Share

9. PATAH

"...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... "

~ Aru ~

Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. 

Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. 

Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letaknya tidak lagi sama seperti terakhir aku meletakkannya. Aku hanya merasa lega saat ingat kata miss you dari Quin sudah ku hapus. Itu untuk menghindari salah paham. Miss you Quin hanya sebatas rindu seorang sahabat, tidak pernah lebih. Tapi mungkin itu bisa dipahami berbeda dari sisi Ara, jadi aku menghapus untuk kedamaian. 

Aku kini yang ganti mencari ponselnya. Itu ada disampingnya tidur. Tepat di sisi lengannya. Aku mengambilnya perlahan, agar dia tidak terbangun terlebih dahulu. Berhasil. Aku mengetikkan sandi dan terbuka. Aku menskrol semua pesan chatnya dan mencari satu nama yang ku ingat jelas. Tapi sayangnya aku tidak menemukannya, jadi ku ketikkan nama itu dalam kolom pencarian, Arnold. Dan yang muncul hanya kolom kosong tanpa pesan apapun. 

Hatiku kembali lagi terisi dengan lubang kecewa. Dia telah menghapus seluruh chatnya. Bahkan yang tadi ku balaspun sudah hilang. Semuanya. Ara seperti masih tidak bisa terbuka padaku.

Apa mungkin mereka tidak saling chat seharian ini? Tidak mungkin bukan? Apalagi dengan kekacauan tadi. Ku rasa Ara tidak ingin aku tahu.

Atau dia sama sepemikiran denganku? Untuk mencari amannya. Untuk kedamaian bersama. Untuk kedamaian apanya? Hubungan ini sudah tidak lagi damai pun mendamaikan. Ini sudah buram dan menggelisahkan.

Aku beralih mengecek panggilan masuk dan keluarnya. Dan menemukan satu panggilan masuk dari Arno...l. Ah, sebut saja dia dengan Ar-no. Karena akulah Ar-yes-nya.

Sebenarnya sudah lama aku curiga dengan sikap Ara yang sedikit berbeda padaku tapi aku kira itu hanya sikap wajar biasa saja, bukan penghianatan seperti ini. Dan nama Ar-no itu, akupun sudah curiga sejak beberapa bulan yang lalu, pasalnya perbincangan pesan-pesan  mereka cukup intens terjalin daripada teman-teman pria Ara yang lainnya. Walaupun itu hanya sekedar hai, hello, dan pertanyaan basa-basi lainnya. Tidak terlalu spesial memang, hanya perbincangan biasa saja. Tapi yang membuatku curiga ialah hari berikutnya tiba-tiba chat itu menghilang begitu saja.

Aku curiga, kenapa pesan yang biasa saja itu tiba-tiba dia hapus? Dari situlah kecurigaanku bermula. Namun, aku selalu menseting ulang pikiranku sendiri saat Ara mengatakan tidak. Dia hanya teman biasa, kenalan barunya. Dan aku, akupun mempercayainya begitu saja dan itu menghapus curigaku padanya. 

Tapi pesan pagi tadi. Benar-benar seperti bom yang akan diledakkan tapi sasarannya tidak tepat, bom itu terlempar dan tidak sengaja jatuh kesisi ku. Ledakannya yang dahsyat membuatku merasa hancur seketika, pengap, sesak nafas, dan nyeri, tapi tidak cukup mampu membunuhku. Karena itu aku jadi bisa merasakan seluruh perih dan sakitnya. Seperti orang sekarat tapi tidak sampai koma. Jadi kau tetap bisa merasakan segalanya, semua tikaman dan nyeri luka itu dalam hitungan menit hingga saat ini.

Dan kenyataan yang terkuak, jika nyatanya Ara menyembunyikan rahasia ini dibelakang ku, membuatku jadi dobel terluka. Karena nyatanya kata tidaknya hanya sebuah ketidak jujuran. Nyatanya dari sifat cintanya memunculkan duri beracun yang mampu menggoresku dalam nyeri dan patah hati.

Karena itu, akupun memutuskan akan menyimpan sebagian rahasiaku darinya juga. Aku tidak pula perlu seterbuka itu padanya juga. Setidaknya ini tidak akan sama seperti dulu lagi.

Tapi sisi lembut dalam diriku memunculkan persepsi berbeda. Mungkin saja dia menghapusnya agar tidak semakin menyakitiku. Namun rasanya kenapa aku tetap saja terluka? Aku terluka karena memunculkan banyak praduga "jangan-jangan" dibenakku. Itu membuat emosiku kembali labil. Pikiranku tak bisa imbang lagi menilai, dan aku yang tadinya tak ingin membangunkannya, kini sudah berubah pikiran. Belas kasih itu berubah jadi kesal. Dengan enggan aku membangunkannya juga.

