Share

TUJUH

Priska duduk menghadapi meja yang berada di dalam sebuah rumah makan di kawasan Pasar Festival, Kuningan  Jakarta selatan. Sudah hampir satu jam dia berada di sana, setelah sebelumnya sengaja datang lebih awal dari waktu buka puasa supaya bisa mendapat tempat di rumah makan. Maklum, menjelang buka puasa, hampir semua rumah makan pasti penuh, apalagi rumah makan yang berada di daerah pemukiman padat penduduk atau perkantoran yang ramai. Terlambat datang sedikit saja, dipastikan tidak akan mendapat tempat makan. Bahkan jika sudah mendapat meja, harus selalu dijaga  dan jangan pernah ditinggal walau hanya sebentar, karena pasti langsung diisi oleh orang lain, Bahkan andaikan  telah memesan makanan dan minuman dan semuanya telah tersaji di atas meja, tetap tidak boleh ditinggal. Kalau sudah mendekati jam buka puasa memang terkadang suasana menjadi liar, di mana  kadang berlaku hukum rimba ; siapa kuat dia yang menang.

Waktu buka puasa tinggal lima belas menit lagi, tapi Arya belum juga kelihatan batang hidungnya. Priska sudah beberapa kali menelepon pemuda itu, tapi ponselnya selalu tidak aktif.

Ke mana sih tuh orang! Gerutu Priska.

Seorang pelayan rumah makan menghampiri Priska.

“Sudah mau pesan sekarang, Bu?” tanya si pelayan.

“Nanti aja deh, Mbak. Tunggu teman saya datang.” Jawab Priska.

“Maaf, Bu. Kalau Ibu tidak memesan makanan sekarang, kuatirnya nanti saat jam buka makanan Ibu belum siap, karena banyak pesanan makanan kami, Makanan pesanan Ibu bisa lama jadinya,” ujar si pelayan.

“Gitu ya, Mbak?” tanya Priska.

“Iya, Bu,”

“Ya udah. Mana daftar menunya,”

Jarum jam hampir mendekati pukul tujuh malam saat Priska keluar dari rumah makan.

“Priska!!”

Priska menoleh, dan begitu tahu siapa yang memanggilnya, dia kembali melanjutkan langkahnya, seolah-olah tidak mendengar panggilan tersebut.

Arya berlari mengejar Priska dan berhasil menghadang gadis itu.

“Sorry, Gue terlambat. Tadi Gue...”

“Gue nggak mau dengar alasan apa pun dari Lo,” tukas Priska sambil terus berjalan.

“Tapi ini penting,”

Priska tetap berjalan.

“Dunia akan berakhir. Bumi akan terbakar dalam waktu tidak lama lagi,” kata Arya.

Ucapan terakhir pemuda itu ternyata mampu menghentikan langkah Priska.

Gadis itu menoleh pada Arya.

“Lo emang seorang astronom. Tapi pleasee... jangan pakai profesi Lo sebagai alasan untuk keterlambatan Lo,” kata Priska.

“Gue tidak cari alasan apa pun. Alasan Gue terlambat datang karena Gue ada pertemuan penting dengan ahli astronomi dari Amerika Serikat. Pertemuan yang membahas alasan kenapa suhu udara menjadi panas akhir-akhir Ini.” kata Arya.

“Oke. Lalu kenapa hape Lo nggak aktif?” tanya Priska.

“Itu karena Peter meminta semua hape dimatikan, agar tidak terjadi intervensi gelombang pada alat yang dibawanya.” Jawab Arya.

“Peter?”

“Peter Gilbert, ahli astronomi itu. Dia mencoba meretas data rahasia dari satelit NASA. Data yang disembunyikan NASA dalam beberapa bulan terakhir ini.” Arya melihat ke sekelilingnya untuk memastikan tidak ada yang mendengarkan pembicaraan mereka.

