"Menangislah kalau itu bisa membuatmu kembali tenang." [Mariam]
______
Melihat sesuatu yang terjadi kepada Ray, dengan cepat Mariam meraih tubuh Ray dan memeluknya dengan erat.
"Tenangkan dirimu Tuan muda. Tenang!" bujuk Mariam.
Ray terus bergumam mengatakan semua ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa?
Ray menoleh kebelakang melihat Ibunya yang dipeluk erat oleh Ayahnya. Ray berusaha bangkit dengan bantuan Mariam berjalan menuju Nisa, Ibunya.
Creepy doll yang tergeletak di lantai tak dihiraukannya. Yang terpenting saat ini adalah Ray harus mencari tau kebenarannya.
"Mah." panggil Ray.
Bukannya sahutan lembut atau pelukan hangat, yang Ray dapatkan adalah tatapan penuh amarah serta kebencian dari mata Nisa.
"Ini semua salah kamu! Kamu pembawa sial di keluarga ini!"
Tubuh Ray seketika menegang. Dari semua caci maki yang Ibunya lontarkan untuknya, hanya ini yang mampu membuat Ray merasa sangat terganggu.
"Nisa, hentikan!" bentak Bryan.
"Apa? Yang aku katakan itu memang benar! Anak ini, anak ini pembawa sial! Kalau aku tau dari dulu, seharusnya aku tidak melahirkannya!" teriak Nisa sembari menunjuk wajah Ray yang terlihat sangat syok.
Dengan cepat Ray menggelengkan kepalanya menangkis apa yang dikatakan Nisa, "Tidak mah, itu semua bukan salah Ray. Ray mohon mah, Ray -"
"Jangan sentuh aku sialan!"
Ray terjatuh karena Nisa mendorongnya, dengan sigap Mariam menahannya. Air mata Ray semakin deras membasahi pipinya menatap tak percaya kepada Ibunya.
Ray menoleh ke arah Bryan meminta pembelaan tapi sayangnya semua itu tak berlaku, Bryan mengalihkan pandangannya seolah-olah tak melihat kejadian barusan.
Tiba-tiba napas Ray memburu. Rasa takut dan cemas kembali menghantuinya membuat keringat semakin banyak membanjiri wajahnya yang terlihat semakin pucat.
Mariam tak tinggal diam. Dengan cepat Mariam menyuruh beberapa pelayan menopang tubuh Ray membawanya ke kamar. Tak lupa pula creepy doll milik Ray.
Setelah membaringkan tubuh Ray di atas tempat tidurnya, Mariam meletakkan creepy doll di sebelah Ray.
Tatapan Ray kosong saat ini. Pandangan Ray fokus menatap langit-langit kamar menandakan seberapa hancurnya dirinya saat ini.
Melihat hal itu membuat hati Mariam terasa diiris-iris. Pasalnya 10 tahun lamanya menjadi psikiater pribadi Ray, ini pertama kalinya Mariam melihat tatapan kosong seperti itu.
Mariam ikut berbaring di sebelah Ray dan membawanya masuk ke dalam pelukannya. Dan benar saja, Ray membalas pelukannya.
Di saat itulah tangisan Ray pecah. Ray menangis sejadi-jadinya melampiaskan rasa sedih, amarah dan bencinya di dalam tangisan tersebut.
Mendengar tangisan pilu dari Ray membuat Mariam tak menyadari bahwa air matanya ikutan terjatuh membasahi pipinya.
Ray semakin mempereratkan pelukannya membuat Mariam merasakan sedikit sesak tapi untuk melampiaskan semuanya Mariam tak mempermasalahkan itu. Karena Mariam juga sudah menganggap Ray seperti anaknya sendiri.
"Menangislah kalau itu bisa membuatmu kembali tenang." bisik Mariam.
Seperti menuruti perkataan Mariam, Ray semakin menangis dan mencekam erat kemeja berlogo psikiater milik Mariam.
