Hari itu, hujan turun deras di Paris. Sierra baru saja menutup galeri saat langit menggelap tidak wajar, seperti bayangan yang tidak berasal dari awan—melainkan dari sesuatu yang lebih tua, lebih purba.
Di apartemennya, ia menatap lukisan yang selama ini tak pernah ia pamerkan: pria yang berdiri dalam api. Jantungnya berdebar lagi. Ada sesuatu dalam lukisan itu yang akhir-akhir ini... berubah. Warna apinya semakin terang, dan sorot mata pria itu makin hidup. Sierra sering mengalami mimpi aneh belakangan ini. Dalam mimpinya, ia berjalan di lorong-lorong gelap, suara dentingan rantai terdengar dari kejauhan, dan seorang lelaki memanggilnya… “Sierra, aku masih di sini.” Hari itu, ia bangun dengan luka bakar samar di pergelangan tangan kirinya. Luka yang tidak masuk akal—tidak terasa sakit, tapi berdenyut seperti sebuah... panggilan. Di tempat lain, jauh dari dunia manusia, Alex berlutut di ruang kontrak, matanya merah membara. Ia bukan manusia lagi, tapi juga bukan sepenuhnya iblis. Ia adalah penjaga gerbang, jiwa yang terikat pada ribuan kontrak manusia. Namun setiap kali ia melihat dunia atas, hanya satu hal yang ia cari: Sierra. Dan ia tahu... sesuatu berubah. Sebagian dari dirinya—yang seharusnya terhapus dari kenangan Sierra—masih tertinggal. Di tengah malam, Sierra kembali bermimpi. Tapi kali ini berbeda. Ia tidak sekadar berjalan di lorong, melainkan menemukan sebuah pintu besar dari logam hitam, dengan ukiran kata: “Kontrak terakhir.” Dan di balik pintu itu... pria dalam lukisan menunggunya. Saat Sierra membuka pintu, api menyala, tapi tidak membakar. Pria itu melangkah keluar. Mata mereka bertemu. “Sierra,” bisik pria itu. “Kau datang... meski seharusnya kau tak bisa mengingatku.” Air mata menggenang di mata Sierra. “Siapa... kamu? Kenapa aku merasa aku kehilanganmu setiap hari?” Alex menyentuh wajahnya. “Karena cinta tidak bisa dikunci dalam kontrak. Dan sekarang… waktu kita semakin sedikit.” Di dunia nyata, Sierra terbangun dengan suara dentuman keras. Jendela apartemennya pecah—dan dari luar, sebuah bayangan iblis sedang berdiri di atap bangunan seberang. Mata merahnya menyala, menatap langsung ke arahnya. Suara yang terdengar seperti tawa Dante bergaung di udara. “Pertemuan kalian telah memecahkan segel. Kontrak terakhir… akan segera dimulai.” Hujan masih mengguyur Paris saat Sierra berdiri gemetar di depan jendela yang pecah. Angin malam membawa bisikan asing, dingin menusuk tulang. Di kejauhan, makhluk iblis itu telah menghilang—namun Sierra tahu, kedamaian yang selama ini ia rasakan hanyalah kebohongan. Sesuatu telah bangkit. Sesuatu yang tidak seharusnya pernah terbangun kembali. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terasa aneh. Jantungnya berdetak lebih cepat, matanya menangkap kilasan-kilasan yang bukan miliknya. Potongan-potongan masa lalu: seorang pria berdiri di antara api, lantai batu tempat kontrak ditulis, dan dirinya—berlutut sambil memohon. Sierra menggenggam pergelangan tangan kirinya, tempat luka bakar samar itu bersinar merah lembut. Dalam cahaya itu, muncul simbol yang tak pernah ia lihat sebelumnya, tapi terasa... familiar. Ia tahu harus mencari jawaban. Dan satu-satunya tempat yang terlintas di pikirannya adalah lukisan pria dalam api itu. Beberapa jam kemudian, Sierra berdiri di studio, memandangi lukisan tersebut. Namun kali ini... lukisan itu bergerak. Api berkobar. Mata pria itu bergerak menatapnya. Dan dengan suara yang sangat lirih, ia mendengar: “Sierra, segelnya mulai retak. Hanya kau yang bisa membebaskanku… atau menghancurkanku sepenuhnya.” Ketika ia menyentuh permukaan lukisan, tubuhnya tertarik masuk ke dalam. Dunia di sekelilingnya memudar. Ia terjatuh di tanah berbatu, berwarna hitam. Langit merah darah. Di kejauhan, berdiri sebuah kastil raksasa, menjulang