"Hei... Bangun! Hei... Bangun! Bangun!!! Pindah sana ke kamarmu!" ujarku jauh dari ramah.

Dia hanya membalik posisi dan meng-mhh. Dia menyahut, tanpa harus bangun ataupun membuka mata.

"Pindah ke kamar mu. Kau tak biasa tidur disini. Badanmu bisa sakit−" aku menghentikan kalimatku. 

Mengapa aku tetap saja perduli padanya? Pada orang yang sudah menikamkan luka perih dihatiku. Bahkan aku hanya baru mendengar suara hemmingnya dan aku langsung berubah melunak lagi. Mengapa aku bisa begitu lunak dengannya? Aku tidak seharusnya ikut terseret dalam perasaan plin-plan-nya! Ada yang salah denganku.

"Mmmh, apa ini sudah pagi? Jam berapa sekarang?"

"Jam satu" jawabku ngasal.

"Masih jam 1 kenapa membangunkan ku? Rapatku jam setengah sembilan. Aku masih mengantuk, Aru!"

"Pindah ke kamar mu sana!"

"Tidak apa-apa. Aku bisa tidur disini. Aku akan menemanimu disini"

"Tapi aku akan pindah ke kamar. Jadi kau pindahlah ke kamarmu sana" balasku dengan nada yang tidak ramah.

"Kau masih marah padaku?"

"Menurut mu?" singkat ku menyahut.

"Kau bisa ambilkan aku air?" katanya malas, tapi begitu lembut terdengar.

"Kau bisa ambil sendiri!"

"Tolonglah. Aku masih belum sadar betul. Pleaseee. Please Aru. Please!"

Aku luluh juga dan mengikuti maunya. Mengambil segelas air minum juga untuknya. Lalu kembali lagi pada Ara yang kini sudah terduduk lebih bernyawa, sepertinya. Dia mengambil gelas dari tanganku dan meminumnya sebagian. Aku tanpa sadar jadi ikut memperhatikannya sejenak saat Ara meminum airnya.

Matanya membengkak, tak bisa disembunyikan. Tanda bahwa dia banyak mengeluarkan air mata sedari tadi. Dan aku jadi mengasihaninya lagi. 

"Kau mau kita bicara, sekarang?" tanyanya menghadapkan wajah padaku, menyadarkan ku dari lamunan ku.

"No. It's fine tomorrow"

"Sekarang sudah masuk besok untuk hitungan tadi malam, kan?" tuturnya.

Ara mengambil ponselnya dan melihat jam dari sana. Lantas dia perlihatkan jam digital itu padaku sebagai bukti.

"Ini sudah hampir jam dua malam. Ah, maksudku pagi. Itu artinya ...."

"Tidak. Jangan sekarang, ini masih terlalu dini hari untuk menambah dan memulai keributan" pangkasku cepat.

Merasa aku tidak punya banyak kesiapan diri untuk mendengarnya. Aku hanya tidak siap mendengarkan apapun saat ini. Terlebih, hal-hal yang bisa memberikan beban luka bagi hatiku.

"Tapi aku ingin ini cepat selesai. Aku kepikiran terus klo belum menjelaskan semuanya padamu secara lengkap dan jelas. Aku ingin menyelesaikan ini semua denganmu secepat mungkin" ujarnya bernada tenang dan manja.

Aku menengok lagi wajah bangun tidurnya yang dihiasi bengkak di kedua matanya. Ara tidak terlihat baik, meski kini terlihat lebih baik.

"Apa dengan begitu kau akan merasa lebih baik?"

Hatiku luluh lagi. Entah kenapa hanya dengan memikirkan jika dia tidak merasa baik, hatiku bisa berkali-kali melembut.

Ara mengangguk, yakin. 

"Setidaknya dengan begitu aku akan lebih tenang ditempat kerja, mungkin" 

"Baiklah. Tapi kau cuci mukamu dulu sana. Agar terlihat lebih segar"

"Mmhh tentu" katanya bersemangat.

Tapi sejujurnya, aku menyuruhnya mencuci muka bukan karena dia terlihat kuyu dan tidak ayu. Itu karena aku perlu mengulur sedikit waktu untuk mempersiapkan diri dengan apa yang akan ku dengar nanti. 