Mariam memejamkan kedua matanya berharap ini semua hanyalah mimpi tapi Mariam sadar bahwa semuanya adalah kenyataan.
Kenyataan bahwa Roy, Roy River Robertson putra tertua Robertson meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.
Mariam tau, bagaimana kasih sayang serta perhatian kecil yang diberikan Roy tentu saja tidak bisa dilupakan begitu saja oleh Ray.
Hanya Roy satu-satunya anggota keluarga Robertson yang mau menerimanya, yang mau menganggap kehadirannya, yang selalu membelanya. Tapi kini? Siapa lagi yang akan membela Ray? Siapa lagi yang akan memberikan kasih sayang dan perhatian kecil kepada Ray? Sudah tidak ada lagi.
Dirinya? Tentu saja dirinya selalu memberikan semuanya termasuk kasih sayang seorang Ibu kepada Ray hanya saja Mariam sadar posisi. Posisinya sebagai orang asing tentu membuat Ray merasa tidak nyaman.
Hampir dua jam lamanya Ray menangis dan saat itu Mariam sudah tidak mendengar suara isakan tangis lagi melainkan dengkuran halus yang beraturan menandakan Ray sudah tertidur karena lelah sehabis menangis.
Perlahan-lahan Mariam melepaskan pelukannya beralih mengusap lembut wajah tampan Ray, menghapus bekas air mata Ray yang sudah mendingin.
"Aku tau, kau kuat Ray." lirih Mariam.
Mariam meraih creepy doll menyimpannya di dalam pelukan Ray dan menyelimuti Ray sampai batas leher.
Mariam kembali mengacak lembut rambut hitam lebat Ray sembari bergumam, "Kau anak yang kuat."
********
Langit mulai gelap di pagi hari menandakan langit sebentar lagi akan menangis, mencurahkan air hujan yang membasahi bumi.
Seperti dengan suasana hati Ray saat ini. Ternyata langit sangat mengerti tentang dirinya. Yang awalnya hanyalah rintik-rintik berganti dengan lebatnya hujan.
Hari ini adalah hari pemakaman kakaknya, Roy. Putra tunggal keluarga Robertson. Begitulah kata media.
Ray menatap kosong ke arah luar lewat balkon kamarnya seolah-olah sedang menghitung berapa banyak jumlah air hujan yang terhitung. Hasilnya adalah tak terhitung.
Begitulah yang dirasakan Ray saat ini. Rasa sedih, amarah, dan kecewa tak terhitung bersemayam di dalam dirinya.
Ray hanya bisa duduk termenung di atas lantai dengan creepy doll di atas pangkuannya. Tangan Ray tak berhenti mengelus kepala creepy dollnya seolah-olah creepy dollnya benaran benda hidup.
Ray dilarang pergi ke pemakaman Roy dikarenakan tidak ingin ada pihak media yang menangkap sosok dirinya. Begitulah kata Bryan, ayahnya.
Karena takut Ray nekat pergi sendirian, Bryan memutuskan untuk mengunci seluruh pintu di manshion termasuk pintu kamar Ray dengan banyak bodyguard yang berjaga di depan pintu kamarnya.
Mariam? Tentu saja psikiater cerewet itu pergi juga, meninggalkan Ray seorang diri di dalam kamar. Entah apa alasannya, Ray tidak tau.
Suara volume tv yang sengaja Ray besarkan agar dirinya dapat mendengar berita tentang keluarga terpandang di Amerika, keluarga Robertson.
Menjijikan sekali. Terkadang Ray merasa jijik dengan nama belakangnya. Keluarga Robertson yang katanya dikenal dengan keluarga terkaya ketiga di Amerika memiliki sifat yang rendah hati dan ramah. Cih, omong kosong.
Semua itu hanyalah topeng, Ray tau itu. Karena keluarga Robertson selalu ingin dipandangan baik oleh publik, oleh karena itulah mereka menyembunyikan keberadaan dirinya.