seperti luka di dunia. Sierra telah kembali ke alam kontrak—tempat yang dulu dikunci dan dikubur oleh kekuatan Alex agar ia tak pernah bisa mengingatnya. Tapi kini, kontrak lama mulai hancur. Ia melangkah, dan tanah di bawahnya merespons seperti mengenalinya. Makhluk-makhluk bayangan muncul dari balik reruntuhan, tetapi tidak menyerangnya. Mereka hanya berlutut. “Pewaris segel.” Sierra terkejut. “Pewaris?” Suara lain menyahut dari balik reruntuhan. Suara yang familiar—berwibawa namun penuh luka. “Ya, Sierra. Karena saat aku menyerahkan diriku… sebagian kekuatan kontrak juga berpindah padamu. Itulah mengapa kau mengingatku. Itulah mengapa kau bisa kembali ke sini.” Dari kabut, Alex muncul. Wajahnya lebih dewasa, tubuhnya diliputi aura gelap, namun matanya masih menatapnya seperti dulu. Sierra ingin menangis. “Aku ingat semuanya sekarang…” Alex menggenggam tangannya. “Dan waktumu tidak banyak. Dunia atas telah membuka celah. Dante dan iblis lainnya akan datang. Mereka ingin menghancurkan dunia… dan hanya pewaris segel yang bisa menutup gerbang neraka.” Sierra menatap Alex. “Lalu kau?” Alex tersenyum pahit. “Aku penjaga kontrak. Aku tak bisa keluar… kecuali kau memilih membawaku kembali. Tapi itu berarti…” “Kontrak akan rusak.” Alex mengangguk. “Dan dunia bisa runtuh. Atau... kita bisa membuat kontrak baru—dengan kekuatanmu sebagai pewaris.” Sierra berdiri di antara dua pilihan: Menyelamatkan Alex dan mempertaruhkan segalanya. Atau mengorbankan cintanya demi menyelamatkan dunia. Tapi ia telah kehilangan Alex sekali. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.Malam mulai tenang, tapi tidak untuk hati Sierra. Ia berdiri diam di balik tenda, jantungnya berdetak tak beraturan. Telinganya masih mengingat suara Lucien dari luar tadi—suara yang terdengar seperti rencana gelap. Tapi bagian dari hatinya menolak percaya.“Lucien gak mungkin… bukan dia… kan?” Namun sejak kejadian Nerine, liontin, dan mimpi tentang ibunya… Sierra tak bisa lagi yakin pada apa pun. --- Sierra Menghadapi Lucien Pagi menjelang. Kabut masih menggantung di antara pepohonan. Sierra menghampiri Lucien, yang sedang berdiri sendirian di dekat formasi pelindung sihir yang ia pasang malam sebelumnya. “Lucien…” Suaranya datar. Lucien menoleh. Matanya lelah, tapi tetap tenang seperti biasa.“Kamu sudah lebih baik?” tanyanya dengan nada khawatir. Sierra menatap tajam. “Aku dengar percakapanmu semalam. Kau bilang aku harus dipisahkan. Bahwa aku terlalu kuat. Bahwa aku… harus dikendalikan.” Lucien terdiam. “Jadi benar…?” desak Sierra. Lucien menunduk. Tangannya mengepal.
Udara malam masih dingin, tapi tidak lagi mencekam. Tenda penyembuhan tempat Sierra beristirahat terasa tenang. Di luar, para serigala berjaga dengan waspada. Para penyihir lunar mulai menyiapkan mantra pelindung untuk kemungkinan serangan balasan. Tapi di dalam tenda itu, dunia berjalan lebih lambat. Sierra masih pucat. Meski sudah sadar, tubuhnya terasa berat, seolah diselimuti beban tak kasatmata. Rambutnya menjuntai di sisi bantal, dan kulitnya sedikit lebih pucat dari biasanya. Lalu, suara langkah pelan terdengar. "Aku bawa sesuatu buat kamu..." Selene masuk perlahan, membawa mangkuk tanah liat yang mengepul hangat. Di dalamnya, sup herbal berwarna kehijauan menguarkan aroma menyegarkan—campuran akar bulan, daun pelipur lelah, dan tetesan elixir stamina dari bunga langka. “Ini bisa bantu pulihkan stamina kamu. Rasanya… mungkin agak pahit, tapi—” “—aku gak keberatan,” sela Sierra pelan, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Selene.” Selene duduk di tepi tempat tidur, me