Bisa saja itu hal buruk yang harus ku hadapi. Bisa saja itu adalah akhir yang selalu kami prediksi akan datang tapi tak tahu kapan waktu pastinya. 

Aku menelan ludah kekhawatiranku, lalu memegangi dada kiriku yang berdetak lebih kencang. Dia belum bicara apapun tapi aku sudah secemas ini menerimanya. Bahkan rasanya aku sudah harus menangis karena memikirkan getirnya perkataan yang akan Ara ungkapkan kurang dari lima menit ini. Aku harus bersiap jika akan terluka untuk kesekian kalinya. 

Aku mengambil gelas Ara yang tergeletak di meja dan meminum sisanya sampai habis. Aku hanya terlalu takut jika saja ini waktu terakhir ku untuk bersamanya, aku takut jika nyatanya ini adalah ending yang harus ku hadapi. Aku takut inilah waktu dimana aku harus melepasnya iklas tidak iklas, seperti yang pernah ku janjikan padanya dulu. 

Ara kembali dengan raut yang lebih segar dan aku tetap menyambutnya dengan senyumku, walau mungkin tetap bercampur dengan risau.

"Kau siap mendengarkanku?" katanya 

Aku tidak memberikan jawaban apapun, bahkan anggukanpun tidak. Aku hanya diam saja, karena belum cukup yakin dalam menimbang jawab.

Ara menghadap padaku, kami saling berhadapan dengan jarak duduk yang dekat. Aku juga bisa merasakan aura ketegangan diantara kami meninggi. Padahal biasanya saat kami dekat yang ada justru rileks dan nyaman. Tapi kali ini berbeda. 

"Aru berjanjilah padaku kau tidak akan marah. Berjanjilah kau akan mendengarkanku sampai akhir dan tidak memotong kalimatku. Berjanjilah lebih dulu padaku!" katanya mencoba membuat kesepakatan.

"Ara.... Pertama, aku tidak siap tapi aku harus mendengarkan penjelasan itukan? Kedua, aku sendiri juga tidak tahu bagaimana reaksiku setelah mendengar penjelasan yang kau sampaikan nanti. Ketiga, aku tidak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha mendengarkanmu dengan baik"

"Sampai akhir?"

"Entahlah. Semoga saja. Kita lihat saja nanti, seberapa mampu aku bisa menahannya"

Mendengarku berujar begitu, mata Ara kembali menampakkan kesedihan. Aku tahu keadaan ini tidak mudah untuk dihadapi. Masalah hati memang selalu saja sukar untuk  bisa dengan mudah diselesaikan, karna itu menyeret rasa dan emosi dari dua kepala manusia yang berbeda.

"Okay I think I'm ready, but not ready enough" aku berusaha mengalihkan agar air matanya tidak lagi menjatuh. 

Ara menatapku dengan tatapannya yang dalam dan penuh ketegaran. Dia lalu meraih tanganku, menggenggam keduanya bersamaan. Kurasa itu untuk menjagaku agar aku tidak lari. Atau untuk menguatkan diriku agar aku tegar menghadapi kenyataan buruk ini.

"Baiklah. Aku akan mulai" ARa menarik nafas dan menghempas geroginya.

"Diaa .... Namanya Arnold ...,"

Aku menatapnya malas. Tapi menahan diri untuk tidak terbawa emosi karena lelah mendengarnya berujar itu sedari tadi. Aku hanya menduga dalam hati untuk menenangan diri. Mungkin Ara juga gugup dan bimbang, jadi dia hanya mengulang ucapannya tadi pagi.

"Kau sudah bilang itu tadi. Beri aku kalimat yang lainnya" kataku jadi agak sinis. Karena merasa dia bertele-tele.

"Ya, baiklah. Maaf. Aku akan mulai lagi"

Aku memberikan anggukan.

"Dia pemuda yang santun...," Ara melirikku dengan hati-hati.

Aku memberinya kode agar dia terus melanjutkan kalimatnya.

"Dia juga baik, dan cukup aktif di rumah ibadah. Selain itu dia juga pekerja keras, sopan dan taat beribadah"

Aku tidak paham apa yang sebenarnya dia rencanakan dengan mengatakan semua itu padaku. Tapi mendengar kalimat 'pekerja keras' yang dia ucapkan, membuatku merasa sedikit begah dan tenggelam dalam asumsi negatifku.

Apa dia ingin aku cemburu? Atau dia ingin memberikan perbandingan antara aku dan tunangannya? Atau batangkali dia hanya jujur padaku apa adanya? Karena dia terlalu polos? Atau mungkin ada alasan yang lainnya? Entahlah.

