Share

8. CEMBURU

"...memberikan  batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..."

~ Ara ~

Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. 

Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. 

Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu bahagia dan lengkap. 

"Something wrong with you?" ujar sahabatku memandangi ku dengan curiga juga penuh tanya.

"Nothing" jawabku pendek sambil mengumbar senyum ceria di wajahku. 

Lalu kami masuk bersama, saat pintu sudah tertutup dan terkunci secara otomatis. 

"Oh, Aru sudah disin...," ujarnya kaget, lalu tersenyum dan beralih ke padaku, "Itulah alasan kenapa kau terlihat begitu senang rupanya, huh?"

Aku tersenyum menanggapi Tasya.

"Kurasa malam ini akan menjadi malam berapi dan kisah ini akan merumit lagi" ledeknya.  Tapi saat mata tajamku mengincarnya dia seketika bungkam.

"OK. Aku paham! Aku akan memberi kalian jarak klo begitu. So you can talk with him" ucapnya pengertian, 

"But please! Jangan ada teriakan. Ini sudah malam dan semua orang butuh istirahat. Kau bisakan?"

Aku mengangguk setuju. 

"Good luck!"

Tasya masuk ke kamar dan membawa barang belanjaanku serta bersamanya. 

Aku mengamatinya sejenak, sebelum membangunkannya. Tapi dia terlihat begitu lelah dan nyenyak. Jadi aku berubah pikiran dan memutuskan untuk bicara dengannya besok saja, sekaligus mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apapun yang akan dia tampakkan padaku.  

Sejenak dalam renungan dan pengamatanku akannya, aku jadi labil mengingat betapa terlukanya Aru mendengar penjelasanku tadi. Aku tidak siap memberikannya luka yang lain. Dan akupun jadi makin bersedih mengingat hal itu. Apa aku bisa melalui ini semua. 

Melihatnya rapuh membuatku rapuh, melihat sirat kesedihan dimatanya juga membuatku bersedih. Aru telah memberikan pengaruh sedalam itu dalam duniaku selama ini. Hati kami saling berpaut, itulah kenapa kami bisa merasakan emosi satu sama lain.

Aku membuang muka ke samping, menyeka air mata yang menetes setitik. Nafasku menjadi sedikit memberat karena terisi beban pikiran itu lagi.

Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak terlalu yakin dengan langkah ku kini. Tapi seketika pikiran berat itu teralihkan saat aku melihat ponselnya tergeletak diatas meja. Aku tidak ragu-ragu mengambilnya. Hanya penasaran dengan apa yang dia bicarakan dengan Quin sepanjang hari ini, yang membuatnya begitu abai akanku. Aku mengetikkan sandi yang sama dengan sandiku dan terbuka.

Kami memang pasangan yang saling berbagi, termasuk juga sandi ponsel. Tak ada rahasia diantara kami, hanya saja beberapa bulan belakangan ini aku banyak menyimpan rahasia darinya. Karena, aku takut dia tak akan mengerti keadaanku yang sebenarnya dan lantas mengambil keputusan sendiri dengan ..., tanpa banyak perhitungan. Karena itu aku merahasiakan banyak rahasia darinya. 

Aku menskrol percakapan mereka dari awal sampai akhir yang hanya berada di tanggal ini saja dan menyimpulkan bahwa Quin benar-benar tipe wanita yang bisa dengan mudah membuatku cemburu. Aku mengulangi membaca sekali lagi, kali ini dengan lebih cermat, tidak tergesa-gesa seperti diawal. 

"Are you okay?" Tanya Quin sore tadi. 

Lalu beberapa jam setelahnya Aru baru membalas. 

Kenapa dia mengabaikan Quin hingga berjam-jam? Kemana saja dia? Dia biasanya paling sigap membalas pesan Quin. Apa rasa sakitnya membuatnya jadi sedikit malas? Entahlah. 

"A bit harder. How are you?"

Quin juga tidak langsung merespon balasan Aru. Itu bisa ku lihat dari jenjang waktu pesan itu terkirim dan dibalas.

Lalu aku melanjutkan lagi membaca. Kali ini terlihat lebih intens pembicaraan mereka. Seperti ..., mereka akhirnya menemukan waktu luang yang pas untuk mengobrol bersama. 

