Jantung Alex berdetak liar saat matanya tertuju pada nama yang tertulis jelas di halaman kontrak: Leonard Alverson—ayahnya. Tepat di bawah nama itu, tercetak tanggal penandatanganan dua puluh tujuh tahun silam. Di sebelahnya, tertulis kata: "Pembuka Gerbang."
Alex melangkah mundur. “Ini… tidak mungkin. Ayahku meninggal dalam kecelakaan mobil. Ia bukan bagian dari ini.” Malraze memejamkan mata, dan seketika ruangan itu berdenyut. Tembok di sekeliling mereka berubah menjadi layar hidup—menampilkan masa lalu seperti lukisan bergerak. Di sana, terlihat Leonard muda, duduk di meja kayu usang. Di depannya, sosok Dante—masih sama seperti sekarang—menawarkan pena dan kontrak. "Leonard Alverson menandatangani kontrak bukan untuk kekayaan,” ujar Malraze. “Tapi untuk… perlindungan.” Gambaran masa lalu memperlihatkan ibu Alex—yang saat itu tengah hamil besar—tergeletak di ranjang rumah sakit. Napasnya berat, nyaris padam. Dokter menggeleng, menyerah. Leonard menandatangani kontrak. Seketika, suara monitor medis berubah: detak jantung kembali stabil. Ibu Alex dan anak di kandungannya—Alex—diselamatkan. “Dan itulah alasan kau lahir, Alex,” kata Malraze dengan suara bergema. “Bukan sekadar putra manusia, tapi penerus warisan terkutuk. Kau adalah hasil dari kontrak.” Alex menggenggam kepalanya. Dunia di sekelilingnya runtuh. Selama ini ia pikir semua penderitaan ini dimulai dari keputusan egoisnya… tapi ternyata ini adalah lingkaran—siklus gelap yang diwariskan. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku?” desis Alex. “Karena kebenaran bukan untuk semua. Hanya mereka yang berani menantang iblis, yang layak mengetahuinya.” Malraze lalu berjalan mendekat dan menyodorkan buku kontrak terbuka. “Tapi kini kau punya pilihan keempat. Hancurkan akar kontrak ini—tapi dengan konsekuensi berat. Kau akan menghapus keberadaan seluruh keberuntungan yang pernah kau terima. Segalanya… akan kembali ke titik nol.” Alex membeku. Artinya: Jordan tetap koma, bisnisnya bangkrut, reputasinya hancur. Bahkan, mungkin ia tak akan pernah bertemu Sierra. “Kalau kau memilih ini,” tambah Malraze, “kau akan menjadi manusia biasa. Tanpa bantuan setan, tanpa kutukan warisan.” Alex menatap lembar terakhir di buku itu. Hanya ada satu instruksi: “Ludahi tinta terakhir untuk menghapus garis darah.” Tangan Alex gemetar. Tapi perlahan ia menunduk, dan... Sebuah suara lembut menghentikannya. “Alex?” Ia menoleh cepat. Dari balik pintu bawah tanah, Sierra berdiri. Wajahnya bingung, cemas. “Apa yang kau lakukan di sini?” Alex terdiam. Dante berdiri di belakang Sierra, tersenyum puas. “Waktu hampir habis, Alex. Pilih: musnahkan kontrak… atau jalani nasib yang sudah tertulis. Tapi ingat… setiap pilihan ada harganya.” Alex menatap Sierra, yang berdiri di ambang batas antara dua dunia—dunia nyata dan dunia kontrak. Matanya membulat melihat ruangan gelap yang tampak seperti berasal dari neraka. Tangannya gemetar. “Apa ini, Alex?” Alex ingin menjawab, tapi kata-katanya tercekat. Ia terlalu tenggelam dalam konflik batin—antara menyelamatkan semuanya dan kehilangan dirinya, atau menghapus semua dan kehilangan dia. “Pergilah, Sierra. Tempat ini bukan untukmu,” katanya lirih, hampir seperti permohonan. Tapi Sierra melangkah mendekat. “Kalau kau terluka karena sesuatu yang tidak aku tahu, aku ingin tahu. Jangan sembunyikan aku.” Dante menyeringai dari bayang-bayang. “Lihatlah, bahkan cinta pun ingin ikut masuk neraka.” Malraze menutup buku kontrak, lalu berkata kepada Alex, “Satu pilihan lagi: kau bisa menghapus semuanya, atau kau bisa meminta satu keajaiban akhir—melindungi dia, selamanya. Tapi dengan imbalan…” Alex menatapnya tajam. “Imbalannya?” “Dirimu. Jiwamu. Tapi dia akan hidup, aman, dan tak akan pernah ingat dunia ini.” Sierra menggenggam tangan Alex. “Jangan lakukan apa pun demi aku.” Alex menunduk. “Terlambat. Aku sudah terlalu dalam.” Ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Kalau kau bisa membuat Sierra selamat, tidak ingat apa pun, dan hidup bahagia… aku akan ambil imbalannya. Ambil aku.” Seketika dunia bergetar. Kontrak menyala merah menyilaukan. Malraze membuka halaman terakhir dan menuliskan nama Alex Alverson dengan darah. Sierra mulai pingsan, tubuhnya menghilang perlahan dari ruangan. “Selamat tinggal,” bisik Alex, sebelum semuanya menjadi gelap. Ketika Sierra membuka mata, ia berada di taman kampus. Udara segar menerpa wajahnya. Tak ada tanda-tanda tentang ruang bawah tanah atau Alex. Ingatannya tentang kontrak, iblis, dan dunia gelap… menguap seketika. Namun di lubuk hatinya, ada kekosongan aneh. Seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah ia tahu. Lima Tahun Kemudian. Sierra berdiri di galeri seni kecil di Prancis. Ia kini seorang pelukis sukses, hidup damai. Tapi ada satu lukisan yang selalu ia simpan di pojok studionya—lukisan seorang pria muda, berdiri di tengah api, tersenyum pahit. Setiap kali ia melihat lukisan itu, hatinya bergetar. Ia tidak tahu siapa pria itu… tapi entah kenapa, lukisan itu terasa seperti rumah. Dan jauh di dunia yang tak terlihat oleh manusia, di ruang tak bernama, Alex berdiri sendiri—menjadi penjaga kontrak baru. Namun setiap malam, saat dunia sepi, ia memejamkan mata dan mengingat wajah Sierra. Walau tak bisa bersamanya… setidaknya ia tahu: ia selamat.Angin malam mengoyak dedaunan dengan liar. Bulan merah menggantung di atas hutan seperti mata iblis yang terjaga, menyaksikan segala yang terjadi dengan diam penuh ancaman. Kilasan cahaya merah dari langit turun perlahan, seperti kabut yang membakar. Tiba-tiba, Sierra terhuyung mundur. "S-Sierra?!" Lucien segera menghampirinya, tapi Sierra terjatuh berlutut, kedua tangannya mencengkeram dadanya kuat—tepat di bagian kiri. Nafasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat. "AaaAAAGHHH!!" Jeritannya menembus sunyi hutan. Bersamaan dengan itu, lolongan panjang kembali terdengar—lebih dekat, lebih kuat, lebih menusuk ke dalam jiwa. AuuuuuuuuuUUUUUUUUUMMMM— Darah mengalir dari hidung Sierra, dan sorotan matanya berubah hitam seperti tinta, namun dengan cahaya keemasan samar di tengah pupilnya. Ada dua kekuatan yang saling bertarung dalam dirinya—yang satu menarik, yang lain menolak. "SIERRA!" Alex berlari memeluknya dari belakang, mencoba menahan tubuh istrinya yang bergetar. "Dia… panas
Sierra tertidur di sudut gubuk dengan napas yang berat, tangannya masih menggenggam setengah halaman dari kitab tua itu. Di antara kelelahan fisik dan jiwa, kesadarannya terhempas ke dalam gelap yang familiar. Lalu, muncul cahaya lembut berwarna keperakan. Hening. Lalu suara—nyanyian perempuan. “Tidurlah, bintang kecilku… Jangan takut gelap. Aku di sini. Aku menjagamu…” Dalam mimpinya, Sierra melihat seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang warna cokelat keemasan. Wajahnya damai, penuh kelembutan. Ia sedang menggendong bayi perempuan di pelukannya, membisikkan mantra yang tak Sierra pahami—namun terasa seperti doa kuno. “Itu… Ibu?” bisik Sierra dalam mimpi itu. Namun sebelum Sierra bisa lebih dekat, pemandangan berganti. Sierra kini melihat anak kecil—mirip dirinya—berlari-lari di taman berbunga. Di sampingnya, ada gadis kecil lain, rambutnya lebih gelap… wajahnya sangat mirip dengan Nerine. Gambaran itu terasa hangat, nyaris membuat Sierra tersenyum—hingga lata