Yang jelas dalam hitungan kurang dari satu menit hatiku sudah patah kembali. Tahu kenpa? Karena wanitaku memuji pria lain tepat didepanku, dan pujiannya lebih baik dari pujiannya padaku. Hopeless.

'Oke. The competition is on' Bisik hatiku. 

Aku menarik nafas panjang. Mengatur sirkulasi emosi dalam diriku yang sudah mulai teraktifkan. Ara seperti mengerti klo aku mulai terganggu dengan ceritanya. Dia memberi ruang untukku mencerna kalimat pertamanya.

"Ceritakan bagaimana kau mengenalnya"

Aku mencoba memilihkan topik ringan untuk diriku sendiri. Semoga dengan begitu aku tidak terluka terlalu dalam mendengarnya karena aku tidak akan merasa insecure dibanding-bandingkan. 

Ara menatapku dengan kehati-hatian. Serasa sangsi menerima permintaanku, tapi akhirnya dia bercerita juga. 

Dia menjelaskan tentang bagaimana Arnold mengenalnya. Dia merupakan senior Ara dulu. Tapi Ara menuturkan jika dia tidak terlalu akrab. Jangankan akrab, mengenal namanya saja hampir tidak. Karena dulu waktu di sekolah dia bukan tipe pemuda yang dikenal banyak orang, karena sifatnya yang pendiam. Tapi berbeda dengan Ara yang memang sejak sekolah selalu jadi pusat perhatian karena prestasi-prestasinya. Sebab itu nama Ara terang benderang dalam lingkup sekolah, dan Ar-no memang sudah mengenal dan naksir sama Ara sejak lama. Hanya saja dia tidak punya keberanian untuk mendekati Ara dan juga belum punya kesempatan yang tepat untuk mendekatinya karena juga banyak pesaingnya.

Penjelasan mudahnya ialah Ar-no adalah pengagum rahasianya Ara sejak masa sekolah dulu. Namun, sejak dia mengenal Ayah Ara, semua jalan seolah terbuka lebar untuknya mendekati Ara. 

Aku meminta jeda sejenak. Karena sialnya, bahkan topik ringan yang ku pilihpun nyatanya tidak berhasil membuatku berhenti mencemburuinya.

"Kau baik-baik saja?" katanya hati-hati, dia bahkan makin erat menggenggam tanganku.

Sekali lagi aku tidak menjawab. Karena merasa itu sudah sangat jelas tergambar dalam rautku, jika aku tdak merasa baik dengan kalimatnya yang manapunn.

Setelah satu hembusan nafas cepat yang menyesaki dadaku ku keluarkan, aku memintanya melanjutkan lagi.

"Just keep going" ujarku.

"You sure?"

Aku mengangkat bahuku dan memberinya tatapan tidak yakin ku.

"What do you want to hear about him?" dia mencoba mempersingkat semua ceritanya agar aku tidak terlalu sakit mendengarnya. 

Aku tersenyum kelu menanggapi tanyanya. Merasa jika, bahkan, kalimat tanyanya kini yang dia tujukan untukku pun terasa salah.

'Apa itu sebuah pertanyaan normal untukku, menurutnya?' keluh hatiku.

"Jika aku punya pilihan. Aku lebih baik tidak mendengarkan cerita apapun tentang dia. Aku lebih suka mendengar cerita tentangmu, tentang kita. Bukan tentang orang lain, Ra" kataku menekan luka mendarah dalam diriku, dengan mata berkaca-kaca pilu. 

"Sorry ..." lirihnya menyahut.

Ara jadi menunduk mendengarku. Dia tak berani menatapku karena merasa bersalah telah mengajukan tanya itu. 

"Tapi karena ini tentang mu, juga tentang kita..." sekali lagi hatiku meluluh melihatnya merasa tidak baik,

"Aku bisa menahannya. Aku bisa menahannya sedikit lebih lama lagi. Jadi lanjutkan saja ceritamu" Ujarku, mencoba memperbaiki perasaan bersalahnya atas perkataanku, agar dia tidak merasa terlalu bersedih mendengar tanggapan tak senangku.

Aku menangguhkan diri. Bersikap tegar menghadapi keadaan tak nyaman ini dengan mengabaikan perasaan sakitku sendiri. 