"Same old-same old" 

"A bit harder, huh?  😑  Itu pasti berhubungan dengan hatimu, iyakan? You're definitely telling me about your ship, aren't you?  💔 "  

"Kind of.  Still. I'm glad  😭  you knew me that well" 

"Aku mengenalmu dengan baik? Tentu saja! Kita sudah seperti saudara kembar  👫  Aru. Hati kita bisa saling memahami dengan sangat baik"

Quin benar-benar membuatku cemburu. Kenapa dia bisa memahami Aru dengan lebih baik, melebihi aku memahami pacarku sendiri. Aku jadi benci sebagian dari dirinya yang terlalu memahami Aru.

"Our radar  📡  still working very well, I guess!"

"Mine? YAZZ, it still  ✅  works properly and function well. Dan kurasa punya mu jugakan, MaiyaRu?" 

"Yeah, mine either. Semuanya baik-baik saja bukan, MacQuin? You won't tell me?" 

"Semuanya baik, juga tidak baik. Semua masih aman terkendali. Kau mengenalku dengan baik Gamaru. Kenapa aku harus bercerita? We  🌐  still connected, right?"  balas Quin

"Seem like we in a same page  💔 "  

Rasanya perih membaca chat ini. Baik itu juga karena salahku atau rasa cemburuku yang membuat ini terasa menyakitkan, mungkin saja keduanya benar. Atau mungkin karena aku memaknai kata MaiyaRu sebagai My Aru dan MacQuin sebagai My Queen. Mungkin aku hanya mengartikannya dengan berlebihan dari persepsi mereka. Dan itu juga yang membuatku jadi sakit dan cemburu akan hubungan pertemanan mereka yang begitu tak bisa ku pahami terkadang. 

Mereka berteman dengan begitu baik dan akrab, hingga membuat ku merasa buta dengan pertemanan mereka yang tak bisa dengan mudahnya ku pahami. Kedekatan mereka yang kurasa sedikit diluar dari batasan teman, aku tidak lagi bisa dengan jernih menilainya. Mungkin cemburu ini memberikan andil  bagi pikiranku bermain, hingga ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih apa mereka hanya sebatas teman atau lebih dari itu. Yang jelasmereka terlalu dekat, bagiku. 

Aku melanjutkan membaca. 

"Mungkin. Hidup jadi lebih berat makin kita dewasakan?  💁 "

"Fakta!"

"Jalanpun makin menanjak dan berliku, bukannya lurus dan mudah saat kita makin tumbuh dewasa"

Aru membenarkan bahasan mereka yang bertopik tentang kedewasaan.

"Dan darisana pulalah tingkat kedewasaan kita semakin berkembang dan membijaki diri"

"Mmm, dan waktu  ⌛ semakin mempersempit ruang gerak kita. Lalu menjejali kita dengan banyak kemengertian atas ketidak mengertian kita" 

Renungan mereka kini terdengar serupa sesi curhatan akan masalah yang tengah mereka hadapi masing-masing. Tapi mengapa timingnya harus bersamaan? Benarkah Quin juga sedang ada masalah dengan pacarnya?

Kenapa bahkan problem asmara mereka harus datang diwaktu yang sama? Benarkah semua ini semata permainan takdir? Tidak ada yang lain? 

Sungguh ini membuatku semakin sebal dan sakit hati, walaupun ini juga diluar jangkauan dan kehendak mereka berdua pastinya. Tapi aku tetap saja jadi kesal dan sebal karena mereka bisa saling memahami perasaan mereka. 

Huft. 

"Apa kau tidak merasa pembahasan kita ini jadi terlalu, agak tua? 👵  👴 "

"Yah sepertinya, setiap hari kita makin tua. Tapi gantengku tetap sama. Konsisten! 😄  "

Kenapa juga Aru harus tebar pesona pada Quin? Seakan dia sedang menggoda Quin saja. 

Aghh, Aru!!! Keluhku gemas dalam hati. 

Aku melirik Aru yang masih diam tertidur dengan pulasnya. 

Jangan membuatku merasa buruk dengan cemburu ini, please. Ujarku dalam hati, memohon seorang diri pada orang yang kini tengah terlelap. 

