Share

Longing in Sinful Destiny

Milly terus menunduk tanpa bicara sepatah kata pun. Jetro baru selesai mandi dan melihat Milly duduk di tepi pembaringan dengan sikap salah tingkah. 

Gadis itu semakin membuat Jetro terpikat. Ia tidak pernah menemui seorang wanita panggilan yang memiliki karakter yang begitu unik dan jauh dari kata liar. 

"Berapa lama kamu menjalani profesi ini?" tanya Jetro. 

Milly mengangkat wajahnya dengan tatapan tidak suka. 

"Perlukah aku menjawab?!" tanya Milly dengan nada tersinggung. Jetro tidak terganggu dengan balasan tersebut. 

"Aku sudah memesanmu untuk dua malam! Usahakan jangan keluar kamar selama aku pergi. Baju ganti nanti akan disiapkan oleh asistenku!" 

Jetro sudah rapi dengan kemeja dan celana panjang. Dengan cepat, pria itu juga memakai sepatu. 

Tanpa pamitan, Jetro meninggalkan Milly. Wanita itu terhenyak. Ini baru pukul lima pagi dan Jetro sudah siap ke kantor? 

Ini pertama kali selama menjalani profesinya, ada pelanggan yang memesan dirinya selama dua malam. 

'Seperti itukah kehidupan orang kaya?' pikir Milly. 

Dengan pikiran yang kusut dan juga tubuh lelah, akhirnya ia tertidur. 

*** 

Milly mengeliat dengan tubuh lurus dan membuka mata pelan-pelan. Kerjapan kelopaknya menajamkan pandangan yang tadinya buram. Milly beringsut dari tempat tidur dan meraih ponselnya. 

"Hah? Jam tiga sore?" pekik Milly sedikit panik. 

Tapi saat menyadari Jetro belum kembali, akhirnya ia bergegas mandi. Ketika melewati meja untuk tamu bersantap, Milly melihat tumpukan baju dengan tag baju yang masih tergantung. 

Milly menoleh kanan dan kiri untuk memastikan baju tersebut untuknya, seperti yang Jetro ucapkan tadi. Milly melihat satu persatu dan matanya terbeliak. 

Baju itu sangat indah dan modelnya kekinian. Belum lagi harga yang tertera. Semua di atas satu juta rupiah! 

Milly belum pernah mengenakan baju mahal seumur hidupnya. Sambil membayangkan dirinya mengenakan baju tersebut, Milly menguyur tubuh sementara bibirnya berdendang. 

Tidak peduli betapa ia tidak menyukai Jetro, ataupun pelanggan lainnya, tapi mendapat hadiah tersebut adalah kebahagiaan tersendiri. 

Milly jarang membeli sesuatu yang istimewa untuknya pribadi. Ia selalu mengutamakan kebutuhan ayah juga adiknya. 

Setelah mematutkan diri di cermin, Milly baru merasa lapar dan memutuskan untuk pergi ke restoran di bawah dengan takut-takut.

Ketika yakin bahwa Jetro tidak akan kembali dalam waktu dekat, langkahnya terasa ringan. Ia mengambil tempat di ujung restoran dan memesan makanan yang bisa membungkam suara cacing di perut yang mulai berteriak meminta jatah.

"Milly!" tepuk Lora dari belakang. Milly menoleh dan terkejut melihat Lora yang sudah ada di hotel seawal ini.

"Tumben kamu udah dateng? Gimana pengalaman dengan sang pangeran tampan? Jena dongkol setengah mati dan mengutuk abis-abisan!" cerocos Lora tanpa jeda. 

Milly tersenyum dan mengedikkan bahu. 

"Biasa aja. Nggak ada yang istimewa. Aku menginap di sini. Dia memesanku dua malam," jawabnya berbohong. 

Tadi malam, dini hari tepatnya, adalah momen yang begitu berkesan untuknya. 

"Nggak ada yang istimewa? Boong ih! Ini baju yang kamu pake masih baru 'kan? Masih ada tagnya lagi!" Seruan Lora menarik perhatian beberapa orang. 

"Lupa," jawab Milly singkat. 

Ia menarik tag tersebut dan menyantap makanannya yang baru datang. 

"Makan, Ra," tawar Milly pada suapan keduanya. Lora mengibaskan tangannya. 