Kini dia menatap langsung pada mataku yang sudah jauh dari santai. Akupun melakukan hal yang sama, membuat mata kami saling beradu, dan kami saling menyadari jika masing-masing dari kitapun sedang terluka. Ada goresan luka tersendiri diantara sinar mataku maupun dari sinar matanya. Ada kekacauan rasa yang terpancar dari mata kami berdua. Adapula ketegaran yang sangat kami paksakan untuk tetap bertahan menyelesaikan ini semua, walau sama-sama tidak merasa nyaman.

Ara terdiam. Dia seperti tidak lagi yakin harus melanjutkan kemana lagi ceritanya. Karena semua itu akan membuat keadaan makin tidak nyaman dan canggung untukku juga untuknya.

"Kata..." aku terhenti disana. Ada keraguan besar yang membuatku tidak melanjutkannya.

Ara melihatku dengan lebih serius karena aku gagal mengutarakan kalimatku dengan baik dan sempurna.

Aku meragu menyelesaikan kalimatku itu, karena aku hanya takut jika apa yang ingin ku tanyakan itu akan menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Aku takut itu akan lebih menyakitkan untuk ku terima nantinya. Aku hanya sedang menimbangnya dengan hati-hati, karena itu aku jadi ragu.

'Apa aku siap mendengarnya? Tidak! Tapi aku perlu tahu. Aku harus tahu!" Kata bisikan lain dari dalam diriku sendiri.

"Kata..." kalimatku terselip karena tenggorokanku terlalu kering. 

Ara masih menantikan apa yang sebenarnya ingin ku utarakan padanya, yang membuatku terlihat ragu-ragu untuk bertanya. Raut Ara terlihat sama cemasnya denganku. Sama menyimpan tanya dan asumsi didalamnya. 

Ara bahkan telah sedikit menggigit bibir bawahnya, untuk mengatasi rasa cemasnya. Aku memberanikan diri mengulang tanya itu setelah merasa yakin aku harus mengutarakannya. Aku menutup mata sekejap dan membuang nafas cepat, mencari dukungan keberanian dari aksi singkat itu.

"Kata ..., katakan Ra. A...aapa yang kau suk...ka darinya?"

Ara tampak berpikir sejenak. Tapi dia tidak mengalihkan pandangannya padaku.

"Aku.... Aku suka caranya mendekatiku" Ara sengaja berhenti untuk menatapku. Dan aku seketika membuang muka darinya.

"Hei..." kata Ara mengembalikan lagi tatapanku padanya dengan kedua tangannya yang kini melekat dipipiku.

Aku rasa kali ini mataku terlihat sangat berkaca-kaca, jauh lebih banyak dari sebelumnya karena intensitas buramnya kian lebih tebal. Dan perasaan sakit ini lebih kian terasa menekanku.

Tahu kenapa bisa begitu? Tentu saja itu karena ..., karena rasanya Ara tengah mengkonfirmasi bahwa dia menyukai lelaki lain dan itu menghancurkan ku. 

Dia mungkin juga tidak menyadari bila jawabnya akan mempengaruhiku sedemikian rupa. Dia mungkin merasa jika harusnya tidak ada yang salah dengan kalimat jawabannya itu, tapi kenapa aku tetap saja terluka. Sekali lagi, mungkin dia merasa aku telah bersikap berlebihan dalam memberikan tanggapan akan kalimat itu.

Aku ingin sekali mencoba menyangkal kalimat yang sangat jelas ku dengar itu dengan hal lain, tapi Ara mengambil alih kalimatku lebih dulu dengan katanya. 

"Kau tahukan Ayahku termasuk orang yang aktif dalam keagamaan?"

Aku menjawab iya dengan pejaman lembut mataku.

"Dan dia juga begitu. Ayah suka dengan sikap sopannya dan keaktifannya dalam urusan agama. Dari situ mereka saling mengobrol dan mulai dekat. Lalu dia tahu jika aku ternyata putri orang yang dia kenal dekat...,"

"Singkat ceritanya, karena dia sudah lama menyukaiku maka dia bilang hal itu pada ayahnya, lantas ayahnya bilang pada ayahku. Ayah menyampaikan hal itu pada Ibu, dan Ibu juga menyatakan dukungannya jika dia mau mengenalku lebih dekat. Dan dari situlah, obrolan-obrolan itu menjadi semakin serius" Ara menjeda, kerena melihat keruh di wajahku yang tak bisa ku sembunyikan.

Tapi aku memberinya kode agar dia terus melanjutkan ceritanya, karena aku masih merasa bisa menahan semuanya.

"Kau juga tahukan? Mereka ingin aku kembali pulang sudah sangat lama. Orang tuaku ingin agar aku membantu mengembangkan usaha kami di rumah. Jadi, dari situ mereka mencoba mencomblangiku dengan Arno..."