"Pukul 23:15 malam tadi, putra tunggal keluarga Robertson yang sebentar lagi akan bertunangan mengalami kecelakaan lalu lintas. Pihak polisi masih menyelidiki kasus ini..."
Begitulah kata reporter di tv yang menyiarkan berita live langsung dari pemakaman.
"Kalau kakak Roy sudah tidak ada lagi, seharusnya aku juga tidak ada kan Rey?" tanya Ray.
Creepy doll, Rey tertawa menggema di dalam kamar yakni suara tawa itu berasal dari mulut Ray.
"Dasar bodoh. Sekali pecundang tetap pecundang!"
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" lirih Ray.
"Tidak banyak, kau hanya harus membalas semuanya."
"Bagaimana caranya?" tanya Ray dengan raut wajah serius.
"Kau pernah mendengar istilah ini? Darah harus dibayar dengan darah. Kematian Roy disebabkan oleh keluarga Robertson."
"Jadi?" tanya Ray menyakinkan.
"Jadi...kau hanya perlu membantai keluarga Robertson!"
Mendengar hal itu sontak membuat Ray membeku seketika. Tangannya mengepal. Wajahnya semakin pucat dengan peluh yang membanjiri wajahnya. Apa yang dikatakan Rey ada benarnya, tapi tidak sekarang. Begitulah pikir Ray.
"Jangan kurang ajar, Rey!" bentak Ray.
"Kau pun sama kurang ajarnya bocah. Kau akan melakukannya nanti kan?"
Seperti tertangkap basah, Ray terkekeh geli mendengar tebakan Rey.
"Bodoh! Bodoh!"
"Ahahahah!"
Keduanya tertawa begitu kencang membuat beberapa bodyguard yang mendengarnya seketika merinding. Tiba-tiba bulu tengkuk mereka berdiri.
"Sepertinya penyakit Tuan muda semakin parah." bisik salah satu dari mereka.
"Kalau begitu, telfon nona Mariam."
Salah satu dari mereka menelfon Mariam mengabari kepada wanita seksi itu bahwa keadaan Tuan muda mereka tidak baik-baik saja saat ini.
Mendengar hal itu, dengan cepat Mariam kembali dari pemakaman menuju manshion Robertson dimana Ray berada.
Apa yang dikatakan beberapa bodyguard itu sukses membuat pikiran negatif menjalar di pikiran Mariam tapi dengan cepat Mariam menepisnya.
"Ray pasti baik-baik saja." gumamnya.
*******
Dengan cepat Mariam berlari di dalam manshion menaiki anak tangga. Tak peduli berapa kali dirinya tersandung karena sepatu hells sialannya itu karena yang ada dipikirannya saat ini adalah Ray.
Setelah sampai di depan pintu kamar Ray, Mariam merongoh kantong celananya untuk mengambil kunci kamar Ray.
"Kalian pergilah, sudah ada aku disini." titah Mariam yang langsung dituruti bodyguard tersebut.
Dengan pelan-pelan sembari menongolkan kepalanya dulu, Mariam membuka pintu kamar Ray. Objek pertama yang dilihatnya adalah tubuh Ray yang berbaring meringkuk di atas karpet berbulu dengan creepy doll di dalam dekapannya.
Malihat hal itu tentu saja Mariam khawatir. Dengan cepat Mariam menghampiri Ray dan menggoyangkan pelan tubuhnya.
"Tuan muda. Bangun. Kenapa Anda tidur di sini?" tanya Mariam.
Perlahan mata hitam pekat itu terbuka. Karena masih mengantuk, Ray mengeliat mencari posisi yang nyaman dan kembali memejamkan matanya.
Mariam hanya bisa mendengus kesal karena Ray lagi dan lagi mengacuhkannya. "Tuan muda, ayo bangun. Jangan tidur disini. Anda bisa sakit."
Ray berdecak kesal dan bangkit tiba-tiba membuat Mariam terkejut. "Kau cerewet sekali, Mariam." ketus Ray.