Cahaya putih dari kitab kuno masih memancar kuat, menerangi seluruh langit Elowen’s Hollow. Sementara di tempat lain—sekitar 2 mil dari lokasi gubuk—sebuah kelompok berpakaian serba gelap berkumpul di bawah bayangan pepohonan tinggi. Mereka adalah para pengejar, pemburu bayangan, penyembah kekuatan kegelapan lama yang kini bangkit kembali. Salah satu dari mereka, Kael, lelaki berbalut sorban hitam dan mata kemerahan seperti bara, masih berdiri diam dengan tenang, senyuman menyimpang menghiasi wajahnya. Namun di sisinya, seorang wanita melangkah ke depan dengan penuh kemarahan. Rambut peraknya memantulkan cahaya bulan, sementara tangan kanannya menunjukkan tato pusaran hitam, tampak berdenyut seperti makhluk hidup. “KAEL!” serunya tajam. “Kau bilang kita akan menghadapinya malam ini! Sierra adalah Kunci! Kita tak seharusnya menunda saat gerbang itu hampir terbuka!” Kael menghela napas sejenak, menatap wanita itu seolah sedang menahan gejolak ledakan. “Tenang, Nyxira. Kau terlalu t
Kabut malam menebal di antara pohon-pohon tua Elowen’s Hollow. Tanah yang mereka injak seperti hidup, menyesatkan arah dan memutar kembali jejak. Di belakang mereka, suara langkah musuh yang makin mendekat bergema seperti bisikan kematian. Sierra menggenggam tangan Selene dan menundukkan kepala. “Jangan pergi. Jangan, Selene. Bangunlah…” Tapi yang terjadi justru sebaliknya — tubuh Selene seperti mulai membeku dari dalam, es tipis muncul di permukaan kulitnya, dan pusaran energi kecil mengitari tubuhnya seperti kepompong. Lucien melangkah mundur. “Ini bukan sekadar pengurasan energi... ini seperti pemanggilan balik dari dimensi asalnya.” “Dimensi... asal?” tanya Alex, masih menyangga tubuh Selene dengan bingung. “Selene bukan sepenuhnya manusia. Dia ‘ditanamkan’ ke dalam dunia ini oleh seseorang. Dan sekarang... ada yang memanggilnya kembali.” Tiba-tiba, simbol aneh menyala di dahinya — seperti huruf kuno yang tak bisa dibaca, lalu perlahan menghilang bersama denyut cahaya dari t
Di tengah hutan sunyi yang tak dikenal, di bawah cahaya rembulan yang menembus awan gelap, kelompok itu duduk mengelilingi kitab usang di hadapan mereka. Angin menghembus seperti napas dari dunia lama. Setiap helai daun seperti menatap mereka. Tempat ini dikenal dalam bahasa kuno sebagai “Elowen’s Hollow” — sebuah kawasan antara dunia manusia dan wilayah arwah, tersembunyi dari peta, dilupakan sejarah, tapi tidak pernah benar-benar mati. “Tempat ini bukan hanya tempat perlindungan,” gumam Lucien. “Ini kuil pemurnian… dan pengingat masa lalu.” Sierra menatap kitab itu dengan tangan gemetar. Setiap halaman yang dibuka seolah menyeretnya lebih dalam ke pusaran takdir. Dan kali ini, ketika ia menyentuh halaman berikutnya, kitab itu hidup. Cahaya lembut merayap dari huruf-huruf tua di halaman itu, membentuk bayangan... seorang wanita berambut hitam panjang, berpakaian seperti imam wanita zaman kuno, menggendong bayi. Suara lembutnya menggema dalam telinga Sierra: "Kau... adalah cahaya
Langit sudah sepenuhnya hitam. Bulan pun tersembunyi di balik awan yang seperti tak mau berpihak malam ini. Tanpa suara, tanpa kilat. Hanya sunyi dan desir angin yang terlalu dingin menusuk kulit. Lingkaran sihir yang dibentuk Selene berpendar pelan sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya—meninggalkan mereka berdiri di tengah hutan lebat dengan pohon-pohon tinggi menjulang seperti menara kegelapan. Akar-akar menjalar di tanah, membuat setiap langkah seolah seperti masuk ke dalam jebakan tak terlihat. Sierra memegang lengan Alex. “Kita... di mana ini?” Alex memandang sekeliling. “Aku tak tahu. Aku pikir kita akan muncul di reruntuhan kuil tua dekat bukit utara…” Selene berusaha membaca energi sekitar, namun bahkan ia pun tampak bingung. “Ini bukan lokasi yang biasa kupakai. Ada sesuatu yang mengganggu sihirku…” Lucien berdiri paling belakang, tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih. “Ini bukan tempat sembarangan. Kita telah dialihkan. Seseorang, atau sesuatu, menarik kita ke mari.”