"Oke cukup!" entah kenapa aku jadi begitu sensitif dan emosional.

Ara menatapku dengan hati-hati, dan penuh kemengertian kenapa aku memotong ceritanya begitu saja.

"You OK?"

"Mmmh. Hanya saja.... Bisa kau tidak menyebut namanya untukku? Cukup didepanku saja!" mintaku cepat dengan nada datar orang terluka.

"Kau marah? Kau sudah berjanji untuk tidak marah tadi"

"Kapan aku bilang begitu? Aku bahkan bilang aku tidak bisa berjanji!"

Aku justru marah karena statmennya, jika aku menerima janjinya agar tidak marah. Aku marah karena dia nyatanya tidak mendengarku dengan cukup baik.

"Apa menurutmu, aku tidak harusnya marah dalam situasi seperti ini? Apa kau lupa jika kau kekasihku, Ra? Kita sudah bertahun-tahun lamanya bersama tapi tiba-tiba kau menjadi tunangan orang lain tanpa sepengetahuan ku. Apa kau pikir itu masuk akal untuk ku terima?" aku mengeluaarkan perasaan tak nyaman itu juga akhirnya,

"Lalu, kau bilang semua keluarga mu mendukung hubungan kalian, dan kau menyukainya juga?! Apa kau pikir aku bisa tidak marah mendengarnya?" aku bertanya lagi padanya dengan ketidak mengertian yang kumiliki, kini.

"Jadi kau marah karena Ayah, Ibu, Oma dan opaku memberikan dukungannya pada Arno.... Maksudku kau marah karena semua keluargaku mendukung dia begitu? Dan kenapa itu tidak kamu, begitu? Mana aku tahu, Aru!" Ara coba membela diri.

"Ara, jangan membalik pembicaraan. Aku tidak bilang seperti itu. Aku marah karena KAU TAK BISA MENANGKAP MAKSUDKU DENGAN BAIK!"

Ara hanya diam merenung diri. Aku tahu dia menjadi mengurung diri dalam diam karena nada suaraku yang menekan dan meninggi. Akupun lantas melakukan hal yang sama. Kami diam tanpa saling bicara lagi. Saling merenung dalam diam ini.

"Ara..." aku mulai membuka ucap lagi,

"Bukankah seharusnya, jika aku tidak marah disini kau justru merasa perlu mempertanyakan cintaku?"

Ara menatapku seketika. Meminta penjelasan dari kalimatku barusan dengan pemahaman yang lebih baik.

"Kau perlu mempertanyakan cintaku. Masihkah aku mencintaimu dengan baik jika aku tidak semarah ini?"

Ara menatapku dengan raut wajah herannya yang tak menentu. Lalu wajah keras itu melembut. Dia meraih lagi tanganku dalam getir perasaannya.

"Aku terluka, Ra. Aku ter-luka. Dan itu karena aku masih sangat mencintaimu. Kau paham itu?" tekanku sekali lagi.

"Aru..."

"Aku tidak akan terluka, jika saja aku tidak mencintaimu seperti ini..."

"Sorry... Ru"

"Dan jika saja aku tidak mencintai mu, tentu saja aku tak akan marah. Aku akan bereaksi biasa saja saat dikhianati" protesku sarkatis padanya,

"Memang aku bisa apa klo tidak meluapkannya dengan marah padamu? Tidak ada bukan? Aku tidak bisa apa-apa selain marah. Dan itupun kau tak memperbolehkan?"

Ara menangis tersedu merasa menyesali ucapannya padaku.

"Maka biarku telan semua rasa amarah ku seorang diri. PUAS?!"

Dia berusaha berdamai denganku dan mungkin juga dengan dirinya sendiri, dengan berusaha membenamkan ku dalam pelukannya. Aku menepisnya, tapi Ara tetap kukuh berusaha. Maka mau tak mau, aku mengalah ego dan hanya terdiam dalam peluknya.

"Maafkan aku, Ru. Maaaafff..."

Aku hanya diam tak menyahut.

"I'm really sorry" tangisnya.

"Kau bisa menilaiku sesukamu, Ra. Aku lelah dengan semua emosi dalam diriku juga. Aku..., aku.... "

Aku merasakan dirikupun melemah, hingga tak tahu harus mengucapkan apa pada Ara. Mataku perih dan hatiku sakit. Aku tak bisa berpikir dengan baik. Sementara Ara masih membungkam tangisnya dalam bahuku, semakin lama semakin dalam dan memberat juga erat. 

