Pesta yang diadakan oleh Jetro terus berlangsung. Sementara mereka berdansa, Milly menjadi sasaran cibiran semua rekan kerjanya, terutama Jena.
Beberapa tamu undangan memandang mereka seperti pasangan yang sangat serasi. Sedangkan tidak sedikit yang mencibir tentang kebersamaan mereka. "Ayo, kita minum!" Jetro menggandeng pergelangan mungil Milly. Wanita itu seperti robot yang telah terprogram. Ia tidak menjawab atau merespon. Ekspresinya kadang sedih, seringkali datar. Jetro membelikan margarita untuk mereka. Setelah berdansa selama satu jam, keduanya terlihat lelah. Jetro menarik Milly untuk duduk dengannya. Dengan satu sentakan, Milly duduk. Giginya terpaut menyatu menahan lelah juga geram. Tangannya meraih gelas dan menenggak habis margarita tersebut tanpa jeda. "Wah kau terlihat haus, Milly! Mau minum lagi?" tanya Jetro. Milly terdiam dan hanya melirik sinis. "Herto, bisakah kau membantu memesankan minum untuk wanitaku?" pinta Jetro lantang, mengalahkan suara musik.Herto terkejut dan dalam kondisi sudah memanas dengan Jena, ia mengiyakan. Milly terkejut dan menoleh pada Jetro yang mengedipkan mata padanya.
Herto mirip dengan pelayan saat membawa gelas margarita untuk Milly. Ia meletakkan di atas meja dan berlalu dengan kikuk. "Tuan Six! Bagaimana pesta malam ini?" tanya Renzo menyapa kembali dengan ramah. Pria kaya itu telah memberinya cek senilai seratus lima puluh juta untuk menutup club malam ini. Renzo ingin memastikan Jetro gembira! "Aku mulai bosan. Ayo, Milly! Kita cari hiburan lain!" ajak Jetro dengan santai. Milly yang telah menghabiskan minuman cukup banyak, merasa sangat pusing. Jetro menggandengnya dengan sabar. "Renzo!" panggil Jetro sebelum pergi. "Mulai detik ini, tidak ada satu pun yang boleh menyentuh Milly! Dia milikku! Paham?" "Pa-paham!" sahut Renzo tidak membantah. "Aku akan menjaganya untukmu, Tuan Six!" teriak Renzo dan Jetro terus melangkah acuh. Milly terseok mengikuti langkah panjang Jetro. Karena tidak sabar, tangan kekar pria itu menyambar tubuh Milly dan memapahnya tanpa segan. "Aku ...." "Diam dan jangan bergerak!" sambar Jetro dingin. Milly bungkam dan membiarkan kepalanya terkulai di dada Jetro. Parfumnya yang harum dan segar membuat Milly nyaman. Bau ini sangat menenangkan batinnya. Jetro tampak melindunginya malam itu dari rengkuhan Herto. Tapi benarkah ini terjadi? Bagi Milly, ia tidak bisa begitu saja percaya. Tidak ada pria baik tanpa pamrih dan mengharap sesuatu. Selalu ada keinginan dan niat berikutnya. Milly terlalu hapal akan hal tersebut. Begitu tiba di kamar, Jetro membanting tubuh Milly dengan kasar di atas kasur. "Hei!" Milly berteriak protes karena kepalanya berputar dan ia merasa pusing setengah mati. Perutnya mual. "Pergilah ke kamar mandi, bersihkan badanmu, ganti pakaian dan semua yang melekat di tubuhmu!" perintah Jetro. Milly sadar, bagi sebagian tamunya, kebersihan adalah utama sebelum melakukan keintiman. Tanpa menunggu dan ia ingin semua selesai, Milly bergegas dengan badan terhuyung. Setelah mengguyur kepala dan tubuh dengan air hangat, Milly kembali tersadar sepenuhnya. Biar saja, seandainya ini harus ia jalani setidaknya bukan dengan Herto. Setelah selesai, Milly membuka pintu lemari yang ia baru sadari ada di ruang kamar mandi. Seperti inikah fasilitas kamar termewah dan paling mahal di hotel ia bekerja? Wanita itu juga menemukan pakaian dalam dan baju tidur yang semua pas dengan ukurannya.Kebetulan yang aneh! Milly menyisir rambut dengan jari dan melenggang keluar dari kamar mandi. Dalam hati, Milly sudah siap. Ini akan kembali menjadi kehidupan pahitnya yang terus akan ia jalani. Tidak ada strategi atau cara keluar. Ia menyalakan lampu kamar yang tadinya gelap menjadi temaram dan terkesan romantis. Saat melihat Jetro yang sudah tertidur dengan tenang, Milly kaget. "Lho?" cetusnya bingung. Pria yang nyentrik dan tidak bisa ditebak sedikit pun!Ketika ia sudah siap dan pasrah, tamunya justru tertidur pulas.