"Udah kenyang. Tapi beneran, kamu beruntung banget bisa dapetin Jetro. Dia yang pilih kamu sendiri lagi!" ucap Lora antusias. Wanita itu kagum akan keberuntungan Milly. 

"Mungkin karena mukaku yang memelas," jawab Milly asal. 

"Lha? Jangan rendah diri gitu, ah! Aku sih ikut seneng, Mill. Nggak tau yang laen. Tapi bodo amatlah, orang mau bilang apa! Yang penting, jangan lupa traktir!" Lora mengecup pipi Milly dan pamit untuk menuju lantai paling atas, Club. Milly menatap temannya dengan termenung. Betulkah seberuntung itu dirinya?

***

Milly baru saja hendak membuka pintu mansion room, tempat ia dan Jetro tidur semalam, saat panggilan dari Renzo melengking. 

Dengan hati masih menyimpan kedongkolan, Milly terpaksa menoleh. Senyum yang mirip dengan seringai serigala itu membuat Milly muak. 

"Ah! Akhirnya aku menemukan kamu, Milly! Gadis favoritku!" seru Renzo dengan keramahan yang dibuat-buat. 

"Ya, kenapa?" tanya Milly tanpa ekspresi, datar.

"Aku hanya ingin menanyakan kabar Tuan Six? Apakah dia senang? Puas?" tanya Renzo sembari sesekali melirik ke dalam celah pintu yang terbuka sedikit. 

"Tanyakan sendiri nanti! Dia lagi nggak ada!" sahut Milly ketus. Ia masih mengingat perlakuan Renzo yang jauh dari kata manusiawi padanya. 

Ketika mengetahui bahwa Jetro sedang tidak ada, Renzo mencengkeram tangan Milly kuat-kuat dan memutarnya. 

"Aduh! Sakit!" pekik Milly meringis. 

"Dengar, Pelacur Cilik! Jangan memperlakukan aku dengan tidak hormat! Aku bisa menendangmu dari hotel ini dan kamu akan berakhir jadi pelacur jalanan! Tahu?!" bentak Renzo kini terlihat bengis dengan mata merah melotot. 

Milly melepas tangan satunya dari pegangan pintu dan mencoba melepaskan diri. 

"Silahkan pecat aku, Renzo! Aku tidak peduli!" pekik Milly. 

Renzo semakin memutar tangan mungil itu hingga Milly menjerit kesakitan. 

Mendadak pintu kamar, yang tadinya sempat tertutup, kini terkuak. Jetro muncul dengan handuk dan tubuh setengah basah. 

"Hei, Milly? Apakah kau baik-baik saja, Sayang?!" seru Jetro terdengar khawatir. 

Renzo dengan gugup melepas puntiran tangannya. Milly mengelus pergelangan tangan dan menunjukkan ekspresi sakit yang jelas tergambar pada raut wajahnya.  

"Selamat sore, Tuan Six! Aku hanya menyapa Milly dan memastikan kalian berdua senang!" ucap Renzo dengan raut muka penuh kepalsuan. 

"Sore, Renzo! Milly ayolah masuk, aku sudah menunggumu!" ajak Jetro makin menunjukkan jika Milly sangat istimewa untuknya. 

Milly berjalan masuk ke kamar dengan buru-buru. Dirinya sangat ketakutan bukan disebabkan oleh intimidasi Renzo, tapi karena Jetro kembali dan memergoki dirinya keluar kamar. 

"Renzo!" panggil Jetro sebelum menutup pintu. 

Direktur yang tidak memiliki kharisma elegan sedikit pun itu mendekat. 

"Aku sangat menyukai Milly. Jika kau berani menyentuhnya lagi, aku akan mencincang tubuhmu hingga hancur. Tidak ada yang bisa menyentuh Milly selain aku. Ok? Paham?" 

Tangan Jetro menepuk pipi Renzo dengan pelan dan Renzo mengiyakan dengan gugup. 

Kalimat yang diucapkan sangat pelan dan datar. Namun mampu menimbulkan efek yang luar biasa pada Renzo. 

Pintu kembali tertutup dan Renzo yang tadinya membungkuk dengan wajah memucat, segera meninggalkan tempat tersebut sambil setengah berlari. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status