung Sierra, dan sorotan matanya berubah hitam seperti tinta, namun dengan cahaya keemasan samar di tengah pupilnya. Ada dua kekuatan yang saling bertarung dalam dirinya—yang satu menarik, yang lain menolak. "SIERRA!" Alex berlari memeluknya dari belakang, mencoba menahan tubuh istrinya yang bergetar. "Dia… panas
Sierra tertidur di sudut gubuk dengan napas yang berat, tangannya masih menggenggam setengah halaman dari kitab tua itu. Di antara kelelahan fisik dan jiwa, kesadarannya terhempas ke dalam gelap yang familiar. Lalu, muncul cahaya lembut berwarna keperakan. Hening. Lalu suara—nyanyian perempuan. “Tidurlah, bintang kecilku… Jangan takut gelap. Aku di sini. Aku menjagamu…” Dalam mimpinya, Sierra melihat seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang warna cokelat keemasan. Wajahnya damai, penuh kelembutan. Ia sedang menggendong bayi perempuan di pelukannya, membisikkan mantra yang tak Sierra pahami—namun terasa seperti doa kuno. “Itu… Ibu?” bisik Sierra dalam mimpi itu. Namun sebelum Sierra bisa lebih dekat, pemandangan berganti. Sierra kini melihat anak kecil—mirip dirinya—berlari-lari di taman berbunga. Di sampingnya, ada gadis kecil lain, rambutnya lebih gelap… wajahnya sangat mirip dengan Nerine. Gambaran itu terasa hangat, nyaris membuat Sierra tersenyum—hingga lata
Cahaya putih dari kitab kuno masih memancar kuat, menerangi seluruh langit Elowen’s Hollow. Sementara di tempat lain—sekitar 2 mil dari lokasi gubuk—sebuah kelompok berpakaian serba gelap berkumpul di bawah bayangan pepohonan tinggi. Mereka adalah para pengejar, pemburu bayangan, penyembah kekuatan kegelapan lama yang kini bangkit kembali. Salah satu dari mereka, Kael, lelaki berbalut sorban hitam dan mata kemerahan seperti bara, masih berdiri diam dengan tenang, senyuman menyimpang menghiasi wajahnya. Namun di sisinya, seorang wanita melangkah ke depan dengan penuh kemarahan. Rambut peraknya memantulkan cahaya bulan, sementara tangan kanannya menunjukkan tato pusaran hitam, tampak berdenyut seperti makhluk hidup. “KAEL!” serunya tajam. “Kau bilang kita akan menghadapinya malam ini! Sierra adalah Kunci! Kita tak seharusnya menunda saat gerbang itu hampir terbuka!” Kael menghela napas sejenak, menatap wanita itu seolah sedang menahan gejolak ledakan. “Tenang, Nyxira. Kau terlalu t
Kabut malam menebal di antara pohon-pohon tua Elowen’s Hollow. Tanah yang mereka injak seperti hidup, menyesatkan arah dan memutar kembali jejak. Di belakang mereka, suara langkah musuh yang makin mendekat bergema seperti bisikan kematian. Sierra menggenggam tangan Selene dan menundukkan kepala. “Jangan pergi. Jangan, Selene. Bangunlah…” Tapi yang terjadi justru sebaliknya — tubuh Selene seperti mulai membeku dari dalam, es tipis muncul di permukaan kulitnya, dan pusaran energi kecil mengitari tubuhnya seperti kepompong. Lucien melangkah mundur. “Ini bukan sekadar pengurasan energi... ini seperti pemanggilan balik dari dimensi asalnya.” “Dimensi... asal?” tanya Alex, masih menyangga tubuh Selene dengan bingung. “Selene bukan sepenuhnya manusia. Dia ‘ditanamkan’ ke dalam dunia ini oleh seseorang. Dan sekarang... ada yang memanggilnya kembali.” Tiba-tiba, simbol aneh menyala di dahinya — seperti huruf kuno yang tak bisa dibaca, lalu perlahan menghilang bersama denyut cahaya dari t
Di tengah hutan sunyi yang tak dikenal, di bawah cahaya rembulan yang menembus awan gelap, kelompok itu duduk mengelilingi kitab usang di hadapan mereka. Angin menghembus seperti napas dari dunia lama. Setiap helai daun seperti menatap mereka. Tempat ini dikenal dalam bahasa kuno sebagai “Elowen’s Hollow” — sebuah kawasan antara dunia manusia dan wilayah arwah, tersembunyi dari peta, dilupakan sejarah, tapi tidak pernah benar-benar mati. “Tempat ini bukan hanya tempat perlindungan,” gumam Lucien. “Ini kuil pemurnian… dan pengingat masa lalu.” Sierra menatap kitab itu dengan tangan gemetar. Setiap halaman yang dibuka seolah menyeretnya lebih dalam ke pusaran takdir. Dan kali ini, ketika ia menyentuh halaman berikutnya, kitab itu hidup. Cahaya lembut merayap dari huruf-huruf tua di halaman itu, membentuk bayangan... seorang wanita berambut hitam panjang, berpakaian seperti imam wanita zaman kuno, menggendong bayi. Suara lembutnya menggema dalam telinga Sierra: "Kau... adalah cahaya
Langit sudah sepenuhnya hitam. Bulan pun tersembunyi di balik awan yang seperti tak mau berpihak malam ini. Tanpa suara, tanpa kilat. Hanya sunyi dan desir angin yang terlalu dingin menusuk kulit. Lingkaran sihir yang dibentuk Selene berpendar pelan sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya—meninggalkan mereka berdiri di tengah hutan lebat dengan pohon-pohon tinggi menjulang seperti menara kegelapan. Akar-akar menjalar di tanah, membuat setiap langkah seolah seperti masuk ke dalam jebakan tak terlihat. Sierra memegang lengan Alex. “Kita... di mana ini?” Alex memandang sekeliling. “Aku tak tahu. Aku pikir kita akan muncul di reruntuhan kuil tua dekat bukit utara…” Selene berusaha membaca energi sekitar, namun bahkan ia pun tampak bingung. “Ini bukan lokasi yang biasa kupakai. Ada sesuatu yang mengganggu sihirku…” Lucien berdiri paling belakang, tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih. “Ini bukan tempat sembarangan. Kita telah dialihkan. Seseorang, atau sesuatu, menarik kita ke mari.”