“Gue belum cerita ke lo kalau Gue menemukan sebuah bintang dekat tata surya kita...”

“Cukup!” tukas Priska lagi.

“Jangan ngomong ngaco lagi. Hari udah malam dan subuh besok Gue sudah harus pergi ke Merak. Gue mau istirahat,” lanjutnya.

“Gue antar,” kata Arya.

“Nggak usah. Gue naik  bus aja,”

“Priska...”

Tapi Priska terus berjalan.

“Bintang itu namanya Alpha Veta, lebih besar dari matahari dan suhunya terus meningkat sehingga mempengaruhi suhu di Bumi. Jika suhu Alpha Veta terus naik, Bumi akan terbakar dan kita semua akan tewas,” kata Arya.

Priska tetap tidak mau mendengarkan ucapan Arya. Dia tetap berjalan. Tujuannya adalah halte bus Transjakarta yang berjarak tidak jauh dari situ.

“Priska!”

Arya menghela napas. Sebetulnya dia sudah tahu sifat Priska yang satu ini. gadis itu memang ceria, dan mudah bergaul, tapi jangan sekali-sekali membohongi dia. Priska paling tidak suka kalau dibohongi, dan itu bisa membuat dirinya marah hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Saat kuliah dulu, Arya pernah lupa akan janjinya untuk makan siang bareng Priska seusai kuliah, dan dia tidak bisa bicara dengan gadis itu selama hampir satu bulan. Priska baru mau memaafkan Arya ketika dia terpaksa harus minta bantuan pemuda itu saat ada kegiatan di kampus.

Sekarang peristiwa yang hampir sama terulang lagi. Arya tidak tahu kapan Priska akan mau memaafkannya, karena dia tidak yakin kalau gadis itu akan membutuhkan bantuannya dalam waktu dekat ini.

Di dalam Bus Transjakarta, Priska membuka ponselnya. Dia mencoba mencari tahu kebenaran kata-kata Arya.

Priska mengetik kata kunci “Alpha Veta” di kolom pencarian.

Beberapa detik kemudian...

Arya nggak bohong! Dia emang menemukan bintang baru! Batin Priska.

Tiba-tiba gadis itu teringat dengan ucapan Arya,

“Bintang itu namanya Alpha Veta, lebih besar dari matahari dan suhunya terus meningkat sehingga mempengaruhi suhu di Bumi. Jika suhu Alpha Veta terus naik, Bumi akan terbakar dan kita semua akan tewas,”

Tidak mungkin! Tidak mungkin itu terjadi! Batin Priska.

Dia kembali mengetik kata kunci “suhu Alpha Veta”

Alpha Veta masuk kategori bintang M. Sahayanya sangat redup dan suhunya sangat rendah, sehingga tidak memengaruhi sebagian besar planet-planet di dalam Tata Surya. Tapi kenapa Arya bilang suhu Alpha Veta sangat panas dan bisa membakar Bumi? Apa mungkin suhu bintang bisa berubah dengan cepat? Batin Priska.

Tiba-tiba Priska ingat kalau dia pernah mewawancarai seorang astronom Indonesia. Mungkin si astronom itu bisa memantu menjelaskan padanya mengenai apa yang dikatakan Arya.

Mudah-mudahan Gue masih menyimpan nomor teleponnya! Batin Priska sambil menelusuri daftar kontak di ponselnya. Beberapa detik kemudian wajahnya berubah menjadi ceria. Priska menekan salah satu kontak.

Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat, Bandung

Menjelang malam, suasana di markas Polda Jawa Barat masih terlihat ramai. Beberapa orang masih terlihat berkerumun baik di depan kantor maupun di dalam. Kasus Sekte Hari Kiamat memang telah menyita perhatian orang dan menjadi berita utama di berbagai media selain kesibukan menjelang hari raya Idul Fitri. Berbagai media masa nasional berkumpul untuk mendapat berita terbaru, terutama mengenai pemeriksaan Albertus. Pemeriksaan terhadap pemimpin Sekte Hari Kiamat itu sendiri sedang dihentikan sementara saat buka puasa dan belum tahu jam berapa akan dilanjutkan kembali.