"Problems couple, huh? Kau sama pacarmu?" 

"Kita sudah saling sepakat untuk tidak membicarakan  ⛔  masalah privasi hubungan kita masing-masingkan? Kau masih ingat?"

Beruntung Quin tidak menanggapinya dengan serius. Jika saja iya, ini akan semakin memanggang perasaanku dan membuatku merasa makin tidak baik. 

"Tentu saja. 😅  Just checking that you are good.  😉  Jika kau menjawab tidak, aku pasti akan mencari seseorang untuk ku hajar. Kau tahukan?"

Aku membelalakkan mataku. Sekali lagi membaca ulang pesan Aru itu. Mencoba mencari maksud dari ucapan Aru barusan dalam pesannya untuk Quin. 

"...jika kau menjawab tidak, aku pasti mencari seseorang untuk ku hajar..." 

Jadi maksudnya adalah, jika Quin bilang dia tidak baik maka Aru akan mencari orang yang membuat Quin merasa tidak baik itu, lalu menghajarnya?

Aghh, kenapa kau bahkan juga harus perduli pada Quin seperti itu? Aku tahu kau baik, Aru. Tapi apa hal seperti itu memang perlu kau tunjukkan pada Quin? Aku melirik Aru dalam tidurnya sekali lagi. 

Aghhh. Rasanya aku ingin menangis memprotesnya! 

"Yah itulah salah satunya kenapa aku tidak ingin curhat denganmu, kau terlalu sok jagoan. Uppss, maksudku PREMAN! 😜 " 

"I'm fine, btw. And it will get better in time. Jadi simpanlah tenaga mu untuk yang lain" balasnya pada Aru. 

"Hei, aku hanya ingin melindungi mu. Tapi syukurlah jika kau baik-baik saja. Maka aku tak jadi bersikap sok jagoan padamu. Apa lagi jadi sok PREMAN!"

"You're right. It'll get better in time ...."

Aku diam-diam jadi iri akan Quin. Dia bisa begitu mudah membawa topik kemana saja dia mau, tapi tetap dalam aliran yang bisa dipahami Aru. Seakan aliran pembahasan mereka mengalir dari hati ke hati, dan dari rasa ke rasa. 

Dan Aru selalu terdengar nyaman, ceria juga santai saat mengobrol dengan Quin. Seperti beban-bebannya lenyap seketika. Seperti dia bahkan tak punya beban yang dia pikul berat di pundaknya. 

 

Aku merasakan getir kesedihan mengalir lagi dalam diriku. Itu karena, sifat baik Aru yang ingin melindungi Quin dari bahaya juga. Aku menahan diri dari serangan tangis yang akan meluncur.

Dengan segera aku mengalihkan banyak pikiran buruk ini dari racun-racun kecemburuan cinta akannya. Agar perasaanku pada Aru tetap baik-baik saja. Aku harus mengosongkan diri. 

Aku tidak ingin cemburu ini mempengaruhiku bersikap pada Aru. Aku tidak ingin cemburu ini mengalahkan besarnya cinta dan sayang ku padanya. Aku tidak ingin cemburu ini memperburuk keadaan kami berdua yang sedang tidak baik ini. 

Aku memandangi pesan itu lagi. Membacanya ulang sekali lagi sampai tuntas. 

Jadi Aru dan Quin bahkan punya aturan untuk tidak saling curhat tentang masalah pribadi mereka dengan pacar masing-masing? Tapi kenapa?

Bukankah biasanya teman justru saling memberikan saran dan masukan?

Apa benar itu karena Quin terganggu dengan sikap sok jagoan Aru? Mungkin?

Tapi mungkin juga tidak sepenuhnya begitu. Mungkin ada alasan yang lain. 

Aku tahu Aru seorang pemberani. Dia akan melakukan apapun untuk melindungi orang yang ingin dia lindungi. Terutama orang-orang yang dia sayangi. Aku tahu itu, karena dia juga melakukan hal yang sama seperti itu padaku. Tapi memang sifat posesifnya kadang sedikit mengganggu. Aku setuju dengan pemikiran Quin tentang itu kali ini. 