Melihat perubahan Ray membuat Mariam semakin khawatir. Sedingin-dinginnya Ray, tapi kali ini mata Ray terlihat sangat gelap dari pada sebelumnya membuat Mariam kembali menerka-nerka apa yang terjadi.
"Masih betah duduk di situ?"
Pertanyaan Ray sukses membuyarkan lamunan Mariam. Dengan cepat Mariam berdiri merapikan kemejanya dan berjalan menghampiri Ray yang saat ini sedang duduk di atas king size miliknya.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah Anda baik-baik saja, Tuan muda?" tanya Mariam sembari menyelidiki perubahan raut wajah Ray tapi nihil, wajah itu semakin datar saja membuat Mariam tak bisa membaca arah pikiran Ray saat ini.
"Aku ingin tidur."
Mariam melongo tak percaya. Memang ini bukan pertama kalinya Ray mengacuhkannya tapi lihatlah Ray mengucapkan sesuatu tanpa ekspresi.
"Aa...baiklah Tuan muda. Silahkan tidur." ujar Mariam sembari menarik selimut untuk Ray.
Cuaca sangat dingin karena hujan, Mariam mengerti itu karena itulah Mariam meraih selimut yang tebal untuk Ray.
Ray mengatakan ingin tidur tapi matanya tak terpejam membuat Mariam merasa heran. Apakah Ray menunggu dirinya bercerita tentang keadaan di pemakaman? Bisa jadi. Karena Mariam tau, ego Tuan mudanya itu sangat tinggi.
Dia tidak ingin harga dirinya turun hanya untuk menanyakan hal sepele.
"Keadaan di pemakaman sangat ramai. Nyonya sampai pingsan dan -"
"Apakah aku menyuruhmu bercerita?" potong Ray.
Tiba-tiba atmosfer berubah menjadi dingin. Lebih dingin dari pada suhu hujan saat ini. Mariam merasakan ketegangan dan tatapan intimidasi dari Ray membuat Mariam kesulitan menelan salivanya.
"Saya...saya hanya -"
"Aku tidak menyuruhmu mendongeng, Mariam!" potong Ray dengan nada penuh penekanan tapi raut wajahnya tetap datar.
Mariam menganggukkan kepalanya pelan dan pergi meninggalkan Ray seorang diri sesuai seperti perintah yang dilontarkan Ray.
Setelah menutup pintu kamar Ray, Mariam menarik napas panjang dan menghebuskannya dengan kasar.
Ada sesuatu yang aneh. Tapi apa?
Mariam mengerti, Ray pasti sangat terpukul dengan kepergian Roy, tapi entah kenapa tatapan mata itu sangat tidak mengenakan.
"Aku harus cari tau."
"Tolong, aku tidak ingin menjadi boneka pertunjukanmu." [Ray R. R.]_______Ray memasang wajah datarnya merasa bosan dengan keempat pria di depannya. Penampilannya tentu saja menyeramkan layaknya preman tapi mereka terus berdebat layaknya anak kecil.Dilihatnya creepy dollnya yang masih duduk manis di atas tanah dekat tepi danau. Ray menganggukkan kepalanya membiarkan jiwa jahatnya beraksi malam ini.Saat keempat pria yang masih asik berdebat itu seketika berhenti berdebat saat manik mata mereka tak sengaja melihat bayangan serta perubahan yang terjadi kepada boneka yang sangat aneh menurut mereka.Creepy doll milik Ray bergerak perlahan dan mulai membesar dengan gerakan patah-patah serta wujud yang semakin menyeramkan.Sontak keempat pria itu menjerit ketakutan dan berlari terbirit-birit sembari berteriak meminta pertolongan.Sedan