Milly merangkak naik ke atas pembaringan dan pelan-pelan menarik selimutnya. Jetro dengan mata masih terpejam berbalik dan kini menghadap ke arah Milly. Baru wanita itu sadari jika pria yang sempat membuat semua heboh dengan pamor dan nama hebatnya, kini terlihat seperti manusia biasa. "Yah, kecuali wajahnya sedikit tidak biasa," gumam Milly setengah memuji.Entah apa warna matanya, tapi rahang kokoh dan hidung mancung serta bentuk lengkungan bibirnya terlihat melengkapi raut wajah Jetro Six menjadi kian menarik. Milly yang sudah mengantuk, masih asyik menilai wajah pria yang tertidur dan tidak sempat menyentuhnya. Lambat laun, matanya tertutup dan ia pun turut jatuh terlelap. ***Milly merasakan sentuhan lembut basah pada tubuhnya dan deru napas yang memburu terdengar. Begitu terbangun, Milly melihat Jetro sudah menindihnya dengan cumbuan yang lembut bergelora. Wanita itu memang terkejut, tapi sentuhan Jetro yang baru pertama kali ia rasakan dengan gaya seperti ini membuatnya terlena. Tidak ada yang pernah melakukan hal seperti ini padanya. Pria yang membayarnya di ranjang, tidak akan peduli jika Milly menikmati atau tersiksa. Mereka hanya menuntaskan hasrat yang terkadang menyakitkan bagi Milly. Seharusnya mereka tahu, jika wanita tidak semudah itu menjalani keintiman yang terpaksa. Tetapi saat ini, Jetro memperlakukan Milly dengan penuh sentuhan lembut yang mengairahkan. Wanita itu tanpa sadar mendesah dan membalas serangan Jetro. Milly menginginkan ini dan tidak mau semua sensasi menggelitik tersebut berakhir. Jetro mengangkat wajahnya dan menatap Milly dengan mata yang mesra. "Katakan jika kau tidak ingin melanjutkan," tanya Jetro sembari mengatur napas yang memburu. Milly menelan cairan mulutnya dengan gugup. Ia malu mengakui. Jetro tersenyum nakal yang membuat Milly makin gemas. Pria itu merengkuh pinggang Milly dan merapatkan tubuh mereka. Satu persatu pakaian terlepas. Milly mendesah liar dan melumat bibir Jetro tanpa kendali. Keduanya berpacu dalam ritme cepat dan hentakan nikmat yang berirama. Milly tidak pernah merasakan begitu bergairah ketika menjalani keintiman dengan pria. Apalagi dia notabene pelanggannya! Jetro membuat Milly memekik berkali-kali. Seakan tidak puas, dini hari itu, keduanya mengarungi lautan panas bercinta yang seakan tidak bertepi. Ketika akhirnya Jetro melontarkan lenguhan panjang dan mencengkeram tubuh Milly kuat-kuat, tatapan mereka bertemu. "Kuharap kau menikmatinya," ucap Jetro dengan napas masih terengah. Milly membuang muka ke samping dan mendorong Jetro. Ia tersipu ketika menyadari apa yang baru saja terjadi. Selama menjalani profesinya dalam enam tahun ini, bisa dihitung dengan jari dirinya mencapai puncak kenikmatan. Tangannya buru-buru meraih selimut dan setengah berlari menuju kamar mandi. Hatinya berdebar dengan cara yang aneh! Mungkinkah ia telah jatuh dalam jebakan asmara penuh nafsu?Kapal pesiar yang sedang menyelenggarakan pesta pernikahan Virgo dan Joya itu tampak dihadiri oleh ratusan, bahkan mungkin ribuan tamu. Semua tampil dengan baju mahal dan elegan. Masing-masing tidak menyembunyikan diri dari wujud aslinya. Para siluman, manusia keturunan iblis, dan juga makhluk unik lainnya menunjukkan diri mereka yang sesungguhnya. Milly duduk dengan mempelai wanita, Joya, Gen, Trey dan Minerva juga Greta. Wanita tambun yang terlihat mulai bisa berbaikan dengan Jetro dan Virgo itu, terlihat ingin mengenal Milly lebih dekat lagi. Hidangan mewah terhidang terus menerus tanpa berhenti. Sementara minuman yang mahal, seperti sampanye dan wine, juga mengalir non-stop. Virgo menyalami satu persatu kawan lama yang sudah lama tidak ia temui. Mereka sangat terkejut ketika melihat Virgo akhirnya menjatuhkan pilihan pada seorang wanita cantik yang sangat eksotis. Ketika pembawa acara mengumumkan mengenai sambutan dari mempelai wanita, Mil