Air mataku tak bisa lagi ku tahan, dia menjatuh satu-dua tetes bersama suara se-senggukan Ara yang sudah tak bisa disembunyikan lagi. 

Tapi masih ada satu hal yang sama tak ku mengerti juga dari Ara sedari tadi.

Kenapa dia menangis? Kenapa dia masih saja terus menangis? Itu bukan karena dia memahami rasa sakit yang ku rasakan, bukan?

Itu mungkin karena ucapanku yang terlalu emosional dan terdengar kasar yang membuatnya terluka dan akhirnya meangis, kan?

"I'm sorry. I'm sorry...,"

"Aku harusnya tahu. Aku harusnya mengerti. This is kinda weird, I know. I shouldn't talking about my fiance to my boy friend..." selanya menyadari, jika semua pembicaraan ini sia-sia saja dan membuahkan banyak rasa sakit,

"I'm sorry that I'm so dumb dumb stupid right now!" katanya menyadari lagi, apa yang sebenarnya tidak ingin ku dengar dipagi buta seperti ini, karena itu pasti akan mempengaruhi seluruh hariku nanti. 

Tapi sekarang terlambat bukan? Hanya karena kau ingin punya hari yang lebih tenang di kantor mu hari ini, tapi tidak memikirkan imbasnya balik untukku. 

"You're right. It is so weird..." aku tidak menyangkalnya, 

"Meskipun aku tahu kau hanya ingin berkata jujur padaku. Kau mungkin juga tidak ingin menyimpan banyak rahasia dibelakang ku, karena kau juga tahu aku begitu benci didustai−" kataku sengit tapi masih mencoba memahami,

"Kau melakukan hal benar dengan jujur padaku, Ra. Aku senang kau akhirnya berani berkata jujur tentang semua ini. Tapi maaf jika aku harus memutus cerita menyenangkanmu tentangnya. A−ku... Aku..." aku berhenti sejenak mengambil nafas. Menyisihkan kelu yang menyempitkan pernafsanku,

"Aku juga ingin mendengarkan ceritamu dengan sempurna dan lengkap menyeluruh, tentang apa saja yang telah ku lewatkan hingga sekarang kau bisa jadi milik orang lain tanpa ku ketahui. Apa yang telah ku lakukan hingga kau takut berkata jujur padaku selama ini, dan lebih memilih merahasiakan hal sebesar ini dariku...," aku berhenti lagi untuk menyambung nafas. Karena rasanya sulit sekali untuk tetap mempertahankan nafas ini terjaga. 

Kedua hidung ini jadi bumpet. Pandanganpun jadi memburam karena kemilau berlian dari air mataku. Dan terlebih lagi kenyataan yang mencekik hati. Yang membuat semuanya semakin memberat. 

Ara hanya tetap menangis dan memelukku sangat erat. Inipun yang juga menambahku sulit bernafas.

"Maaf aku memotong ceritamu dan menghentikannya. Itu bukan karena aku tidak menghargai mu atau aku tidak mau. Hanya saja, ini semua tidak mudah untukku terima, Ra ...."

"This is just a lot to process in my head. Karena nyatanya hatiku tetap sakit mendengar semua cerita-cerita itu. Maksudku, ini bahkan belum ada 24 jam, tapi ..., aku sudah harus menerima kenyataan pahit ini secara bertubi-tubi hampir seharian ini aku bersama mu. JADI INI TERASA SEPERTI AKU INI ORANG BRENGSEK YANG SEDANG KAU PERMAINKAN untuk URUSAN BALAS DENDAM ATAU SEMACAMNYA. Dan kau berniat untuk menghancur-leburkan ku! KAU MEMBUATKU MERASA HIDUP SEPERTI SAMPAH. THANKS, RA!" protesku bercampur emosi, 

Ara menangis lagi makin terisak dan makin pula mengencangkan pelukkannya padaku.

"I'm so... so.. sorry! Tapi aku tidak pernah berpikir seperti itu, Ru"

"Tidak.. Tidak.. Aku tahu Ini bukan sepenuhnya salahmu. Kau tak perlu meminta maaf ...,"

Aku rasa peluknya memiliki efek menenangkan yang sangat besar. Lihat saja, bagaimana aku bisa tiba-tiba melemah seperti ini lagi? Pada orang yang sudah menyakitiku berulang kali dalam sehari ini saja. 

"Aku tahu kau tidak melakukan itu dengan sengaja..." dan sialnya aku malah membelanya. Kurasa ada yang salah dengan otak dan diri ini.