"Untuk apa aku takut? Bahkan saat seluruh dunia membenciku sekali pun, aku tetap tidak akan peduli." [Ray R. R.]_________Hari sudah mulai gelap, tapi tak membuat Vara berhenti untuk berpikir. Kakinya yang mulai penat karena sedari tadi mondar mandir seperti setrika pun tak dihiraukannya.Saat ini yang sedang Vara pikirkan adalah Ray. Hei tentu saja. Sebagai seorang kekasih, tentu saja Vara merasa sangat khawatir apa lagi pagi tadi Vara menamparnya. Vara yakin, Ray pasti sangat marah kepadanya padahal Ray hanya bermaksud untuk menciumnya saja.Itu sesuatu yang sering terjadi kepada sepasang kekasih bukan? Tapi masalahnya yang sedang Vara pikirkan adalah Ray sangat keterlaluan. Saat Vara sudah menerima ciuman kasarnya, Ray malah meremas salah satu gundukan kembarnya dan hal itulah yang membuat Vara marah. Jadi Vara tidak bersalah bukan?Ah entahlah. Vara meremas ram
"Dasar kau ini. Aku hanya bercanda, kenapa kau marah sekali? Ini bukan dirimu." [Rey R. R.]_______"Kau harus berhati-hati Ray. Jangan sampai dia membuka ponselmu dan menemukan percakapanmu dengan Mios." Ujar Rey.Seketika wajah Ray menjadi dingin setelah mendengar apa yang Rey katakan, "Dia tidak akan bisa membuka ponselku. Kalau pun bisa, aku tidak akan melepaskannya."Mendengar apa yang Ray katakan membuat senyuman Rey terukir lebar seketika. Melihat senyuman lebar Rey membuat Ray ikut tersenyum dengan lebar."Ada apa dengan senyumanmu itu? Apa kau merencanakan sesuatu?" Tanya Ray.Yang ditanya hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Melihat Rey yang tertawa, Ray sudah bisa menduga kalau jiwa jahatnya itu memiliki rencana jahat. Oleh karena itu Ray harus berhati-hati kedepannya."Jangan seperti itu Ray. Aku tidak merencanakan rencana
"Jangan melihatku seperti itu. Kalau kau ingin tertawa, silahkan." [Ray R. R.]______Dan saat itu juga...Vara terbangun dari tidurnya dan langsung terduduk. Napasnya tak beraturan seperti orang sehabis lari marathon.Wajahnya terlihat sangat pucat dengan peluh yang membanjiri wajahnya yang putih. Vara masih terdiam, berusaha untuk mencerna apa yang terjadi barusan.Sinar mentari yang sangat menyilaukan pun tak mampu membuat Vara tersadar bahwa saat ini sudah pagi.Dengan terburu-buru Vara menyentuh tangannya dan memeriksanya dengan teliti. Tak hanya itu saja, Vara bahkan menyentuh wajah dan anggota tubuhnya yang lainnya. Ternyata masih utuh, batinnya.Perlahan Vara menyentuh dadanya yang jantungnya tak berhenti berdegum kencang. Kesadaran Vara belum pulih sepenuhnya, karena itulah Vara masih terdiam membisu.Vara
"Ternyata benar. Aku hanya menjadi mainan mereka sedari awal." [Ray R. R.]_______Dan disaat itulah Vara kembali tersadar dan yakin dengan pendengarannya, karena setelah melumat bibirnya Ray kembali menyatakan perasaannya."I love you, Vara."Vara masih membeku, berusaha mencerna apa yang dikatakan Ray tadi. Perlahan senyuman terukir di bibirnya yang bengkak membuat Ray yakin kalau Vara menerimanya.Dan benar tebakan Ray, Vara akhirnya mencium Ray kembali dan kali ini Vara yang memulainya terlebih dahulu.Ciuman yang diberikan Vara adalah sebagai jawaban kalau Vara menerima untuk menjadi kekasih Ray.Pangutan keduanya lepas, Ray menatap Vara dengan tatapan sayu. Perlahan Vara memajukan wajahnya sembari berbisik, "I love you too, Ray."***