Langit telah hening. Markas Lingkaran Hitam telah hancur. Batu-batu yang dulu menjulang tinggi kini runtuh, terbakar oleh sisa sihir dan darah. Namun di tengah kemenangan itu, tubuh sang Ratu Serigala ambruk ke tanah. “Sierra!” Alex berteriak, tangannya menangkap tubuh Sierra sebelum menyentuh tanah. Tubuhnya hangat—terlalu hangat. Napasnya berat. Mata emasnya redup, seperti bulan yang perlahan tenggelam. Aura keperakan yang tadi mengelilinginya memudar sedikit demi sedikit, menyisakan dirinya yang rapuh, lelah… dan manusia. “Tenaganya terkuras,” gumam Lucien, suaranya genting. “Dia memanggil kekuatan penuh sebelum waktunya. Tubuhnya belum siap.” Sierra pingsan. Dan dunia menjadi senyap untuknya. --- …Dalam Mimpi Sierra terjatuh ke dalam kegelapan. Tapi ini bukan kehampaan. Ini… hangat. Ada desir angin di rambutnya. Rumput di bawah kakinya. Dan sinar lembut matahari pagi. Ia berdiri di tengah padang bunga bulan—bunga langka berwarna keperakan yang hanya mekar d
Malam itu sunyi. Langit masih diselimuti kabut merah, dan bulan menggantung besar, seperti mata raksasa yang menyaksikan segalanya dari kejauhan. Di balik pegunungan yang mengitari lembah tersembunyi, sebuah markas batu menjulang, dikelilingi reruntuhan dan pilar-pilar tua. Itulah Markas Lingkaran Hitam—tempat Sierra disekap dan sihir jahat dipelajari secara turun-temurun. Namun malam ini, markas itu takkan lagi sunyi. Barisan Serigala dan Penyihir Dari dalam hutan, Lucien, Selene, dan Elder Fenris berdiri di depan puluhan sosok tinggi berbulu perak: Kawanan Serigala Malam. Di sisi lain, para penyihir pendukung garis lunar—penjaga tradisi kuno yang setia pada darah Moonblood—membentuk barisan. Mereka mengenakan jubah kelam dengan simbol bulan sabit menyala di dada mereka. “Kita tidak hanya bertarung untuk menyelamatkan Sierra,” seru Lucien, lantang. “Kita bertarung untuk masa depan mereka yang diburu… mereka yang hidup dalam bayang-bayang!” Fenris mengaum, dan kawanan ikut mer
Dari balik pohon-pohon raksasa, para pemburu Lingkaran Hitam menyebar dalam formasi setengah lingkaran, perlahan mendekat. Di tangan mereka, senjata-senjata kuno yang telah dimodifikasi dengan sihir peredam aura—dibuat khusus untuk menangkap entitas seperti Sierra.Nyxira memimpin dari depan. Tatapannya tajam, tubuhnya menyala samar karena tato pusaran yang kini berkilau ungu gelap. Dia tak tampak gentar melihat kawanan serigala raksasa itu. Justru, matanya berbinar dengan ambisi:“Dia belum sempurna… kita masih bisa membawanya sebelum perubahannya selesai…”Sinyal dikirim. Dalam sekejap, peluru-peluru mantra dilemparkan ke arah gubuk. Satu demi satu meledak di udara, menciptakan gelombang kejut yang memaksa kawanan serigala mundur. Lucien segera menegakkan perisainya, tapi tidak cukup cepat—Alex terpental ke belakang, menghantam dinding dan pingsan.Sierra meraung, suara bercampur amarah dan kesakitan. “AKU PERINGATKAN… AKU BUKAN MANGSAMU.”Namun pemburu tidak peduli. Mereka hanya b
Angin malam mengoyak dedaunan dengan liar. Bulan merah menggantung di atas hutan seperti mata iblis yang terjaga, menyaksikan segala yang terjadi dengan diam penuh ancaman. Kilasan cahaya merah dari langit turun perlahan, seperti kabut yang membakar. Tiba-tiba, Sierra terhuyung mundur. "S-Sierra?!" Lucien segera menghampirinya, tapi Sierra terjatuh berlutut, kedua tangannya mencengkeram dadanya kuat—tepat di bagian kiri. Nafasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat. "AaaAAAGHHH!!" Jeritannya menembus sunyi hutan. Bersamaan dengan itu, lolongan panjang kembali terdengar—lebih dekat, lebih kuat, lebih menusuk ke dalam jiwa. AuuuuuuuuuUUUUUUUUUMMMM— Darah mengalir dari hidung Sierra, dan sorotan matanya berubah hitam seperti tinta, namun dengan cahaya keemasan samar di tengah pupilnya. Ada dua kekuatan yang saling bertarung dalam dirinya—yang satu menarik, yang lain menolak. "SIERRA!" Alex berlari memeluknya dari belakang, mencoba menahan tubuh istrinya yang bergetar. "Dia… panas