"But still I'm sorry Aru" teguhnya.

Aku tidak menjawab apapun. Kamipun lalu saling terdiam tanpa kata lagi. Hanya masih bertukar kenyamanan dalam peluk dan merenungi semua ini dalam benak kami masing-masing. Hingga kemudian aku merasa lelah dan perlu memisahkan diri dari semua ketidak jelasan ini. 

"Okay. Let's just stop right here! Kita lanjutkan sisanya lain waktu saat aku sudah lebih siap lagi menerimanya" aku melepas peluknya.

Ara menatapku, mengamati rautku sejenak dan kemudian memahami permintaan ku. 

"Now, please back to your room!"

"NOH!"

"PLEASE!" kataku menekan lebih dalam.

"Alright. Just one thing..." dia mencoba memberikan syarat, "Don't do something dumb!" 

"I don't know"

"Klo begitu aku tetap disini!"

"Please. I just need to be alone"  

"Then promise me. Kau tak akan melakukan hal-hal bodoh"  

"I hate to make promises, kau sangat tahu akan hal itu, Ara. Jadi jangan memaksa ku membuat janji"

"Please do it for me! Aku tidak ingin kehilanganmu. I need you to be strong. I need you, Bi. I still need you"

"Mmhhh"

Betapa rapuhnya perasaanku. Hanya karena dia memanggilku dengan kata favoritku, dan membujukku dengan sedikit kata manis saja aku jadi luluh seketika. Dan itu karena dia sudah jarang melakukan hal-hal begitu.

"OK. Aku akan balik ke kamar. Pastikan kau juga akan tidur dengan baik"

"Mmm" aku menjawab tanpa kepastian.

Ara mendaratkan sebuah kecupan dipipi lalu kembali ke kamarnya membawa serta selimut dan bantalnya. Aku masih terduduk lemah mencerna apa yang baru saja ku dengar, dan semuanya menyakitkan.

Pagi dini hari ini aku masih terjaga, dan buruknya aku terjaga dengan banyak pikiran negatif.

Aku tidak mengira akan sebegini terluka menerima kenyataan ini dengan tiada berdaya. Jika nyatanya, orang yang ku cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mampu mematahkan hatimu dengan begitu sakit dan nyilunya. 

Ini bahkan belum genap sehari, dan hanya hari ini saja aku sudah terluka berkali-kali. Mungkin saja, jika bisa dirasakan ini rasanya seperti hidup dalam permainan game online dimana kau bisa terluka berkali-kali tapi tetap hidup. Meskipun terkena serangan double kill, triple kill atau bahkan multiple kill, tapi masih hidup lagi dan melanjutkan permainan kembali. 

Hanya saja sayangnya, luka karena cinta tidak sama dengan luka karena kalah bermain game. Luka ini lebih nyata terasa, lebih dalam dan lebih menyakitkan. Ini luka asli walaupun tidak terlihat secara kasat mata. Ini juga bukan seperti luka virtual yang dalam hitungan menit atau jam bisa segera pulih dan sembuh lembali sehingga kau bisa bermain lagi. 

Harusnya aku memahami hal semacam itu sebelum jatuh cinta pada Ara, dulu. Harusnya aku memang tidak mendekatinya, apalagi mencintainya. Harusnya aku lebih memilih untuk mendengarkan kata dan saran dari Zein. Karena terlalu begitu banyak ketidak mungkinan dalam hubungan ini. Dan baik aku maupun Ara tahu itu sejak awal. Hanya saja kita yang masih muda, sama-sama terlalu egois mementingkan rasa, dan mengabaikan fakta yang ada. 

Aku lelah menangisi ini semua. Aku lelah memikirkan ini semua. Tidak ada jalan keluar lain lagi selain pergi darinya. Ya pergi darinya. Mungkin, aku hanya harus pergi darinya. 

Tapi, tunggu dulu! 

Bagaimana jika kali inipun masih sama seperti waktu itu?

Jika ini bukan akhir dari ceritaku? Jika ini hanya masih sebatas ujian. Bukan takdir yang sudah ditakdirkan?

Ah, entahlah. Cukup pusing memikirkan hal itu sebagai takdir hidup yang sudah digariskan atau sebuah kesalahan. 

Aku lelah dan hanya ingin berhenti berpikir. Dan hanya ingin kembali tertidur lelap untuk menghapus lelah yang ku terima dari bekas sifat egois masa mudaku, karena memaksakan Ara datang menerima tawaran cintaku.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status