Pagi itu, Milly terbangun dan jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tidak biasanya ia terbangun lambat.Ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dan beringsut turun. Setelah mengingat ingin segera memeriksa kondisi Jetro, ia bergegas menuju kamar mandi.Tadi malam, Milly sempat menengok sebentar sebelum tidur. Betapa batu permata ajaib itu memang bereaksi sangat cepat pada Jetro. Tubuh pria yang tadinya mengalami sakit parah dan tinggal kulit yang membalut tulang, kini mulai mengubah Jetro kembali seperti sebelumnya.Sangat mengesankan!Harapan Milly, semoga pagi ini Jetro sudah pulih seutuhnya. Setelah berganti baju, Milly merapikan tempat tidur. Meski Frey selalu membongkar dan merapikan kembali, tapi Milly tetap merapikan setiap harinya.Sebelum keluar dari kamar, ia mematutkan diri di depan kaca. Pantulan bayangan yang di depannya, membuat Milly tersenyum.Baju terusan sederhana dan sedikit longgar ini, dengan kancing kecil dari
Ketika memasuki ruangan yang tampak terang itu, Milly melihat semua hadir. Bahkan pilot dan sopir Jetro yang tidak pernah nimbrung juga ada di sana.Virgo memberi isyarat pada Minerva untuk mendekat. Jetro dalam posisi duduk menatap Milly dengan wajah pucat. Matanya cekung dan tulang pipinya tampak tirus.Pria gagah yang pernah Milly kenal berubah menjadi mayat hidup, yang tinggal tulang belulang berbalut kulit.Minerva dan Virgo berdiri berhadapan, sementara saling berpegangan tangan. Entah apa yang mereka gumamkan, tapi Milly mendengar dengung halus seperti mantra terlontar dari semuanya. Trey memberikan tabung kaca yang berisi Blood Diamond sebesar bola kelereng itu, lalu memberikan pada Frey.Sementara dalam hati ia terus bertanya dan menebak rentetan pengembalian batu ke dalam tubuh Jetro. Frey mengambil batu tersebut lalu mendekati Jetro yang tersenyum tipis kepadanya.Tidak pernah Milly duga sebelumnya, jika proses tersebut akan begitu memil
Setelah kembali ke pulau pribadi Jetro, Milly hanya duduk termenung dengan wajah melamun. Koper dan semua benda miliknya yang baru saja Maxer letakkan di kamarnya belum tersentuh sedikit pun.‘Kenapa aku menjalani kehidupan ini?’ batin Milly masih tidak mengerti bisa terjebak dalam kehidupan seperti ini.Pikirannya kembali terbayang saat merunut semua perjalanan hidupnya dari pertama bertemu mereka semua.Waktu remaja, bukan ini yang ia cita-citakan untuk terjadi. Bahkan ketika menjalani profesi sebagai pelacur pun, Milly tidak pernah memiliki imajinasi akan berada dalam lingkungan para siluman, monster, bahkan iblis.“Aku adalah manusia yang tidak pernah menginginkan hal besar terjadi dalam hidupku. Aku bukan wanita serakah. Tapi kenapa alur hidup bisa sedemikian rumit?” gumam Milly pada dirinya sendiri.Wajah cantiknya menengadah dan memandang langit-langit kamarnya.Pertama kali ia datang tiba di kamar ini, dirinya
Milly memandang wajah Prana sepuasnya. Mungkin ada sekitar satu jam ia membiarkan dirinya menangis serta mengenang masa lalu mereka.Tidak terpikir dirinya akan menjadi malaikat maut, penjemput jiwa bagi Prana.Tidak juga terbayang jika Prana menyerahkan nyawanya dengan sukarela, tanpa perlawanan.Benarkah masih ada bentuk cinta yang masih sedemikian tulus dan segila ini? Memberikan nyawa demi yang dicintai?Akhirnya pintu terkuak dan Joya masuk lebih dulu.“Mill,” panggil siluman ular yang telah menjadi sahabatnya itu pelan. Joya terlihat prihatin dan tegang.Wanita yang dipanggil namanya menoleh dan kembali menangis. Joya berlari mendekat, lalu bersimpuh di hadapan Milly.“Aku tidak perlu menjadi pembunuhnya secara langsung, Joy. Dia menyerahkan nyawanya tanpa perlawanan,” adunya Milly seperti ingin meluapkan sesal yang menghimpit dadanya.Joya memeluk Milly dan mengusap punggung dengan lembut.
Makan malam yang mungkin menjadi akhir dari hidup Sybil atau Prana, dipenuhi keheningan dan isak tangis pelan yang terlontar dari Milly.“Jadi hatimu lebih memilih Jetro ….” Prana seperti berkata pada dirinya sendiri.Milly masih membisu dalam sedu sedan.“Seharusnya aku sadar dan tidak memaksakan kehendakmu. Maafkan aku, Mill. Telah membuat hidupmu seperti di neraka dunia.” Prana menitikkan air mata pertama dan menatap Milly dengan kesedihan juga penyesalan mendera.“Di luar semua kekejian yang telah kulakukan padamu, satu hal yang ingin aku kembali katakan padamu, Mill Berliana. Aku sangat mencintaimu melebihi nyawaku sendiri. Seandainya untuk membuktikan seberapa besar perasaan ini harus menyerahkan napasku, aku rela.”Milly menutup wajah dengan kedua tangannya.Dengan gerakan perlahan, Prana meraih sendok dan garpu, lalu kembali menyuap makan malam. Kunyahan itu diiringi derai air matanya.