Albertus berada di sel tahanan yang terletak di bagian markas Polda. Selama pemeriksaan, sel tersebut akan menjadi tempat tinggalnya sementara. Pria seorang diri menempati sel berukuran 4 x 3 meter itu, sementara 8 pengurus lainnya menempati sel yang terpisah. Hal itu untuk memutus komunikasi di antara mereka sehingga akan memudahkan pemeriksaan.

Tapi saat ini Albertus tidak sendiri, karena masih ada pengacaranya yang mendampingi dirinya

“Kabarnya hari ini adalah pemeriksaan yang terakhir. Pemeriksaan selanjutnya akan dilanjutkan setelah Idul Fitri. Tim pemeriksa besok akan cuti.” Johan Santoso, pengacara Albertus membuka pembicaraan setelah polisi yang selama ini menjaga di dekat sel pergi karena akan berbuka puasa.

“Oya?” Albertus duduk di tepi ranjang dalam selnya.

“Kalau ada hari esok...” lanjut pria berusia 55 tahun itu dengan suara datar.

“Maksud Anda?”

Albertus menatap tajam ke arah pengacaranya.

“Kau sudah lihat sendiri. Inilah tanda-tandanya. Kiamat akan datang besok! Sesuai dengan apa yang Tuhan janjikan. Ini adalah permulaan kiamat, permulaan hari yang baru.”

“Pak Albertus, Anda harus tahu posisi Anda...”

“Apa kau ingin masuk surga? Kalau begitu belum terlambat. Bergabunglah, dan jiwamu akan selalu damai...” tukas Albertus.

Pria itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari balik saku jas yang dipakainya.

“Punya pulpen?” tanyanya.

Johan mengeluarkan pulpennya dan memberikannya pada Albertus. Dengan pulpen pemberian Johan itu Albertus menulis sesuatu di kertas yang dipegangnya.

“Johan, berapa lama kau mengenalku?” tanya Albertus.

Johan tertegun sejenak. Pengacara muda berusia 27 tahun itu mencoba mengingat.

“Sejak saya kecil. Anda adalah kawan papa.” Jawab Johan.

“Aku bisa mempercayaimu bukan?”

Johan tidak mengerti apa arah pembicaraan kliennya. Albertus menyerahkan secarik kertas yang tadi ditulisnya.

“Besok pagi pergilah ke alamat ini. Temui seseorang bernama Gunawan  Budianto. Katakan padanya; Hari itu telah datang, bawa mereka ke tempat yang telah dijanjikan. Dia akan mengerti.” Kata Albertus.

Johan menerima kertas yang disodorkan Albertus dengan ragu-ragu.

“Pak Albertus, saya di sini sebagai pengacara Anda...”

“Lakukan saja. Aku memintamu bukan sebagai pengacaraku, tapi sebagai seseorang yang telah lama kukenal dan bisa kupercayai. Tolonglah...” tukas Albertus setengah memohon.

Melihat wajah Albertus yang sedang memohon, Johan tidak tega.

Apa salahnya aku menolongnya, toh hanya menyampaikan pesan pada seseorang, dan  tidak melanggar hukum! Pikir Johan.

Akhirnya pengacara muda itu menganggukkan kepalanya. Albertus tersenyum lega.

“Jika kau ingin selamat, kau pun dapat bergabung. Bilang saja pada Gunawan kalau aku telah menerimamu. Dan ingat, pesan ini harus kau sampaikan secepat mungkin. Jangan sampai terlambat, karena jika itu sampai terjadi, tidak akan ada yang dapat menolongmu, menolong kita semua...” tegas Albertus dengan keyakinan yang tegas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status