Apa mungkin mereka sengaja memberikan batasan semacam itu agar mereka tidak terhanyut pada perasaan mereka masing-masing? Yang kelak bisa saja menyeret simpati dan emosi perasaan mereka saat saling curhat dan akhirnya itu bisa merubahnya menjadi aliran cinta?

Maka, sebab itulah mereka memberi batasan untuk tidak saling membahas masalah hubungan asmara mereka satu sama lain? Agar pertemanan mereka baik-baik saja dan tidak terpengaruh?

Karena mereka mendasarinya pada logika bukan dari perasaan yang mereka rasakan dan alirkan untuk dibagi? Dugaku mencarikan alasan yang tepat bagi peraturan pembatasan mereka. 

"Mungkin!"

Itu lebih terasa seperti dugaan ku yang sedikit benar. Mendekati benar.

Mungkin.

Aku tidak tahu secara pasti. Tapi semoga saja begitu. Semoga itu untuk kebaikan mereka bersama. Juga untuk kebaikan hubunganku dengan mereka juga. 

Dan percakapan mereka berakhir begitu saja. Karena Quin meminta berpindah ke sambungan telepon. Dan hal itu semakin membuatku penasaran, karena aku tak bisa tahu apa yang mereka bicarakan selanjutnya.

Aku mengembalikan ponsel Aru. Harusnya aku tidak perlu lagi risau dan meragukannya, karena baik Quin maupun Aru sudah punya orang lain disisi mereka masing-masing.

Dan terlebih mereka hanya teman baik. Mereka tak keluar dari batasan sahabat, lagipula mereka bahkan jarang bertemu, tidak seperti aku yang bisa kapan saja melihat Aru. Tapi meskipun begitu, mereka punya klik yang sama yang membuatku berada dilevel tersendiri dalam merasakan kecemburuan diantara mereka. Aku tetap harus waspada tapi juga tetap santai. Jangan sampai rasa cemburu ku membuat ku semakin jauh dari Aru. 

Aku mengamati lagi wajah Aru, kini dengan perasaan lebih nyaman dan tenang karena kesimpulan terakhir yang ku ambil nyatanya cukup melegakan diriku sendiri.

"Have a sweet dream, Ru" aku mengecup keningnya,

"Maaf aku sering membuat mu kecewa dan terluka belakangan ini. Aku tidak tahu kenapa aku sendiri juga jadi sering melukai mu. Meskipun aku sendiri juga tidak bermaksud melakukannya"

"Hanya ..., maaf Aru. Maaf.... Aku mengecewakan mu beberapa kali dengan sikap dan sifatku yang masih egois"

"Maaf jika cintku tak bisa kau pahami"

Aku merenung dengan sedih. Menyentuh rambut kepala Aru dengan lembut. Rasanya sudah begitu lama, kita kehilangan harmonisasi dalam hubungan kita ini, karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, juga Arnold. Aku jadi tak punya banyak waktu untukmu. Dan disaat kita akan mulai membangunnya, kita malah semakin terjatuh seperti ini. Kau menemukan rahasia yang ku sembunyikan darimu.

"I'm sorry Aru..."

"Aku menyayangi mu. Sungguh"

Aku menghapus peluhku yang menetes lebih banyak dari sebelumnya. 

Aku menyadarinya kini. Perasaan cinta itu juga menumbuhkan duri tajam disisi yang lainnya, dan juga akhirnya menggores orang yang kita sayangi juga. Meski kita tidak melakukannya dengan sengaja, luka itu tetap terjadi, dan duri itu tetap melukai meski kita sudah berusaha berhati-hati. 

Aku kembali ke kamarku untuk mengambil selimut juga bantal. Saat itu Tasya sudah tertidur, jadi aku pelan-pelan mengambilnya. Aku lalu kembali keruang depan. Menyiapkan bantal dan menyelimutiku sendiri dengan selimut. Dan akupun tidur di kursi yang lainnya, disamping Aru. 

Hari yang melelahkan dan cukup menguras energi ini ku harap segera berakhir. Ku harap akan ada cerah yang datang esok membangunkan ku dalam suasana yang lebih nyaman dan indah. 

Semoga. 

Semoga saja ada. 

Tetap ada...,

Hari yang indah itu,

Untuk kita hadapi bersama. 

Mengulang bahagia.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status