Hallo pembaca setia Ray. Selamat pagi, siang, sore, malam, kapan pun kalian baca ini lah:v Maaf ya author lama update sampai ada yang nanya-nanya lagi, "Kak up nya kapan?", " Kak jangan lama-lama dong.", "Kak langsung double up ya." Hehe maaf ya, nilai author ada yang kosong jadi harus author perbaiki dulu eakkk ya kan, namanya juga author masih pelajar, agak ribet. Tapi kalau semuanya udah kelar, author bakalan rajin update kok. Author bakalan kasi ending terindah untuk kalian, jadi tenang aja. Author ngk bakalan ngegantungin cerita tapi untuk sekarang bersabar aja ya. Tetap tungguin kelanjutan perjalanan Ray ya, jangan sampai ketinggalan:)) By Dedek Chanā„
"Jangan seperti itu lagi. Apa kau tau? Kau membuatku sedih." [Elvara Viandra]________Sedangkan Vara hanya bisa tersenyum malu-malu dan menundukkan kepalanya karena merasa kedua pipinya terasa panas."Ayo kita makan, aku sudah lapar. Aku juga tidak sabar ingin mencicipi masakan calon menantuku." Ujar Bryan memecah keheningan.Setelah selesai makan, Ray mengantar Vara pulang kembali ke kostannya. Hanya keheningan yang menyelimuti keduanya di dalam mobil sampailah saat Vara turun, Vara masih engan untuk mengucapkan terima kasih kepada Ray."Sampai jumpa." Ujar Ray.Vara mendonggakkan kepalanya. Vara dapat melihat semburat rona merah di kedua pipi Ray membuat Vara tersenyum. "Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu." Balas Vara."Seharusnya aku yang mengatakan itu."Setelah mengatakannya, Ray menjalankan mobilnya pergi meninggalkan Vara yang masih bingung, tidak mengerti dengan apa yang Ray katakan.
"Lihatlah, aku malah berharap. Apa dia senang membuatku seperti itu?" [Elvara Viandra]______Vara mengernyitkan dahinya bingung, "Aku harus pulang, ini sudah malam Ray. Kalau aku tidak pulang, aku harus tidur dimana?" Tanya Vara."Tidurlah bersamaku.""Apa?!"Kedua mata Vara terbelalak tak percaya setelah mendengar apa yang Ray katakan. Dan yang lebih parahnya lagi, Ray mengatakannya dengan wajah tak berdosanya."Tidak! Kenapa aku harus tidur denganmu? Aku bisa pulang sendiri, kau tidak perlu khawatir." Tolak Vara.Ray meremas sedikit pergelangan tangan Vara membuat empunya meringis kesakitan. "Jangan salah faham. Ini sudah larut, tidak ada taksi yang lewat. Sopirku sedang cuti, aku juga tidak bisa mengantarmu. Dan sekarang Ayahku pasti sudah tidur. Lebih baik kau tidur di sini saja."Vara terdiam, berusaha menyima
"Jangan mendengar apa yang orang lain katakan padamu Ray. Ketahuilah, mereka hanya iri kepadamu." [Rey R. R.] ________ Rey berdiri disana, di air kolam yang memantulkan sinar bulan. Tersenyum hangat ke arahnya serta lambaian tangan menyapanya. Ray terpaku melihat Rey yang berdiri sembari tersenyum ke arahnya. "Hai Ray, apa kau merindukanku?" Tanya Rey. Perlahan Ray menganggukkan kepalanya dengan raut wajah yang berubah menjadi sendu. Sendu yang mengisyaratkan kalau dirinya sedih karena berpisah dari Rey. Rey hanya tersenyum melihat respon yang diberikan Ray. "Aku tau apa yang terjadi belakangan ini. Kau pasti sangat lelah." Lagi dan lagi Ray hanya bisa menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang Rey katakan. "Kemana saja kau selama ini? Apa kau tau? Aku sangat kesepian. Aku merasa seperti menjadi orang yang bodoh dan tak berdaya tanpamu." L